Setiap minggu pagi, Diana dan Liana memang selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Sunmor dan mencari barang-barang murah untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Seusai sarapan pagi, Liana segera mengambil dompet di kamar dan Diana memakai sneakers putih andalannya. Letak Sunmor dengan rumah mereka sebenarnya tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki kira-kira 20 menit.
Seusai mereka bersiap dan membawa perlengkapan, Diana dan Liana segera keluar dari rumah dan mengunci rumah mereka. Mereka mulai berjalan ke arah Sunmor dan mereka menemui banyak sekali orang-orang lokal yang berjualan maupun berpapasan dengan mereka di sepanjang jalan.
"Monggo Mbak-mbak (Mari mbak-mbak)," kata bapak-bapak tua sambil memikul gendongan.
"Nggih, monggo pak (Iya, mari pak)," jawab Diana kepada bapak tua itu.
Bapak tua itu tersenyum dan berlalu begitu saja. Beliau hanya bermaksud menyapa anak-anak muda ini. Anak-anak muda yang menurut mereka adalah kaum cendekiawan karena berkuliah di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta. Harapan masa depan bangsa.
Budaya Jawa memang sangat ramah. Mereka tidak segan menyapa orang-orang di jalan tanpa bermaksud apapun. Hal ini yang menyebabkan tiga sekawan itu mencintai Yogyakarta. Mereka merasa menjadi satu keluarga walaupun mereka berasal dari ibukota. Diana dan Liana melanjutkan perjalanan mereka.
"Di, setelah gue pikir-pikir kayaknya gue mau cari suami orang Jogja deh biar gue tinggal disini terus," kata Liana sambil mengamati setiap laki-laki yang lewat. Liana tersenyum kepada setiap laki-laki itu. Namun sayang laki-laki yang disenyuminya kebanyakan malah buang muka. Liana menjadi kesal.
Diana menjawab Liana, "Bagus dong. Gue jadi bisa visit Jogja sewaktu-waktu tanpa harus bayar biaya hotel."
"Sialan, gue senyumin malah pada buang muka. Coba kalau lo yang senyumin, pasti langsung pingsan mereka," kata Liana kesal.
Diana tertawa mendengar perkataan Liana. Diana segera mencubit pipi Liana, "Ihhh gemas! Lo tuh cantik Liana, mereka aja rabun."
Liana segera menepis tangan Diana, "Ih apaan sih. Gue bukan anak kecil. Iya gue tahu gue cantik tapi sayangnya mereka itu rabunnya sepanjang masa." Diana tertawa lagi. Langkah mereka sudah mulai masuk ke area Sunmor.
Buat anak-anak muda, Sunmor itu adalah tempat nongkrong, belanja barang murah, dan tempat berekreasi di hari minggu. Sedangkan, untuk pelaku usaha kecil atau pedagang, mereka menjadikan event sunmor ini sebagai salah satu kesempatan untuk mencari nafkah. Kebanyakan penjual menjual makanan, namun ada juga pernak-pernik lainnya seperti baju, buku, sampai alat elektronik. Masing-masing penjual mempunyai cara sendiri untuk menggelar lapaknya. Ada yang diatas tikar, ada pula yang membawa perlatan pendukung seperti gerobak, dan menariknya banyak juga pedagang yang mempromosikan toko online mereka.
"Mbak, monggo ditumbas. Niki barangipun enggal sedoyo, (Mbak, mari dibeli. Ini barangnya baru semua)," kata nenek-nenek tua menarik perhatian Diana. Nenek tua itu menjual telor asin. Beliau menggelar lapaknya di atas tikar berwarna gelap dan telur asinnya diletakkan di besek besar.
Diana segera menuju ke arah nenek tua itu. Liana mengikutinya.
"Pintenan niki mbah? (Berapaan ini mbah?)" tanya Diana sambil melihat-lihat telur asinnya. Telur asinnya keras dan berwarna biru cerah.
"Setunggalipun kaleh ewu mawon mba. Niki asli saking bebek-bebek ingkang kulo ingoni piyambak (Satunya dua ribu saja mba. Ini asli dari bebek yang saya pelihara sendiri)," kata nenek tua itu pada Diana.
Hati Diana tersentuh mendengar jawaban nenek itu. Liana berbisik padanya. "Telurnya bagus. Beli aja."
Diana segera mengangguk dan tersenyum kepada nenek tua itu. Dia segera mengambil dompetnya dari tas selempang yang dipakainya. Dia mengeluarkan selembar uang merah dengan gambar proklamator RI.
