Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Diana terbangun. Dia melihat ke arah jam dindingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Diana menarik nafas panjang. Tidur malamnya terganggung karena dia benar-benar gugup dengan acara nanti malam. Walaupun Richard bukan siapa-siapanya namun Diana sangat pusing memikirkan pertemuan kedua orang tuanya dengan Richard.
Diana segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia membuka laptopnya dan mencari kira-kira menu apa yang akan dimasaknya nanti malam. Ada orang tuanya dan ada Richard juga. Dia membutuhkan menu yang sederhana namun dicintai banyak orang. Diana mengingat-ingat berbagai macam masakan yang pernah dicobanya. Namun pikirannya buntu.
"Ahhhhhhh!" Teriaknya gelisah.
Sambil merenung, Diana membuka-buka galeri laptopnya. Dia menemukan foto-foto lama sejak dirinya masih kecil. Ada foto ketika dia memakai baju adat, ada foto ketika dia menjadi dokter kecil, dan lain sebagainya. Dia tertawa melihat foto-foto itu. Ada foto bi Inah juga disitu. Diana menjadi sangat merindukannya. Diana teringat bagaimana dia menemani bi Inah untuk memasak sejak kecil. Dia selalu menjadi asisten kecil yang memotong cabai atau mengupas bawang.
Bi Inah kan punya hp dan beliau selalu bangun fajar untuk menyiapkan keperluan. Mungkin bi Inah bisa kasih ide untuk masakan yang nanti akan dibuat olehnya. Diana segera mengambil hpnya dan mencari kontak bi Inah. Semoga bi Inah cepat mengangkat.
Diana mendengar suara panggilan ke sana, berarti sudah tersambung. Tak lama kemudian, terdengar suara berdeham ibu-ibu tua di seberang sana.
"Halo bi Inah," kata Diana menyapa
"Ya ampun cah ayu, piye kabarmu nduk? Kangen tenan aku! (Ya ampun anak cantik, gimana kabarmu nak? Aku benar-benar kangen!)"
Diana tersenyum mendengar suara Bi Inah. Dia segera menjawabnya,"Baik bi Inah. Sehat semua disini. Bibi sehat juga tho?"
"Alhamdulilah sehat cah ayu. Ono opo kok telpon esuk-esuk? (Ada apa kok telp pagi-pagi?)"
"Nanti kan mama mau kesini bi, kebetulan temenku juga mau kesini dan minta masakin sesuatu. Bibi ada rekomendasi menu ngga ya bi?"
"Loh juragan kakung juga kesana lho cah ayu."
"Apa? Papa juga kesini bi? Kok mama ngga info ya." Kepala Diana makin terasa pusing. Papa bertemu dengan Richard. Bisa-bisa Richard diinterogasi habis-habisan. Kalau kata Almarhum Didi Kempot itu ambyar.
"Juragan kakung juga mendadak tadi cah ayu. Katanya Juragan Kakung kangen sama anaknya. He he he. Oh iya cah ayu, menu ya? Hmm..." Bi Inah terdengar seperti sedang berpikir. Tak lama kemudian, beliau melanjutkan, "Ini aja cah ayu, menu kuliner kesukaan raja-raja Jawa dulu."
"Kesukaan raja-raja? Saya ngga tahu bi. Saya kan cumen rakyat jelata bi," jawabku menggoda Bi Inah.
"Ih cah ayu. Itu lho rawon. Dulu itu raja-raja seneng sama masakan itu. Kuncinya dagingnya empuk, bumbunya merasuk, wes bar. Juragan kakung sama juragan putri kan juga seneng sama masakan itu, nduk."
"Nggih sampun bi Inah. Maturnuwun nggih pencerahanipun. (Ya sudah bi Inah. Terima kasih atas percerahannya)"
Diana segera mengakhiri percakapannya dengan Bi Inah. Hatinya bahagia mendengar suara pengasuh yang lama dirindukannya. Diana segera membuka resep-resep rawon yang ada di internet dan memilah-milah resep yang cocok dengannya. Setelah ini, dirinya harus belanja ke pasar untuk membeli kekurangan bumbu dan juga daging.
Mengingat matahari belum muncul, maka Diana pun masih terserang kantuk. Dia memejamkan matanya sebentar di kursi meja belajarnya. Diana berencana nanti sekitar jam lima, dia akan pergi ke pasar untuk berbelanja. Namun naasnya, dia malah tertidur pulas.
Terdengar bunyi ringtone yang keras dari HP Diana. Diana segera terlonjak dari tempat duduknya. Dia segera merenggakan badannya dan mengambil hpnya. Dengan kondisi dimana nyawanya belum terkumpul semuanya, Diana langsung mengangkatanya.
"Diana! Papa Mama sudah di depan."
