"Kamu sudah tidur?" Gita mengubah posisi tidurnya dari telentang menjadi miring ke kiri sehingga dia dapat melihat lawan bicaranya dengan jelas. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktunya untuk tidur dan beristirahat.Seharusnya begitu.Rangga melirik ke arah Gita dan membalas, "Belum. Kenapa kamu belum tidur?" tanyanya balik. Setengah jam telah berlalu sejak mereka memutuskan untuk mengakhiri obrolan malam mereka dan bersiap-siap untuk tidur. Lalu, keheningan mengisi apartemen mungil tersebut. Tetapi rupanya, itu hanya wacana sebab mereka belum sampai ke dunia mimpi. "Nggak tahu. Rasanya sulit banget untuk tidur," aku Gita. Dia memiliki teori mengapa kondisi ini terjadi. Hal ini mungkin berkaitan keberadaan Rangga di sampingnya. Dia nyaris tidak pernah membawa laki-laki tidur di apartemennya. Hanya Lukman. Itu pun untuk merawatnya saat sedang sakit. "Karena aku?" tebak Rangga tepat sasaran. Atau tidak? Bagaimanapun itu cuma dugaannya saja. Dia tidak tahu alasan pastinya.
Kedua mata Gita bergerak-gerak gelisah seiring banyaknya suara-suara yang memasuki indra pendengarannya dan merusak tidur nyenyaknya. Tak lama kemudian, kelopak matanya membuka dan menampilkan manik kecokelatan di baliknya. Kedua matanya bergerak cepat mencari sumber suara dan yang ditemukannya tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Tentu saja. Hanya ada Rangga dan dirinya di rumahnya.Gita memaksa tubuhnya untuk bergerak agar menghilangkan rasa kantuk dan malas yang masih menggelayut manja. Lalu, dia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menghampiri sang suami. Rangga yang menyadari adanya pergerakan pun menoleh dan bertanya, "Aku bangunin kamu ya?" Dia sedang berkutat di dapur dengan kompor, teflon, sosis, dan telur. Ya, dia tengah membuat sarapan untuk mereka berdua. Gita menggumam seraya menggelengkan kepalanya. "Nggak. Lagian, ini sudah pagi." Dia menarik sebuah kursi kosong dan berniat untuk duduk di sana. Tetapi, dia teringat sesuatu. "Kamu butuh bantuan?" Gelengan cepat
"Jadi, mereka juga mau aku mempromosikannya di sosial mediaku?" tanya Farah sembari menatap malas lipstik di tangannya. Lalu senyum meremehkan tersungging di wajahnya dan tanpa peringatan dilemparkannya lipstik tersebut ke atas meja. "Kapan kamu bisa mendapatkan iklan dari brand-brand mewah untukku?" tanyanya lagi. Gita mengepalkan kedua tangannya, berusaha mengendalikan emosinya. Akhir pekannya sungguh-sungguh buruk karena harus menghadapi talent-nya yang amat menyebalkannya. Gita mengambil lipstik di atas meja kemudian merapikannya bersama makeup-makeup yang lain. "Kamu akan mendapatkannya segera. Untuk sekarang, ini yang mereka tawarkan untukmu," ujarnya dengan senyumnya. Ya, itu merupakan keramahan palsu andalannya. "Kamu selalu bilang begitu. Tapi kemana tawaran berhargaku?" Farah menatap tajam Gita, bermaksud mengintimidasinya. Tapi, Gita tidak akan sampai sejauh ini jika dirinya gampang terintimidasi. Dia terbiasa mendapatkan tatapan seperti itu ketika menawarkan talent-tal
Gita menjejakkan kakinya kesal saat menyadari kecerobohannya sendiri. Seharusnya dia tidak membiarkan Rangga memegang kunci mobilnya. Sedangkan dia tidak mungkin kembali ke kafe dan menemui mereka. Alasan apa yang akan diberikannya kepada Farah? Jadi dia memutuskan untuk berjalan ke mana pun kakinya membawa langkahnya. Dia mengambil rute ke barat menyusuri jalanan cukup ramai dan melewati deretan pertokoan, kafe, dan restoran. Lalu dia berbelok ke selatan. Di sini lebih sunyi dibandingkan jalan sebelumnya. Tetapi, ini masih di area pusat kota sehingga tempat ini tetaplah ramai. Tiba-tiba ponsel di tasnya kembali berdering. Bukan Jenny melainkan Rangga. "Halo," sapanya dengan intonasi sedikit keras. Rupanya kekesalan masih menguasainya. Aneh sekali. Kenapa dia bisa sekesal ini? "Kamu di mana?" tanya orang di seberang tanpa membalas sapaannya. Jadi, Gita berhenti untuk melihat sekelilingnya. "Di depan Blue Sky Gallery." Dia menyebutkan nama gedung di hadapannya. Itu merupakan sebua