"Mbah, dalem tumbas kalih dasa mawon nggih. (Mbah, saya beli dua puluh saja ya)," kata Diana pada nenek itu. Nenek itu langsung tersenyum lebar dan bersemangat untuk memilihkan telur dengan kualitas bagus. Liana mengernyitkan dahi dan berbisik pada Diana, "Ngapain lo beli dua puluh?"
"Kasian neneknya tau! Nanti sisanya bagi aja ke Dino. Temen kosannya kan banyak," bisik Diana. Liana geleng-geleng tidak percaya, namun Liana sudah terbiasa melihat Diana bersikap seperti itu. Hatinya mirip Hello Kitty kata Dino.
Nenek tua itupun segera menyerahkan bungkusan plastik besar berisi telor asin pada Diana. Diana segera menyerahkan uang yang ada di genggamannya kepada nenek tua itu.
"Waduh mba, nuwun sewu niki, wonten artho ingkang alit mawon? (Waduh mba, permisi, ada uang kecil saja?)" tanya nenek tua itu sambil kebingungan mencari kembalian.
Aku tersenyum dan berkata, "Mboten usah mbah. Niku rejekine mbah'e. Kagem tumbas pakan bebek. (Tidak usah mba. Itu rejeki mbah. Untuk dibelikan pakan bebek.)"
Mata nenek tua itu berkaca-kaca dan beliau mengucapkan banyak terima kasih. Hati Diana merasa senang bisa membantu orang tua seperti nenek itu. Diana dan Liana segera berpamitan.
"Monggo mbah (Mari mbah)," kata DIana dan Liana bersamaan
"Monggo mba. Maturnuwun sanget (Mari mba. Terima kasih banyak)," sahut nenek tua itu
Diana dan Liana meneruskan perjalanan. Mereka mulai melihat-lihat lagi produk-produk yang ditawarkan oleh pedagang.
"Gila lo Di, sinterklas banget. Itu tadi total cumen 40 ribu dan lo kasih 100 ribu!" seru Liana kepada Diana. Diana menjawabnya, "Gpp lah Li, kasian nenek itu. Coba lo bayangin subuh-subuh harus bawa telor segentong ke Sunmor, belum lagi ngurusin bebek-bebeknya di rumah. Kalau beliau punya anak yang bener, mungkin anaknya juga ngga ngijinin nenek itu jualan susah payah. Tapi beliau gimana? tetep jualan kan? Berarti memang beliau butuh," kata Diana mendebat Liana.
"Iya sih makes sense, Di. Kalau orang tua gue jualan seperti itupun juga gue ngga bakal rela. Mendingan guenya yang jualan dan orang tua gue di rumah," kata Liana sambil mengangguk.
"Ngerti kan sekarang sudut pandang gue?"
Liana mengangguk lalu dia berpikir sejenak dan berkata, "Ngomong-ngomong bahasa Jawa lo keren abis. Anjir, gue berasa temen gue asli Jogja, bukan lagi anak ibukota."
"Thanks to Bi Inah," kata Diana sambil tertawa.
Liana mulai menghampiri pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari seperti sabun, shampo, dst. Dia segera berbelanja sesuai list yang sudah disiapkannya semalam. Sedangkan Diana melihat-lihat buku yang digelar di sampingnya.
"Ada buku IELTS mas?" tanya Diana pada pedagang buku itu.
"Ada mbak. Sebentar." Pedagang itu segera mencari-cari letak buku yang dimaksud. Setelah menemukannya dia berkata kepada Diana, "Ini mba yang bagus. Bukunya Barron. Ada CDnya juga buat belajar listening." Pedagang itu menyerahkan bukunya pada Diana untuk dilihat-lihat.
"Okay mas, aku ambil ini ya," kata Diana sambil mengambil uang di dompetnya.
"Tapi mba, ini harganya mahal lho. Ini asli mba. Tapi buat mbaknya saya bisa kasih seratus lima puluh ribu aja."
"Yo wes. Ora opo-opo mas (Ya udah. Tidak apa-apa mas). Aku ambil satu ya," kata Diana sambil menyerahkan uang sesuai dengan harganya kepada mas pedagang. Pedagang buku itu terlihat senang dagangannya laku. Dia segera membungkus bukunya dan menyerahkan kepada Diana.
"Maturnuwun mba. Lancar terus rejekine! (Terima kasih mba. Semoga rejekinya selalu lancar!)"
"Amin. Monggo mas (Mari mas)."
"Monggo-monggo mbak (Mari-mari mbak)," jawab pedagang itu sambil memasukkan uang Diana ke dalam dompetnya.
Liana segera menghampiri Diana kembali, "Udah selesai belanjanya?"
"Udah kok, gue cumen butuh buku," jawab Diana singkat sambil menunjuk buku yang barusan dibelinya. Mereka kembali berjalan santai.
