"Selamat datang!" sambut seorang pramusaji di muka pintu. Pramusaji itu segera menunjukkan meja kosong yang ada dan mempersilakan Diana dan Liana untuk duduk disitu. Selanjutnya pramusaji itu berkata kepada mereka, "Ini menunya. Kalau mau order, langsung ke kasir saja ya. Bayar duluan. Oh ya ada wifi juga disini. Kalau mau online, passwordnya sama dengan nama cafe ini."
"Okay, thank you," jawab Diana.
Diana dan Liana segera melihat menu-menu yang ada di dalam cafe tersebut. Lumayan lengkap sebenarnya. Untuk makanan, memang lebih ke makanan western seperti spaghetti, pancake, pizza, dan lain-lainnya. Untuk minuman, juga banyak pilihannya, mulai dari smoothies, jus, kopi, teh, dan lainnya. Diana dan Liana sempat beberapa kali ganti menu pilihan, namun akhirnya mereka berhasil menetapkan pilihannya masing-masing. Liana menuliskannya di kertas yang ada di meja makan mereka.
1 American Pancake Original
1 Chesese Spaghetti1 Chocolate Juice1 Avocado Juice"Nanti gue ganti lo, Diana. Bayarin duluan ya," kata Liana sambil menyerahkan daftar pesanan kepada Diana.
"Okay, tenang aja." Diana menerima kertas itu dan segera mengambil dompetnya. Lalu Diana berjalan menuju kasir dan menyerahkan kertas itu. Kasir tersebut segera menghitung jumlah total pesanan dan menginformasikannya kepada Diana. Diana segera membuka dompetnya dan menyerahkan uang kepada kasir itu. Kasih itupun segera menghitung uang dan memasukkannya ke dalam sistem. Tak lama kemudian, kasir segera menyerahkan uang kembalian dan struk transaksi kepada Diana.
"Terima kasih," kata Diana kepada kasir itu. Diana segera menunduk dan memasukkan kembalian dan struk ke dalam dompet. Tanpa Diana sadari, Richard keluar dari pintu di belakang kasir dan melihat Diana.
"Loh Diana, sudah sampai sini saja," kata Richard mengejutkan Diana. Diana langsung mendongak dan terkejut melihat Richard berdiri disitu. Dia mematung sejenak, namun untungnya Diana segera menyadarinya. Diana berkata kepada Richard, "Iya, tadi kami cari makanan tapi belum ketemu yang cocok di Sunmor. Jadi akhirnya Liana ngajak aku kesini."
Richard menganggukkan kepalanya dan berkata kepada Diana, "Oh gitu ceritanya. Baiklah. Duduklah dahulu Diana. Nanti aku samperin kalian ya di meja."
"Oh okay," jawab Diana singkat seperti kehabisan kata-kata. Richard tersenyum manis. Diana segera berbalik ke mejanya. Mata Liana sudah berbinar-binar melihatnya kembali.
Begitu Diana kembali ke mejanya, Liana langsung menyerbunya dengan pertanyaan, "Richard tadi ngomong apa?" Diana memandang Liana dengan tatapan kesal. Dia mengambil nafas panjang dan segera duduk di kursinya. Diana mengatur posisi duduknya beserta belanjaan di sampingnya. Mereka duduk saling berhadapan.
"Dia cumen bilang mau gabung ama kita nanti," jawab Diana singkat. Senyum Liana mengembang, "Asyik. Siapa tau makanan kita digratisin."
"Ngga usah berimajinasi! Udah gue bayar semuanya!"jawab Diana ketus.
"Ih jangan marah-marah dong sayangku," kata Liana. Lalu Liana menatapku dan berkata,"By the way, Richard itu ganteng banget lho Di. Lebih ganteng daripada mantan-mantan lo atau cowok-cowok yang deketin lo. Cocok banget sama lo, lo cantik, dia ganteng. Pasti anak-anak lo nanti kece badai." Mata Liana berbinar-binar mengharap sahabatnya membuka pintu hatinya kembali.
"Emang ganteng sih, gue akuin. Tapi..." Diana terlihat berpikir. Liana langsung memotongnya,"Ngga usah kebanyakan tapi! Nanti kalau Richard kesini, lo wajib memperlakukan dia layaknya manusia. Bukan barang yang bisa lo tolak atau buang,"
"Ih, selama ini gue juga memperlakukan semuanya seperti manusia. Ada-ada aja lu!" kata Diana sambil tertawa.
