"Ya, saya berjanji." Gita mengujarkannya sembari menatap lurus mata cokelat Rangga. Itu merupakan kalimat yang sama yang juga Rangga ucapkan sebelumnya. Sebuah janji dalam ketenangan yang berusaha mereka tunjukkan meski mata mereka tidak mampu menutupi kegugupan masing-masing. Tetapi, tatapan mereka seolah-olah saling menenangkan dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Ya, hal itulah yang memang dibutuhkan Gita saat ini.
"Sekarang, saya telah meresmikan kalian berdua sebagai sepasang suami dan istri. Semoga pernikahan kalian selalu diberkahi dengan kebahagiaan hingga kalian menua." Sang penghulu mengakhiri akad pernikahan dengan sebuah peresmian. Itulah akhir dari proses sakral dalam pernikahan, yang akhirnya, selesai mereka lalui. "Pengantin pria diperbolehkan untuk mencium pengantin wanita." Dan sebuah penutup manis. Ciuman.
Rangga tampak ragu. Dalam situasi seperti ini, biasanya, pengantin pria akan mencium bibir si pengantin wanita, bukan? Tapi entah kenapa, dia merasa tidak pantas melakukannya. Tidak, itu bukan soal kesungguhannya. Itu tentang bagaimana pernikahan mereka berjalan. Seharusnya, pernikahan mereka dimulai dengan sebuah cinta sehingga ciuman akan menjadi penutup yang sangat manis untuk melengkapi proses pernikahan mereka. Namun, pernikahannya jelas tidak begitu.
Maka, dia memutuskan untuk mengubahnya. Dia mencium dahi Gita, alih-alih bibirnya.
Tepat setelah ciuman berakhir, tepukan tangan terdengar, menggema dalam ruangan besar minim orang tersebut. Semua itu berasal dari tamu-tamunya atau lebih tepatnya, para saksi pernikahannya. Mereka hanyalah Nenek, Kirana, dan asisten mereka serta asisten Rangga. Seharusnya keluarganya juga hadir. Tapi, Nenek tidak sabar lagi. Lagian, pernikahannya sangat mendadak sehingga mereka tidak dapat langsung menghadirinya.
"Selamat, Sayang. Dan selamat datang di keluarga Adiwijaya." Nenek berkata seraya memeluk Gita. Itu pelukan yang hangat. Sehangat penerimaannya terhadap keluarga barunya. "Kamu dapat dukunganku. Jadi jangan khawatirkan hal lain." Suaranya terdengar menenangkan.
Gita tersenyum canggung. Dia masih tak tahu hal lain apa yang dimaksud Nenek. Tetapi, agaknya, Nenek mengerti sumber kecemasannya.
Keluarga Adiwijaya.
Ya, itu sama dengan nama hotel yang dikunjunginya semalam. Dan otaknya mampu dengan mudah menghubungkan segalanya. Mereka berasal dari keluarga Adiwijaya yang sama. Keluarga Adiwijaya pemilik puluhan bisnis di bawah Adiwijaya Corp dengan salah satunya yang menjadi orang terkaya di dunia, Rangga Adiwijaya.
Dan yang dinikahinya tak lain adalah sang milyuner.
"Makasih, Nek."
Sejujurnya dia tak tahu apakah tepat untuk mengatakan hal tersebut. Nenek mendukungnya sekaligus menjebaknya dalam situasi ini. Kedua hal itu sungguh berlawanan. Dan Rangga tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah Rangga Adiwijaya! Ini seperti bom kedua yang menjatuhinya.
Tetapi, bagian menegangkannya belum usai. Setelah kegugupan soal upacara pernikahannya, malamnya dia mesti mempersiapkan diri pada pertempuran yang sesungguhnya. Makan malam bersama dengan keluarga besar Adiwijaya. Tentu, orang tua Rangga akan hadir setelah menempuh perjalanan dari kota Surabaya.
"Kamu gugup?"
Pertanyaan Rangga seperti tidak ada gunanya. Siapa yang tak gugup dalam situasi seperti Gita? Dia akan bertemu mertuanya.