"Itu siapa?" Rangga bertanya seraya membawa mobil yang mereka tumpangi keluar dari area pusat kota. Gita menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Kegugupan tiba-tiba menderanya. Padahal itu pertanyaan yang wajar. Rangga melihat Dewa dan dirinya tengah mengobrol meskipun tak sampai lima menit. Dan itu wajar sebab Rangga nyaris tak mengenal orang-orang di hidupnya selain keluarganya serta Lukman. Dia pun akan bereaksi serupa jika berada di posisinya. Itu seperti sebuah reaksi otomatis. Tapi, kenapa dia merasa seperti sedang tertangkah basah? "Aku mau jujur sama kamu." Akhirnya, Gita berucap sesuatu yang cukup mengejutkan Rangga. Bagaimana tidak? Pertanyaan sederhana itu berakhir menjadi sebuah pengakuan. Itu aneh, bukan? "Dela berniat menjodohkanku dengannya," lanjut Gita setelah menarik napas dalam. Dan usai mengatakannya, bebannya serasa hilang. "Kamu dan laki-laki tadi?" Itu respons pertama Rangga. Gita menganggukkan kepalanya, ragu. Tapi sadar Rangga tidak bisa melihatnya kare
"Kamu pasti sudah gila," ujar Gita usai mendudukkan dirinya di salah satu kursi kereta. Ya, kalian tidak salah membacanya. Gita dan Rangga mewujudkan ide dadakan pria itu setelah sebelumnya mereka berhenti untuk membeli makan siang sekaligus makan malam sebagai bekal perjalanan keduanya. Dan juga, camilan dan yang paling penting, makanan manis. Kali ini, mereka membeli brownies. Rangga tertawa di samping Gita usai meletakkan bawaan mereka ke bagasi atas kecuali makan siang yang hendak mereka nikmati. Tapi, apa lagi yang mereka bawa selain makanan? "Tapi kamu setuju. Jadi siapa yang lebih gila di sini?" sahutnya santai. "Kita sudah gila," simpul Gita, menganggukkan kepalanya yakin. Dia dan Rangga tidak jauh berbeda. Mereka sudah gila karena menyetujui ide dadakan ini. "See? Kita gila," tegas Rangga. Lalu dibukanya bungkusan makan siang mereka dan mengeluarkan isinya. Mereka membeli burger, kentang goreng, dan cola. "Ini. Kita makan dulu." Dia menyodorkan milik Gita kepada wanita i
"Aku bilang apa, kan? Kamu pasti kelelahan," tukas Gita saat melihat Rangga menguap lebar. Dia pun melihat kantuk di matanya. Itu pasti merupakan efek dari perjalanan panjang mereka."Nggak kok." "Bohong," cibir Gita. Siapa pun bisa melihat kebohongan tersebut. Rangga hanya bisa terkekeh mendapati tuduhan sang istri. Harus dia akui. Gita benar soal kelelahan. Badannya serasa remuk dan kedua matanya terasa berat meski dia telah tidur selama perjalanan mereka di kereta. Tampaknya, dia memang tak cocok melakukan perjalanan seperti ini. Ternyata sangat melelahkan. Tubuhnya tak kuat. "Nggak ada lain kali soal ini," ujar Gita lebih terdengar seperti sebuah perintah. Atau lebih tepatnya, larangan. Perjalanan seperti ini tak cocok untuk semua orang. "Kenapa? Seru kok," sahut Rangga. Meski lelah, dia bisa merasakan kedamaian seperti yang dia temukan di wajah istrinya. Hal ini membantunya untuk menjernihkan pikiran. Dan yang terpenting, perjalanan ini mendekatkan mereka sebab mereka terus
"Jadi, kamu akhirnya memutuskan untuk datang?""Aku nggak punya pilihan lain." Itu merupakan sepenggal percakapan antara Gita dan Rangga saat melakukan panggilan telepon rutin mereka. Tentu saja, Gita menceritakan perihal undangan Dela dan kemungkinan bahwa Dewa juga akan berada di sana. Itu merupakan hal yang tidak bisa disembunyikannya jika dia bertekad untuk memenuhi janjinya. "Kamu tahu kamu bisa menolaknya." Gita memutar kemudi ke kanan, memasuki jalanan menuju rumah Lukman. Rumah-rumah berjejer di kanan dan kiri jalan. Tapi kawasan itu cukup sepi mengingat area ini seperti apartemennya yang bukan berada di daerah pusat kota. "Bisa-bisa dia nanti datang ke apartemenku." Gita mengujarkan skenario terburuk yang mungkin terjadi jika dia tidak memenuhi undangan sahabat wanitanya itu. "Aku sangat kenal Dela. Dia nggak kenal kata menyerah." Dan dia tahu itu pasti akan terjadi. Dela tidak mudah menyerah. Dela akan terus mencoba, dalam berbagai cara, sampai dia tak tahan lagi dibuatn