"Iya, tapi gue inget lo gimana nolak cowok siapa tuh yang jualan hp. Lo ampe biarin dia ujan-ujanan di depan rumah. Tega bener," kata Liana kepadaku.
"Itu kan salahnya dia sendiri. Orang gue ngga suka," kata Diana datar.
Mereka melanjutkan perdebatan mereka sampai pramusaji datang dan menghidangkan makanan serta minuman di atas meja mereka.
"Terima kasih mba," kata Diana.
"Sama-sama. Silakan menikmati hidangannya," jawab pramusaji itu.
Liana mulai mengambil sendok garpu yang tersedia, memainkannya sebentar, dan bertanya kepada Diana, "Di, Richard kok ngga dateng-dateng ya?"
Diana mengernyitkan dahinya dan menggelengkan kepalanya. Dia berkata pada Liana,"Mungkin doi masih di dapur. Lo kangen Richard ya? Padahal juga baru ketemu tadi." Diana menertawakan Liana.
"Gue kangen Richard bukan karena gue suka dia. Tapi gue kangen ngejodohin dia sama lo!" jawab Liana enteng. Mata Diana terbelalak.Diana menjawab singkat, "Terserahlah. Makan yuk!"
Liana mengiyakan Mereka segera menyantap makanan yang tersedia di depan mereka.
Setelah beberapa suap, Liana berkata kepada Diana, "Asli, spaghettinya enak Di." Diana mengangguk dan berkata pula, "Pancakenya juga enak."
Liana memperhatikan suasana sekitarnya dan berbisik, "Pantesan disini ramai ya."
Diana mengiyakan dan mereka segera makan dengan lahap sembari bercanda satu sama lain.
"Hi Diana!" Richard datang tiba-tiba ke meja Diana dan Liana. Melihat Richard, Diana buru-buru menyingkirkan tas dan plastik belanjaannya ke bawah. Liana melihat Diana dan tersenyum penuh makna.
"Hi Richard, sini kalau mau duduk," kata Diana kepada Richard. Richard tersenyum dan segera duduk di samping Diana. Liana berdehem kencang. Diana menyenggol kaki Liana.
Richard menoleh ke arah Diana, "Uda sempat cek telor-telornya? Apa ada yang pecah?"
Diana menjawab sambil tersenyum, "Ngga kok. Telornya juga buat konsumsi sendiri jadi pecah pun juga ngga masalah. Kalau telor-telormu tadi?"
"Aku beli lagi kok. Itu udah jadi pancakemu," kata Richard sambil menunjuk pancake di depan Diana. "Oh, bailklah," jawab Diana datar. Hati Diana saat ini berbunga-bunga.
Liana menyela, "Makanannya enak-enak Richard. Harusnya kami kesini lebih awal ya. Sayang, ini uda semester terakhir." Richard tersenyum senang dan memandang mereka bergantian.
"Oh ya, ini semester terakhir kalian? Kalian ambil jurusan apa?" tanya Richard. Diana menghentikan makannya sebentar dan segera menjawab, "Aku ambil Sastra Inggris sedangkan Liana ambil Kimia. Jadi jangan heran kalau liat rumus molekuler di wajah Liana." Diana menjawabnya dengan nada datar.
Richard tertawa keras. Melihat Richard tertawa, hati Diana seperti tertimpa aliran air menyegarkan. Liana memelototi Diana. Diana mencibirnya tanpa setahu Richard. Liana membela dirinya, "Eh, kalian tuh ya ngga bisa hidup tanpa rumus kimia! Ngga inget apa air itu juga bahan kimia. H2O namanya."
"Eh iya ya, sorry, aku kelepasan tertawa,"kata Richard lagi,"Ngomong-ngomong kalian memang asli Jogja atau mana?"
Liana menjawabnya, "Kita berdua dari Jakarta."
Richard mengangguk-anggukan kepalanya. Diana melihat arah pembicaraan Liana dan Richard. "Kalau kamu sendiri asli sini?" tanya Diana kepada Richard.