Terkejut, Diana langsung melempar hpnya ke atas kasur. Dia mencoba menggeleng-gelengkan kepala supaya cepat tersadar dan menepuk-nepuk pipinya. Lalu Diana melihat jam di kamarnya. Waktu menunjukkan jam 8 pagi. Mata Diana langsung melotot melihat jam itu. Dia langsung terbangun dan berlari ke pintu.
"Halo Papa, Mama." Diana menyambut mereka dengan suara yang dibuatnya menyenangkan. Mereka pun saling berpelukan secara bergantian. Papa dan Mama Diana langsung masuk ke dalam rumah kontrakannya.
Diana memiliki figur papa mamanya secara proporsional. Tubuh Diana mirip papanya sedangkan wajahnya mirip mamanya. Bapak dan Ibu Wisnu, begitu biasa dipanggil orang. Tentu saja Diana juga memiliki nama belakang Wisnu. Diana Chandra Wisnu.
"Papa Mama ke Jogja dalam rangka apa?" tanya Diana sambil menyipitkan matanya.
Bu Wisnu terlihat kesal dan menjawab, "Apa papa mama ngga boleh nengokin anaknya?"
"Hmm, ngga gitu sih. Cumen kaget aja, mendadak banget infonya."
Pak Wisnu mengusap-usap rambut Diana dan menjawabnya, "Ada calon supplier di Jogja. Papa sama Mama mau ketemuan sama mereka.” Bu Wisnu segera menyenggol Pak Wisnu dan memberikan isyarat untuk berhenti bicara pekerjaan.
"Oh ya, Liana mana?" tanya mamanya kepada Diana mengalihkan pembicaraan.
"Ngga tau, Ma! Aku juga baru bangun." Diana segera berlari menuju ke dapur dan menyiapkan minuman untuk orang tuanya. Sedangkan Papa dan Mama Diana merebahkan badan mereka di sofa.
Seusai Diana membuat minuman, dia langsung mengantarnya kepada kedua orang tuanya dan meletakkannya di meja depan mereka. Orang tuanya segera bangkit dan duduk menyender pada sofa. Papa Diana mengambil tehnya dan menyeruputnya sedikit demi sedikit.
"Terima kasih sayang" kata mama kepada Diana. Papa menimpali, "Tehnya enak Diana."
Tanpa basa-basi, Diana berkata kepada mereka, "Pa, Ma, aku mau ke kampus dulu ya. Ada janjian sama dosen jam sembilan. Papa Mama ngga apa-apa kan aku tinggal sendirian?"
"Tenang saja sayang. Kita juga mau istirahat," kata mamanya sambil tersenyum. Papa hanya mengangguk. Melihat hal itu, hati Diana lebih rela. Diana segera bergegas mandi sebentar, berpakaian, dan langsung lari menuju kampusnya.
***
Sementara itu di Luscious Foods.
"Ada tiga tahap kesuksesan menaklukan hati orang tua, Ric!" kata Bono kepada Richard sambil menunjukkan ketiga jarinya yaitu jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Richard menatap Bono dengan tatapan tak percaya.
"Ora usah ngarang, Bon! (Tidak udah mengerang, Bon!)"
"Tipsku ini ampuh banget lho Richard, pria idaman para wanita. Wes tho, rungokke sek! (Sudah, dengerin dulu!)"
Richard akhirnya mengangguk. Di dalam hatinya, Richard sangat gugup menghadapi pertemuannya dengan orang tua Diana nanti malam. Dia telah meminjam pakaian Bono sejak kemarin dan sudah dimasukkan ke dalam laundry express. Walaupun mungkin secara penampilan dia sudah siap, namun dia sangat takut kalau nanti salah omong dan malah dibenci oleh orangtua Diana.
Untungnya Richard punya Bono, sahabatnya dalam suka duka yang mau membantunya. Di resto usaha mereka yang masih belum ramai pengunjung, mereka masih sempat bercanda tawa seperti ini. Singkatnya bahagia itu sederhana.
"Dengerin ya Richard Brown, tips pertama itu Garis Tangan, tips kedua itu Buah Tangan, dan tips ketiga itu Campur Tangan. Jadi pertama-tama harus dilihat dulu garis tanganmu. Kalau memang Diana itu jodohmu, maka orangtuanya pasti akan merestui tanpa kamu susah payah!" Bono segera memperagakan pembacaan garis tangan." Richard tertawa keras mendengarkan celotehan Bono.
Bono mengarahkan telunjuk depan mulutnya dan menyuruh Richard tenang. Richard mengangguk-aguk mengikuti instruksi Bono. Bono melanjutkan, "Okay, tips kedua itu adalah Buah Tangan. Kalau garis tanganmu bukan Diana dan melenceng, maka kamu harus bawa buah tangan kalau ketemu orang tuanya Diana. Apalagi kalau buah tangannya itu adalah permata, berlian, atau meteorit langkan, pasti orang tua Diana langsung menyetujuinya."
Richard mencibir dan berkata kesal, "Ya iyalah."
