“Masa minder dengan aroma parfum seharga 50 ribuan begitu. Apa kabarnya yang dulu pernah mempunyai parfum harga jutaan?” Pria yang mengaku wartawan asal ibukota itu kembali berbicara, dia melangkah santai mendekati kami yang berdiri di depan meja kasir.Mataku menyipit mendengar ucapannya, seakan dia mengetahui kehidupan masa laluku. Rasanya pria tersebut sedang menyindirku, atau aku hanya merasa sendiri.“Maaf, Mas-nya kenal sama aku?” tanyaku polos. Kutelisik wajahnya lebih teliti, siapa tahu bingkai di depanku ini memang seseorang di masa laluku.Pria tersebut hanya mengangkat bahu sebagai jawaban, membuat rasa penasaranku kian membuncah.“Yaelah, mana mungkin orang daerah seperti kita ini kenal dengan orang kota Mbak Selvi. Terlebih dari beda pulau lagi,” celetuk Tika seraya menyikut lenganku.“Mbak Selvi ‘kan memang dari Pulau Jawa. Kamu lupa Tika?” Mbak Jum ikut menimpali. “Alamak Jang! Aku lupa.” Tika menepuk jidatnya.“Jangan-jangan Mas-nya ini salah seorang keluarga kamu, Mb
“Aku?” desisku mengernyit. Mustahil orang yang tidak kukenal mengetahui kisah di masa laluku.“Siapa kamu sebenarnya?” desakku seraya melayangkan tatapan tajam.“Aku? Seorang wartawan,” jawab pria asing itu tenang. Dia tidak terganggu dengan tatapanku.“Bohong!” sanggahku tak percaya. Jelas, dia seorang yang mengenalku di masa lalu. Dan, aku yakin info itu tidak didapatkannya dari Mas Agus.“Ini ....” Pria yang mengaku wartawan itu merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana.“Liat, namaku tertera di tanda pengenal ini sebagai wartawan. Bukan seorang karyawan dari sebuah restoran,” ucapnya memperlihatkan tanda pengenal yang ada tali gantungan.Memang benar namanya terpampang jelas di sana, Heru Perdana. Namun, keningku kian berkerut mendengar ucapannya. Semakin yakin jika dia seseorang yang kukenal sebelumnya.“Jangan bilang kamu anak buah papa yang sedang memata-mata?” ujarku menebak. Aku yakin bukan tanpa alasan dia menyebut restoran, jika bukan karena mengetahui
“Apa maksud kamu, hah? Jangan sembarangan menuduh!” bentak Mas Agus garang. Namun, aku tidak lagi gentar mendengar suaranya. Justru dia yang terlihat seperti ketakutan di mataku.“Sudah lah, Mas. Nggak usah marah-marah segala. Aku sudah tahu semuanya,” ujarku datar.“Siapa sih di perumahan ini yang tidak tahu perselingkuhanmu dengan Yuni? Hanya orang buta dan tuli kali yang tidak mengetahuinya,” sambungku membuang muka. Enggan berlama-lama menatap wajahnya yang kini sudah berpaling melihat wanita lain.“Nongkrong aja terus sama ibu-ibu kurang kerjaan itu sampai otakmu dicuci bersih oleh mereka!” Aku tahu Mas Agus tidak akan pernah mengaku mengenai perselingkuhannya.“Liat saja sekarang! Kamu lebih percaya mereka dari pada suamimu sendiri. Mana buktinya kalau aku selingkuh?” lanjut Mas Agus menantangku.Dia kira nyaliku akan menciut mendengar nada tinggi suaranya.“Salahkan aja aku terus, Mas. Sampai gajah bertelur pun kamu tidak akan pernah jujur. Satu hal yang perlu kamu ingat, aku
“Maafin, Mama,” ucapku pelan pada Rafni yang sedang menyusun buku pelajaran di meja belajarnya.Aku duduk di sudut ranjang sambil memainkan ujung sprei. Menunggu Rafni berbalik untuk menanggapi ucapanku. Aku lebih takut dengan kemarahannya dibanding Mas Agus. Hanya dia dan Ayuni yang aku punya.“Rafni boleh marah sama Mama, tapi jangan membenci Mama. Mama tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain kalian. Jika kalian sudah membenci Mama maka–“ Rafni sudah menghambur memelukku sebelum aku menyelesaikan ucapanku.“Rafni sayang, Mama,” ucapnya singkat di belakang kepalaku.Ayuni yang sebelumnya bermain boneka di lantai ikut menghambur dalam pelukanku. Dia juga berucap, “Ayuni juga sayang, Mama dan papa.”“Papa nggak!” sanggah Rafni cepat. Dia melepaskan pelukannya supaya bisa menatap Ayuni.“Iya! Aku sayang papa dan Mama.” Ayuni balas berteriak. Putri bungsuku itu belum mengerti situasi yang terjadi sehingga dia masih terus membela papanya, berbeda dengan Rafni yang sudah membenci Mas Agus