Richard menjawab, "Bisa dibilang iya bisa juga dibilang ngga. Ayahku orang Sydney sedangkan ibuku orang Jogja. Aku sendiri lahir di Sydney. Lalu keluargaku semua pindah ke Jogja karena ibuku lebih senang merawat anak-anak disini. Jadi aku tumbuh besar di kota ini. Oh iya, Aku juga punya kakak lho di Jakarta. Kalian dari Jakarta mana?"
Diana menjawabnya, "Kami berdua dari Jakarta Utara. Aku di Kelapa Gading dan Liana rumahnya di Sunter."
Richard mengangguk, "Oh, kakakku di Jakarta Barat daerah Meruya. Dia kerja di perusahaan pangan juga. Jakarta barat dan Jakarta utara jauh kan ya? Ngga kayak di Jogja. Dari Sleman ke Bantul aja ngga sampai satu jam." Diana mengangguk dan menjawabnya, "Karena Jakarta macet parah."
"Iya sih, tapi Jogja juga sekarang sama macetnya apalagi musim liburan. Semuanya pada kesini." Diana dan Liana mengiyakan perkataan Richard. Pandangan mata Richard melayang ke arah meja makan mereka. Richard berkata, "Ayo makan lagi aja. Sorry banget uda ganggu waktu kalian makan."
"Santai aja Richard. Kita berdua biasa kok makan sambil ngobrol-ngobrol," jawab Liana.
Diana dan Liana segera melanjutkan makannya. Richard mengangguk dan memandangi mereka dengan tersenyum. Richard bertanya kepada kedua sahabat itu, "Oh iya, kalian ngekos dimana?"
Liana menjawab, "Daerah Gejayan. Kita berdua ngontrak rumah sih, bukan ngekos."
Richard mengangguk. Diana bertanya kepada Richard, "Kalau rumahmu dimana?"
"Rumahku di Selomartani, Diana. Rumah orang tuaku sih sebenernya. Oh ya, kapan-kapan main yuk ke rumahku," jawab Richard tanpa basa-basi.
Wajah Diana memerah. Jantungnya berdegub sangat kencang. Namun Diana berusaha menyembunyikan perasaannya. Untungnya Liana tanggap dengan perubahan warna pada wajah Diana. Liana segera mengalihkan pembicaraan.
"Kamu usaha ini uda lama ya Richard?" tanya Liana.
"Iya. Sekitar 5 tahunan sih. Dulu awalnya aku usaha sama temenku cumen modal gerobak kecil. Tapi syukurlah lama-lama usaha itu berkembang sampai sekarang. Aku jadi punya penghasilan sendiri dan bisa dibilang uda lebih dari cukup. Selain itu, bisa kasih lapangan pekerjaan ke orang lain juga."
Liana mengangangguk sedangkan Diana terdiam mendengarnya. Kata-kata Richard seperti melekat pada sanubarinya. Memberikan lapangan pekerjaan kepada orang. Dia sangat dewasa.
"Oh iya, kalian ada kritik saran ngga buat makanan ini atau mungkin masukan buat usahaku ke depannya?" tanya Richard kepada kami. Liana berpikir sejenak.
"Oh ya Richard, mungkin bisa ditambahkan makanan lokal yang umum-umum saja. Jadi variasinya semakin banyak, misal nasi goreng, mie goreng, pecel lele atau apapun itu."
Richard menjawabnya, "Aku sempat kepikiran itu juga sih, tapi cari koki yang cocok dan enak itu susah. Aku pun juga ngga ahli banget untuk bikin makanan-makanan lokal. Beberapa kali nyoba kesana kemari tapi belum nemu aja sih koki yang bisa diandalkan."
Mata Liana membelakak. Dia berkata kepada Richard, "Diana pintar masak Richard. Serius!. Makanan model apapun yang dipegangnya menjadi enak padahal bumbunya sama." Diana segera menginjak kaki Liana tapi Liana tidak mempedulikannya. Mata Richard terlihat sangat senang. Richard menoleh ke arah Diana mengharapkan jawaban.
Diana akhirnya menjawab, "Ngga juga kok. Keberuntungan aja itu. Lagian aku cuman lihat resep-resepnya dari g****e dan uji coba sendiri kok. Bukan tipe koki profesional."