Bono tertawa keras dan melanjutkan, "Nah kalau dua tips tadi belum berhasil, maka perlu tips ketiga yaitu Campur Tangan. Diana perlu campur tangan atau orang lain yang dikenal sama orang tuanya. Kamu perlu usaha lebih besar disini, Ric."
"Bar! Bar! (Selesai! Selesai!)" seru Richard yang langsung berdiri meninggalkan Bono yang terkekeh melihatnya. Bono berteriak kepadanya, "Dijamin pasti nyantol!"
"Aku kie deg-degan malah mbokguyoni. (Jantungku berdebar malah kamu bercandain.)" Richard berkata dengan kesal. Bono tertawa lagi. Bono segera menyusul Richard dan menepuk pundaknya, "Intinya ya Ric, jadi dirimu sendiri. Rak sah wedi mbek pikirane wong liyo (Ngga usah takut dengan pikiran orang lain). Kamu kan jago diplomasi, pasti bisa lah."
Richard mengangguk, "Thank you ya Bon."
"Mbek konco dewe kok ndadak thank you tho Ric! (Sama teman sendiri kok pakai ngomong terima kasih Ric!)"
Richard tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian, ada notifikasi masuk ke hpnya.
DIANA: Hi Richard, aku mau ngasih tahu kamu kalau ternyata papaku juga dateng. Jadi nanti malam ketemunya sama papa mama ya. Sorry banget.
Jantung Richard berdegub lebih kencang dan wajahnya memerah. Dia meraih pundak Bono dan berkata, "Bencana, Bon!"
"Ono opo? (Ada apa?)". Richard segera memperlihatkan chatnya kepada Bono.
"Anjir!" umpat Bono terkejut.
Richard mencoba mengatur nafasnya, "Yo wes gapapa Bon. Mungkin lebih baik sekalian ketemu papanya. Aku bisa sekalian tahu lampu warna apa yang kudapat. Kalau kuning atau hijau, aku bakalan deketin Diana."
Bono mengangguk, "Kuwi lagi koncoku! (Itu baru temanku!)"
***
Hari itu jadwal bimbingan skripsi Diana dan proposal yang dibuat Diana kemarin akhirnya disetujui oleh dosennya. Penelitiannya tentang IELTS, salah satu tes bahasa Inggris membuatnya pusing karena dia harus menemukan lokasi penelitian yang bagus namun itu masalah nanti-nanti. Diana tetap keluar dari ruangan dosen dengan wajah sumringah.
Diana segera memasukkan proposal kembali ke tasnya dan berjalan keluar kampus.
"Hi Diana," sapa seorang wanita bertubuh mungil yang cantik. Evie namanya. Teman sejurusan Diana. Diana terkejut dan akhirnya berhenti sebentar. Dia memang sudah jarang bertemu teman-teman jurusannya karena mulai pada sibuk skripsi. Diana pun tidak terlalu dekat dengan Evie. Namun, dia harus berbasa-basi dengannya.
"Halo Evie. Ah, udah lama nggak ketemu. Kamu mau bimbingan ya?" tanya Diana menebak-nebak. Lalu Diana segera memandang sekelilingnya. Evie sendirian.
"Ngga Di. Aku lagi pengen ke kampus aja. Kamu uda selesai bimbingan?"
Diana mengernyitkan dahi lalu mengangguk. Diana bertanya-tanya tujuan Evie sebenarnya. Mata Diana tertuju ke arah tangan Evie yang sedang merogoh kantongnya untuk mencari sesuatu.
"Ada apa Evie?" tanya Diana sambil menengok tas Evie. Evie mengerluarkan amplop dari kantongnya. Evie segera menyerahkan surat itu pada Diana.
"Di, ini dari Ardi." Mata Evie terlihat berkaca-kaca. Diana mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Evie segera pergi tanpa pamit meninggalkan Diana.
Diana menarik nafas panjang dan segera membuka amplop tersebut. Di dalamnya terdapat secarik kertas dan dia mulai membacanya sekilas. Ternyata surat cinta. Pantas saja Evie langsung pergi karena Diana tahu Evie sangat menyukai Ardi. Ardi sendiri adalah teman jurusannya yang cukup populer di kalangan kaum hawa.
Diana hanya tersenyum melihat isi surat itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Dia kembali berjalan keluar kampus. Tujuan selanjutnya adalah pasar.
Sambil bersenandung ria, Diana terus melangkahkan kakinya sambil mengingat-ingat barang apa saja yang perlu dibelinya.
"Daging, cabai, kluwih," ucap Diana berulang kali supaya dirinya tidak lupa.
Tak lama kemudian sampailah Diana di pasar tradisional favoritnya. Diana segera berbelanja barang-barang sesuai keperluannya. Untuk urusan berbelanja, Diana selalu memilih barang paling baru dan paling bagus kualitasnya walaupun harganya mahal. Prinsip Diana adalah 'Lebih baik mahal sedikit daripada sakit lalu keluar duit lagi'. Prinsip yang banyak dianut oleh emak-emak masa kini. Diana pun sudah memiliki beberapa bakul langganan. Jadi berbelanja bagi Diana tidak memerlukan waktu lama.