Tapi, dia beruntung Rangga mengerti dan menemaninya, bukannya ikut menyambut kedatangan keluarga besarnya. Dia sangat membutuhkan Rangga di sisinya. Hanya Rangga satu-satunya orang yang dapat diandalkannya.
Gita menganggukkan kepalanya. "Aku nggak pernah dikenalkan pada keluarga seseorang sebelumnya," jujurnya.
"Kapan terakhir kali kamu pacaran?"
Kegugupan Gita untuk sejenak berhenti untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Rangga. "Di SMA." Dia menyedihkan, bukan? Sepanjang hidupnya cuma mengidolakan Lukman sehingga menutup pintu bagi pria-pria yang pernah mendekatinya. Bahkan ketika Lukman mulai pacaran dengan Dela, dia masih tidak bisa berhenti mencintai Lukman. Makanya, ketika Lukman dan Dela memutuskan untuk menikah, dia menjadi limbung.
"Kenapa nggak coba dekat dengan seseorang?"
Gita menelan ludahnya dengan susah payah. Bukan tidak bisa, melainkan tidak mau. "Ada seseorang yang kusukai." Matanya meneduh kala mengatakannya.
Dan Rangga melihatnya. Dia juga melihat air mata yang menumpuk di pelupuk mata Gita. Cara wanita itu mengatakannya menunjukkan bahwa hal itu merupakan perasaan yang dalam. "Maaf."
Gita tersentak. Dia segera mengubah ekpresinya dan menolehkan kepalanya ke samping, hanya untuk menemukan Rangga menatapnya dalam penyesalan. Hal itu mengingatkannya pada percakapan mereka pagi tadi.
"Kamu seharusnya bisa hidup bahagia dengan orang itu, bukannya terjebak denganku dalam pernikahan ini." Rangga berkata lagi sebelum Gita merespons kalimat sebelumnya.
Gita memandang lekat wajah tampan pria di sampingnya. Dia pikir semua konglomerat itu sombong dan berperilaku buruk. Oh, dia punya beberapa pengalaman buruk tentang mereka. Menjadi asisten artis secara tidak langsung membuatnya mengenal dunia mereka. Dan itu justru membuatnya skeptis kepada mereka.
Tapi, Rangga mematahkan asumsinya. Rangga memiliki kelembutan yang jarang-jarang ditemuinya pada para konglomerat.
"Itu nggak mungkin terjadi. Dia akan menikah besok." Gita berusaha cuek saat mengatakannya meski itu tak sejalan dengan hatinya. Lukanya belum sembuh dan seolah-olah ditaburi garam. Namun, dia tidak mau membawa masalahnya dalam hubungan barunya dengan Rangga. Masalah ini merupakan sesuatu yang mesti diselesaikannya sendiri.
Rangga membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Tetapi kemudian, Gita mendahuluinya. "Jangan katakan apapun. Aku memang patah hati tapi aku baik-baik saja. Dan jangan khawatir. Aku pasti akan memenuhi janjiku."
Dengusan pelan dikeluarkan Rangga. Dia tampak tak suka dengan cara Gita yang berusaha untuk terlihat kuat. "Nggak usah memaksakan diri. Ini baru permulaan dalam pernikahan kita. Kamu bisa menangis jika memang membutuhkannya. Ingat, kita berjanji untuk berbagi semuanya, bukan?" Dia mengingatkan. Pernikahan yang Gita tawarkan bukan tentang saling menyembunyikan luka masing-masing tetapi membaginya untuk menyembuhkannya bersama.
Gita tersenyum melihat reaksi Rangga. Tidak. Dia bukan menertawakannya. Tapi dia merasa Rangga itu lucu dan manis di saat yang bersamaan. "Kamu benar-benar ingin pernikahan kita berhasil, ya?"
"Tentu saja. Aku selalu serius saat sudah memutuskan sesuatu."
Gita mengerti. Jadi, Rangga adalah pria yang memegang ucapannya.
"Aku bisa menemanimu besok."
"Nggak perlu," tolak Gita cepat. "Aku adalah pengiring pengantin wanita. Dan juga, situasi kita terlalu absurd untuk diceritakan."
