Sialan!
Tidak ada kata lain yang tepat untuk menggambarkan apa yang Gita rasakan selain itu. Sialan! Dia harus merutuki dirinya sendiri akibat bangun hampir kesiangan. Atau sesungguhnya, dia sudah kesiangan. Dia bangun setengah jam setelah alarm-nya berbunyi meski dia telah dengan sengaja menyetelnya lebih awal. Dia seharusnya sudah sampai di hotel pukul enam pagi.
Dia menuliskan sesuatu di kertas lalu menempelkannya di sebuah gaun ungu. Sementara itu, dia segera mengambil gaun abu-abu yang tergantung di sebelahnya, sepatu heels berwarna senada, dan tasnya kemudian melesat keluar dari apartemennya. Dia bahkan berlari menuruni tangga.
"Makasih sudah mau mengantarkanku," ujarnya setelah duduk di mobil dan menutup pintunya.
"Pakai dulu sabuk pengamannya," perintah pria di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Dia melihat Gita selesai memasang sabuk pengaman lantas mulai menjalankan sedannya.
"Makasih sudah mau mengantarkanku." Gita membuka obrolan dengan kalimat yang sama seperti sebelumnya. Dia masih mengatur napasnya setelah keterburu-buruannya. Dan ada sedikit kegugupan kala kewarasannya kembali. Jadi, tampaknya, dia membutuhkan usaha lain untuk menenangkan degup jantungnya.
"Kamu sudah bilang itu." Rangga menanggapi dengan tawa kecil di bibirnya. Pikiran Gita pasti sedang kacau hingga wanita itu mengatakan hal yang sama dua kali.
"Oh, benarkah?" Parahnya, Gita bereaksi seperti orang linglung. "Aku nggak bisa tidur semalam. Jadi, aku pikir aku akan begadang semalaman. Tapi, akhirnya aku malah ketiduran dan bahkan nggak dengar alarm-ku," jelasnya cepat. Dia merangkai apapun yang melintas di benaknya.
"Woah woah. Tenang, Gita," respons Rangga yang mendengar kekacauan dalam suara Gita. Kelihatannya, Gita belum pulih sepenuhnya. "Relaks, oke?"
Gita mengikuti saran Rangga dengan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia melakukannya beberapa kali sampai ketenangan didapatkannya dan pikirannya mampu mengendalikan situasi.
"Udah lebih baik?"
Dia menganggukkan kepalanya. "Ya."
"Bagus."
Rangga memutar kemudinya ke kiri untuk membelokkan mobilnya ke jalanan yang cukup sepi di area lain di pinggiran kota. Hotel tempat pernikahan Lukman dan Dela akan diadakan bukan di wilayah pusat kota. Tempatnya sedikit berada di pinggiran dan memiliki pemandangan yang sangat luar biasa.
"Aku juga nggak bisa tidur semalam. Makanya, niatnya aku mau joging saat kamu kirim pesan tadi."
Ya, Gita yang mengirimi Rangga pesan. Tepatnya, mereka bertukar pesan sejak dia meninggalkan hotel Adiwijaya. Dia harus menjemput keluarganya yang datang dari Yogyakarta. Oh, keluarganya dan keluarga Lukman bersahabat. Mereka pun bertetangga. Jadi, Lukman juga mengundang kedua orang tuanya dan adiknya. Lukman juga telah mempersiapkan kamar di hotel untuk orang tuanya. Maklum, apartemennya tidak sanggup menampung seluruh keluarganya. Hanya Andin, adik perempuannya, yang bermalam di apartemennya.
"Setelah apa yang kita lalui kemarin, sepertinya, normal jika kita susah tidur."
Itu soal pernikahan mendadak keduanya. Apa lagi? Gita bahkan belum terbiasa melihat cincin pernikahan di jari manisnya. Tentu, itu bukan cincin dengan batu besar yang akan mencuri perhatian banyak orang. Bentuknya sederhana dan elegan dengan batu-batu kecil yang mengelilingi permukaannya.
"Sepertinya memang begitu."
Perjalanan dari apartemen Gita ke hotel hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit. Itu memang dekat. Gita mungkin bisa berjalan kaki ke sana kalau saja dia tidak sedang kerepotan. Sayangnya, dia mesti membawa gaun dan perlengkapan lain serta menjaga tubuhnya tetap segar untuk acara penting sahabatnya. Jadi, dia mencoret pilihan tersebut.