Setelah puas berbelanja dan berkeliling pasar, Diana segera pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Dia mampir sebentar ke toko kue untuk membelikan kue bagi orang tuanya dan Richard nanti. Beberapa kue manis dan kue asin dibelinya sebagai camilan. Diana juga membelikan kue kesukaan Liana dan Dino, sahabatnya.
Sesampainya di rumah, bu Wisnu, mama Diana segera menyambutnya.
"Hi sayang, kamu bawa apa?" tanya bu Wisnu sambil melihat barang belanjaan Diana lalu beliau tersenyum, "Ayo masuk. Mama bikin masakan enak buat kalian. Tadi mama belanja lho di pasar, tapi mama ngga tau kalau kamu juga mau masak."
Diana segera mencium mamanya dan pergi ke dapur. Diana meletakkan belanjaannya, membukanya, dan mulai mengatur barang belanjaannya. Diana melirik ke arah kompor. Wangi soto semerbak dari arah kompor.
"Mama bikin soto?"
"Iya Diana. Papamu lagi pengen yang seger-seger. Itu bahan-bahan pelengkapnya uda ada di meja makan. Lha kamu mau masak apa Diana?"
Sambil beberes barang-barang belanjaanya, Diana menjawab,"Rawon, Ma. Nanti temen Diana datang. Dia punya resto di deket kampus. Katanya mau nyobain masakan Diana karena dia belum nemu koki masakan Indonesia yang cocok."
Bu Wisnu duduk di kursi dekat dapur dan bertanya, "Cowok atau cewek?"
"Cowok, Ma."
"Ganteng ngga?" Tanya mama Diana sambil terkekeh.
Diana mengangguk sambil tersenyum. Dia terbayang-bayang wajah Richard. Pria yang barusaja ditemuinya namun terasa sangat familiar. Mama terkekeh melihatnya. Jarang-jarang Diana tersenyum ketika ditanya masalah cowok. Bu Wisnu mengerti kelakukan Diana. Diana tidak mau mengakuinya namun dalam hati dia menyukainya.
Dari arah luar dapur, terdengar suara familiar. Liana sudah datang dari kampusnya. Dia segera meletakkan barang-barangnya di kamar dan keluar menuju ke dapur.
"Halo Tante!"
"Sudah selesai Li?" tanya Bu Wisnu.
"Sudah selesai dong tante. Wah, tante masak apa ini?" Liana segera mengintip isi panci yang ada di atas kompor.
Bu Wisnu menjawabnya sambil tertawa, "Masak soto kok Li. Sana makan dulu kamu juga. Diabisin aja gapapa. Papanya Diana tadi sudah makan. Nanti kan Diana juga mau masak sendiri."
Liana segera menoleh ke arah bu Wisnu, "Wah asyik, nanti pasti kuabisin tante. Masakan tante kan enak kayak masakan Diana juga. Oh ya, tante sudah tahu nanti bakal ada tamu?"
Bu Wisnu menjawab dengan suara yang dibuat-buat seolah sedang sedih, "Barusan juga tahunya, Li. Sedih tante taunya belakangan. Ternyata Diana mau masakin sesuatu buat cowok ya."
Liana tertawa dan menyahut, "Sabar ya tante. Diana emang suka diem-diem masalah cowok."
Diana menyeletuk, "Udah ah. Aku mau nyicil siapin bumbunya dulu."
"Oh ya Tante, temennya Diana yang nanti dateng itu ganteng banget. Tante pasti langsung suka," kata Liana. Mata bu Wisnu langsung terbuka lebar, "Oh ya?"
"Li, udah ah. Nanti kan mama juga ketemu orangnya. Bantuin dulu sini. Aku mau ngrebus dagingnya," kata Diana memotong pembicaraan.
Liana mengangguk dan menekuk lengan bajunya, "Siap Chef! Tapi aku makan dulu ya." Liana segera mengambil piring favoritnya dan mengambil nasi beserta lauknya lengkap. Dia duduk makan di kursi dekat dapur.
Bu Wisnu tertawa melihat kelakuan sahabat Diana. Bu Wisnu bersyukur dalam hati Diana memiliki sahabat-sahabat yang bisa diandalkan. Terkadang dirinya merasa sedih tidak bisa selalu ada di samping Diana sejak kecil.
"Mama masuk kamar dulu ya Diana. Nanti mama kasih tahu papa kalau kita bakal kedatangan tamu special. Kamu jangan lupa makan juga, Di!" Bu Wisnu segera keluar dari dapur dan berjalan menuju kamar tamu.
Diana mengangguk dan berkata, "Selamat istirahat."
