Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Apakah memang begini rasanya patah hati? Gita merasakan kesedihan tak berujung dan kemauan menjalani hari-hari yang hampir tak ada. Belum lagi air mata yang seperti hujan, tak tertahan untuk turun. Namun, itu tak sebanding dengan kenyataan yang memaksanya untuk terus bertemu sumber sakitnya. Rasa-rasanya, dia ingin menghilang saja. Kalau bisa, dia pasti akan melakukannya. Sayangnya, dia tidak dapat melakukannya begitu saja. Menyerah cuma karena pria rasa-rasanya tidak benar. Nyatanya, dia mampu bertahan selama ini. Ini hanyalah bagian lain dari fase patah hatinya. Tetapi, benarkah? Kenapa ini terasa sangat sakit? "Kamu nggak makan?" Sebuah suara samar memasuki telinganya. Dia mendengarnya, atau dia rasa dia mendengarnya. Itu agak membingungkan karena otak dan tubuhnya sedang tidak sinkron. Dia bahkan tidak yakin sungguh-sungguh mendengarnya. Suara-suara di sekitarnya terdengar sama. Tak jelas. "Gita." Jika yang pertama adalah suara pria, yang kedua adalah suara wanita. Du
Gita tidak langsung pulang setelahnya. Dia memutuskan untuk mendatangi bar terdekat usai dirinya menolak untuk naik mobil mereka--Lukman dan Dela. Tentu saja. Mereka mengajaknya menonton di bioskop, dan jelas dia tidak mau menjadi pengganggu. Lebih tepatnya, dia tidak bisa melihat kemesraan mereka berdua. Itu sungguh akan sangat keterlaluan. Lagi pula, dia mesti mempersiapkan hatinya untuk patah hati yang sesungguhnya. Jadi, dia berbohong tentang ingin langsung pulang. Dia hendak menikmati waktu liburnya sebelum tumpukan jadwal merusak kehidupannya. Satu hal lagi. Dia butuh untuk merawat tubuhnya untuk hari bahagia mereka. Ya, dia akan menjadi bridesmaid sang pengantin wanita. Dan sebagai sahabat Dela, dia juga harus menyampaikan kesan tentang sahabatnya itu. Sungguh, tugas yang berat. Untungnya, mereka tidak memaksanya. Dia harus berterima kasih kepada Lukman karena mencegah dirinya mengiringi pengantin wanita sebelum hari pernikahan. Sialnya, aksi itu semakin memantik rasa hanga
Gita merasakan sebuah tangan terselip di bawah tubuhnya, lalu tangan lain berlabuh di atas perutnya. Selanjutnya, dia merasakan tubuhnya bergerak seolah-olah ditarik ke arah sang pemilik tangan, membuat tubuh mereka kembali saling bersentuhan erat. Meski matanya masih terpejam, tapi pergerakan itu berhasil membangunkannya dan menyadarkannya akan di mana dirinya. Dia dalam pelukan Rangga, pria yang baru ditemuinya semalam. Gita tersenyum tipis kala ingatan semalam memasuki benaknya. Obrolan panjang ditemani wiski dan berakhir dengan tidur bersama. Yeah, bukan akhir yang aneh, sebenarnya. Kenyamanan memunculkan keinginan. Itu hal yang lumrah bagi sesama dewasa. Gita menggerakkan tubuhnya ke belakang agar semakin menempel dengan tubuh liat di belakangnya. Namun, baru saja kenyamanan diperolehnya, tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka. "Apa yang kalian lakukan?" Bak gelegar petir, pertanyaan itu mengagetkan dua orang yang masih bergumul di atas kasur dan memaksa mata mereka terbuka
Hari ini mungkin menjadi hari tersibuk bagi Gita. Bagaimana tidak? Ini hari pernikahannya! Siapa yang tak sibuk mempersiapkan hari spesial seperti ini? Tak terkecuali Gita. Apalagi, pernikahannya dilaksanakan secara mendadak. Oh, dia hebat karena masih sanggup menjaga kewarasannya. "Selesai." Suara itu seolah-olah memerintahkan kedua matanya untuk membuka setelah beberapa saat hanya memandang kegelapan. Dan saat dia perlahan menggerakkan kelopak matanya, sesosok wanita cantik menyapanya. Wanita itu berambut hitam sedagu yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak ikal dan ber-volume. Bagian kiri rambutnya sengaja disematkan ke belakang telinga untuk kemudian diberikan hairpin cantik di sana. Sedangkan sisi kanan dibiarkan begitu saja sehingga memberikan kesan dewasa dan elegan. Hal itu didukung dengan pemilihan makeup yang simple dan natural. Riasannya cuma menonjolkan fitur wajahnya dan menunjukkan versi terbaik darinya tanpa kesan berlebihan. Yang terlihat paling bold, mung
"Ya, saya berjanji." Gita mengujarkannya sembari menatap lurus mata cokelat Rangga. Itu merupakan kalimat yang sama yang juga Rangga ucapkan sebelumnya. Sebuah janji dalam ketenangan yang berusaha mereka tunjukkan meski mata mereka tidak mampu menutupi kegugupan masing-masing. Tetapi, tatapan mereka seolah-olah saling menenangkan dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, hal itulah yang memang dibutuhkan Gita saat ini. "Sekarang, saya telah meresmikan kalian berdua sebagai sepasang suami dan istri. Semoga pernikahan kalian selalu diberkahi dengan kebahagiaan hingga kalian menua." Sang penghulu mengakhiri akad pernikahan dengan sebuah peresmian. Itulah akhir dari proses sakral dalam pernikahan, yang akhirnya, selesai mereka lalui. "Pengantin pria diperbolehkan untuk mencium pengantin wanita." Dan sebuah penutup manis. Ciuman. Rangga tampak ragu. Dalam situasi seperti ini, biasanya, pengantin pria akan mencium bibir si pengantin wanita, bukan? Tapi entah kenapa, dia meras
Sialan! Tidak ada kata lain yang tepat untuk menggambarkan apa yang Gita rasakan selain itu. Sialan! Dia harus merutuki dirinya sendiri akibat bangun hampir kesiangan. Atau sesungguhnya, dia sudah kesiangan. Dia bangun setengah jam setelah alarm-nya berbunyi meski dia telah dengan sengaja menyetelnya lebih awal. Dia seharusnya sudah sampai di hotel pukul enam pagi. Dia menuliskan sesuatu di kertas lalu menempelkannya di sebuah gaun ungu. Sementara itu, dia segera mengambil gaun abu-abu yang tergantung di sebelahnya, sepatu heels berwarna senada, dan tasnya kemudian melesat keluar dari apartemennya. Dia bahkan berlari menuruni tangga. "Makasih sudah mau mengantarkanku," ujarnya setelah duduk di mobil dan menutup pintunya. "Pakai dulu sabuk pengamannya," perintah pria di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Dia melihat Gita selesai memasang sabuk pengaman lantas mulai menjalankan sedannya. "Makasih sudah mau mengantarkanku." Gita membuka obrolan dengan kalimat yang
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me