"Mereka berdua merupakan sahabatku, dan aku berharap kebahagiaan mereka akan berlangsung selamanya." Gita menutup pernyataannya dengan sebuah senyum tulus kepada dua sahabatnya yang berada di depan dan menjadi pusat perhatian pesta ini. Dia mengangkat gelasnya, menunjukkan gestur untuk mengajak mereka bersulang.
"Makasih banyak, Git. Aku juga berharap kamu akan bertemu seseorang yang bisa buat kamu bahagia," balas Dela lalu mengangkat gelasnya. Mereka meminum minuman mereka dalam posisinya masing-masing.
Gita kembali duduk setelah menyelesaikan tugas pentingnya. Hembusan napas lega keluar dari bibirnya mengingat semua berjalan sesuai rencana.
"Kamu beneran nggak apa-apa, Kak?" bisik Andin di sebelah Gita seraya menggenggam tangannya. Ya, dia tahu mengenai perasaan kakak satu-satunya itu kepada Lukman. Dan dia sangat tahu kegugupan Gita bukan hanya soal acara pernikahan mereka melainkan juga ketakutannya untuk menghadapi Dela dan Lukman. Karena itulah dia selalu memperhatikan Gita dan beberapa kali menanyakan kondisinya.
Gita menoleh dan menunjukkan senyum lemahnya. "Aku nggak apa-apa." Dia membalas genggaman Andin untuk menenangkannya. Begitulah keluarga. Andin mengetahui rahasia terdalamnya tanpa dia perlu memberitahukannya. Adiknya itu pernah berkata perasaannya kepada Lukman terlalu kentara. Tetapi, bagaimana bisa Lukman, sahabatnya sejak SMA, tidak menyadarinya?
Ah, Gita lupa. Lelaki adalah makhluk yang paling tidak peka.
Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan pesta santai sembari menikmati makanan yang disediakan.
"Gita!"
Panggilan seseorang menarik perhatian Gita yang sedang menggigit macaron-nya. Itu Dela. Dia menggunakan isyarat dengan matanya untuk menanyakan tujuan Dela memanggilnya.
"Sini. Kita harus foto bersama."
Maka, Gita mempercepat makannya. Macaron di tangannya menghilang ke dalam mulutnya dalam sekejap. Dia lalu menghampiri Lukman dan Dela seraya mengunyah makanannya.
"Sudah kamu telan?" tanya Lukman begitu Gita sampai di sana.
Dela memutar kedua matanya dengan malas. "Jangan lebay, Luk. Aku cuma manggil dia untuk foto bersama. Kamu kedengaran seperti aku maksa Gita untuk kemari," gerutunya.
"Tapi, dia mesti menikmati pestanya juga. Dia sudah banyak membantu kita."
Mulai lagi. Perdebatan kecil yang biasa didengar Gita. Mereka berdua sungguh sesuatu karena masih melakukannya di hari pernikahan. Bahkan ini pesta pernikahan mereka!
"Hey, stop," sela Gita. "Aku nggak mau dengar perdebatan kalian berdua hari ini, oke?" tegasnya. Mereka seharusnya menunjukkan kebahagiaan seperti layaknya pasangan di hari pernikahan, bukannya saling menyalahkan.
Lukman dan Dela seketika terdiam. Mereka saling berpandangan dalam kecanggungan.
"Aku cuma perlu berdiri di sini, kan?" tanya Gita mengambil tempat di sebelah Dela. Kemudian dia sengaja mendorong Dela mendekat ke arah Lukman. "Fotografer nungguin tuh," dia mengingatkan ketika dilihatnya mereka masih diam.
Untungnya, mereka patuh. Mereka bertiga lalu mengambil beberapa foto bersama.
"Aku baru lihat ini," ujar Dela sebelum Gita meninggalkannya.
Ucapan Dela otomatis menggagalkan rencana Gita untuk meminimalisir interaksinya dengan duo sejoli itu. "Apa?" tanyanya tak mengerti maksud sahabatnya.
"Cincinmu," tunjuk Dela. "Rasa-rasanya aku baru melihatnya hari ini. Benar, sayang?" Tanyanya pada suaminya di sampingnya.
