Gita merasakan sebuah tangan terselip di bawah tubuhnya, lalu tangan lain berlabuh di atas perutnya. Selanjutnya, dia merasakan tubuhnya bergerak seolah-olah ditarik ke arah sang pemilik tangan, membuat tubuh mereka kembali saling bersentuhan erat. Meski matanya masih terpejam, tapi pergerakan itu berhasil membangunkannya dan menyadarkannya akan di mana dirinya. Dia dalam pelukan Rangga, pria yang baru ditemuinya semalam.
Gita tersenyum tipis kala ingatan semalam memasuki benaknya. Obrolan panjang ditemani wiski dan berakhir dengan tidur bersama. Yeah, bukan akhir yang aneh, sebenarnya. Kenyamanan memunculkan keinginan. Itu hal yang lumrah bagi sesama dewasa.
Gita menggerakkan tubuhnya ke belakang agar semakin menempel dengan tubuh liat di belakangnya. Namun, baru saja kenyamanan diperolehnya, tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka.
"Apa yang kalian lakukan?"
Bak gelegar petir, pertanyaan itu mengagetkan dua orang yang masih bergumul di atas kasur dan memaksa mata mereka terbuka lebar. Mereka otomatis bangkit dan itu adalah keputusan yang salah. Selimut yang menutupi tubuh atas mereka melorot. Alhasil, hal itu menampilkan bagian atas tubuh telanjang Gita. Refleks, tangannya menaikkan selimutnya kembali kendati terlambat.
"Nenek," panggil Rangga parau. Dia hanya bisa diam di tempatnya karena dia pun telanjang. Selimut benar-benar menjadi satu-satunya benda yang menutupi tubuhnya dan Gita.
Wajah Gita berubah pucat pasi kala Rangga menyebutkan panggilannya pada orang yang seenaknya merusak pagi mereka. Dan napasnya serasa berhenti ketika menemukan bukan cuma seorang wanita tua, melainkan juga wanita lain di belakangnya.
Ada apa ini? Kenapa rasanya dia seperti tertangkap basah?
"Nenek, aku bisa jelaskan." Rangga masih berusaha berkata-kata dengan kesadaran seadanya. Sejujurnya, otaknya belum dapat bekerja dengan baik. Tetapi, dia tidak punya pilihan lain selain memaksanya bekerja.
"Kenakan pakaian kalian. Kita bicara di luar," tegas Nenek sebelum berbalik dan keluar dari kamar.
"Kalian bodoh sekali. Kami sudah bilang akan datang pagi ini." Wanita yang bersama Nenek berujar dengan ketidakpercayaan di wajahnya. Kemudian, dia mengikuti Nenek keluar dari kamar.
Dan yang bisa dilakukan Gita hanya menampilkan ekspresi bodohnya. Dia tidak mengerti situasinya, selain mereka tertangkap basah telanjang di ranjang yang sama. Selain itu, dia tidak mengerti kenapa Nenek dan wanita itu terlihat marah dan kesal kepada mereka? Apakah dia melakukan suatu kesalahan?
Tunggu. Jangan-jangan dia tidur dengan suami seseorang?
Pemikiran terakhirnya membuat otak Gita macet.
"Maaf, sudah mengagetkanmu. Aku benar-benar lupa kalau nenekku akan datang." Rangga segera bangkit untuk meraih pakaiannya yang berceceran di lantai. Inilah hasil gairahnya semalam sehingga mereka membuang asal bajunya ke manapun. "Lebih baik kita segera berpakaian," lanjutnya seraya membantu memunguti pakaian Gita.
Gita masih tidak mengerti. Namun, dia menurut saja dengan menerima pakaiannya dari Rangga dan dengan cepat mengenakannya. Satu menit selanjutnya, mereka habiskan dengan mengganti penampilan mereka dengan sesuatu yang lebih layak untuk menemui Nenek dan sang wanita.
"Nenekku sedikit kolot. Dia mungkin mengomeli kita soal tidur bersama." Rangga memperingatkan Gita tepat sebelum mereka membuka pintu. Setelah mendapat anggukan mengerti dari Gita, dia menekan gagang pintu dan menariknya.
Rangga berjalan cepat menuju sofa dengan Gita mengikuti di belakangnya. Gita seolah-olah bersembunyi di balik tubuh besarnya dan berusaha keras menghindari tatapan menuduh dari Nenek dan si wanita. Namun saat mereka sampai di sana, Gita tidak dapat lagi melakukannya sebab kini mereka duduk saling bersisian. Satu-satunya tamengnya adalah diam.
"Namamu siapa?"
