Share

Bab 4

Penulis: shimizudani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hari ini mungkin menjadi hari tersibuk bagi Gita. Bagaimana tidak? Ini hari pernikahannya! 

Siapa yang tak sibuk mempersiapkan hari spesial seperti ini? Tak terkecuali Gita. Apalagi, pernikahannya dilaksanakan secara mendadak. Oh, dia hebat karena masih sanggup menjaga kewarasannya. 

"Selesai." 

Suara itu seolah-olah memerintahkan kedua matanya untuk membuka setelah beberapa saat hanya memandang kegelapan. Dan saat dia perlahan menggerakkan kelopak matanya, sesosok wanita cantik menyapanya. 

Wanita itu berambut hitam sedagu yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak ikal dan ber-volume. Bagian kiri rambutnya sengaja disematkan ke belakang telinga untuk kemudian diberikan hairpin cantik di sana. Sedangkan sisi kanan dibiarkan begitu saja sehingga memberikan kesan dewasa dan elegan. 

Hal itu didukung dengan pemilihan makeup yang simple dan natural. Riasannya cuma menonjolkan fitur wajahnya dan menunjukkan versi terbaik darinya tanpa kesan berlebihan. Yang terlihat paling bold, mungkin, adalah warna bibirnya. Bibirnya berwarna merah bata yang berhasil mengaburkan kesederhanaan riasannya. 

Itu adalah dirinya. Gita. 

"Kamu cantik sekali!" Puji sang MUA. Dia berdiri di belakang Gita dan mengamati hasil kerjanya kepada kliennya. 

"Makasih. Pekerjaanmu juga bagus. Aku suka." Gita menanggapi dengan senyum masih di bibirnya. 

"Terima kasih. Kamu pasti menjadi pengantin wanita tercantik hari ini." Sang MUA membalas senyumnya. "Oke, sepertinya ini waktunya untukmu berganti pakaian. Gaun pengantinmu sudah menunggu." Dia mengakhiri kegiatan mengaguminya dan mengingatkan Gita untuk segera bersiap-siap. Dia dituntut bekerja cepat hari ini. 

"Oh, ya. Ya." Gita merespons bak orang linglung. Dia dipaksa mengganti fokusnya ketika dia baru saja mulai menatap sosok asing namun tak asing di hadapannya. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain sebab harinya di hari ini sangat hectic. Lebih baik dia duduk santai saat semua persiapan telah selesai. 

Gita beranjak dari duduknya dan bersiap dengan aktivitas selanjutnya. Mengenakan gaun pengantinnya. 

Maka, beberapa menit selanjutnya, dia habiskan dengan waktu memakai gaun selutut itu. Ya, dia sengaja memilih gaun yang panjangnya hanya melewati lutut, bukan menutupinya sampai mata kaki dengan ekor panjang di bagian belakang. Itu terlalu merepotkan untuk pernikahan dadakannya. Lagian, hanya akan ada sedikit orang yang menghadiri upacara pernikahannya. Dan tidak akan ada pesta, tapi sebagai gantinya adalah makan malam keluarga. 

Itu rencananya. 

"Wow, kamu cantik sekali, Git!" Pujian itu datang dari Kirana, sepupu Rangga yang pagi tadi turut menangkap basah dirinya bergumul dengan Rangga. Oh, kejadian itu benar-benar memalukan! Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah ketahuan dalam kondisi tersebut. 

"Makasih. Kamu juga cantik pakai gaun itu," puji Gita ketika mendapati Kirana mengenakan gaun panjang yang terlihat jatuh dan cantik di tubuhnya. Kirana memilih gaun yang berwarna pink lembut dan tampak sempurna di kulit putihnya. 

"Aku selalu cantik," gurau Kirana seraya berjalan menghampiri Gita. Senyumnya terulas hingga dia sampai di sebelah Gita dan kemudian berganti menjadi serius. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu? Nggak ada jalan kembali setelah ini." Itu merupakan pertanyaan klasik yang mungkin ditanyakan kepada calon pengantin sebelum hari pernikahan. Bagi Gita, itu ditanyakan di hari H. 

"Menurutmu, bagaimana kalau seandainya aku menjawab tidak?" Gita balik bertanya. Dia membayangkan situasi tersebut, namun ada terlalu banyak jawaban. 

Kirana menggumam pelan memikirkannya. "Yang pasti, pernikahan ini nggak akan terjadi hari ini." 

"Tapi, pernikahan ini mungkin tetap terjadi. Benar, kan?" sanggah Gita cepat. Balasan Kirana tidak memuaskannya. Ada banyak makna di balik kalimatnya. 

Desahan pelan keluar dari bibir Kirana. "Nenekku adalah orang yang teguh. Nenek sulit mengubah keputusannya." 