"Kamu yakin nggak perlu kutemani?" tanya Rangga setelah memberhentikan mobilnya di depan hotel.
"Iya, Rangga. Aku bisa atasi ini sendiri," balas Gita seraya melepaskan sabuk pengamannya. "Makasih sudah bantuin aku."
"Kamu ngomong begitu lagi."
Gita mengubah posisinya untuk menghadap Rangga. "Maaf. Tapi, aku mesti ngomong itu sebelum kita berpisah, benar?" Lalu, tanpa menunggu jawaban Dave, dia membuka pintu mobil dan keluar. Tak lupa, dia mengambil bawaannya yang dia letakkan di kursi belakang.
"Kamu bakal chat aku, kan?" Rangga kembali bertanya sebelum Gita menutup pintu mobilnya.
"Tentu dong." Gita lalu memberikan senyumnya. "Sampai ketemu lagi, Rangga."
Dan mereka pun berpisah.
Namun, baru tiga langkah jauh dari Rangga, Gita terpikir sesuatu. Dia segera berbalik dan mengetuk jendela mobil Rangga.
"Kamu berubah pikiran?"
"Nggak." Gita tertawa. Dia tahu Rangga hanya bergurau. "Aku cuma mau bilang sesuatu."
"Apa?"
"Aku berhasil tidur, jadi kamu juga harus coba untuk tidur. Aku tahu situasi kita benar-benar absurb. Tapi, kalau dipikir berlebihan juga nggak baik. Toh, kita tetap harus menjalaninya." Gita berhenti sejenak lalu melanjutkan. "Apa yang mau coba aku katakan adalah mari kita menjalani pernikahan ini secara perlahan-lahan. Biar semuanya jadi lebih mudah."
Rangga terdiam mengamati Gita berbicara. Dia bahkan sedikit memiringkan kepalanya seolah-olah menikmati kegiatannya ini.
Gita menyadari tatapan intens Rangga kepadanya. Dan dia menjadi salah tingkah diperhatikan begitu. "Kenapa lihat aku begitu?" gagapnya dalam kegugupan mendadak yang merambatinya. Meski mereka sudah menikah, dia belum terbiasa akan segala sesuatu yang berkaitan dengan Rangga.
Tidak. Rasa-rasanya, dia tidak akan terbiasa memiliki pria seperti Rangga sebagai suaminya. Baik, tampan, dan sangat kaya raya. Apakah ini sungguh keberuntungannya?
"Kamu tahu sesuatu? Kamu bikin semua perhatian tertuju sama kamu tiap kali kamu ngomong," sahut Rangga dengan senyum tersembunyi di bibirnya.
"Ngeledek nih?" dengus Gita, meragukan ucapan tersebut.
Rangga sedikit terkejut dibuatnya. "Bagian mana yang aku ngeledek kamu?" tanyanya dengan alis berkerut.
"Itu-" Gita sedikit menggantung kalimatnya. "Kamu kedengaran seperti menyuruhku berhenti ngomong," lanjutnya dengan bibir mengerucut. Dia seolah-olah tertangkap basah melakukan tuduhan tak berdasar itu, seperti pertemuan pertama mereka. Untungnya, waktu itu Rangga tidak menganggap serius celotehannya.
Rangga tertawa. Sementara Gita masih sama seperti yang ditemuinya malam itu. Tapi, yah, manusia tidak berubah dalam sekejap, bukan?
"Aku nggak pernah ngomong begitu, Gita Adiwijaya, juga nggak bermaksud begitu." Rangga sengaja mendramatisir perkataannya. "Aku sungguh-sungguh bilang begitu. Kamu kelihatan sangat menarik saat bicara," jelasnya untuk memperbaiki kesalahpahaman mereka. Kenapa wanita suka sekali mengambil kesimpulan sepihak?
Bibir Gita semakin mengerucut. Kali ini, gabungan antara malu, rasa bersalah, dan tersipu setelah mendapatkan pujian dari Rangga. Terlebih, kala pria itu mengucapkan namanya. Gita Adiwijaya. Nama barunya terdengar aneh sekaligus mendebarkan untuknya.