***
Diana dan Liana tersenyum puas. Mereka melihat makanan dan minuman sudah tertata rapi di atas meja makan. Snack pun dalam toples-toples juga sudah terisi penuh."Akhirnya kelar juga, Di," kata Liana padanya. Liana segera membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol coca-cola. Liana lalu mengambil gelas di kabinet bawah."Minta sini," kata Diana padanya."Okay." Liana segera menuangkan coca-cola di dua gelas dan menyerahkan satunya kepada Diana. Mereka meminumnya dalam satu kali tegukan. Diana berkata pada Liana, "Li, menurut lo, Richard nanti beneran dateng ngga?""Iya beneran lah Di. Dia udahconfirm kan waktu lo kirim kabar?""Iya sih, cumen gue takut aja kalau dia nggashow up,"kata Diana dengan nada cemas. Liana mendekati Diana dan memeluk bahu sahabatnya, "Kalau dia nggashow up berarti lo harus jauhin dia. Anggap aja diastranger kemarin sore."Diana mengangguk. Hatinya sed
Makan malam kali ini berbeda. Diana merasa sangat bahagia karena orang-orang yang disayanginya semuanya berkumpul bersama, tidak terkecuali Richard. Pria yang baru ditemuinya kemarin namun menarik hatinya secara instan.Setelah Dino datang, Diana langsung mengajak untuk segera berkumpul di meja makan. Mereka segera menempati tempat duduk di meja oval yang terletak di ruang makan. Pak Wisnu, Bu Wisnu, dan Diana berhadap hadapan dengan Richard, Dino, dan Liana. Richard terlihat gugup makan langsung berhadapan dengan Pak Wisnu.Setelah duduk, Bu Wisnu berbisik kepada Diana, "Mama seneng lihat Richard. Orangnya baik. Dia juga ganteng.""Ih apaan sih ma," balas Diana. Mama terkekeh. Diana melirik Richard di ujung sana yang masih terdiam.Pak Wisnu berdeham dan berkata, "Ini siapa ya yang punya acara?" Liana pun menendang kaki Diana. Diana memandannya dan Liana memberikan isyarat supaya Diana yang berbicara.Diana menarik nafas panjang dan membuka
Dino dan Liana segera memaksa Diana dan Richard masuk ke dalam kamar Diana. Liana mematikan lampunya dan berpesan kalau Diana dan Richard menyalakan lampunya, maka mereka akan dipaksa berciuman depan orang tua Diana."Sungguh kejam! Emang kita anak-anak," batin Diana. Tapi mereka ngga punya pilihan lain. Dino dan Liana bisa menjadi sangat keras kepala kalau sudah ambil keputusan.Richard memilih duduk di ujung tempat tidur dan Diana juga duduk di ujung satunya lagi. Mereka berdua duduk dalam keheningan. Ketertarikan seksual diantara keduanya hampir memuncak. Dengan adanya sedikit cahaya dari arah luar kamar yang menembus ke jendela, Richard sesekali melihat bibir Diana dan menelan ludahnya. Dia melihat sosok Diana yang sangat menarik di matanya. Sayangnya, Diana tidak bergeming. Richard pun menahan dirinya."Hmm, Diana?"Diana menjawab, "Iya Richard.""Agak aneh sih kalau kita diem-dieman gini. Tujuh menit lumayan lama lho. Gimana kalau kita tanya
"Andani tho! Tipsku kuwi ampuh. Rak percoyoan kok kowe!(Dibilangin! Tipsku itu ampuh. Ngga percayaan sih kamu!)" kata Bono kepada Richard. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan di dalam dapur di resto mereka.Richard telah menceritakan semua kejadian kepada Bono. Bono mendengarnya dengan senang dan sesekali meledek Richard. Mereka segera mengeluarkanred wine dan minum bersama. Kebetulan udara malam kali ini juga sangat dingin sehingga anggur bisa jadi solusi untuk membuat badan mereka lebih hangat."Kok kamu ngga ngomong ke aku kalau kerjaan anak-anak uda selesai? Terus besok yang nganterin makanan ke MIPA siapa?" tanya Richard kepada Bono."Aku tuh ngga mau gangguin acaramu sama Diana, Ric! Lagian anak-anak juga uda pinter-pinter kok. Kerjanya pada cepet. Besok yang nganterin aku sama Yano.Wes, rak sah dipikir! (Sudah tidak usah dipikir)."Richard tersenyum dan berkata, "Maturnuwun yo Bon."Bono m