Tapi, rupanya, diam juga tidak bisa digunakannya karena jelas Gita tahu pertanyaan itu ditujukan kepadanya. "Gita Saputri." Ragu, dia berucap. Dia antara ingin menyembunyikan atau menyebutkan identitasnya. Di akhir, dia memutuskan untuk jujur sebab dia tidak mempunyai kebohongan untuk dikatakan.
"Apa pekerjaanmu?" Nenek mengujarkan pertanyaan selanjutnya.
"Aku manajer artis." Gita pasti tampak seperti semut di hadapan gajah. Sudah tertangkap basah, kali ini Nenek menginterogasinya. Sungguh, apa kesalahannya?
"Bagaimana dengan orang tuamu? Apa pekerjaannya?"
"Nenek!" Rangga menyerukan protesnya. Kenapa pertanyaan Nenek langsung tertuju kepada orang tua Gita? Itu tidak benar.
"Diam kamu." Nenek langsung meredam Rangga dengan perintah mutlaknya. Bahkan, wanita di sebelahnya cuma bisa diam melihat keadaan canggung ini. "Apa pekerjaan orang tuamu?" ulangnya dengan pertanyaan serupa dalam nada ramah seperti sebelumnya. Tetapi, siapa pun tahu keramahannya penuh makna.
Gita tidak langsung menjawab. Dia melihat satu-persatu orang di sekelilingnya, lantas menelan ludahnya dengan susah payah begitu menyadari situasi yang tak menguntungkannya. "Ayahku dosen, dan ibuku dulunya guru tapi berhenti setelah melahirkanku. Dia ingin menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya untuk merawatku dan adikku."
Nenek mengangguk paham dan terlihat puas akan jawaban Gita. "Apakah kamu sudah menikah?"
"Nenek!" Rangga kembali mangajukan protesnya. Dia mulai menduga-duga arah pembicaraan Nenek. Perjodohan. Dia sampai bosan mendengar Nenek meminta hal itu kepadanya.
"Belum." Awalnya ragu, tapi Gita tetap menjawabnya.
"Sudah bertunangan?"
"Belum."
"Memiliki kekasih?"
Gita menggelengkan kepalanya. "Nggak ada."
Nenek terdiam. Dia terlihat memikirkan sesuatu yang penting berdasarkan investigasi singkatnya. Beberapa detik kemudian, dia siap mengumumkan hasilnya. "Sudah diputuskan. Kalian berdua akan menikah hari ini."
Jika insiden di awal bak gelegar petir, sekarang, kalimat Nenek seperti petir yang menyambar kilat tiga orang di sana. Nenek bukan lagi membahas soal perjodohan, melainkan pernikahan! Itu sangat mengejutkan ketiganya.
"Nenek!" Rangga dan sang wanita menyerukan namanya keras. Protes tidak main-main mereka tunjukkan. Bagaimana tidak? Itu merupakan keputusan sepihak, dan itu tentang pernikahan. Siapa yang mau begitu saja menikah, apalagi setelah hanya bertemu sekali?
"Apa maksudnya?" Si wanita meminta penjelasan lebih kepada Nenek. Dia tahu neneknya kolot dan tegas perihal masalah ini. Tetapi, menikah? Itu berlebihan.
"Rangga menidurinya. Jadi dia harus bertanggung jawab dengan menikahinya." Dengan tenang Nenek merangkai kalimatnya. Tampaknya, dia sudah terbiasa menghadapi penolakan. Ya, ya. Dia memang terkesan ikut campur dalam kehidupan Rangga. Namun, itu semua demi kebahagiaan cucunya. Membina keluarga adalah keputusan terbaiknya. Dan dia ingin Rangga, serta cucunya yang lain merasakan kebahagiaan tersebut.
"Jangan bercanda, Nek! Mana ada orang menikah hanya karena pernah tidur bersama?!" Rangga mulai kesal menghadapi neneknya. Ini zaman modern. Bahkan tidak menikah menjadi hal yang biasa.
"Ada. Kakek dan nenekmu." Lagi, Nenek membalas dengan ketenangannya. "Kalian akan menikah. Tidak ada bantahan."
"Nenek juga harus mempertimbangkan perasaan Gita. Jangan mengambil keputusan sepihak." Si wanita berupaya menenangkan Nenek serta mengendalikan situasi.
Gita yang sejak tadi diam, sedikit terkejut ketika wanita itu menunjuknya. Padahal dia sengaja menarik diri dari perdebatan yang tidak dimengertinya. Oh, dia tahu itu berkaitan dengan nasibnya. Namun, benaknya masih tak dapat mengikuti keadaan membingungkan ini. Atau mungkin, kesadarannya belum pulih sepenuhnya sehingga tubuh dan benaknya tak mampu bereaksi logis. Seharusnya, dia bergabung dengan mereka untuk menolak rencana pernikahan absurd Nenek, bukan?