"Aku harus pergi sekarang. Jangan lupa untuk coba tidur." Dia memilih mengakhiri obrolan mereka. Rasa-rasanya, bersama dengan Rangga lebih lama akan membuatnya melakukan lebih banyak kesalahan. Kesalahan yang akan mempermalukannya, tentunya.
"Akan kutelepon setelah bangun nanti," seru Rangga, menarik perhatian Gita untuk terakhir kali.
Gita tersenyum. Tetapi, dia tidak berhenti dan berbalik. Dia justru melambaikan tangannya sebagai gestur bahwa dia mendengar ucapan Rangga. Lalu, dia memasuki hotel dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada lagi kegugupan.
Gita melangkahkan kakinya semakin dalam menuju kamar hotel di mana dia akan berbagi tempat dengan Dela untuk bersiap-siap. Berganti pakaian adalah hal mudah. Yang lama adalah bagian make up. Berdandan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan juga dia perlu mengantre hingga gilirannya tiba.
Meskipun demikian, dia tetap mempercepat langkah kakinya karena sampai lebih awal akan selalu lebih baik.
Sementara itu, Rangga melihat Gita hingga wanita itu menghilang dari pandangannya. Dia tersenyum sebelum melajukan mobilnya meninggalkan area tersebut.
"Mereka berdua merupakan sahabatku, dan aku berharap kebahagiaan mereka akan berlangsung selamanya." Gita menutup pernyataannya dengan sebuah senyum tulus kepada dua sahabatnya yang berada di depan dan menjadi pusat perhatian pesta ini. Dia mengangkat gelasnya, menunjukkan gestur untuk mengajak mereka bersulang."Makasih banyak, Git. Aku juga berharap kamu akan bertemu seseorang yang bisa buat kamu bahagia," balas Dela lalu mengangkat gelasnya. Mereka meminum minuman mereka dalam posisinya masing-masing. Gita kembali duduk setelah menyelesaikan tugas pentingnya. Hembusan napas lega keluar dari bibirnya mengingat semua berjalan sesuai rencana. "Kamu beneran nggak apa-apa, Kak?" bisik Andin di sebelah Gita seraya menggenggam tangannya. Ya, dia tahu mengenai perasaan kakak satu-satunya itu kepada Lukman. Dan dia sangat tahu kegugupan Gita bukan hanya soal acara pernikahan mereka melainkan juga ketakutannya untuk menghadapi Dela dan Lukman. Karena itulah dia selalu memperhatikan Gita da
"Kamu suka macaron?" Gita, yang hendak menggigit macaron pink di tangannya, terpaksa membatalkan kegiatannya tersebut. Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti seseorang yang sedang keheranan melihat dirinya. Padahal, apa salahnya dengan memakan macaron? "Iya. Ini kue favoritku," balasnya lalu melahap macaronnya. Oh, makanan manis memang sangat enak. Selain itu, makanan manis juga membuat perasaan jadi lebih baik. Setidaknya, itu bisa mengubah fokusnya untuk hanya merasakan manisnya. Dan karena itulah, dia suka menikmatinya ketika sedang stress. Makanan manis seperti sebuah obat baginya. Dewa melihat cara Gita memakan macaron dan seluruh perubahan di wajah cantiknya. "Kamu pasti suka banget macaron," simpulnya usai menemukan sesuatu yang terlihat seperti kedamaian di wajah Gita. Gita sudah mengatakannya, jadi Dewa tidak perlu membenarkan kalimatnya."Kamu nggak mau cobain?" tawarnya kepada pria itu. Gita-lah orang yang merekomendasikan macaron dalam daftar menu pernikahan sah
Gita memeluk erat ibunya sebelum mereka berpisah. Ya, keluarganya mesti kembali ke Yogyakarta. "Jaga diri baik-baik ya." Sang Ibu berpesan seraya mengelus lembut punggung putri sulungnya. Perpisahan memang tidak pernah terasa baik-baik saja, terutama perpisahan antara keluarga terdekat. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya di Jakarta. Suaminya memiliki pekerjaan di Yogyakarta dan putrinya yang lain mempunyai jadwal kuliah keesokan harinya. Sementara itu, dia perlu kembali ke perannya semula. Menjadi ibu rumah tangga. Oh, dia sempat terpikir untuk kembali bekerja setelah kedua putrinya dewasa. Tapi, suaminya mencegahnya dan mengatakan kepadanya untuk menjadi penulis saja. Jadi, dia melakukannya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Dan kemampuannya, sepertinya, menurun kepada Gita. Gita mempelajari sastra dan bermimpi menjadi seorang penulis skenario. Walaupun kenyataan tak seindah keinginan dan tak bisa memberikan jalan yang mudah kepada putrinya. Gita mesti menjadi manajer artis sembar