Tetapi, rupanya, penjelasan Gita justru menghadirkan pertanyaan untuk Rangga sebab sebuah kerutan muncul di dahinya. "Tunggu. Kamu bilang kamu suka dengan si pengantin pria, benar?" Dia mengulang informasi yang diperolehnya. Itu tidak pas dengan kalimat terakhir Gita. Kenapa jadi pengantin wanita?
"Iya. Aku juga sahabat dari si pengantin wanita."
Anggukan paham ditunjukan Rangga. Semua menjadi masuk akal. "Kamu seperti cara mati," komentarnya.
Gita meringis. Rangga benar tentang hal tersebut. "Ya, begitulah. Aku memang menggali kuburanku sendiri."
Percakapan mereka tidak lagi berlanjut setelah orang yang mereka nantikan datang. Nenek dan Kirana muncul dari balik pintu dengan orang tua Dave dan beberapa orang lain. Kehadiran mereka seketika mengembalikan kegugupan Gita.
"Kamu pasti kebingungan pagi tadi. Maafkan Nenek. Nenek terkadang memang keterlaluan." Ibu Dave, berujar sembari memegang tangan Gita. Caranya mengatakannya dan perlakuannya tidak menunjukkan penolakan. Itu melegakan Gita dan menghilangkan kegugupan serta ketakutannya.
"Aku melakukan semua ini demi Rangga. Dia tidak bisa menyendiri selamanya." Nenek menimpali cepat. Dia duduk di ujung sekaligus menandakan dia-lah tetua dalam makan malam keluarga ini.
"Jangan-jangan Nenek berniat memaksaku menikah juga?" Kirana bergabung dalam obrolan itu. Sesuai urutan, dia-lah cucu tertua kedua setelah Rangga. Setelah Rangga menikah, selanjutnya adalah gilirannya. Benar?
"Kamu punya pacar. Jadi aku tidak terlalu khawatir. Beda dengan Rangga yang menjomlo lama."
Ya, Kirana memang memiliki kekasih. Pengusaha fashion asal Paris. Namun, itu bukan jaminan bahwa dia akan lolos dari sasaran Nenek. Bagaimana jika hubungannya dan sang kekasih berakhir? Apakah Nenek akan mulai menjodohkannya seperti yang dilakukannya kepada sepupu lelakinya yang malang itu?
"Dengar itu?" Rangga buka suara. Dia memandang para sepupunya yang duduk di hadapannya. Yang termuda masih berada di tahun pertama SMA. "Kalian mungkin bernasib sama sepertiku jika menjomblo lama." Itu jelas merupakan sindirannya atas apa yang terjadi kepadanya. Pernikahan mendadak. Mungkin, hanya dia yang mengalaminya.
"Ibu juga melakukannya kepadaku," ujar bibi Rangga. "Ibu nggak berhenti sampai aku menikah."
Sebuah kesimpulan dapat ditarik Gita. Pernikahan merupakan sesuatu yang wajib dalam keluarga ini.
"Hanya ibumu yang bisa bebas." Itu adalah paman Rangga.
"Dia menikah sebelum aku khawatir soal masa depannya."
Tidak ada jawaban. Semua orang seolah-olah tersekakmat oleh ucapan Nenek. Memang, pengaruhnya sangat besar di dalam keluarga ini.
"Setelah ini apa? Nenek ingin mereka punya anak?" Sepupu Rangga dengan enteng mengujarkannya. Padahal dua orang yang menjadi subjek pembicaraan tengah mendelik dan nyaris tersedak mendengarnya. Memiliki anak tidak pernah semudah mengatakannya.
Nenek menggumam tapi jelas menunjukkan ketertarikannya. "Bagus jika mereka segera punya anak. Tapi, aku tidak mau memburu mereka. Mereka butuh waktu untuk saling mengenal."
Rangga dan Gita mengembuskan napas lega. Itu kabar baik. Mereka tidak dapat menerima begitu saja jika Nenek menekannya dengan keinginan lainnya.