Tiba-tiba, Nenek bangkit dan berjalan menghampirinya. Lalu, Nenek duduk di sebelahnya yang membuat Gita nyaris membelalakkan mata akibat perilaku tak terdugannya. Dalam hati, dia berharap-harap cemas menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Terlebih kala Nenek mendadak meraih tangannya.
"Gita, biarkan cucuku, Rangga, menikahimu," kata Nenek dengan tatapan penuh harap kepada Gita.
Gita adalah wanita yang tak tegaan. Melihat cara Nenek memintanya, jelas membuat hatinya goyah. "Aku tidak berpikir kita perlu menikah." Kebimbangan terdengar dalam suaranya. Itu gabungan antara kebingungan atas situasi ini dan ucapan Nenek soal pernikahan.
"Lihat?" Rangga bergabung dengan mereka, membenarkan pemikirannya soal penolakan Gita.
"Cucuku memang kurang ajar. Tapi, akan kupastikan dia bertanggung jawab." Nenek tidak menanggapinya seolah-olah tak mendengar Rangga dan melanjutkan pembicaraannya dengan Gita.
Gita menelan ludahnya dengan susah payah. Dia tidak suka jika seseorang memintanya begini. "Aku baik-baik saja. Jadi-"
"Lihat, aku sudah tua begini," potong Nenek cepat. "Umurku tidak akan panjang. Yang kuinginkan hanya melihat cucuku menikah," imbuhnya.
"Nenek!"
"Hah?"
Panggilan Rangga dan respons Gita keluar secara bersamaan.
"Dia tidak pernah mau mengikuti perjodohan yang kurencanakan. Jadi, kumohon. Nikahilah Rangga. Demi nenek tua ini." Nenek mengelus-elus tangan Gita, masih dengan tatapan yang sama.
Gita benar-benar mulai goyah. Melihat seseorang memohon kepadanya seperti ini sudah membuatnya tak tega, apalagi seorang wanita tua yang melakukannya. Entah kenapa dia melihat sosok kakek dan neneknya dalam diri Nenek. Dua figur yang sangat mencintainya, selain kedua orang tuanya. Mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk cucunya.
"B-baik." Akhirnya, keputusan itu diambilnya. Entah itu akan menjadi keputusan yang baik atau justru sebaliknya.
Hari ini mungkin menjadi hari tersibuk bagi Gita. Bagaimana tidak? Ini hari pernikahannya! Siapa yang tak sibuk mempersiapkan hari spesial seperti ini? Tak terkecuali Gita. Apalagi, pernikahannya dilaksanakan secara mendadak. Oh, dia hebat karena masih sanggup menjaga kewarasannya. "Selesai." Suara itu seolah-olah memerintahkan kedua matanya untuk membuka setelah beberapa saat hanya memandang kegelapan. Dan saat dia perlahan menggerakkan kelopak matanya, sesosok wanita cantik menyapanya. Wanita itu berambut hitam sedagu yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak ikal dan ber-volume. Bagian kiri rambutnya sengaja disematkan ke belakang telinga untuk kemudian diberikan hairpin cantik di sana. Sedangkan sisi kanan dibiarkan begitu saja sehingga memberikan kesan dewasa dan elegan. Hal itu didukung dengan pemilihan makeup yang simple dan natural. Riasannya cuma menonjolkan fitur wajahnya dan menunjukkan versi terbaik darinya tanpa kesan berlebihan. Yang terlihat paling bold, mung
"Ya, saya berjanji." Gita mengujarkannya sembari menatap lurus mata cokelat Rangga. Itu merupakan kalimat yang sama yang juga Rangga ucapkan sebelumnya. Sebuah janji dalam ketenangan yang berusaha mereka tunjukkan meski mata mereka tidak mampu menutupi kegugupan masing-masing. Tetapi, tatapan mereka seolah-olah saling menenangkan dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, hal itulah yang memang dibutuhkan Gita saat ini. "Sekarang, saya telah meresmikan kalian berdua sebagai sepasang suami dan istri. Semoga pernikahan kalian selalu diberkahi dengan kebahagiaan hingga kalian menua." Sang penghulu mengakhiri akad pernikahan dengan sebuah peresmian. Itulah akhir dari proses sakral dalam pernikahan, yang akhirnya, selesai mereka lalui. "Pengantin pria diperbolehkan untuk mencium pengantin wanita." Dan sebuah penutup manis. Ciuman. Rangga tampak ragu. Dalam situasi seperti ini, biasanya, pengantin pria akan mencium bibir si pengantin wanita, bukan? Tapi entah kenapa, dia meras