"Dan artinya, aku nggak akan terlepas dari ini. Aku akan tetap menjadi calon istri Rangga," simpul Gita. Melihat bagaimana Nenek langsung memutuskan soal pernikahan ini, sebenarnya, sudah memberi sedikit gambaran bagaimana masa depannya. Dia tidak mungkin mudah lepas dari nasib tak terduga ini. 

"Sayangnya, iya. Nenek akan mengejarmu sampai kamu setuju atau kasih alasan kuat untuk menolak." 

Dan Gita tertawa kecil mendengarnya. Itu bukan kabar baik tapi dia tidak sanggup menahannya. 

"Apa yang lucu?" tanya Kirana bingung. 

"Nggak. Aku cuma menertawakan diriku sendiri karena nggak tahu gimana harus bereaksi di situasi seperti ini." 

"Mereka biasanya frustasi atau meledak-ledak menghadapi keadaan ini." 

Ya, seharusnya demikian. Mungkin, hal ini menghantam Gita terlalu keras sehingga otaknya tak mampu bekerja dengan benar. Dia tiba-tiba akan menikah! 

"Entahlah. Otakku rasa-rasanya seperti macet." 

Tatapan Kirana melembut. Dia kasihan atas nasib Gita tapi tak sanggup berbuat banyak soal hal ini. "Maafin aku, ya, Git. Aku nggak bisa membujuk nenekku. Aku cuma bisa menawarkan diriku sendiri menjadi temanmu," sesalnya. 

Sebuah senyuman menghiasi bibir Gita. Dia lantas menggenggam tangan Kirana. "Nggak apa-apa. Walaupun situasi ini masih membingungkan untukku, aku yakin sanggup menghadapinya. Hanya saja, janji satu hal sama aku. Kita akan keluar, jalan-jalan, dan bersenang-senang bersama-sama. Aku benar-benar berharap kita bisa menjadi sahabat baik." 

Kirana membalas senyumnya. "Tentu aja. Aku senang punya sahabat sepertimu." 

Dan begitulah pertemanan mereka terbentuk. 

"Kalian berdua kelihatan cocok bersama." Tiba-tiba, suara berat terdengar dan mencuri perhatian mereka. Itu adalah Rangga. Dia tengah berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan dua wanita yang saling berhadapan dan menggenggam tangan itu. 

"Apa yang ingin kamu lihat? Kami bertengkar?" sahut Kirana sarkatis. Umur mereka tidak berbeda terlalu jauh dengan Rangga yang hanya tiga tahun lebih tua darinya. Jadi, percakapan seperti ini sudah biasa mereka lakukan. Yah, seperti hubungan saudara pada umumnya. 

Rangga mulai berjalan menghampiri mereka. "Aku dengar wanita sering bertengkar saat ketemu." 

"Haruskah kita bertengkar?" Kirana bertanya kepada Gita. 

Gita tertawa. Dia tahu itu hanya gurauan. "Aku nggak suka bertengkar. Aku lebih suka diam saja." 

"Oh, berarti kamu tipe yang suka perang dingin." 

Rangga sampai di hadapan mereka. Dia menatap Gita lalu berganti ke Kirana. "Kamu bisa kasih kami waktu bicara berdua?" 

Kirana tahu pertanyaan itu ditujukan kepadanya, jadi dia menjawab, "Oke. Aku tunggu kalian berdua di lobi." Kemudian, dia memberikan senyumnya kepada Gita sebelum berlalu meninggalkan ruangan. 

Kemudian, tersisa dua orang yang tampak canggung di sana. 

"Hai." Bahkan kata pertama Rangga dimulai dalam kecanggungan. 

"Hai." Dan dijawab dengan cara yang sama oleh Gita. Canggung. 

Setelahnya, hening. Situasi ini benar-benar berbeda dari pertemuan mereka semalam atau pagi tadi. 

Rangga tampak ragu-ragu untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Tetapi, akhirnya, dia melakukannya. "Aku minta maaf sudah buat kamu dalam posisi ini." Dia mulai mengujarkannya. "Aku benar-benar tak menyangka Nenek akan mengajukan ide ini." Tatapannya penuh penyesalan. Gita tidak bersalah dalam hal ini, tidak seperti dirinya yang telah mengetahui karakter neneknya. 

Gita memandang lurus ke dalam mata Rangga. Pria itu memiliki mata cokelat yang tidak terlalu gelap dan tampak cerah di siang hari. "Aku juga pelaku di sini. Aku setuju dengan usulan pernikahan dari nenekmu." 

Rangga segera menggelengkan kepalanya. "Nggak. Situasi ini terjadi karena aku salah memperkirakan satu hal penting. Jadi, ini sepenuhnya kesalahanku." 