Lukman tertarik dengan obrolan mereka berdua dan turut memperhatikan cincin di jari manis Gita. "Itu seperti cincin pernikahan."
Mendapat komentar tersebut jelas membuat Gita gugup. Dia tak menyangka Dela akan menyadarinya padahal dia sudah menutupinya dengan menyematkan cincin lain di jari-jarinya yang lain.
Namun, itulah sahabat. Dela tahu pasti soal selera fashion Gita, termasuk dia yang jarang mengenakan aksesories. Karena itulah koleksinya terbatas dan Dela pasti sudah melihat semuanya.
"Cincin pernikahan nggak seperti itu." Dela lalu mengangkat tangannya di mana cincin pernikahannya berada. Cincinnya memiliki batu yang menonjol di tengah. "Ini cincin pernikahan," tegasnya.
Itulah beda Gita dengan Dela. Sahabatnya suka mengenakan aksesories, minimal satu dalam setiap kesempatan sementara dia lebih suka menyimpannya.
"Tapi, aku juga pernah melihat cincin pernikahan yang seperti itu." Lukman menanggapi.
Gita memejamkan mata mendengar tanggapan Lukman. Dia tidak punya pilihan selain menjelaskannya daripada melihat mereka berdua kembali berdebat. "Aku melihat cincin ini kemarin saat jalan-jalan dan aku rasa akan cocok kupakai di hari pernikahanmu," bohongnya. Dunia tahu dari mana cincinnya berasal.
Lukman dan Dela mengangguk paham. Kebohongan Gita berhasil menyelesaikan perdebatan yang belum sempat dimulai.
Gita kembali berbalik dan berniat pergi saat sebuah tangan mendadak mencekalnya. Itu Dela. Alisnya seketika berkerut, menandakan kebingungannya. Kali ini, apa lagi?
"Tunggu sebentar, Git. Aku punya seseorang yang ingin aku kenalkan sama kamu." Kemudian, Dela sedikit mendongak dan mengedarkan padangannya ke seluruh ruangan. "Ah, itu dia! Di sana! Dewa!" Dia menyerukan sebuah nama.
Gita menatap Lukman, menuntut penjelasan. Lukman sangat tahu dia tidak suka dikenalkan dengan pria atau dengan kata lain dijodohkan.
"Dela ingin lihat kamu bahagia."
Itu bukan penjelasan melainkan sebuah alasan yang cenderung mengarah pada pembenaran. Dan Gita bahagia tanpa mereka harus mengenalkan pria kepadanya. Lagian, dia dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk memiliki hubungan lebih dari pertemanan lagi. Dia sudah menikah.
Tentu saja, fakta itu cuma dia yang tahu, Rangga, dan keluarga Rangga. Dia belum punya keberanian untuk menjelaskannya kepada keluarganya, termasuk pada kedua sahabatnya. Jadi, dia tidak mungkin menolaknya dengan mengutarakan alasan sebenarnya.
"Ini dia. Our bestman," ujar Dela ketika orang yang dimaksudnya semakin dekat.
Gita mengembuskan napas berat. Seharusnya dia mengambil kesempatan untuk kabur sebelum orang itu datang. Atau dia melakukannya sekarang saja?
"Kenapa manggil? Ada sesuatu yang kamu butuhkan?" tanya suara berat yang asing di telinga Gita.
Gita mendesah lagi. Dia akan menghadapi situasi ini dan menjelaskan segalanya nanti.
"Nggak. Aku cuma mau kenalin kamu sama sahabatku." Dela tersenyum penuh arti ke arah Gita.
Apakah Gita perlu mendesah lagi? Ah, lupakan. Toh, dia sudah bertekad menghadapinya. Maka, dia berbalik dan menemukan seorang pria tampan dalam setelan necisnya. Dia mengenalinya sebagai salah satu bestman dari Lukman.
"Siapa?" Pria itu memelankan suaranya di akhir kalimatnya kala melihat Gita. Ketertarikan terpancar di matanya.
Dela melihatnya. Jadi, dia mengambil peran sebagai makcomblang. "Dewa, dia bridesmaid-ku, Gita. Dan Gita, dia adalah salah satu bestman kita, Dewa."
Dewa masih terdiam dengan pandangan lurus ke arah Gita. Caranya menatap Gita seperti seseorang yang terpesona kepada wanita itu.