Sialan! Tidak ada kata lain yang tepat untuk menggambarkan apa yang Gita rasakan selain itu. Sialan! Dia harus merutuki dirinya sendiri akibat bangun hampir kesiangan. Atau sesungguhnya, dia sudah kesiangan. Dia bangun setengah jam setelah alarm-nya berbunyi meski dia telah dengan sengaja menyetelnya lebih awal. Dia seharusnya sudah sampai di hotel pukul enam pagi. Dia menuliskan sesuatu di kertas lalu menempelkannya di sebuah gaun ungu. Sementara itu, dia segera mengambil gaun abu-abu yang tergantung di sebelahnya, sepatu heels berwarna senada, dan tasnya kemudian melesat keluar dari apartemennya. Dia bahkan berlari menuruni tangga. "Makasih sudah mau mengantarkanku," ujarnya setelah duduk di mobil dan menutup pintunya. "Pakai dulu sabuk pengamannya," perintah pria di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Dia melihat Gita selesai memasang sabuk pengaman lantas mulai menjalankan sedannya. "Makasih sudah mau mengantarkanku." Gita membuka obrolan dengan kalimat yang
"Mereka berdua merupakan sahabatku, dan aku berharap kebahagiaan mereka akan berlangsung selamanya." Gita menutup pernyataannya dengan sebuah senyum tulus kepada dua sahabatnya yang berada di depan dan menjadi pusat perhatian pesta ini. Dia mengangkat gelasnya, menunjukkan gestur untuk mengajak mereka bersulang."Makasih banyak, Git. Aku juga berharap kamu akan bertemu seseorang yang bisa buat kamu bahagia," balas Dela lalu mengangkat gelasnya. Mereka meminum minuman mereka dalam posisinya masing-masing. Gita kembali duduk setelah menyelesaikan tugas pentingnya. Hembusan napas lega keluar dari bibirnya mengingat semua berjalan sesuai rencana. "Kamu beneran nggak apa-apa, Kak?" bisik Andin di sebelah Gita seraya menggenggam tangannya. Ya, dia tahu mengenai perasaan kakak satu-satunya itu kepada Lukman. Dan dia sangat tahu kegugupan Gita bukan hanya soal acara pernikahan mereka melainkan juga ketakutannya untuk menghadapi Dela dan Lukman. Karena itulah dia selalu memperhatikan Gita da
"Kamu suka macaron?" Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron? "Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya. Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita. Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya."Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sah
Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. "Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembar
Setelah melewati hari-hari yang melelahkan--pernikahannya dan pernikahan sahabatnya--akhirnya, Gita kembali dengan rutinitas membosankannya. Dia harus kembali bekerja, dan ini hari pertamanya bertemu dengan Farah Kusuma, artis yang akan dia urus. Tentu, dia tidak sendiri. Ada dua orang lain yang bersamanya untuk menjadi asistennya. Dan pertemuan ini selain mengenai perkenalan juga akan membahas tentang job desk untuk tiap-tiap asistennya. "Gita akan menjadi manager yang mengurus pekerjaan Farah dan kontrak dengan rekanan." Jenny, sang CEO, mulai membagikan tugas-tugas para asisten setelah perkenalan dan basa-basi singkat. "Sedangkan yang lain akan membantu Gita dengan tugas-tugas yang lain," lanjutnya. Dia memutuskan demikian sebab Gita yang paling berpengalaman dibandingkan dua orang lainnya. Farah hanya melihat sekilas tiga asisten barunya, Gita, Raya, dan Bagas, lalu kembali pada Jenny. "Kamu yakin mereka pantas dipekerjakan?" Dia terdengar ragu-ragu dan meremehkan mereka bertiga
[Aku lagi di jalan.] Gita seketika mempercepat sarapannya setelah membaca pesan dari Bagas. Dia menggigit roti panggangnya lalu segera beranjak untuk mengambil tasnya. Kemudian, dia kembali untuk membawa rotinya bersamanya keluar dari apartemen. Segera setelah dia menelan makanan di mulutnya, dia berlari memasuki lift yang dilihatnya dari kejauhan masih terbuka. Setelahnya, dia menunggu kedatangan Bagas di luar gedung apartemennya. Bagas baru saja kembali dari membeli bubur ayam untuk Farah. Ya, kalian tidak salah membacanya. Itu bubur ayam untuk Farah. Tiba-tiba saja, sang artis meminta asistennya membawakan bubur ayam saat mengunjunginya. Jika bukan karena ini hari penting, bukan hari audisi Farah, Gita pasti akan memarahi wanita itu. Membelikan bubur ayam sama sekali bukan tugasnya ataupun asisten lainnya. Setidaknya, bukan permintaan yang seperti itu. Bunyi klakson terdengar dan membuatnya menoleh. Itu mobil Bagas. Jadi, segera setelah mobil tersebut berhenti, Gita membuka p