Ini sulit. Ketika dua orang saling menyalahkan diri mereka sendiri untuk sesuatu yang terjadi kepada mereka, hal ini tidak akan pernah berakhir. 

Gita memikirkan hal lain untuk mengakhiri topik tak berujung ini. "Lalu, apa kamu bisa janji satu hal kepadaku? Kita akan bekerja sama untuk membuat pernikahan ini berhasil. Kita bisa mulai sebagai teman lalu berbagi semuanya bersama." Dia mengutarakan idenya. "Gimana menurutmu?" Dia menatap Rangga dalam dengan penuh pengharapan. Jika mereka tidak bisa mengatur pernikahan ini, mereka bisa menentukan nasib kehidupan pernikahan mereka. 

Rangga terdiam namun ekspresinya menunjukkan dia sangat terpesona kepada Gita. Atau kata-katanya. "Wonderful." Dia mengucapkan apa pun kata pertama yang terlintas dalam benaknya. Dia lalu memaksa fokusnya kembali kepada lawan bicaranya. "Kelihatannya akan sangat menyenangkan memiliki hubungan seperti itu dalam pernikahan kita." 

"Gimana soal janjimu?" 

"Apa kamu bisa melakukan hal yang sama?" 

"Tentu saja. Ini pernikahan kita. Kita mesti melakukannya bersama-sama atau nggak pernah melakukannya sama sekali." 

"Oke, aku kasih janjiku. Aku berjanji untuk menjadi sahabatmu dalam pernikahan kita." 

Mereka berdua saling mengulas senyum. Kali ini, dalam suasana yang lebih santai. Hanya satu yang tersisa sebagai sumber kegugupan keduanya.

Prosesi pernikahan mereka. 

Bab terkait

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 5

    "Ya, saya berjanji." Gita mengujarkannya sembari menatap lurus mata cokelat Rangga. Itu merupakan kalimat yang sama yang juga Rangga ucapkan sebelumnya. Sebuah janji dalam ketenangan yang berusaha mereka tunjukkan meski mata mereka tidak mampu menutupi kegugupan masing-masing. Tetapi, tatapan mereka seolah-olah saling menenangkan dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, hal itulah yang memang dibutuhkan Gita saat ini. "Sekarang, saya telah meresmikan kalian berdua sebagai sepasang suami dan istri. Semoga pernikahan kalian selalu diberkahi dengan kebahagiaan hingga kalian menua." Sang penghulu mengakhiri akad pernikahan dengan sebuah peresmian. Itulah akhir dari proses sakral dalam pernikahan, yang akhirnya, selesai mereka lalui. "Pengantin pria diperbolehkan untuk mencium pengantin wanita." Dan sebuah penutup manis. Ciuman. Rangga tampak ragu. Dalam situasi seperti ini, biasanya, pengantin pria akan mencium bibir si pengantin wanita, bukan? Tapi entah kenapa, dia meras

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 6

    Sialan! Tidak ada kata lain yang tepat untuk menggambarkan apa yang Gita rasakan selain itu. Sialan! Dia harus merutuki dirinya sendiri akibat bangun hampir kesiangan. Atau sesungguhnya, dia sudah kesiangan. Dia bangun setengah jam setelah alarm-nya berbunyi meski dia telah dengan sengaja menyetelnya lebih awal. Dia seharusnya sudah sampai di hotel pukul enam pagi. Dia menuliskan sesuatu di kertas lalu menempelkannya di sebuah gaun ungu. Sementara itu, dia segera mengambil gaun abu-abu yang tergantung di sebelahnya, sepatu heels berwarna senada, dan tasnya kemudian melesat keluar dari apartemennya. Dia bahkan berlari menuruni tangga. "Makasih sudah mau mengantarkanku," ujarnya setelah duduk di mobil dan menutup pintunya. "Pakai dulu sabuk pengamannya," perintah pria di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Dia melihat Gita selesai memasang sabuk pengaman lantas mulai menjalankan sedannya. "Makasih sudah mau mengantarkanku." Gita membuka obrolan dengan kalimat yang

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 7

    "Mereka berdua merupakan sahabatku, dan aku berharap kebahagiaan mereka akan berlangsung selamanya." Gita menutup pernyataannya dengan sebuah senyum tulus kepada dua sahabatnya yang berada di depan dan menjadi pusat perhatian pesta ini. Dia mengangkat gelasnya, menunjukkan gestur untuk mengajak mereka bersulang."Makasih banyak, Git. Aku juga berharap kamu akan bertemu seseorang yang bisa buat kamu bahagia," balas Dela lalu mengangkat gelasnya. Mereka meminum minuman mereka dalam posisinya masing-masing. Gita kembali duduk setelah menyelesaikan tugas pentingnya. Hembusan napas lega keluar dari bibirnya mengingat semua berjalan sesuai rencana. "Kamu beneran nggak apa-apa, Kak?" bisik Andin di sebelah Gita seraya menggenggam tangannya. Ya, dia tahu mengenai perasaan kakak satu-satunya itu kepada Lukman. Dan dia sangat tahu kegugupan Gita bukan hanya soal acara pernikahan mereka melainkan juga ketakutannya untuk menghadapi Dela dan Lukman. Karena itulah dia selalu memperhatikan Gita da

