Kedua mata Gita bergerak-gerak gelisah seiring banyaknya suara-suara yang memasuki indra pendengarannya dan merusak tidur nyenyaknya. Tak lama kemudian, kelopak matanya membuka dan menampilkan manik kecokelatan di baliknya. Kedua matanya bergerak cepat mencari sumber suara dan yang ditemukannya tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Tentu saja. Hanya ada Rangga dan dirinya di rumahnya.Gita memaksa tubuhnya untuk bergerak agar menghilangkan rasa kantuk dan malas yang masih menggelayut manja. Lalu, dia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menghampiri sang suami. Rangga yang menyadari adanya pergerakan pun menoleh dan bertanya, "Aku bangunin kamu ya?" Dia sedang berkutat di dapur dengan kompor, teflon, sosis, dan telur. Ya, dia tengah membuat sarapan untuk mereka berdua. Gita menggumam seraya menggelengkan kepalanya. "Nggak. Lagian, ini sudah pagi." Dia menarik sebuah kursi kosong dan berniat untuk duduk di sana. Tetapi, dia teringat sesuatu. "Kamu butuh bantuan?" Gelengan cepat
"Jadi, mereka juga mau aku mempromosikannya di sosial mediaku?" tanya Farah sembari menatap malas lipstik di tangannya. Lalu senyum meremehkan tersungging di wajahnya dan tanpa peringatan dilemparkannya lipstik tersebut ke atas meja. "Kapan kamu bisa mendapatkan iklan dari brand-brand mewah untukku?" tanyanya lagi. Gita mengepalkan kedua tangannya, berusaha mengendalikan emosinya. Akhir pekannya sungguh-sungguh buruk karena harus menghadapi talent-nya yang amat menyebalkannya. Gita mengambil lipstik di atas meja kemudian merapikannya bersama makeup-makeup yang lain. "Kamu akan mendapatkannya segera. Untuk sekarang, ini yang mereka tawarkan untukmu," ujarnya dengan senyumnya. Ya, itu merupakan keramahan palsu andalannya. "Kamu selalu bilang begitu. Tapi kemana tawaran berhargaku?" Farah menatap tajam Gita, bermaksud mengintimidasinya. Tapi, Gita tidak akan sampai sejauh ini jika dirinya gampang terintimidasi. Dia terbiasa mendapatkan tatapan seperti itu ketika menawarkan talent-tal
Gita menjejakkan kakinya kesal saat menyadari kecerobohannya sendiri. Seharusnya dia tidak membiarkan Rangga memegang kunci mobilnya. Sedangkan dia tidak mungkin kembali ke kafe dan menemui mereka. Alasan apa yang akan diberikannya kepada Farah? Jadi dia memutuskan untuk berjalan ke mana pun kakinya membawa langkahnya. Dia mengambil rute ke barat menyusuri jalanan cukup ramai dan melewati deretan pertokoan, kafe, dan restoran. Lalu dia berbelok ke selatan. Di sini lebih sunyi dibandingkan jalan sebelumnya. Tetapi, ini masih di area pusat kota sehingga tempat ini tetaplah ramai. Tiba-tiba ponsel di tasnya kembali berdering. Bukan Jenny melainkan Rangga. "Halo," sapanya dengan intonasi sedikit keras. Rupanya kekesalan masih menguasainya. Aneh sekali. Kenapa dia bisa sekesal ini? "Kamu di mana?" tanya orang di seberang tanpa membalas sapaannya. Jadi, Gita berhenti untuk melihat sekelilingnya. "Di depan Blue Sky Gallery." Dia menyebutkan nama gedung di hadapannya. Itu merupakan sebua
"Itu siapa?" Rangga bertanya seraya membawa mobil yang mereka tumpangi keluar dari area pusat kota. Gita menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Kegugupan tiba-tiba menderanya. Padahal itu pertanyaan yang wajar. Rangga melihat Dewa dan dirinya tengah mengobrol meskipun tak sampai lima menit. Dan itu wajar sebab Rangga nyaris tak mengenal orang-orang di hidupnya selain keluarganya serta Lukman. Dia pun akan bereaksi serupa jika berada di posisinya. Itu seperti sebuah reaksi otomatis. Tapi, kenapa dia merasa seperti sedang tertangkah basah? "Aku mau jujur sama kamu." Akhirnya, Gita berucap sesuatu yang cukup mengejutkan Rangga. Bagaimana tidak? Pertanyaan sederhana itu berakhir menjadi sebuah pengakuan. Itu aneh, bukan? "Dela berniat menjodohkanku dengannya," lanjut Gita setelah menarik napas dalam. Dan usai mengatakannya, bebannya serasa hilang. "Kamu dan laki-laki tadi?" Itu respons pertama Rangga. Gita menganggukkan kepalanya, ragu. Tapi sadar Rangga tidak bisa melihatnya kare