Richard tersenyum memandang Diana dan berkata, "Kalau gitu boleh aku cobain masakanmu?" Diana menjadi salah tingkah. Dia berpikir sejenak dan akhirnya mengangguk pelan.
"Thank you Diana. Kalau nanti malam, aku ke rumahmu gimana? Apa kamu bisa masakin sesuatu?" tanya Richard pada Diana.
"Nanti malam aku mau ngerjain proposalku. Kalau besok biasa," jawab Diana sambil menatap mata Richard.
"Okay. No problem," jawab Richard sambil tersenyum. Richard melanjutkan, "Aku pamit duluan ke dapur ya. Masih banyak yang dikerjain. Sampai ketemu besok!"
"Okay," kata Diana singkat. Richard tersenyum manis kepada Diana. Dia menatap Diana tajam. Richard segera berdiri dan melangkah pergi kembali ke dapurnya. Sekembalinya Richard ke dapur dan bayangannya menghilang, Liana segera meledek habis-habisan Diana.
"Ya ampun Diana. Akhirnya gue lihat wajah lo yang memerah gara-gara cowok." Liana tertawa puas. Diana menjadi kesal mendengarnya, "Udah ah, berhenti ngledekin gue!"
Liana masih tertawa dan akhirnya berkata, "Abisin dulu ah makanannya." Liana dan Diana segera menghabiskan makanan mereka dan meminum habis minuman yang telah mereka pesan. Mereka kagum dengan rasa makanan dan minuman di cafe Richard. Semuanya enak.
Setelah mereka selesai, mereka segera keluar dari cafe itu dan pulang ke rumah mereka. Sepanjang jalan mereka saling bercanda satu sama lain.
***
“Richard, mau ki sopo? kok iso ketemu wedok ayu? (tadi itu siapa? Kok bisa ketemu wanita cantik)” tanya Bono kepada Richard. Richard tersenyum dan hanya menaikkan alisnya. Bono menjadi kesal.“Aku kie wes konconan karo kowe ket SD. Terus kowe kenalan mbek cah ayu tapi rak mbok kenalke mbek aku? Rak konco tenan! (Aku sudah berteeman denganmu sejak SD. Lalu kamu kenalan dengan wanita cantik tapi kamu ngga ngenalin dia ke aku? Benar-benar tidak setia kawan!)”Richard menjawab sambil memotong-motong sosis di depannya, “Cewe yang mana dulu? Tadi ada dua.”Bono menuang adonan ke dalam panci sambil menjawab Richard,”Yang duduk di sampingmu! Yang cantik. Wes tenan, bejo tenan kowe nemu wong ayunge koyok ngono (Beneran, beruntung sekali kamu ketemu orang cantiknya seperti itu)”. Richard tertawa dan menjawabnya, “Makanya aku tadi langsung datengin dia. Dia agak malu-malu gitu tapi dia b
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Diana terbangun. Dia melihat ke arah jam dindingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Diana menarik nafas panjang. Tidur malamnya terganggung karena dia benar-benar gugup dengan acara nanti malam. Walaupun Richard bukan siapa-siapanya namun Diana sangat pusing memikirkan pertemuan kedua orang tuanya dengan Richard.Diana segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia membuka laptopnya dan mencari kira-kira menu apa yang akan dimasaknya nanti malam. Ada orang tuanya dan ada Richard juga. Dia membutuhkan menu yang sederhana namun dicintai banyak orang. Diana mengingat-ingat berbagai macam masakan yang pernah dicobanya. Namun pikirannya buntu."Ahhhhhhh!" Teriaknya gelisah.Sambil merenung, Diana membuka-buka galeri laptopnya. Dia menemukan foto-foto lama sejak dirinya masih kecil. Ada foto ketika dia memakai baju adat, ada foto ketika dia menjadi dokter kecil, dan lain sebagainya. Dia tertawa melihat foto-foto itu. Ada foto bi Inah
