Akibat obat pencuci perut yang aku kasih ke makanan dan minuman Mas Agus, hari ini Mas Agus cuti kerja. Dia meringis menahan perih karena bagian bokongnya yang terluka akibat keseringan buang air besar. Sampai sore, dia masih harus bolak balik ke kamar mandi. Sepertinya dosis yang aku berikan memang terlalu banyak. Mas Agus bahkan tidak sempat untuk makan siang karena desakan untuk buang air besar tidak mau berhenti.Kasian juga sebenarnya melihat Mas Agus yang keletihan bolak balik kamar mandi, tetapi aku merasa puas karena sudah memberi pelajaran padanya. Ponselnya beberapa kali berdering, panggilan dari orang yang sama yang tertulis dengan nama Melati. Mas Agus tidak sempat memeriksa ponselnya. Dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Kuberanikan diri mengangkat panggilan yang entah sudah yang ke berapa kalinya itu. “Halo,” ucapku setelah menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan. Mendengar bukan Mas Agus yang mengangkat telepon. Panggilan tersebut langsung dimatikan oleh
“Kamu bicara apa sih? Bidan Fitri lagi keluar, jadi nggak bisa berobat. Kamu buatkan aja teh hangat, tapi dikasih gula sedikit aja,” ujar Mas Agus saat melewatiku. ‘Apa? Mas Agus nggak bertemu Bidan Fitri? Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Engkau masih menyelamatkanku,' gumamku dalam hati kegirangan.Beruntung sekali Mas Agus tidak bertemu Bidan Fitri. Jadi, kejahatan pertama yang aku lakukan tidak ketahuan. Aku bisa bernapas lega, seenggaknya untuk saat ini.“Dengan senang hati kubuatkan kamu teh hangat, Mas,” ucapku ceria seraya memperlebar langkah ke dapur.***Dua hari Mas Agus izin tidak masuk kerja, efek obatnya masih bereaksi hingga keesokan hari. Mulesnya sudah hilang, tapi dia kehabisan tenaga karena tubuhnya kekurangan cairan akibat diare. Wajah Mas Agus pun terlihat lebih pucat, seperti seseorang kekurangan darah. Mungkin kah akibat obat pencahar itu bisa berakibat fatal pada Mas Agus? Aku bergidik ngeri membayangkan hal yang tidak-tidak. Kasihan sebenarnya, tapi aku m
Lemas lututku mendengar ancaman Yuni. Tatapannya saja sudah mengintimidasiku, seakan mampu melahapku hidup-hidup.Jika saja aku tidak berpegangan pada pinggiran meja, mungkin tubuhku sudah tersungkur ke lantai.‘Benar kata Mbak Jum, Yuni bukan tandinganku. Nyalinya terlalu besar untuk bisa kulawan sendiri,’ batinku.Refleks aku beringsut mundur untuk memberi jarak dengannya, cemas jika tiba-tiba tangannya melayang ke tubuhku.“Bukan aku yang kegatelan menggoda suami Mbak. Tapi dia sendiri yang datang merayuku. Dia bilang istrinya sudah tidak bergairah lagi,” ujar Yuni lagi membuat tubuhku kian terkunci oleh tatapannya. Dia memindai tubuhku melalui tatapannya dari ujung kepala hingga kaki.“Makanya jadi istri itu harus bisa merawat diri dan mengambil hati suami. Jangan kira karena sudah laku serta yakin cinta suami tidak akan pernah berubah jadi lupa mempercantik diri,” sambung Yuni pongah.“Me–meski pun aku tidak cantik lagi, tetap saja aku pemilik sah. Kamu ... kamu hanya perempuan p
“Masa minder dengan aroma parfum seharga 50 ribuan begitu. Apa kabarnya yang dulu pernah mempunyai parfum harga jutaan?” Pria yang mengaku wartawan asal ibukota itu kembali berbicara, dia melangkah santai mendekati kami yang berdiri di depan meja kasir.Mataku menyipit mendengar ucapannya, seakan dia mengetahui kehidupan masa laluku. Rasanya pria tersebut sedang menyindirku, atau aku hanya merasa sendiri.“Maaf, Mas-nya kenal sama aku?” tanyaku polos. Kutelisik wajahnya lebih teliti, siapa tahu bingkai di depanku ini memang seseorang di masa laluku.Pria tersebut hanya mengangkat bahu sebagai jawaban, membuat rasa penasaranku kian membuncah.“Yaelah, mana mungkin orang daerah seperti kita ini kenal dengan orang kota Mbak Selvi. Terlebih dari beda pulau lagi,” celetuk Tika seraya menyikut lenganku.“Mbak Selvi ‘kan memang dari Pulau Jawa. Kamu lupa Tika?” Mbak Jum ikut menimpali. “Alamak Jang! Aku lupa.” Tika menepuk jidatnya.“Jangan-jangan Mas-nya ini salah seorang keluarga kamu, Mb
