“Apa maksud kamu, hah? Jangan sembarangan menuduh!” bentak Mas Agus garang. Namun, aku tidak lagi gentar mendengar suaranya. Justru dia yang terlihat seperti ketakutan di mataku.“Sudah lah, Mas. Nggak usah marah-marah segala. Aku sudah tahu semuanya,” ujarku datar.“Siapa sih di perumahan ini yang tidak tahu perselingkuhanmu dengan Yuni? Hanya orang buta dan tuli kali yang tidak mengetahuinya,” sambungku membuang muka. Enggan berlama-lama menatap wajahnya yang kini sudah berpaling melihat wanita lain.“Nongkrong aja terus sama ibu-ibu kurang kerjaan itu sampai otakmu dicuci bersih oleh mereka!” Aku tahu Mas Agus tidak akan pernah mengaku mengenai perselingkuhannya.“Liat saja sekarang! Kamu lebih percaya mereka dari pada suamimu sendiri. Mana buktinya kalau aku selingkuh?” lanjut Mas Agus menantangku.Dia kira nyaliku akan menciut mendengar nada tinggi suaranya.“Salahkan aja aku terus, Mas. Sampai gajah bertelur pun kamu tidak akan pernah jujur. Satu hal yang perlu kamu ingat, aku
“Maafin, Mama,” ucapku pelan pada Rafni yang sedang menyusun buku pelajaran di meja belajarnya.Aku duduk di sudut ranjang sambil memainkan ujung sprei. Menunggu Rafni berbalik untuk menanggapi ucapanku. Aku lebih takut dengan kemarahannya dibanding Mas Agus. Hanya dia dan Ayuni yang aku punya.“Rafni boleh marah sama Mama, tapi jangan membenci Mama. Mama tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain kalian. Jika kalian sudah membenci Mama maka–“ Rafni sudah menghambur memelukku sebelum aku menyelesaikan ucapanku.“Rafni sayang, Mama,” ucapnya singkat di belakang kepalaku.Ayuni yang sebelumnya bermain boneka di lantai ikut menghambur dalam pelukanku. Dia juga berucap, “Ayuni juga sayang, Mama dan papa.”“Papa nggak!” sanggah Rafni cepat. Dia melepaskan pelukannya supaya bisa menatap Ayuni.“Iya! Aku sayang papa dan Mama.” Ayuni balas berteriak. Putri bungsuku itu belum mengerti situasi yang terjadi sehingga dia masih terus membela papanya, berbeda dengan Rafni yang sudah membenci Mas Agus
“Yuni siapa, Ma? Apa dia pacar baru papa, seperti yang dibilang Kak Rafni?” Suara lembut Ayuni mengagetkanku dari lamunan.“Hah? Apa, Nak? Memangnya Mama bilang apa barusan?” tanyaku pura-pura lupa.“Mama bilang, papa nginap di rumah Yuni.” Apa yang diucapkan Ayuni sama persis dengan suara yang menari di kepalaku.“Benar kah? Ayuni salah dengar kali, perasaan Mama nggak bilang begitu barusan,” ucapku terus berkilah.Dalam hati aku terus saja menyalahkan diri yang keceplosan di depan Ayuni. Biar bagai mana pun aku masih menjaga perasaannya yang menyayangi Mas Agus. Tidak seperti Rafni yang sudah terang-terangan membenci papanya.“Memang di mana rumah Yuni itu, Ma? Kita ke sana yuk, Ma, cari papa. Kalau papa ada di sana, berarti memang papa sudah tidak sayang kita lagi,” ujarnya dengan raut polos. Mungkin dia mengira perempuan yang aku sebutkan namanya itu seumuran dengannya. Biasanya Ayuni selalu menggunakan embel-embel panggilan sebelum nama jika dia tahu orang tersebut jauh lebih tua
“Me–me ....” Aku bahkan tidak sanggup mengucapkan kata sakral itu. Lidahku terasa kelu.“Mbak Atik yakin mereka mau me ... nikah?” ringisku ketika bersusah payah untuk mengucapkannya.“Dari yang aku dengar sih begitu. Tapi, Mbak Selvi jangan marah sama aku, ya. Aku cuma menyampaikannya aja,” ujar Mbak Atik menatap takut ke arahku.Seharusnya aku tidak terkejut lagi mendengar hal ini karena aku sudah menduga Mas Agus akan bersama Yuni. Tapi, aku tidak mengira jika Mas Agus akan mengambil langkah sejauh ini. Bahkan sampai menikah.“Yuni sendiri yang bilang ke ibu-ibu di sekitar sini. Dari sejak seminggu ini malah dia bilang akan menikah. Awalnya kami tidak mengira jika calon suaminya itu suamimu, Mbak. Tapi malam tadi, sebelum pergi dia sempat berpamitan pada tetangga di sebelahnya kalau dia akan pulang kampung bersama suamimu untuk menikah.” Mbak Atik kembali bercerita tanpa kuminta.Penuturannya bagai sambaran petir di siang bolong. Tanpa merasakan firasat yang berarti, aku justru men