Diana dan Liana tersenyum puas. Mereka melihat makanan dan minuman sudah tertata rapi di atas meja makan. Snack pun dalam toples-toples juga sudah terisi penuh."Akhirnya kelar juga, Di," kata Liana padanya. Liana segera membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol coca-cola. Liana lalu mengambil gelas di kabinet bawah."Minta sini," kata Diana padanya."Okay." Liana segera menuangkan coca-cola di dua gelas dan menyerahkan satunya kepada Diana. Mereka meminumnya dalam satu kali tegukan. Diana berkata pada Liana, "Li, menurut lo, Richard nanti beneran dateng ngga?""Iya beneran lah Di. Dia udahconfirm kan waktu lo kirim kabar?""Iya sih, cumen gue takut aja kalau dia nggashow up,"kata Diana dengan nada cemas. Liana mendekati Diana dan memeluk bahu sahabatnya, "Kalau dia nggashow up berarti lo harus jauhin dia. Anggap aja diastranger kemarin sore."Diana mengangguk. Hatinya sed
Makan malam kali ini berbeda. Diana merasa sangat bahagia karena orang-orang yang disayanginya semuanya berkumpul bersama, tidak terkecuali Richard. Pria yang baru ditemuinya kemarin namun menarik hatinya secara instan.Setelah Dino datang, Diana langsung mengajak untuk segera berkumpul di meja makan. Mereka segera menempati tempat duduk di meja oval yang terletak di ruang makan. Pak Wisnu, Bu Wisnu, dan Diana berhadap hadapan dengan Richard, Dino, dan Liana. Richard terlihat gugup makan langsung berhadapan dengan Pak Wisnu.Setelah duduk, Bu Wisnu berbisik kepada Diana, "Mama seneng lihat Richard. Orangnya baik. Dia juga ganteng.""Ih apaan sih ma," balas Diana. Mama terkekeh. Diana melirik Richard di ujung sana yang masih terdiam.Pak Wisnu berdeham dan berkata, "Ini siapa ya yang punya acara?" Liana pun menendang kaki Diana. Diana memandannya dan Liana memberikan isyarat supaya Diana yang berbicara.Diana menarik nafas panjang dan membuka
Dino dan Liana segera memaksa Diana dan Richard masuk ke dalam kamar Diana. Liana mematikan lampunya dan berpesan kalau Diana dan Richard menyalakan lampunya, maka mereka akan dipaksa berciuman depan orang tua Diana."Sungguh kejam! Emang kita anak-anak," batin Diana. Tapi mereka ngga punya pilihan lain. Dino dan Liana bisa menjadi sangat keras kepala kalau sudah ambil keputusan.Richard memilih duduk di ujung tempat tidur dan Diana juga duduk di ujung satunya lagi. Mereka berdua duduk dalam keheningan. Ketertarikan seksual diantara keduanya hampir memuncak. Dengan adanya sedikit cahaya dari arah luar kamar yang menembus ke jendela, Richard sesekali melihat bibir Diana dan menelan ludahnya. Dia melihat sosok Diana yang sangat menarik di matanya. Sayangnya, Diana tidak bergeming. Richard pun menahan dirinya."Hmm, Diana?"Diana menjawab, "Iya Richard.""Agak aneh sih kalau kita diem-dieman gini. Tujuh menit lumayan lama lho. Gimana kalau kita tanya
"Andani tho! Tipsku kuwi ampuh. Rak percoyoan kok kowe!(Dibilangin! Tipsku itu ampuh. Ngga percayaan sih kamu!)" kata Bono kepada Richard. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan di dalam dapur di resto mereka.Richard telah menceritakan semua kejadian kepada Bono. Bono mendengarnya dengan senang dan sesekali meledek Richard. Mereka segera mengeluarkanred wine dan minum bersama. Kebetulan udara malam kali ini juga sangat dingin sehingga anggur bisa jadi solusi untuk membuat badan mereka lebih hangat."Kok kamu ngga ngomong ke aku kalau kerjaan anak-anak uda selesai? Terus besok yang nganterin makanan ke MIPA siapa?" tanya Richard kepada Bono."Aku tuh ngga mau gangguin acaramu sama Diana, Ric! Lagian anak-anak juga uda pinter-pinter kok. Kerjanya pada cepet. Besok yang nganterin aku sama Yano.Wes, rak sah dipikir! (Sudah tidak usah dipikir)."Richard tersenyum dan berkata, "Maturnuwun yo Bon."Bono m