Liana bertanya kepada Diana, "Lo jadinya bikin skripsi tentang IELTS? Udah diacc sama dosen pembimbing?"
"Iya udah kok. Gue tinggal penelitian di lembaga IELTS. Gue lagi nyusun proposalnya buat gue submit ke lembaga-lembaga itu. Kalo lo gimana Li?" tanya Diana kepada Liana.
Liana menjawab, "Oh ya, gue lupa cerita ke lo. Kemarin perusahaan perkebunan itu kasih kabar kalau gue boleh penelitian disana. Kemungkinan tentang limbah mereka gitu, cumen detail teknisnya dan metodologinya masih gue diskusiin sama dosen pembimbing gue."
Diana memandang Liana sambil tersenyum, "Syukurlah Li, akhirnya lo dapet ya tempat penelitian. Moga-moga kita ke depannya sukses selalu."
"Amin," jawab Liana.
Diana dan Liana kembali ngobrol mengenai berbagai hal. Mereka memutuskan untuk mencari sarapan. Perut mereka sudah keroncongan. Mereka mulai memilih dan diskusi mana warung yang akan mereka datangi.
Bruuukkkkkk. Telor asin Diana jatuh ke bawah. Seorang laki-laki menabraknya kencang. Diana terkejut melihat telor-telornya jatuh, namun dia melihat ada telor-telor mentah juga yang berceceran di jalan.
"Ya ampun Diana," teriak Liana. Diana segera memunguti telor-telor asin itu tanpa pikir panjang.
Laki-laki yang menabrak Diana terlihat pucat pasi, "Waduh, telor-telorku."
"Kamu punya mata ngga sih?" teriak Liana pada laki-laki itu.
"Maaf. Maaf. Aku tadi terburu-buru," jawab laki-laki itu secara singkat sambil membereskan telor-telor yang terjatuh. Beberapa dapat diselamatkan namun yang lain sudah pecah.
Diana tidak tega melihat laki-laki itu menunduk dan membereskan kecelakaan ini seorang diri. "Sini aku bantuin," kata Diana sambil memungut telur-telur yang selamat dari tragedi itu. Laki-laki itu terdiam sejenak dan memandang Diana. Mereka berdua segera memungut telur-telur di jalanan. Liana hanya terdiam dan terlihat kesal namun ia tidak dapat berkata apapun.
Seusai mereka memungut telur-telur itu. Diana dan laki-laki itu segera bangkit berdiri. Diana pun baru sempat melihat paras dan perawakan laki-laki yang menabraknya. Laki-laki itu sangat rupawan. Rambutnya dipotong model undercut bewarna coklat dan warna matanya coklat. Kulitnya juga kecoklatan. Tubuhnya juga sangat atlethis. Dia terlihat seperti blasteran. Diana sempat terpaku melihat laki-laki ini.
Liana menginjak kaki Diana dan menyadarkannya. Laki-laki itu berkata kepada Diana, "Maaf ya, telormu juga jadi jatuh tadi."
Diana menjawab, "Oh ya gpp kok. Telorku matang jadi ngga sampai pecah banget. Malah telormu malahan yang banyak pecah."
Laki-laki itu tersenyum," Iya gapapa kok. Nanti aku bisa beli lagi."
"Oh ya, nanti coba cek lagi ya telor-telormu. Nanti kalau ada yang rusak, aku akan ganti." Laki-laki itu membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu nama. Dia menyerahkannya kepada Diana. Diana menerimanya tanpa berkata apapun.
"Simpan saja dulu ini. Aku duluan ya. Banyak pesanan soalnya," kata laki-laki itu sambil melangkah pergi menjauhi Diana dan Liana.
"Iya. Hati-hati!" kata Liana.
Diana masih mematung melihat laki-laki itu. Liana segera menyenggolnya dan meledek Diana, "Akhirnya gue liat lo kesengsem juga ama cowok, Di."
Diana segera tersadar dari lamunannya. "Apaan sih? orang tadi gue mikirin telor-telor yang bakalan gue kasih ke Dino masih bagus atau ngga," kilah Diana.
"Hahaha," Liana tertawa keras-keras."Gue temenan sama lo itu ngga dari kemarin sore, Di. Coba sekarang liat kartu nama yang cowok itu kasih ke lo," ujar Liana pada Diana.
Diana segera melihat kartu nama yang masih dipegangnya.
Richard Brown
Founder Luscious Foods"Sebentar, Luscious Foods yang ada di sudut kampus? Jual macem-macam makanan sih. Tapi pertama kali mereka jualan pancake gitu setau gue," kata Liana sambil berpikir.