“Yuni siapa, Ma? Apa dia pacar baru papa, seperti yang dibilang Kak Rafni?” Suara lembut Ayuni mengagetkanku dari lamunan.“Hah? Apa, Nak? Memangnya Mama bilang apa barusan?” tanyaku pura-pura lupa.“Mama bilang, papa nginap di rumah Yuni.” Apa yang diucapkan Ayuni sama persis dengan suara yang menari di kepalaku.“Benar kah? Ayuni salah dengar kali, perasaan Mama nggak bilang begitu barusan,” ucapku terus berkilah.Dalam hati aku terus saja menyalahkan diri yang keceplosan di depan Ayuni. Biar bagai mana pun aku masih menjaga perasaannya yang menyayangi Mas Agus. Tidak seperti Rafni yang sudah terang-terangan membenci papanya.“Memang di mana rumah Yuni itu, Ma? Kita ke sana yuk, Ma, cari papa. Kalau papa ada di sana, berarti memang papa sudah tidak sayang kita lagi,” ujarnya dengan raut polos. Mungkin dia mengira perempuan yang aku sebutkan namanya itu seumuran dengannya. Biasanya Ayuni selalu menggunakan embel-embel panggilan sebelum nama jika dia tahu orang tersebut jauh lebih tua
“Me–me ....” Aku bahkan tidak sanggup mengucapkan kata sakral itu. Lidahku terasa kelu.“Mbak Atik yakin mereka mau me ... nikah?” ringisku ketika bersusah payah untuk mengucapkannya.“Dari yang aku dengar sih begitu. Tapi, Mbak Selvi jangan marah sama aku, ya. Aku cuma menyampaikannya aja,” ujar Mbak Atik menatap takut ke arahku.Seharusnya aku tidak terkejut lagi mendengar hal ini karena aku sudah menduga Mas Agus akan bersama Yuni. Tapi, aku tidak mengira jika Mas Agus akan mengambil langkah sejauh ini. Bahkan sampai menikah.“Yuni sendiri yang bilang ke ibu-ibu di sekitar sini. Dari sejak seminggu ini malah dia bilang akan menikah. Awalnya kami tidak mengira jika calon suaminya itu suamimu, Mbak. Tapi malam tadi, sebelum pergi dia sempat berpamitan pada tetangga di sebelahnya kalau dia akan pulang kampung bersama suamimu untuk menikah.” Mbak Atik kembali bercerita tanpa kuminta.Penuturannya bagai sambaran petir di siang bolong. Tanpa merasakan firasat yang berarti, aku justru men
Belum juga debaran jantungku mereda mendengar kabar dari Mbak Atik barusan, kini kembali aku senam jantung mendapati Ayuni yang tidak ada di warung Mbak Jum.“Bercandanya jangan gini, Mbak. Aku liat sendiri tadi Ayuni berlari ke sini. Masak iya dia nggak ada di sini?” Kutelisik wajah Mbak Jum yang mungkin mengulum senyum karena mengerjaiku.Sebelumnya dia sering begini, mengatakan anak-anak tidak ada di sini, padahal tengah bermain di dalam rumahnya.Tapi kali ini, rautnya terlihat sama paniknya denganku. “Sumpah, Mbak Selvi! Ayuni memang belum mampir ke sini sejak tadi,” ucapnya serius.“Ya Allah, ke mana perginya anakku, Mbak?” pekikku histeris. Seketika persendianku kehilangan tenaga dan tubuhku merosot begitu saja ke lantai. Duniaku benar-benar runtuh rasanya. Dalam hitungan kurang dari satu jam, aku sudah mendapatkan dua kabar buruk sekaligus.Mbak Jum segera berlari menolongku, tapi aku tidak punya tenaga untuk bangkit. Semangatku menguap ketika orang-orang terdekatku mul
“Kamu apakan anak saya? Nggak pernah ada penjahat di sini! Jika Anda tidak berniat untuk menculiknya maka dia akan tetap aman.” Darahku seketika mendidih mendengar ucapan pria asing yang datang dari kota ini. Seenaknya dia menuduhku tidak bisa menjaga anak.Dia tidak mengerti seluk beluk daerah sini. Selama ini belum pernah ada kejadian penculikan anak atau pencurian barang berharga lainnya di perumahan ini karena letaknya yang terbilang cukup jauh ke pedalaman. Jarak dengan kampung sebelah mungkin ada sekitar 30km yang sepanjang perjalanan hanya dipenuhi perkebunan kelapa sawit.“Nggak di apa-apain, tanya saja sama Ayuni,” jawab pria bernama Heru itu santai sambil menunjuk pada Ayuni yang berada dalam pelukanku. Aku ikut menoleh pada Ayuni.“Tadi Ayuni teleponan sama oma dan opa, Ma. Ternyata paman Salman kenal sama Opa, Ma,” ucap Ayuni girang. Jawaban Ayuni tak pelak membuatku terkejut. Dia memanggil pria asing ini dengan sebutan paman Salman. Bukan kah kemarin pria ini memperlihat