Richard segera mengantarkan ibunya ke luar resto dan Diana menunggunya dalam diam di dalam. Tak lama kemudian, Richard kembali ke dalam Resto."Sorry ya nunggu lama, kamu uda makan?" tanya Richard."Udah kok tenang aja." Diana segera membuka tasnya dan mengeluarkan menu yang sudah disiapkannya. Dia menyerahkan kepada Richard. Richard menerimanya dan memeriksanya sekilas. Dia tersenyum memandang Diana."Thank you, Di. Ayo masuk ke dapur," ajak Richard sambil melangkahkan kakinya menuju dapur. Diana mengikutinya. Dapurnya cukup luas, bersih, dan peralatannya juga memadai. Kira-kira ada 10 orang pegawai di dapur dan mereka sedang bekerja masing-masing. Ada yang bertugas menyiapkan bahan, memasak, sampai dengan memeriksa pesanan."Masih kecil kan, Di?" tanya Richard."Ngga kok. Lumayan banyak menurutku. Kulihat kerjanya juga cekatan."Diana cukup takjub dengan anak buah Richard yang cekatan dalam bekerja. Mereka benar-benar sibuk namun
Richard dan Diana akhirnya kembali ke Resto. Hati Diana berbunga-bunga, begitu pula Richard. Diana segera turun dari motor sementara Richard menyimpan kembali motornya di dalam toko. Sambil menunggu Richard, Diana memutuskan untuk segera memasuki resto terlebih dahulu. Situasi Resto sudah ramai. Beberapa orang menikmati makanan dan minuman sambil bercanda tawa, ada pula yang hanya membuka laptopnya sambil memakan cemilan, ada pula dudk sendirian yang sendirian menatap keluar jendela.Diana segera duduk di salah satu kursi makan sambil menunggu Richard."Ciyeee. Akhirnya posting foto mas Richard di IG," kata Aryo tiba-tiba di belakang Diana. Diana terkejut setengah mati dan segera menoleh ke belakang, "Astaga Aryo! Sejak kapan kamu disini?"Aryo langsung duduk di depan Diana."Baru aja mbak. Tadi dengerin suara motornya mas Richard. Jadi aku tahu kalian uda balik. Mba Diana jadi masak bareng kan? Tadi aku uda beliin bahan-bahannya rawon surabaya."D
Diana menarik nafas panjang. Dirinya melihat ke arah Pak Putu yang sedang sibuk menandatangani dokumen di meja kerjanya."Diana, ada apa?"Diana hanya tersenyum dan menggeleng. Pak Putu heran melihat sikap Diana yang tak biasanya."Kenapa Diana? Kelihatannya kamu ada sesuatu?"Diana menggeleng dan menjawab, "Maaf, belum pak. Saya ngga ada masalah apa-apa kok. Saya hanya kagum sama bapak, itu dokumennya banyak sekali," kata Diana sambil menunjuk dokumen-dokumen di atas meja Pak Putu. Pak Putu tertawa mendengarnya.Diana berkata lagi, "Richard sudah pulang ke Jogja karena ada masalah dengan bisnisnya."Pak Putu mengernyitkan dahinya, "Masalah apa Diana?"Diana menggeleng, "Saya juga kurang tahu pak. Dia begitu mendadak dan setiap saya tanya dia hanya bilang semua akan baik-baik saja. Katanya dia bisa menangani semuanya.""Bapak percaya kok pacarmu bisa mengatur semua masalahnya. Yang penting kamu tetap ada di sisinya baik dalam s
Baru saja Diana mau menceritakan permasalahannya, tiba-tiba pintu kamar Diana digedor. Richard dan Diana langsung menoleh ke arah pintu. Hati Diana berdegub kencang. Richard memegang tangan Diana dan mencoba menenangkannya."Sebentar baby. Aku buka dulu pintunya," kata Richard kepada Diana.Diana mengangguk. Richard segera berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di depan Richard terlihat Dino berdiri dengan nafas tersengal-sengal. Bajunya basah keringat dan rambutnya terlihat sangat berantakan. Richard mengernyitkan dahinya."Dino, abis ngapain?"Dino memegang gagang pintu kamar dan mencoba mengatur nafasnya, "Gue lari dari Club. Takutnya ngga keburu kalau naik taksi. Gimana Diana?" tanya Dino lagi tanpa basa-basi.Richard tersenyum dan berkata kepada Dino, " Dia udah baikan kok. Aku juga uda ngomong baik-baik sama dia. Dia ngerti kok.""Syukurlah. Gue ngga mau Diana kenapa-kenapa. Richard, wanita itu gila. Masak dia bilang dia masih cinta sa