Diana tersenyum dan berkata, "Matanya coklat, rambutnya coklat, dan nama belakangnya pun coklat."
Liana memandang Diana dan berbisik, "Hatinya juga coklat. Pasti manis."
Diana segera tersadar kembali dan berkata kepada Liana, "Founder tapi bawa telor mentah? Bukannya dia harusnya punya anak buah ya?"
"Founder itu memang bos, tapi buat anak jaman sekarang, founder itu kerjanya paling keras. Dia harus mastiin usahanya lancar makanya dia turun tangan," jawab Liana. Liana kembali berkata, "Nah, sekarang lo simpen itu kartu nama. Kalau perlu bawa tidur, dan lo wajib simpan nomor Richard!" Diana masih menimbang-nimbang keputusan akan nasib kartu nama Richard.
Liana gemas melihat kelakuan sahabatnya. Tanpa permisi, Liana segera merebut kartu nama di tangan Diana dan mengambil hp Diana dari tas selempangnya. Diana tak kuasa menahannya.
"Li, jangan dong!" kata Diana menghalangi. Namun Liana lebih gesit dibanding Diana. Liana berhasil mengambil hp itu dan berlari menjauhi Diana.
"Li, lo ngapain? Jangan macem-macem plis!"kata Diana berteriak memohon. Liana tidak memedulikannya. Dia sibuk mengotak-atik hp Diana. Tipikal Liana, kalau dia sudah memiliki kemauan, pasti akan diselesaikannya, termasuk dalam urusan Richard.
Beberapa saat kemudian, Liana menyerahkan barang-barang Diana kembali, "Nih hp lo sama kartu namanya."
Diana segera mengecek hpnya. Dia tersadar ada notifikasi masuk ke hpnya. Diana sekilas melihat pesannya.
RICHARD: Hi juga Diana. Senang bertemu denganmu tadi. Aku udah simpan ya nomor hpmu. Kapan-kapan mampirlah ke cafeku.
"Lo kirim w******p apa ke Richard, Liana?!" kata Diana kesal. Liana tertawa dan menjawabnya, "Cek aja sendiri!"
Diana segera membuka aplikasi whatsappnya untuk mengetahui percakapannya dengan Richard.
DIANA: Halo Richard. Ini Diana, yang kamu tabrak tadi. Nanti kalau ada apa-apa mengenai telor, aku akan kasih tahu kamu. Thank you.
Diana mengambil nafas panjang. Dia sangat lega Liana tidak mengirimkan pesan yang aneh-aneh kepada Richard. Diana segera memasukkan hp dan kartu nama Richard ke dalam tas selempangnya.
Liana segera berkata kepada Diana, "Tuh kan gue ngga kirim pesan aneh-aneh ke Richard. Gue ngga sejahat itu Di. Cari makanan yuk Diana. Gue uda laper lagi. Nasi goreng tadi ternyata cumen buat pengganjal perut nih."
Diana tertawa dan mengiyakan perkataan Liana, "Okay, gue juga uda laper." Mereka berdua segera menyusuri jalanan sunmor kembali. Ada banyak pedagang makanan yang menjajakan makanannya, namun kedua sahabat ini merasa tidak berselera dengan makanan-makanan yang ditawarkan. Jadi mereka hanya melewatinya.
Akhirnya sampailah mereka di sudut kampus. Liana memandang sekelilingnya dan spontan berteriak, "Diana, itu cafenya Richard! Masuk yuk?" Liana menunjuk suatu bangunan kecil namun terlihat nyaman dengan dominasi warna putih dan dekorasi yang modern.
"Ngga ah Liana. Kita makan tempat lain aja," kata Diana menolak.
"Udah ayok!" Liana segera memegang tangan Diana dan memaksanya untuk masuk ke dalam cafe tersebut. Diana menurut saja seperti tawanan perang.