Belum juga debaran jantungku mereda mendengar kabar dari Mbak Atik barusan, kini kembali aku senam jantung mendapati Ayuni yang tidak ada di warung Mbak Jum.“Bercandanya jangan gini, Mbak. Aku liat sendiri tadi Ayuni berlari ke sini. Masak iya dia nggak ada di sini?” Kutelisik wajah Mbak Jum yang mungkin mengulum senyum karena mengerjaiku.Sebelumnya dia sering begini, mengatakan anak-anak tidak ada di sini, padahal tengah bermain di dalam rumahnya.Tapi kali ini, rautnya terlihat sama paniknya denganku. “Sumpah, Mbak Selvi! Ayuni memang belum mampir ke sini sejak tadi,” ucapnya serius.“Ya Allah, ke mana perginya anakku, Mbak?” pekikku histeris. Seketika persendianku kehilangan tenaga dan tubuhku merosot begitu saja ke lantai. Duniaku benar-benar runtuh rasanya. Dalam hitungan kurang dari satu jam, aku sudah mendapatkan dua kabar buruk sekaligus.Mbak Jum segera berlari menolongku, tapi aku tidak punya tenaga untuk bangkit. Semangatku menguap ketika orang-orang terdekatku mul
“Kamu apakan anak saya? Nggak pernah ada penjahat di sini! Jika Anda tidak berniat untuk menculiknya maka dia akan tetap aman.” Darahku seketika mendidih mendengar ucapan pria asing yang datang dari kota ini. Seenaknya dia menuduhku tidak bisa menjaga anak.Dia tidak mengerti seluk beluk daerah sini. Selama ini belum pernah ada kejadian penculikan anak atau pencurian barang berharga lainnya di perumahan ini karena letaknya yang terbilang cukup jauh ke pedalaman. Jarak dengan kampung sebelah mungkin ada sekitar 30km yang sepanjang perjalanan hanya dipenuhi perkebunan kelapa sawit.“Nggak di apa-apain, tanya saja sama Ayuni,” jawab pria bernama Heru itu santai sambil menunjuk pada Ayuni yang berada dalam pelukanku. Aku ikut menoleh pada Ayuni.“Tadi Ayuni teleponan sama oma dan opa, Ma. Ternyata paman Salman kenal sama Opa, Ma,” ucap Ayuni girang. Jawaban Ayuni tak pelak membuatku terkejut. Dia memanggil pria asing ini dengan sebutan paman Salman. Bukan kah kemarin pria ini memperlihat
Sempat kulihat sesaat Salman melotot kaget ketika mendengar pertanyaanku sebelum dia berhasil menguasai diri kembali. Terlebih tadi dia sempat bilang sudah melaporkan kepergian Mas Agus pada papa. Selain itu dia memperkenalkan nama yang berbeda padaku dan pada Ayuni. Aku semakin yakin jika dia datang ke sini memang mempunyai tujuan tersembunyi.“Aduh, saya nggak nyaman dikerubungi emak-emak begini. Bikin jantung serasa mau terbang. Kalau begitu pamit permisi dulu.” Salman merentangkan kedua tangannya ke depan untuk mengurai kerumunan ibu-ibu di depannya. Dalam beberapa langkah lebar dia berhasil mengeluarkan diri dari kerumunan.Salman pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan padaku. Dia seperti sengaja menghindariku. Biar nanti kutanyakan pada papa langsung, pikirku.Begitu Salman kabur, para ibu-ibu pun membubarkan diri. Sebagian dari mereka ada yang kembali ke rumah masing-masing dan sebagian lagi memilih nongkrong ke warung Mbak Jum. Seperti aku yang ikut nongkrong ke sana ka
“Siapa, Tik? Mas Agus?” Aku kembali mendekati Tika untuk memastikan foto yang diperlihatkannya.Kusentak ponsel dari tangan Tika dengan kasar. Perasaanku sudah tak menentu lagi ketika mendengar nama Mas Agus disebut. Aku ingin melihat rupa suamiku itu dalam balutan gaun pengantin.“Auu, pelan-pelan dong, Mbak. Kalau jatuh ponselku gimana? Mampu Mbak ganti?” ringis Tika mengusap jemarinya. Tak sengaja kukuku menggores jemarinya ketika aku meraih ponselnya.'Jangankan ponsel macam beginian. Ponsel dengan merek apel tergigit pun mampu aku beli. Kalau minta ke papa,' ucapku membatin. Tapi bukan ini fokusku sekarang, aku tidak peduli dengan sikap Tika yang mulai lancang padaku.“Maaf, maaf, Tik. Aku penasaran liat foto Mas Agus.” Kata yang akhirnya keluar dari mulutku.“Penasaran sih penasaran, Mbak. Tapi hati-hati juga dong. Ponsel mahal aku tuh, 2 juta setengah aku beli. Kalau rusak, aku yakin Mbak nggak bakalan mampu beli.” Tika kembali mencecarku. Sekarang baru aku mengerti ucapannya