"Hai," sapa Gita canggung. Dia sedikit tidak nyaman diperhatikan begitu.
"Hai," balas Dewa dengan senyum lebar. Matanya tak lepas dari Gita.
Dela tersenyum senang mengetahui rencananya berhasil. Dia sengaja berdehem keras untuk menarik perhatian Gita dan Dewa dan berkata, "Kutinggalkan kalian berdua. Nikmati pestanya." Dia segera menggamit lengan Lukman dan menariknya pergi.
Gita cuma bisa menatap nanar kepergian kedua sahabatnya. Setelah menjebaknya dalam situasi ini, mereka meninggalkannya begitu saja. Mereka benar-benar kejam!
Gita mendesah panjang, kali ini di dalam hati agar tak terlalu menunjukkan apa yang dirasakannya. Dia ingin kabur tapi jelas, dia tidak dapat melakukannya.
"Namamu bagus."
Suara Dewa kembali memaksanya berfokus kepada pria itu. Apa yang mesti dilakukannya?
"Kamu suka macaron?" Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron? "Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya. Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita. Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya."Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sah
Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. "Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembar
Setelah melewati hari-hari yang melelahkan--pernikahannya dan pernikahan sahabatnya--akhirnya, Gita kembali dengan rutinitas membosankannya. Dia harus kembali bekerja, dan ini hari pertamanya bertemu dengan Farah Kusuma, artis yang akan dia urus. Tentu, dia tidak sendiri. Ada dua orang lain yang bersamanya untuk menjadi asistennya. Dan pertemuan ini selain mengenai perkenalan juga akan membahas tentang job desk untuk tiap-tiap asistennya. "Gita akan menjadi manager yang mengurus pekerjaan Farah dan kontrak dengan rekanan." Jenny, sang CEO, mulai membagikan tugas-tugas para asisten setelah perkenalan dan basa-basi singkat. "Sedangkan yang lain akan membantu Gita dengan tugas-tugas yang lain," lanjutnya. Dia memutuskan demikian sebab Gita yang paling berpengalaman dibandingkan dua orang lainnya. Farah hanya melihat sekilas tiga asisten barunya, Gita, Raya, dan Bagas, lalu kembali pada Jenny. "Kamu yakin mereka pantas dipekerjakan?" Dia terdengar ragu-ragu dan meremehkan mereka bertiga
[Aku lagi di jalan.] Gita seketika mempercepat sarapannya setelah membaca pesan dari Bagas. Dia menggigit roti panggangnya lalu segera beranjak untuk mengambil tasnya. Kemudian, dia kembali untuk membawa rotinya bersamanya keluar dari apartemen. Segera setelah dia menelan makanan di mulutnya, dia berlari memasuki lift yang dilihatnya dari kejauhan masih terbuka. Setelahnya, dia menunggu kedatangan Bagas di luar gedung apartemennya. Bagas baru saja kembali dari membeli bubur ayam untuk Farah. Ya, kalian tidak salah membacanya. Itu bubur ayam untuk Farah. Tiba-tiba saja, sang artis meminta asistennya membawakan bubur ayam saat mengunjunginya. Jika bukan karena ini hari penting, bukan hari audisi Farah, Gita pasti akan memarahi wanita itu. Membelikan bubur ayam sama sekali bukan tugasnya ataupun asisten lainnya. Setidaknya, bukan permintaan yang seperti itu. Bunyi klakson terdengar dan membuatnya menoleh. Itu mobil Bagas. Jadi, segera setelah mobil tersebut berhenti, Gita membuka p