"Di, lo ngga coba ke dokter aja?" Tanya Liana kepada sahabatnya yang masih bercucuran air mata."Ngga mungkin dong Li kalau gue ke dokter dan bilang kalau gue ngga bisa berhubungan seks. Kita hidup di timur. Pasti tuh dokter mikir macem-macem tentang gue," sahut Diana.Liana menghela nafas panjang. Dia berkata pelan dan sejelas mungkin,"Di, sekarang seks bukan hal yang tabu lagi. Lo berhak tau apa yang terjadi sama tubuh lo."Diana menatap mata Liana tajam kemudian menggeleng, "Ngga Li. Tetep aja pasti dokter bakalan mikir macem-macem. Sekarang tenang aja. Kemungkinan karena gue ngga relaks. Gue pasti akan nemu jalannya nanti. Mungkin sama Richard akan beda ceritanya. Mungkin dia bisa bikin gue nyaman yang bikin gue bisa berhubungan sama dia."Liana tersenyum dan mengangguk, "Moga-moga aja ya Di karena itu. Gue harap Richard beneran bisa bikin lo bahagia."Setelah berkata demikian, Liana menarik nafas panjang dan berharap di kemudian hari benar-ben
Diana, Richard, Liana, dan Dino menikmati malam mereka di salah satu kelab malam atau yang sering disebut club. Mereka menengguk alkohol ringan dan menari bersama di lantai dansa. Diana menari berpasangan dengan Richard sedangkan Liana berpasangan dengan Dino.Richard berbisik di telinga Diana,"Baby, aku sampe sekarang masih belum percaya lho kamu jadi pacarku."Diana tertawa mendengarnya. Dia lalu mendekati Richard dan mencium bibirnya. Richard pun membalas ciuman Diana sambil memeluk Diana lebih erat. Mereka berciuman dengan intens sampai Liana dan Dino menolehkan pandangan ke mereka dan Liana berdeham sambil terbatuk yang disengaja.Diana pun melepaskan ciumannya dan menoleh ke arah Liana dan Dino sambil tersenyum. Liana mencoba berkata kepadanya namun Diana tidak dapat menangkapnya karena hingar bingar musik di sekelilingnya. Diana hanya memberi kode kepada Liana dan Liana pun segera menutup mulutnya.Diana dan Richard pun menari sambil menatap mata s
Dino dan Liana menunggu Richard di luar kamar Diana. Mereka berharap sekali Diana tidak lagi marah kepada mereka. Liana sesekali melamun mengingat momen-momen persahabatan mereka. Liana betul-betul tidak mau hubungan romantisnya dengan Dino menganggu persahabatan mereka bertiga yang sudah terjalin lama sekali.Begitu Richard keluar dari kamar Diana, mereka langsung menghampiri Richard. Tanpa basa basi, Dino bertanya kepadanya, "Bagaimana Diana? Apa dia mau maafin kita?"Richard tersenyum dan berkata kepada mereka berdua, "Dia butuh waktu. Biarkan dia menenangkan dirinya. Kalau dia sudah siap, dia pasti keluar."Liana tampak kecewa namun dia bisa menerimanya. Richard menepuk bahu Liana dan berusaha memberikannya semangat, "Sabar ya Liana. Diana pasti sebentar lagi keluar kok ketemu sama kalian. Dia tadi sudah tenang, hanya butuh waktu sebentar saja."Liana mengangguk. Hatinya sesak namun dia paham dengan perasaan Diana juga.Richard berusaha mengali