"Selamat datang!" sambut seorang pramusaji di muka pintu. Pramusaji itu segera menunjukkan meja kosong yang ada dan mempersilakan Diana dan Liana untuk duduk disitu. Selanjutnya pramusaji itu berkata kepada mereka, "Ini menunya. Kalau mau order, langsung ke kasir saja ya. Bayar duluan. Oh ya ada wifi juga disini. Kalau mau online, passwordnya sama dengan nama cafe ini.""Okay, thank you," jawab Diana.Diana dan Liana segera melihat menu-menu yang ada di dalam cafe tersebut. Lumayan lengkap sebenarnya. Untuk makanan, memang lebih ke makanan western seperti spaghetti, pancake, pizza, dan lain-lainnya. Untuk minuman, juga banyak pilihannya, mulai dari smoothies, jus, kopi, teh, dan lainnya. Diana dan Liana sempat beberapa kali ganti menu pilihan, namun akhirnya mereka berhasil menetapkan pilihannya masing-masing. Liana menuliskannya di kertas yang ada di meja makan mereka.1 American Pancake Original1 Chesese Spaghetti1 Chocolate Juice1 A
“Richard, mau ki sopo? kok iso ketemu wedok ayu? (tadi itu siapa? Kok bisa ketemu wanita cantik)” tanya Bono kepada Richard. Richard tersenyum dan hanya menaikkan alisnya. Bono menjadi kesal.“Aku kie wes konconan karo kowe ket SD. Terus kowe kenalan mbek cah ayu tapi rak mbok kenalke mbek aku? Rak konco tenan! (Aku sudah berteeman denganmu sejak SD. Lalu kamu kenalan dengan wanita cantik tapi kamu ngga ngenalin dia ke aku? Benar-benar tidak setia kawan!)”Richard menjawab sambil memotong-motong sosis di depannya, “Cewe yang mana dulu? Tadi ada dua.”Bono menuang adonan ke dalam panci sambil menjawab Richard,”Yang duduk di sampingmu! Yang cantik. Wes tenan, bejo tenan kowe nemu wong ayunge koyok ngono (Beneran, beruntung sekali kamu ketemu orang cantiknya seperti itu)”. Richard tertawa dan menjawabnya, “Makanya aku tadi langsung datengin dia. Dia agak malu-malu gitu tapi dia b
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Diana terbangun. Dia melihat ke arah jam dindingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Diana menarik nafas panjang. Tidur malamnya terganggung karena dia benar-benar gugup dengan acara nanti malam. Walaupun Richard bukan siapa-siapanya namun Diana sangat pusing memikirkan pertemuan kedua orang tuanya dengan Richard.Diana segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia membuka laptopnya dan mencari kira-kira menu apa yang akan dimasaknya nanti malam. Ada orang tuanya dan ada Richard juga. Dia membutuhkan menu yang sederhana namun dicintai banyak orang. Diana mengingat-ingat berbagai macam masakan yang pernah dicobanya. Namun pikirannya buntu."Ahhhhhhh!" Teriaknya gelisah.Sambil merenung, Diana membuka-buka galeri laptopnya. Dia menemukan foto-foto lama sejak dirinya masih kecil. Ada foto ketika dia memakai baju adat, ada foto ketika dia menjadi dokter kecil, dan lain sebagainya. Dia tertawa melihat foto-foto itu. Ada foto bi Inah
Diana dan Liana tersenyum puas. Mereka melihat makanan dan minuman sudah tertata rapi di atas meja makan. Snack pun dalam toples-toples juga sudah terisi penuh."Akhirnya kelar juga, Di," kata Liana padanya. Liana segera membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol coca-cola. Liana lalu mengambil gelas di kabinet bawah."Minta sini," kata Diana padanya."Okay." Liana segera menuangkan coca-cola di dua gelas dan menyerahkan satunya kepada Diana. Mereka meminumnya dalam satu kali tegukan. Diana berkata pada Liana, "Li, menurut lo, Richard nanti beneran dateng ngga?""Iya beneran lah Di. Dia udahconfirm kan waktu lo kirim kabar?""Iya sih, cumen gue takut aja kalau dia nggashow up,"kata Diana dengan nada cemas. Liana mendekati Diana dan memeluk bahu sahabatnya, "Kalau dia nggashow up berarti lo harus jauhin dia. Anggap aja diastranger kemarin sore."Diana mengangguk. Hatinya sed