“Aku?” desisku mengernyit. Mustahil orang yang tidak kukenal mengetahui kisah di masa laluku.“Siapa kamu sebenarnya?” desakku seraya melayangkan tatapan tajam.“Aku? Seorang wartawan,” jawab pria asing itu tenang. Dia tidak terganggu dengan tatapanku.“Bohong!” sanggahku tak percaya. Jelas, dia seorang yang mengenalku di masa lalu. Dan, aku yakin info itu tidak didapatkannya dari Mas Agus.“Ini ....” Pria yang mengaku wartawan itu merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana.“Liat, namaku tertera di tanda pengenal ini sebagai wartawan. Bukan seorang karyawan dari sebuah restoran,” ucapnya memperlihatkan tanda pengenal yang ada tali gantungan.Memang benar namanya terpampang jelas di sana, Heru Perdana. Namun, keningku kian berkerut mendengar ucapannya. Semakin yakin jika dia seseorang yang kukenal sebelumnya.“Jangan bilang kamu anak buah papa yang sedang memata-mata?” ujarku menebak. Aku yakin bukan tanpa alasan dia menyebut restoran, jika bukan karena mengetahui
“Apa maksud kamu, hah? Jangan sembarangan menuduh!” bentak Mas Agus garang. Namun, aku tidak lagi gentar mendengar suaranya. Justru dia yang terlihat seperti ketakutan di mataku.“Sudah lah, Mas. Nggak usah marah-marah segala. Aku sudah tahu semuanya,” ujarku datar.“Siapa sih di perumahan ini yang tidak tahu perselingkuhanmu dengan Yuni? Hanya orang buta dan tuli kali yang tidak mengetahuinya,” sambungku membuang muka. Enggan berlama-lama menatap wajahnya yang kini sudah berpaling melihat wanita lain.“Nongkrong aja terus sama ibu-ibu kurang kerjaan itu sampai otakmu dicuci bersih oleh mereka!” Aku tahu Mas Agus tidak akan pernah mengaku mengenai perselingkuhannya.“Liat saja sekarang! Kamu lebih percaya mereka dari pada suamimu sendiri. Mana buktinya kalau aku selingkuh?” lanjut Mas Agus menantangku.Dia kira nyaliku akan menciut mendengar nada tinggi suaranya.“Salahkan aja aku terus, Mas. Sampai gajah bertelur pun kamu tidak akan pernah jujur. Satu hal yang perlu kamu ingat, aku
“Maafin, Mama,” ucapku pelan pada Rafni yang sedang menyusun buku pelajaran di meja belajarnya.Aku duduk di sudut ranjang sambil memainkan ujung sprei. Menunggu Rafni berbalik untuk menanggapi ucapanku. Aku lebih takut dengan kemarahannya dibanding Mas Agus. Hanya dia dan Ayuni yang aku punya.“Rafni boleh marah sama Mama, tapi jangan membenci Mama. Mama tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain kalian. Jika kalian sudah membenci Mama maka–“ Rafni sudah menghambur memelukku sebelum aku menyelesaikan ucapanku.“Rafni sayang, Mama,” ucapnya singkat di belakang kepalaku.Ayuni yang sebelumnya bermain boneka di lantai ikut menghambur dalam pelukanku. Dia juga berucap, “Ayuni juga sayang, Mama dan papa.”“Papa nggak!” sanggah Rafni cepat. Dia melepaskan pelukannya supaya bisa menatap Ayuni.“Iya! Aku sayang papa dan Mama.” Ayuni balas berteriak. Putri bungsuku itu belum mengerti situasi yang terjadi sehingga dia masih terus membela papanya, berbeda dengan Rafni yang sudah membenci Mas Agus
“Yuni siapa, Ma? Apa dia pacar baru papa, seperti yang dibilang Kak Rafni?” Suara lembut Ayuni mengagetkanku dari lamunan.“Hah? Apa, Nak? Memangnya Mama bilang apa barusan?” tanyaku pura-pura lupa.“Mama bilang, papa nginap di rumah Yuni.” Apa yang diucapkan Ayuni sama persis dengan suara yang menari di kepalaku.“Benar kah? Ayuni salah dengar kali, perasaan Mama nggak bilang begitu barusan,” ucapku terus berkilah.Dalam hati aku terus saja menyalahkan diri yang keceplosan di depan Ayuni. Biar bagai mana pun aku masih menjaga perasaannya yang menyayangi Mas Agus. Tidak seperti Rafni yang sudah terang-terangan membenci papanya.“Memang di mana rumah Yuni itu, Ma? Kita ke sana yuk, Ma, cari papa. Kalau papa ada di sana, berarti memang papa sudah tidak sayang kita lagi,” ujarnya dengan raut polos. Mungkin dia mengira perempuan yang aku sebutkan namanya itu seumuran dengannya. Biasanya Ayuni selalu menggunakan embel-embel panggilan sebelum nama jika dia tahu orang tersebut jauh lebih tua