"Kowe ki jadian karo Diana ora kondo-kondo karo aku? Parah kowe Ric! (Kamu itu jadian dengan Diana tidak bilang-bilang ke saya? Parah kamu Ric!)" teriak Bono dari ujung telepon. Richard tertawa dan hanya meminta maaf kepada sahabat dekatnya itu."Sorry Bon. Lagian itu kejadian kemarin. Oh ya, thanks ya tipsnya."Bono tertawa di ujung sana, "Tuh kan beneran nasihat master Bono itu tokcer. Oh ya Ric, kasih tahu keluargamu juga, atau harus aku yang bilang ke Boni sama Sharon? Kamu beneran serius sama Diana kan? Bukan cumen main-main?"Richard terdiam sejenak lalu berkata ke Bono, "Serius lah! Aku ngga mau main-main sama dia. Dapetin dia aja uda susah. Nanti aku aja yang kasih tahu keluargaku dan aku mau bilang ke mereka kalau aku emang serius sama Diana.""Baru kali ini kamu kedengeran yakin banget sama cewek. Kamu kan baru pacaran Ric!""Ngga tau kenapa ya Bon. Tapi begitu ketemu Diana sejak pertama kali, aku tahu dia itu memang ada
"Diana, kok senyum-senyum sendiri?"Diana terkejut mendengarnya. Dia langsung meletakkan hp di mejanya dan melihat Pak Putu dengan wajah yang memerah. Pak Putu, supervisor Diana di tempat penelitiannya menyaksikan wanita cantik di depannya itu senyum-senyum sendiri sambil menatap layar hapenya tadi."Oh, maaf Pak Putu. Saya barusan dapet pesen dari pacar saya," jawab Diana tersipu malu, lalu dia melanjutkan, "Saya selesaikan dulu input data murid pak.""Iya gapapa Diana. Santai saja. Deadlinenya masih minggu depan."Pak Putu meletakkan tas yang dibawanya ke atas bawah meja kerjanya. Mejanya sendiri berhadapan dengan meja Diana sehingga Pak Putu bisa mengetahui semua gerak-gerik Diana. Awal penelitian, Diana merasa sangat canggung, namun lama-kelamaan, dirinya terbiasa dengan kehadiran Pak Putu di depannya.Pak Putu memandang Diana lagi dan berkata kepada Diana, "Lihat kamu, bapak jadi inget anak temen bapak kemarin di upacara pawiwahan."Dia
Wajah Richard menjadi sumringah. Garis senyum seringkali terlihat dengan jelas di wajahnya. Dia sangat senang dengan jawaban Diana. Diana tersenyum juga. Namun, dia menunduk sebentar dan berkata lagi kepada Richard, "Tapi Richard, aku punya satu syarat."Richard segera mengernyitkan dahi dan bertanya kepada wanita asal Jakarta, "Syarat apa?""Hmm, gimana ya ngomongnya? Jadi gini, kamu boleh cium aku tapi jangan sentuh tubuhku sampai ke pernikahan. Kalau kamu bisa, aku mau pacaran sama kamu."Mendengar hal itu, Richard terdiam sejenak. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah dirinya tahan untuk tidak menyentuh Diana. Richard sendiri pun dibesarkan dalam campuran budaya barat yang menjunjung tinggi kebebasan termasuk kebebasan dalam berpacaran. Namun, kalau dia tidak memenuhi persyaratan Diana, maka dia akan kehilangan wanita yang selama ini menghiasi mimpinya. "Kehilangan Diana akan jauh lebih menyakitkan," pikir Richard.Richard mengangguk. Dia mengajukan pe
Hari demi hari berlalu dan Diana mulai sibuk dengan penelitiannya. Namun, tetap ada kekosongan di hatinya karena Richard pergi dan sama sekali tidak menghubunginya. Diana berpikiran dengan terputusnya komunikasi dengan Richard maka dia dapat move on. Namun ternyata tidak. Diana malah semakin merindukan lelaki itu.Beberapa kali Diana melihat Richard di sekitar kantornya sedang memotret, namun Diana urung menegurnya. Selain itu, Richard selalu pergi sebelum Diana berhasil mendekatinya. Hal itu membuat hatinya kecewa. Diana terus mencoba mengabaikan perasaannya namun wajah Richard selalu masuk ke pikiran Diana. Kemanapun Diana pergi, bayangan Richard selalu ada di pelupuk matanya. Diana sampai berpikiran mungkin dia sudah gila.Saat malam pun, Diana sering memandang foto dalam akun sosial medianya ketika dirinya dan Richard jalan bersama di Jogja beberapa waktu lalu. Dia masih ingat betul perasaannya kala itu. Perasaan dimana seolah kesedihan sirna dari muka bumi. Memori