Makan malam kali ini berbeda. Diana merasa sangat bahagia karena orang-orang yang disayanginya semuanya berkumpul bersama, tidak terkecuali Richard. Pria yang baru ditemuinya kemarin namun menarik hatinya secara instan.Setelah Dino datang, Diana langsung mengajak untuk segera berkumpul di meja makan. Mereka segera menempati tempat duduk di meja oval yang terletak di ruang makan. Pak Wisnu, Bu Wisnu, dan Diana berhadap hadapan dengan Richard, Dino, dan Liana. Richard terlihat gugup makan langsung berhadapan dengan Pak Wisnu.Setelah duduk, Bu Wisnu berbisik kepada Diana, "Mama seneng lihat Richard. Orangnya baik. Dia juga ganteng.""Ih apaan sih ma," balas Diana. Mama terkekeh. Diana melirik Richard di ujung sana yang masih terdiam.Pak Wisnu berdeham dan berkata, "Ini siapa ya yang punya acara?" Liana pun menendang kaki Diana. Diana memandannya dan Liana memberikan isyarat supaya Diana yang berbicara.Diana menarik nafas panjang dan membuka
Dino dan Liana segera memaksa Diana dan Richard masuk ke dalam kamar Diana. Liana mematikan lampunya dan berpesan kalau Diana dan Richard menyalakan lampunya, maka mereka akan dipaksa berciuman depan orang tua Diana."Sungguh kejam! Emang kita anak-anak," batin Diana. Tapi mereka ngga punya pilihan lain. Dino dan Liana bisa menjadi sangat keras kepala kalau sudah ambil keputusan.Richard memilih duduk di ujung tempat tidur dan Diana juga duduk di ujung satunya lagi. Mereka berdua duduk dalam keheningan. Ketertarikan seksual diantara keduanya hampir memuncak. Dengan adanya sedikit cahaya dari arah luar kamar yang menembus ke jendela, Richard sesekali melihat bibir Diana dan menelan ludahnya. Dia melihat sosok Diana yang sangat menarik di matanya. Sayangnya, Diana tidak bergeming. Richard pun menahan dirinya."Hmm, Diana?"Diana menjawab, "Iya Richard.""Agak aneh sih kalau kita diem-dieman gini. Tujuh menit lumayan lama lho. Gimana kalau kita tanya
"Andani tho! Tipsku kuwi ampuh. Rak percoyoan kok kowe!(Dibilangin! Tipsku itu ampuh. Ngga percayaan sih kamu!)" kata Bono kepada Richard. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan di dalam dapur di resto mereka.Richard telah menceritakan semua kejadian kepada Bono. Bono mendengarnya dengan senang dan sesekali meledek Richard. Mereka segera mengeluarkanred wine dan minum bersama. Kebetulan udara malam kali ini juga sangat dingin sehingga anggur bisa jadi solusi untuk membuat badan mereka lebih hangat."Kok kamu ngga ngomong ke aku kalau kerjaan anak-anak uda selesai? Terus besok yang nganterin makanan ke MIPA siapa?" tanya Richard kepada Bono."Aku tuh ngga mau gangguin acaramu sama Diana, Ric! Lagian anak-anak juga uda pinter-pinter kok. Kerjanya pada cepet. Besok yang nganterin aku sama Yano.Wes, rak sah dipikir! (Sudah tidak usah dipikir)."Richard tersenyum dan berkata, "Maturnuwun yo Bon."Bono m
Richard segera mengantarkan ibunya ke luar resto dan Diana menunggunya dalam diam di dalam. Tak lama kemudian, Richard kembali ke dalam Resto."Sorry ya nunggu lama, kamu uda makan?" tanya Richard."Udah kok tenang aja." Diana segera membuka tasnya dan mengeluarkan menu yang sudah disiapkannya. Dia menyerahkan kepada Richard. Richard menerimanya dan memeriksanya sekilas. Dia tersenyum memandang Diana."Thank you, Di. Ayo masuk ke dapur," ajak Richard sambil melangkahkan kakinya menuju dapur. Diana mengikutinya. Dapurnya cukup luas, bersih, dan peralatannya juga memadai. Kira-kira ada 10 orang pegawai di dapur dan mereka sedang bekerja masing-masing. Ada yang bertugas menyiapkan bahan, memasak, sampai dengan memeriksa pesanan."Masih kecil kan, Di?" tanya Richard."Ngga kok. Lumayan banyak menurutku. Kulihat kerjanya juga cekatan."Diana cukup takjub dengan anak buah Richard yang cekatan dalam bekerja. Mereka benar-benar sibuk namun
Diana menarik nafas panjang. Dirinya melihat ke arah Pak Putu yang sedang sibuk menandatangani dokumen di meja kerjanya."Diana, ada apa?"Diana hanya tersenyum dan menggeleng. Pak Putu heran melihat sikap Diana yang tak biasanya."Kenapa Diana? Kelihatannya kamu ada sesuatu?"Diana menggeleng dan menjawab, "Maaf, belum pak. Saya ngga ada masalah apa-apa kok. Saya hanya kagum sama bapak, itu dokumennya banyak sekali," kata Diana sambil menunjuk dokumen-dokumen di atas meja Pak Putu. Pak Putu tertawa mendengarnya.Diana berkata lagi, "Richard sudah pulang ke Jogja karena ada masalah dengan bisnisnya."Pak Putu mengernyitkan dahinya, "Masalah apa Diana?"Diana menggeleng, "Saya juga kurang tahu pak. Dia begitu mendadak dan setiap saya tanya dia hanya bilang semua akan baik-baik saja. Katanya dia bisa menangani semuanya.""Bapak percaya kok pacarmu bisa mengatur semua masalahnya. Yang penting kamu tetap ada di sisinya baik dalam s