"Tapi, Gita, aku sungguh menantikan bayi dalam keluarga ini. Sudah lama aku tidak mendengar suara tawa bayi."
Atau tidak? Tidak ada kedamaian seperti itu dalam pernikahan Gita dan Rangga.
"Nenek!" seru Rangga kesal. Nenek tidak bisa meminta lebih dari ini. Terlebih kepada Gita. "Dia sudah mengabulkan permintaan Nenek. Jangan melunjak." Ya, dia tidak akan membiarkan Nenek mengganggu istrinya dengan permintaan lain.
Nenek menatap Rangga dan Gita penuh makna. Lalu, senyum lebar terulas di bibirnya. "Aku senang sekali lihat kamu sudah melindungi Gita seperti ini! Tenang. Aku tidak akan meminta lagi. Setidaknya, dalam setahun ini."
"Nenek!"
Sialan! Tidak ada kata lain yang tepat untuk menggambarkan apa yang Gita rasakan selain itu. Sialan! Dia harus merutuki dirinya sendiri akibat bangun hampir kesiangan. Atau sesungguhnya, dia sudah kesiangan. Dia bangun setengah jam setelah alarm-nya berbunyi meski dia telah dengan sengaja menyetelnya lebih awal. Dia seharusnya sudah sampai di hotel pukul enam pagi. Dia menuliskan sesuatu di kertas lalu menempelkannya di sebuah gaun ungu. Sementara itu, dia segera mengambil gaun abu-abu yang tergantung di sebelahnya, sepatu heels berwarna senada, dan tasnya kemudian melesat keluar dari apartemennya. Dia bahkan berlari menuruni tangga. "Makasih sudah mau mengantarkanku," ujarnya setelah duduk di mobil dan menutup pintunya. "Pakai dulu sabuk pengamannya," perintah pria di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Dia melihat Gita selesai memasang sabuk pengaman lantas mulai menjalankan sedannya. "Makasih sudah mau mengantarkanku." Gita membuka obrolan dengan kalimat yang
"Mereka berdua merupakan sahabatku, dan aku berharap kebahagiaan mereka akan berlangsung selamanya." Gita menutup pernyataannya dengan sebuah senyum tulus kepada dua sahabatnya yang berada di depan dan menjadi pusat perhatian pesta ini. Dia mengangkat gelasnya, menunjukkan gestur untuk mengajak mereka bersulang."Makasih banyak, Git. Aku juga berharap kamu akan bertemu seseorang yang bisa buat kamu bahagia," balas Dela lalu mengangkat gelasnya. Mereka meminum minuman mereka dalam posisinya masing-masing. Gita kembali duduk setelah menyelesaikan tugas pentingnya. Hembusan napas lega keluar dari bibirnya mengingat semua berjalan sesuai rencana. "Kamu beneran nggak apa-apa, Kak?" bisik Andin di sebelah Gita seraya menggenggam tangannya. Ya, dia tahu mengenai perasaan kakak satu-satunya itu kepada Lukman. Dan dia sangat tahu kegugupan Gita bukan hanya soal acara pernikahan mereka melainkan juga ketakutannya untuk menghadapi Dela dan Lukman. Karena itulah dia selalu memperhatikan Gita da
"Kamu suka macaron?" Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron? "Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya. Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita. Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya."Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sah
Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. "Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembar
Setelah melewati hari-hari yang melelahkan--pernikahannya dan pernikahan sahabatnya--akhirnya, Gita kembali dengan rutinitas membosankannya. Dia harus kembali bekerja, dan ini hari pertamanya bertemu dengan Farah Kusuma, artis yang akan dia urus. Tentu, dia tidak sendiri. Ada dua orang lain yang bersamanya untuk menjadi asistennya. Dan pertemuan ini selain mengenai perkenalan juga akan membahas tentang job desk untuk tiap-tiap asistennya. "Gita akan menjadi manager yang mengurus pekerjaan Farah dan kontrak dengan rekanan." Jenny, sang CEO, mulai membagikan tugas-tugas para asisten setelah perkenalan dan basa-basi singkat. "Sedangkan yang lain akan membantu Gita dengan tugas-tugas yang lain," lanjutnya. Dia memutuskan demikian sebab Gita yang paling berpengalaman dibandingkan dua orang lainnya. Farah hanya melihat sekilas tiga asisten barunya, Gita, Raya, dan Bagas, lalu kembali pada Jenny. "Kamu yakin mereka pantas dipekerjakan?" Dia terdengar ragu-ragu dan meremehkan mereka bertiga
[Aku lagi di jalan.] Gita seketika mempercepat sarapannya setelah membaca pesan dari Bagas. Dia menggigit roti panggangnya lalu segera beranjak untuk mengambil tasnya. Kemudian, dia kembali untuk membawa rotinya bersamanya keluar dari apartemen. Segera setelah dia menelan makanan di mulutnya, dia berlari memasuki lift yang dilihatnya dari kejauhan masih terbuka. Setelahnya, dia menunggu kedatangan Bagas di luar gedung apartemennya. Bagas baru saja kembali dari membeli bubur ayam untuk Farah. Ya, kalian tidak salah membacanya. Itu bubur ayam untuk Farah. Tiba-tiba saja, sang artis meminta asistennya membawakan bubur ayam saat mengunjunginya. Jika bukan karena ini hari penting, bukan hari audisi Farah, Gita pasti akan memarahi wanita itu. Membelikan bubur ayam sama sekali bukan tugasnya ataupun asisten lainnya. Setidaknya, bukan permintaan yang seperti itu. Bunyi klakson terdengar dan membuatnya menoleh. Itu mobil Bagas. Jadi, segera setelah mobil tersebut berhenti, Gita membuka p
"Gita." Kirana memanggil nama Gita ketika wanita itu baru saja keluar dari bilik toilet. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya. "Ki," balas Gita seraya menghampirinya. Lalu mereka berpelukan dengan cepat. "Aku lagi untuk urusan pekerjaan." "Urusan pekerjaan?" Kirana membeo. "Tentang audisi." Sedetik kemudian, keterkejutan muncul di wajah Kirana mendengar jawaban Gita. "Kamu mau ikut audisi untuk Pembunuh?" "Bukan aku." Gita menggelengkan kepalanya cepat sembari tertawa kecil. Dirinya? Mengikuti audisi? Tidak mungkin. Dia tidak pernah berkeinginan menjadi selebriti. "Kamu ingat aku bekerja sebagai manajer artis, kan? Nah, artis yang kuurus sedang ikut audisi untuk Pembunuh." Kirana menganggukkan kepalanya paham. "Siapa artisnya?" "Farah Kusuma." Dan keterkejutan kedua tergambar di wajah Kirana. "Kamu bekerja untuknya?" tanyanya tak percaya. Tawa canggung keluar dari bibir Gita. Melihat reaksi lawan bicaranya, tampaknya Kirana sudah mendengar rumor tentang Farah. Ya, pasti begitu
Gita menepikan mobilnya ke terminal kedatangan di bandara Soekarno Hatta. Dia di sana untuk menjemput suaminya. Ya, Rangga Adiwijaya baru saja kembali dari Surabaya. Tidak. Lebih tepatnya meninggalkan Surabaya sebab rumah Rangga dan juga perusahaan utamanya berada di kota tersebut. Rangga pergi ke Jakarta demi menemui Gita. "Hai, maaf sudah membuatmu menunggu," ujar Gita setelah menghentikan mobil dan menurunkan kaca jendelanya. Rangga telah berdiri di luar setelah Gita membuat lelaki itu menunggu selama setengah jam. Semua itu karena pekerjaannya. Dia mesti mengurusi tawaran iklan untuk Farah, dan itu berlangsung lebih lama dari dugaannya. Rangga sedikit menunduk dan memberikan senyumnya kepada sang istri. "It's okay, Git. Nggak seharusnya juga aku memintamu menjemputku saat kamu sibuk." Gita membuka mulutnya, hendak mengeluarkan bantahannya ketika Rangga berkata lagi. "Tolong buka bagasinya." Gita lalu teringat koper 20 inci di samping Rangga. Tadinya dia berniat membukanya s