Richard segera mengantarkan ibunya ke luar resto dan Diana menunggunya dalam diam di dalam. Tak lama kemudian, Richard kembali ke dalam Resto."Sorry ya nunggu lama, kamu uda makan?" tanya Richard."Udah kok tenang aja." Diana segera membuka tasnya dan mengeluarkan menu yang sudah disiapkannya. Dia menyerahkan kepada Richard. Richard menerimanya dan memeriksanya sekilas. Dia tersenyum memandang Diana."Thank you, Di. Ayo masuk ke dapur," ajak Richard sambil melangkahkan kakinya menuju dapur. Diana mengikutinya. Dapurnya cukup luas, bersih, dan peralatannya juga memadai. Kira-kira ada 10 orang pegawai di dapur dan mereka sedang bekerja masing-masing. Ada yang bertugas menyiapkan bahan, memasak, sampai dengan memeriksa pesanan."Masih kecil kan, Di?" tanya Richard."Ngga kok. Lumayan banyak menurutku. Kulihat kerjanya juga cekatan."Diana cukup takjub dengan anak buah Richard yang cekatan dalam bekerja. Mereka benar-benar sibuk namun
Richard dan Diana akhirnya kembali ke Resto. Hati Diana berbunga-bunga, begitu pula Richard. Diana segera turun dari motor sementara Richard menyimpan kembali motornya di dalam toko. Sambil menunggu Richard, Diana memutuskan untuk segera memasuki resto terlebih dahulu. Situasi Resto sudah ramai. Beberapa orang menikmati makanan dan minuman sambil bercanda tawa, ada pula yang hanya membuka laptopnya sambil memakan cemilan, ada pula dudk sendirian yang sendirian menatap keluar jendela.Diana segera duduk di salah satu kursi makan sambil menunggu Richard."Ciyeee. Akhirnya posting foto mas Richard di IG," kata Aryo tiba-tiba di belakang Diana. Diana terkejut setengah mati dan segera menoleh ke belakang, "Astaga Aryo! Sejak kapan kamu disini?"Aryo langsung duduk di depan Diana."Baru aja mbak. Tadi dengerin suara motornya mas Richard. Jadi aku tahu kalian uda balik. Mba Diana jadi masak bareng kan? Tadi aku uda beliin bahan-bahannya rawon surabaya."D
Sudah dua jam lebih Diana, Aryo, dan Heru memasak sekaligus merekam videonya. Aryo merasa sangat senang bisa memasak bersama Diana. dia merasa mendapatkan banyak ilmu dari Diana. Perasaan Diana pun juga sama dengan Aryo. Aryo sangat welcome dengan dirinya dan juga sangat cepat belajar. Tak heran Richard menjadikannya kepala chef disini. Penghargaan yang cocok untuknya.Mereka bertiga mengecek video rekaman bersama-sama. Berharap videonya dapat dimengerti banyak orang."Mba Diana emang cakep banget. Coba ini masukin ke youtube, pasti langsung viral," kata Aryo sambil melihat rekaman.Diana mengelak, "Justru kamu yang viral. Masih muda tapi jago masak kayak masterchef. Langsung tuh direkrut sama hotel-hotek terkenal.""Aku dulu juga diajarin mas Richard sama mas Bono kok mbak. Kalau ngga ada mereka, mungkin aku uda kerja di pabrik."Heru menimpali," Iya bener yang disampein Aryo mba. Baik bener merka mau kita yang kerja. Biasanya kan kayak resto nyar
Mata Liana terbelalak,"Jadi besok Richard bakalan ketemuan sama Adam? Demi apa?!""Demikian dan terima kasih," jawab Diana datar. Liana menggerakkan bola matanya kesal."Ih, lo ah malah bercanda. Serius dikit napa? Masalah penting nih! Gini loh maksud gue, Di. Lo harus ngomong sama Dino deh biar dia mau nemenin Richard. Jadi kalau Adam mau ngomong yang aneh-aneh, Dino bisa langsung nutup mulutnya si kecoa bassist itu. Soalnya kalau gue liat nih, Richard itu seratus persen suka sama lo dan berhubung dia emang cakep banget, jadi sayang aja kalau dilepasin gitu aja."Diana menatap Liana dengan tatapan nanar. Hatinya sangat bimbang saat ini. Dino dan Liana sampai sekarang belum mengetahui rahasia Diana. Bagaimana kalau Dino beneran besok ikut dan akhirnya rahasia Diana terbongkar di publik? Bakalan tambah malu!Liana terlihat ingin memakannya saat ini. Diana menarik nafas panjang. Dia memberikan pengertian dan alasan," Bukan gitu, Li. Gue paham ma
Diana menarik nafas panjang. Dirinya melihat ke arah Pak Putu yang sedang sibuk menandatangani dokumen di meja kerjanya."Diana, ada apa?"Diana hanya tersenyum dan menggeleng. Pak Putu heran melihat sikap Diana yang tak biasanya."Kenapa Diana? Kelihatannya kamu ada sesuatu?"Diana menggeleng dan menjawab, "Maaf, belum pak. Saya ngga ada masalah apa-apa kok. Saya hanya kagum sama bapak, itu dokumennya banyak sekali," kata Diana sambil menunjuk dokumen-dokumen di atas meja Pak Putu. Pak Putu tertawa mendengarnya.Diana berkata lagi, "Richard sudah pulang ke Jogja karena ada masalah dengan bisnisnya."Pak Putu mengernyitkan dahinya, "Masalah apa Diana?"Diana menggeleng, "Saya juga kurang tahu pak. Dia begitu mendadak dan setiap saya tanya dia hanya bilang semua akan baik-baik saja. Katanya dia bisa menangani semuanya.""Bapak percaya kok pacarmu bisa mengatur semua masalahnya. Yang penting kamu tetap ada di sisinya baik dalam s