Baru saja Diana mau menceritakan permasalahannya, tiba-tiba pintu kamar Diana digedor. Richard dan Diana langsung menoleh ke arah pintu. Hati Diana berdegub kencang. Richard memegang tangan Diana dan mencoba menenangkannya."Sebentar baby. Aku buka dulu pintunya," kata Richard kepada Diana.Diana mengangguk. Richard segera berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di depan Richard terlihat Dino berdiri dengan nafas tersengal-sengal. Bajunya basah keringat dan rambutnya terlihat sangat berantakan. Richard mengernyitkan dahinya."Dino, abis ngapain?"Dino memegang gagang pintu kamar dan mencoba mengatur nafasnya, "Gue lari dari Club. Takutnya ngga keburu kalau naik taksi. Gimana Diana?" tanya Dino lagi tanpa basa-basi.Richard tersenyum dan berkata kepada Dino, " Dia udah baikan kok. Aku juga uda ngomong baik-baik sama dia. Dia ngerti kok.""Syukurlah. Gue ngga mau Diana kenapa-kenapa. Richard, wanita itu gila. Masak dia bilang dia masih cinta sa
"Di, lo ngga coba ke dokter aja?" Tanya Liana kepada sahabatnya yang masih bercucuran air mata."Ngga mungkin dong Li kalau gue ke dokter dan bilang kalau gue ngga bisa berhubungan seks. Kita hidup di timur. Pasti tuh dokter mikir macem-macem tentang gue," sahut Diana.Liana menghela nafas panjang. Dia berkata pelan dan sejelas mungkin,"Di, sekarang seks bukan hal yang tabu lagi. Lo berhak tau apa yang terjadi sama tubuh lo."Diana menatap mata Liana tajam kemudian menggeleng, "Ngga Li. Tetep aja pasti dokter bakalan mikir macem-macem. Sekarang tenang aja. Kemungkinan karena gue ngga relaks. Gue pasti akan nemu jalannya nanti. Mungkin sama Richard akan beda ceritanya. Mungkin dia bisa bikin gue nyaman yang bikin gue bisa berhubungan sama dia."Liana tersenyum dan mengangguk, "Moga-moga aja ya Di karena itu. Gue harap Richard beneran bisa bikin lo bahagia."Setelah berkata demikian, Liana menarik nafas panjang dan berharap di kemudian hari benar-ben
Diana, Richard, Liana, dan Dino menikmati malam mereka di salah satu kelab malam atau yang sering disebut club. Mereka menengguk alkohol ringan dan menari bersama di lantai dansa. Diana menari berpasangan dengan Richard sedangkan Liana berpasangan dengan Dino.Richard berbisik di telinga Diana,"Baby, aku sampe sekarang masih belum percaya lho kamu jadi pacarku."Diana tertawa mendengarnya. Dia lalu mendekati Richard dan mencium bibirnya. Richard pun membalas ciuman Diana sambil memeluk Diana lebih erat. Mereka berciuman dengan intens sampai Liana dan Dino menolehkan pandangan ke mereka dan Liana berdeham sambil terbatuk yang disengaja.Diana pun melepaskan ciumannya dan menoleh ke arah Liana dan Dino sambil tersenyum. Liana mencoba berkata kepadanya namun Diana tidak dapat menangkapnya karena hingar bingar musik di sekelilingnya. Diana hanya memberi kode kepada Liana dan Liana pun segera menutup mulutnya.Diana dan Richard pun menari sambil menatap mata s
Dino dan Liana menunggu Richard di luar kamar Diana. Mereka berharap sekali Diana tidak lagi marah kepada mereka. Liana sesekali melamun mengingat momen-momen persahabatan mereka. Liana betul-betul tidak mau hubungan romantisnya dengan Dino menganggu persahabatan mereka bertiga yang sudah terjalin lama sekali.Begitu Richard keluar dari kamar Diana, mereka langsung menghampiri Richard. Tanpa basa basi, Dino bertanya kepadanya, "Bagaimana Diana? Apa dia mau maafin kita?"Richard tersenyum dan berkata kepada mereka berdua, "Dia butuh waktu. Biarkan dia menenangkan dirinya. Kalau dia sudah siap, dia pasti keluar."Liana tampak kecewa namun dia bisa menerimanya. Richard menepuk bahu Liana dan berusaha memberikannya semangat, "Sabar ya Liana. Diana pasti sebentar lagi keluar kok ketemu sama kalian. Dia tadi sudah tenang, hanya butuh waktu sebentar saja."Liana mengangguk. Hatinya sesak namun dia paham dengan perasaan Diana juga.Richard berusaha mengali