"Kamu pasti sudah gila," ujar Gita usai mendudukkan dirinya di salah satu kursi kereta. Ya, kalian tidak salah membacanya. Gita dan Rangga mewujudkan ide dadakan pria itu setelah sebelumnya mereka berhenti untuk membeli makan siang sekaligus makan malam sebagai bekal perjalanan keduanya. Dan juga, camilan dan yang paling penting, makanan manis. Kali ini, mereka membeli brownies. Rangga tertawa di samping Gita usai meletakkan bawaan mereka ke bagasi atas kecuali makan siang yang hendak mereka nikmati. Tapi, apa lagi yang mereka bawa selain makanan? "Tapi kamu setuju. Jadi siapa yang lebih gila di sini?" sahutnya santai. "Kita sudah gila," simpul Gita, menganggukkan kepalanya yakin. Dia dan Rangga tidak jauh berbeda. Mereka sudah gila karena menyetujui ide dadakan ini. "See? Kita gila," tegas Rangga. Lalu dibukanya bungkusan makan siang mereka dan mengeluarkan isinya. Mereka membeli burger, kentang goreng, dan cola. "Ini. Kita makan dulu." Dia menyodorkan milik Gita kepada wanita i
"Aku bilang apa, kan? Kamu pasti kelelahan," tukas Gita saat melihat Rangga menguap lebar. Dia pun melihat kantuk di matanya. Itu pasti merupakan efek dari perjalanan panjang mereka."Nggak kok." "Bohong," cibir Gita. Siapa pun bisa melihat kebohongan tersebut. Rangga hanya bisa terkekeh mendapati tuduhan sang istri. Harus dia akui. Gita benar soal kelelahan. Badannya serasa remuk dan kedua matanya terasa berat meski dia telah tidur selama perjalanan mereka di kereta. Tampaknya, dia memang tak cocok melakukan perjalanan seperti ini. Ternyata sangat melelahkan. Tubuhnya tak kuat. "Nggak ada lain kali soal ini," ujar Gita lebih terdengar seperti sebuah perintah. Atau lebih tepatnya, larangan. Perjalanan seperti ini tak cocok untuk semua orang. "Kenapa? Seru kok," sahut Rangga. Meski lelah, dia bisa merasakan kedamaian seperti yang dia temukan di wajah istrinya. Hal ini membantunya untuk menjernihkan pikiran. Dan yang terpenting, perjalanan ini mendekatkan mereka sebab mereka terus
"Jadi, kamu akhirnya memutuskan untuk datang?""Aku nggak punya pilihan lain." Itu merupakan sepenggal percakapan antara Gita dan Rangga saat melakukan panggilan telepon rutin mereka. Tentu saja, Gita menceritakan perihal undangan Dela dan kemungkinan bahwa Dewa juga akan berada di sana. Itu merupakan hal yang tidak bisa disembunyikannya jika dia bertekad untuk memenuhi janjinya. "Kamu tahu kamu bisa menolaknya." Gita memutar kemudi ke kanan, memasuki jalanan menuju rumah Lukman. Rumah-rumah berjejer di kanan dan kiri jalan. Tapi kawasan itu cukup sepi mengingat area ini seperti apartemennya yang bukan berada di daerah pusat kota. "Bisa-bisa dia nanti datang ke apartemenku." Gita mengujarkan skenario terburuk yang mungkin terjadi jika dia tidak memenuhi undangan sahabat wanitanya itu. "Aku sangat kenal Dela. Dia nggak kenal kata menyerah." Dan dia tahu itu pasti akan terjadi. Dela tidak mudah menyerah. Dela akan terus mencoba, dalam berbagai cara, sampai dia tak tahan lagi dibuatn
"Kamu tahu, Dewa. Gita nggak bisa masak loh." Sontak, kepala Gita menoleh ke arah Dela segera setelah dia mendengar ucapan wanita itu. Alisnya bertaut, bingung kenapa tiba-tiba sahabatnya membahas perihal tersebut. "Dia pernah goreng ikan sampai gosong, bikin mie rebus tapi kebanyakan air, lupa kasih garam dan lada saat memanggang steak, dan banyak lagi." Dela menyebutkan beberapa contoh aibnya di dunia masak-memasak sebelum Gita dapat bereaksi pada pernyataannya sebelumnya. Oke. Gita akan mengakui bahwa kemampuan memasaknya adalah sangat biasa saja. Dan ya, dia pernah melakukan semua yang disebutkan Dela. Dia tidak terbiasa mengolah ikan jadi dia tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk membaliknya. Alhasil, dia jadi terlalu cepat melakukannya sehingga ikannya hancur. Untuk mie rebus, dia hanya menambahkan air sedikit lebih banyak dari yang seharusnya. Dan hasilnya tidak terlalu buruk selain rasanya menjadi lebih hambar. Terakhir soal steak, itu memang kesalahan Gita. Dia ingat ha
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me