Baru saja Diana mau menceritakan permasalahannya, tiba-tiba pintu kamar Diana digedor. Richard dan Diana langsung menoleh ke arah pintu. Hati Diana berdegub kencang. Richard memegang tangan Diana dan mencoba menenangkannya."Sebentar baby. Aku buka dulu pintunya," kata Richard kepada Diana.Diana mengangguk. Richard segera berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di depan Richard terlihat Dino berdiri dengan nafas tersengal-sengal. Bajunya basah keringat dan rambutnya terlihat sangat berantakan. Richard mengernyitkan dahinya."Dino, abis ngapain?"Dino memegang gagang pintu kamar dan mencoba mengatur nafasnya, "Gue lari dari Club. Takutnya ngga keburu kalau naik taksi. Gimana Diana?" tanya Dino lagi tanpa basa-basi.Richard tersenyum dan berkata kepada Dino, " Dia udah baikan kok. Aku juga uda ngomong baik-baik sama dia. Dia ngerti kok.""Syukurlah. Gue ngga mau Diana kenapa-kenapa. Richard, wanita itu gila. Masak dia bilang dia masih cinta sa
"Di, lo ngga coba ke dokter aja?" Tanya Liana kepada sahabatnya yang masih bercucuran air mata."Ngga mungkin dong Li kalau gue ke dokter dan bilang kalau gue ngga bisa berhubungan seks. Kita hidup di timur. Pasti tuh dokter mikir macem-macem tentang gue," sahut Diana.Liana menghela nafas panjang. Dia berkata pelan dan sejelas mungkin,"Di, sekarang seks bukan hal yang tabu lagi. Lo berhak tau apa yang terjadi sama tubuh lo."Diana menatap mata Liana tajam kemudian menggeleng, "Ngga Li. Tetep aja pasti dokter bakalan mikir macem-macem. Sekarang tenang aja. Kemungkinan karena gue ngga relaks. Gue pasti akan nemu jalannya nanti. Mungkin sama Richard akan beda ceritanya. Mungkin dia bisa bikin gue nyaman yang bikin gue bisa berhubungan sama dia."Liana tersenyum dan mengangguk, "Moga-moga aja ya Di karena itu. Gue harap Richard beneran bisa bikin lo bahagia."Setelah berkata demikian, Liana menarik nafas panjang dan berharap di kemudian hari benar-ben
Diana, Richard, Liana, dan Dino menikmati malam mereka di salah satu kelab malam atau yang sering disebut club. Mereka menengguk alkohol ringan dan menari bersama di lantai dansa. Diana menari berpasangan dengan Richard sedangkan Liana berpasangan dengan Dino.Richard berbisik di telinga Diana,"Baby, aku sampe sekarang masih belum percaya lho kamu jadi pacarku."Diana tertawa mendengarnya. Dia lalu mendekati Richard dan mencium bibirnya. Richard pun membalas ciuman Diana sambil memeluk Diana lebih erat. Mereka berciuman dengan intens sampai Liana dan Dino menolehkan pandangan ke mereka dan Liana berdeham sambil terbatuk yang disengaja.Diana pun melepaskan ciumannya dan menoleh ke arah Liana dan Dino sambil tersenyum. Liana mencoba berkata kepadanya namun Diana tidak dapat menangkapnya karena hingar bingar musik di sekelilingnya. Diana hanya memberi kode kepada Liana dan Liana pun segera menutup mulutnya.Diana dan Richard pun menari sambil menatap mata s
Dino dan Liana menunggu Richard di luar kamar Diana. Mereka berharap sekali Diana tidak lagi marah kepada mereka. Liana sesekali melamun mengingat momen-momen persahabatan mereka. Liana betul-betul tidak mau hubungan romantisnya dengan Dino menganggu persahabatan mereka bertiga yang sudah terjalin lama sekali.Begitu Richard keluar dari kamar Diana, mereka langsung menghampiri Richard. Tanpa basa basi, Dino bertanya kepadanya, "Bagaimana Diana? Apa dia mau maafin kita?"Richard tersenyum dan berkata kepada mereka berdua, "Dia butuh waktu. Biarkan dia menenangkan dirinya. Kalau dia sudah siap, dia pasti keluar."Liana tampak kecewa namun dia bisa menerimanya. Richard menepuk bahu Liana dan berusaha memberikannya semangat, "Sabar ya Liana. Diana pasti sebentar lagi keluar kok ketemu sama kalian. Dia tadi sudah tenang, hanya butuh waktu sebentar saja."Liana mengangguk. Hatinya sesak namun dia paham dengan perasaan Diana juga.Richard berusaha mengali