"Kowe ki jadian karo Diana ora kondo-kondo karo aku? Parah kowe Ric! (Kamu itu jadian dengan Diana tidak bilang-bilang ke saya? Parah kamu Ric!)" teriak Bono dari ujung telepon. Richard tertawa dan hanya meminta maaf kepada sahabat dekatnya itu."Sorry Bon. Lagian itu kejadian kemarin. Oh ya, thanks ya tipsnya."Bono tertawa di ujung sana, "Tuh kan beneran nasihat master Bono itu tokcer. Oh ya Ric, kasih tahu keluargamu juga, atau harus aku yang bilang ke Boni sama Sharon? Kamu beneran serius sama Diana kan? Bukan cumen main-main?"Richard terdiam sejenak lalu berkata ke Bono, "Serius lah! Aku ngga mau main-main sama dia. Dapetin dia aja uda susah. Nanti aku aja yang kasih tahu keluargaku dan aku mau bilang ke mereka kalau aku emang serius sama Diana.""Baru kali ini kamu kedengeran yakin banget sama cewek. Kamu kan baru pacaran Ric!""Ngga tau kenapa ya Bon. Tapi begitu ketemu Diana sejak pertama kali, aku tahu dia itu memang ada
"Diana, kok senyum-senyum sendiri?"Diana terkejut mendengarnya. Dia langsung meletakkan hp di mejanya dan melihat Pak Putu dengan wajah yang memerah. Pak Putu, supervisor Diana di tempat penelitiannya menyaksikan wanita cantik di depannya itu senyum-senyum sendiri sambil menatap layar hapenya tadi."Oh, maaf Pak Putu. Saya barusan dapet pesen dari pacar saya," jawab Diana tersipu malu, lalu dia melanjutkan, "Saya selesaikan dulu input data murid pak.""Iya gapapa Diana. Santai saja. Deadlinenya masih minggu depan."Pak Putu meletakkan tas yang dibawanya ke atas bawah meja kerjanya. Mejanya sendiri berhadapan dengan meja Diana sehingga Pak Putu bisa mengetahui semua gerak-gerik Diana. Awal penelitian, Diana merasa sangat canggung, namun lama-kelamaan, dirinya terbiasa dengan kehadiran Pak Putu di depannya.Pak Putu memandang Diana lagi dan berkata kepada Diana, "Lihat kamu, bapak jadi inget anak temen bapak kemarin di upacara pawiwahan."Dia
Wajah Richard menjadi sumringah. Garis senyum seringkali terlihat dengan jelas di wajahnya. Dia sangat senang dengan jawaban Diana. Diana tersenyum juga. Namun, dia menunduk sebentar dan berkata lagi kepada Richard, "Tapi Richard, aku punya satu syarat."Richard segera mengernyitkan dahi dan bertanya kepada wanita asal Jakarta, "Syarat apa?""Hmm, gimana ya ngomongnya? Jadi gini, kamu boleh cium aku tapi jangan sentuh tubuhku sampai ke pernikahan. Kalau kamu bisa, aku mau pacaran sama kamu."Mendengar hal itu, Richard terdiam sejenak. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah dirinya tahan untuk tidak menyentuh Diana. Richard sendiri pun dibesarkan dalam campuran budaya barat yang menjunjung tinggi kebebasan termasuk kebebasan dalam berpacaran. Namun, kalau dia tidak memenuhi persyaratan Diana, maka dia akan kehilangan wanita yang selama ini menghiasi mimpinya. "Kehilangan Diana akan jauh lebih menyakitkan," pikir Richard.Richard mengangguk. Dia mengajukan pe
Hari demi hari berlalu dan Diana mulai sibuk dengan penelitiannya. Namun, tetap ada kekosongan di hatinya karena Richard pergi dan sama sekali tidak menghubunginya. Diana berpikiran dengan terputusnya komunikasi dengan Richard maka dia dapat move on. Namun ternyata tidak. Diana malah semakin merindukan lelaki itu.Beberapa kali Diana melihat Richard di sekitar kantornya sedang memotret, namun Diana urung menegurnya. Selain itu, Richard selalu pergi sebelum Diana berhasil mendekatinya. Hal itu membuat hatinya kecewa. Diana terus mencoba mengabaikan perasaannya namun wajah Richard selalu masuk ke pikiran Diana. Kemanapun Diana pergi, bayangan Richard selalu ada di pelupuk matanya. Diana sampai berpikiran mungkin dia sudah gila.Saat malam pun, Diana sering memandang foto dalam akun sosial medianya ketika dirinya dan Richard jalan bersama di Jogja beberapa waktu lalu. Dia masih ingat betul perasaannya kala itu. Perasaan dimana seolah kesedihan sirna dari muka bumi. Memori