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 8

    "Kamu suka macaron?" Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron? "Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya. Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita. Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya."Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sah

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 9

    Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. "Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembar

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 10

    Setelah melewati hari-hari yang melelahkan--pernikahannya dan pernikahan sahabatnya--akhirnya, Gita kembali dengan rutinitas membosankannya. Dia harus kembali bekerja, dan ini hari pertamanya bertemu dengan Farah Kusuma, artis yang akan dia urus. Tentu, dia tidak sendiri. Ada dua orang lain yang bersamanya untuk menjadi asistennya. Dan pertemuan ini selain mengenai perkenalan juga akan membahas tentang job desk untuk tiap-tiap asistennya. "Gita akan menjadi manager yang mengurus pekerjaan Farah dan kontrak dengan rekanan." Jenny, sang CEO, mulai membagikan tugas-tugas para asisten setelah perkenalan dan basa-basi singkat. "Sedangkan yang lain akan membantu Gita dengan tugas-tugas yang lain," lanjutnya. Dia memutuskan demikian sebab Gita yang paling berpengalaman dibandingkan dua orang lainnya. Farah hanya melihat sekilas tiga asisten barunya, Gita, Raya, dan Bagas, lalu kembali pada Jenny. "Kamu yakin mereka pantas dipekerjakan?" Dia terdengar ragu-ragu dan meremehkan mereka bertiga

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 11

    [Aku lagi di jalan.] Gita seketika mempercepat sarapannya setelah membaca pesan dari Bagas. Dia menggigit roti panggangnya lalu segera beranjak untuk mengambil tasnya. Kemudian, dia kembali untuk membawa rotinya bersamanya keluar dari apartemen. Segera setelah dia menelan makanan di mulutnya, dia berlari memasuki lift yang dilihatnya dari kejauhan masih terbuka. Setelahnya, dia menunggu kedatangan Bagas di luar gedung apartemennya. Bagas baru saja kembali dari membeli bubur ayam untuk Farah. Ya, kalian tidak salah membacanya. Itu bubur ayam untuk Farah. Tiba-tiba saja, sang artis meminta asistennya membawakan bubur ayam saat mengunjunginya. Jika bukan karena ini hari penting, bukan hari audisi Farah, Gita pasti akan memarahi wanita itu. Membelikan bubur ayam sama sekali bukan tugasnya ataupun asisten lainnya. Setidaknya, bukan permintaan yang seperti itu. Bunyi klakson terdengar dan membuatnya menoleh. Itu mobil Bagas. Jadi, segera setelah mobil tersebut berhenti, Gita membuka p

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 12

    "Gita." Kirana memanggil nama Gita ketika wanita itu baru saja keluar dari bilik toilet. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya. "Ki," balas Gita seraya menghampirinya. Lalu mereka berpelukan dengan cepat. "Aku lagi untuk urusan pekerjaan." "Urusan pekerjaan?" Kirana membeo. "Tentang audisi." Sedetik kemudian, keterkejutan muncul di wajah Kirana mendengar jawaban Gita. "Kamu mau ikut audisi untuk Pembunuh?" "Bukan aku." Gita menggelengkan kepalanya cepat sembari tertawa kecil. Dirinya? Mengikuti audisi? Tidak mungkin. Dia tidak pernah berkeinginan menjadi selebriti. "Kamu ingat aku bekerja sebagai manajer artis, kan? Nah, artis yang kuurus sedang ikut audisi untuk Pembunuh." Kirana menganggukkan kepalanya paham. "Siapa artisnya?" "Farah Kusuma." Dan keterkejutan kedua tergambar di wajah Kirana. "Kamu bekerja untuknya?" tanyanya tak percaya. Tawa canggung keluar dari bibir Gita. Melihat reaksi lawan bicaranya, tampaknya Kirana sudah mendengar rumor tentang Farah. Ya, pasti begitu

Bab terbaru

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 130 - Epilog 2

    Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 129 - Epilog 1

    Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 128

    "Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 127

    Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 126

    "Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 125

    Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 124

    Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 123

    "Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc

  • Diam-Diam Menikahi Miliarder    Bab 122

    "Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me

DMCA.com Protection Status