"Kowe ki jadian karo Diana ora kondo-kondo karo aku? Parah kowe Ric! (Kamu itu jadian dengan Diana tidak bilang-bilang ke saya? Parah kamu Ric!)" teriak Bono dari ujung telepon. Richard tertawa dan hanya meminta maaf kepada sahabat dekatnya itu."Sorry Bon. Lagian itu kejadian kemarin. Oh ya, thanks ya tipsnya."Bono tertawa di ujung sana, "Tuh kan beneran nasihat master Bono itu tokcer. Oh ya Ric, kasih tahu keluargamu juga, atau harus aku yang bilang ke Boni sama Sharon? Kamu beneran serius sama Diana kan? Bukan cumen main-main?"Richard terdiam sejenak lalu berkata ke Bono, "Serius lah! Aku ngga mau main-main sama dia. Dapetin dia aja uda susah. Nanti aku aja yang kasih tahu keluargaku dan aku mau bilang ke mereka kalau aku emang serius sama Diana.""Baru kali ini kamu kedengeran yakin banget sama cewek. Kamu kan baru pacaran Ric!""Ngga tau kenapa ya Bon. Tapi begitu ketemu Diana sejak pertama kali, aku tahu dia itu memang ada
"Diana, kok senyum-senyum sendiri?"Diana terkejut mendengarnya. Dia langsung meletakkan hp di mejanya dan melihat Pak Putu dengan wajah yang memerah. Pak Putu, supervisor Diana di tempat penelitiannya menyaksikan wanita cantik di depannya itu senyum-senyum sendiri sambil menatap layar hapenya tadi."Oh, maaf Pak Putu. Saya barusan dapet pesen dari pacar saya," jawab Diana tersipu malu, lalu dia melanjutkan, "Saya selesaikan dulu input data murid pak.""Iya gapapa Diana. Santai saja. Deadlinenya masih minggu depan."Pak Putu meletakkan tas yang dibawanya ke atas bawah meja kerjanya. Mejanya sendiri berhadapan dengan meja Diana sehingga Pak Putu bisa mengetahui semua gerak-gerik Diana. Awal penelitian, Diana merasa sangat canggung, namun lama-kelamaan, dirinya terbiasa dengan kehadiran Pak Putu di depannya.Pak Putu memandang Diana lagi dan berkata kepada Diana, "Lihat kamu, bapak jadi inget anak temen bapak kemarin di upacara pawiwahan."Dia
Wajah Richard menjadi sumringah. Garis senyum seringkali terlihat dengan jelas di wajahnya. Dia sangat senang dengan jawaban Diana. Diana tersenyum juga. Namun, dia menunduk sebentar dan berkata lagi kepada Richard, "Tapi Richard, aku punya satu syarat."Richard segera mengernyitkan dahi dan bertanya kepada wanita asal Jakarta, "Syarat apa?""Hmm, gimana ya ngomongnya? Jadi gini, kamu boleh cium aku tapi jangan sentuh tubuhku sampai ke pernikahan. Kalau kamu bisa, aku mau pacaran sama kamu."Mendengar hal itu, Richard terdiam sejenak. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah dirinya tahan untuk tidak menyentuh Diana. Richard sendiri pun dibesarkan dalam campuran budaya barat yang menjunjung tinggi kebebasan termasuk kebebasan dalam berpacaran. Namun, kalau dia tidak memenuhi persyaratan Diana, maka dia akan kehilangan wanita yang selama ini menghiasi mimpinya. "Kehilangan Diana akan jauh lebih menyakitkan," pikir Richard.Richard mengangguk. Dia mengajukan pe
Hari demi hari berlalu dan Diana mulai sibuk dengan penelitiannya. Namun, tetap ada kekosongan di hatinya karena Richard pergi dan sama sekali tidak menghubunginya. Diana berpikiran dengan terputusnya komunikasi dengan Richard maka dia dapat move on. Namun ternyata tidak. Diana malah semakin merindukan lelaki itu.Beberapa kali Diana melihat Richard di sekitar kantornya sedang memotret, namun Diana urung menegurnya. Selain itu, Richard selalu pergi sebelum Diana berhasil mendekatinya. Hal itu membuat hatinya kecewa. Diana terus mencoba mengabaikan perasaannya namun wajah Richard selalu masuk ke pikiran Diana. Kemanapun Diana pergi, bayangan Richard selalu ada di pelupuk matanya. Diana sampai berpikiran mungkin dia sudah gila.Saat malam pun, Diana sering memandang foto dalam akun sosial medianya ketika dirinya dan Richard jalan bersama di Jogja beberapa waktu lalu. Dia masih ingat betul perasaannya kala itu. Perasaan dimana seolah kesedihan sirna dari muka bumi. Memori