"Gita." Kirana memanggil nama Gita ketika wanita itu baru saja keluar dari bilik toilet. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya. "Ki," balas Gita seraya menghampirinya. Lalu mereka berpelukan dengan cepat. "Aku lagi untuk urusan pekerjaan." "Urusan pekerjaan?" Kirana membeo. "Tentang audisi." Sedetik kemudian, keterkejutan muncul di wajah Kirana mendengar jawaban Gita. "Kamu mau ikut audisi untuk Pembunuh?" "Bukan aku." Gita menggelengkan kepalanya cepat sembari tertawa kecil. Dirinya? Mengikuti audisi? Tidak mungkin. Dia tidak pernah berkeinginan menjadi selebriti. "Kamu ingat aku bekerja sebagai manajer artis, kan? Nah, artis yang kuurus sedang ikut audisi untuk Pembunuh." Kirana menganggukkan kepalanya paham. "Siapa artisnya?" "Farah Kusuma." Dan keterkejutan kedua tergambar di wajah Kirana. "Kamu bekerja untuknya?" tanyanya tak percaya. Tawa canggung keluar dari bibir Gita. Melihat reaksi lawan bicaranya, tampaknya Kirana sudah mendengar rumor tentang Farah. Ya, pasti begitu
Gita menepikan mobilnya ke terminal kedatangan di bandara Soekarno Hatta. Dia di sana untuk menjemput suaminya. Ya, Rangga Adiwijaya baru saja kembali dari Surabaya. Tidak. Lebih tepatnya meninggalkan Surabaya sebab rumah Rangga dan juga perusahaan utamanya berada di kota tersebut. Rangga pergi ke Jakarta demi menemui Gita. "Hai, maaf sudah membuatmu menunggu," ujar Gita setelah menghentikan mobil dan menurunkan kaca jendelanya. Rangga telah berdiri di luar setelah Gita membuat lelaki itu menunggu selama setengah jam. Semua itu karena pekerjaannya. Dia mesti mengurusi tawaran iklan untuk Farah, dan itu berlangsung lebih lama dari dugaannya. Rangga sedikit menunduk dan memberikan senyumnya kepada sang istri. "It's okay, Git. Nggak seharusnya juga aku memintamu menjemputku saat kamu sibuk." Gita membuka mulutnya, hendak mengeluarkan bantahannya ketika Rangga berkata lagi. "Tolong buka bagasinya." Gita lalu teringat koper 20 inci di samping Rangga. Tadinya dia berniat membukanya s
"Kamu sudah tidur?" Gita mengubah posisi tidurnya dari telentang menjadi miring ke kiri sehingga dia dapat melihat lawan bicaranya dengan jelas. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktunya untuk tidur dan beristirahat.Seharusnya begitu.Rangga melirik ke arah Gita dan membalas, "Belum. Kenapa kamu belum tidur?" tanyanya balik. Setengah jam telah berlalu sejak mereka memutuskan untuk mengakhiri obrolan malam mereka dan bersiap-siap untuk tidur. Lalu, keheningan mengisi apartemen mungil tersebut. Tetapi rupanya, itu hanya wacana sebab mereka belum sampai ke dunia mimpi. "Nggak tahu. Rasanya sulit banget untuk tidur," aku Gita. Dia memiliki teori mengapa kondisi ini terjadi. Hal ini mungkin berkaitan keberadaan Rangga di sampingnya. Dia nyaris tidak pernah membawa laki-laki tidur di apartemennya. Hanya Lukman. Itu pun untuk merawatnya saat sedang sakit. "Karena aku?" tebak Rangga tepat sasaran. Atau tidak? Bagaimanapun itu cuma dugaannya saja. Dia tidak tahu alasan pastinya.
Kedua mata Gita bergerak-gerak gelisah seiring banyaknya suara-suara yang memasuki indra pendengarannya dan merusak tidur nyenyaknya. Tak lama kemudian, kelopak matanya membuka dan menampilkan manik kecokelatan di baliknya. Kedua matanya bergerak cepat mencari sumber suara dan yang ditemukannya tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Tentu saja. Hanya ada Rangga dan dirinya di rumahnya.Gita memaksa tubuhnya untuk bergerak agar menghilangkan rasa kantuk dan malas yang masih menggelayut manja. Lalu, dia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menghampiri sang suami. Rangga yang menyadari adanya pergerakan pun menoleh dan bertanya, "Aku bangunin kamu ya?" Dia sedang berkutat di dapur dengan kompor, teflon, sosis, dan telur. Ya, dia tengah membuat sarapan untuk mereka berdua. Gita menggumam seraya menggelengkan kepalanya. "Nggak. Lagian, ini sudah pagi." Dia menarik sebuah kursi kosong dan berniat untuk duduk di sana. Tetapi, dia teringat sesuatu. "Kamu butuh bantuan?" Gelengan cepat