Setelah melewati hari-hari yang melelahkan--pernikahannya dan pernikahan sahabatnya--akhirnya, Gita kembali dengan rutinitas membosankannya. Dia harus kembali bekerja, dan ini hari pertamanya bertemu dengan Farah Kusuma, artis yang akan dia urus. Tentu, dia tidak sendiri. Ada dua orang lain yang bersamanya untuk menjadi asistennya. Dan pertemuan ini selain mengenai perkenalan juga akan membahas tentang job desk untuk tiap-tiap asistennya. "Gita akan menjadi manager yang mengurus pekerjaan Farah dan kontrak dengan rekanan." Jenny, sang CEO, mulai membagikan tugas-tugas para asisten setelah perkenalan dan basa-basi singkat. "Sedangkan yang lain akan membantu Gita dengan tugas-tugas yang lain," lanjutnya. Dia memutuskan demikian sebab Gita yang paling berpengalaman dibandingkan dua orang lainnya. Farah hanya melihat sekilas tiga asisten barunya, Gita, Raya, dan Bagas, lalu kembali pada Jenny. "Kamu yakin mereka pantas dipekerjakan?" Dia terdengar ragu-ragu dan meremehkan mereka bertiga
[Aku lagi di jalan.] Gita seketika mempercepat sarapannya setelah membaca pesan dari Bagas. Dia menggigit roti panggangnya lalu segera beranjak untuk mengambil tasnya. Kemudian, dia kembali untuk membawa rotinya bersamanya keluar dari apartemen. Segera setelah dia menelan makanan di mulutnya, dia berlari memasuki lift yang dilihatnya dari kejauhan masih terbuka. Setelahnya, dia menunggu kedatangan Bagas di luar gedung apartemennya. Bagas baru saja kembali dari membeli bubur ayam untuk Farah. Ya, kalian tidak salah membacanya. Itu bubur ayam untuk Farah. Tiba-tiba saja, sang artis meminta asistennya membawakan bubur ayam saat mengunjunginya. Jika bukan karena ini hari penting, bukan hari audisi Farah, Gita pasti akan memarahi wanita itu. Membelikan bubur ayam sama sekali bukan tugasnya ataupun asisten lainnya. Setidaknya, bukan permintaan yang seperti itu. Bunyi klakson terdengar dan membuatnya menoleh. Itu mobil Bagas. Jadi, segera setelah mobil tersebut berhenti, Gita membuka p
"Gita." Kirana memanggil nama Gita ketika wanita itu baru saja keluar dari bilik toilet. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya. "Ki," balas Gita seraya menghampirinya. Lalu mereka berpelukan dengan cepat. "Aku lagi untuk urusan pekerjaan." "Urusan pekerjaan?" Kirana membeo. "Tentang audisi." Sedetik kemudian, keterkejutan muncul di wajah Kirana mendengar jawaban Gita. "Kamu mau ikut audisi untuk Pembunuh?" "Bukan aku." Gita menggelengkan kepalanya cepat sembari tertawa kecil. Dirinya? Mengikuti audisi? Tidak mungkin. Dia tidak pernah berkeinginan menjadi selebriti. "Kamu ingat aku bekerja sebagai manajer artis, kan? Nah, artis yang kuurus sedang ikut audisi untuk Pembunuh." Kirana menganggukkan kepalanya paham. "Siapa artisnya?" "Farah Kusuma." Dan keterkejutan kedua tergambar di wajah Kirana. "Kamu bekerja untuknya?" tanyanya tak percaya. Tawa canggung keluar dari bibir Gita. Melihat reaksi lawan bicaranya, tampaknya Kirana sudah mendengar rumor tentang Farah. Ya, pasti begitu
Gita menepikan mobilnya ke terminal kedatangan di bandara Soekarno Hatta. Dia di sana untuk menjemput suaminya. Ya, Rangga Adiwijaya baru saja kembali dari Surabaya. Tidak. Lebih tepatnya meninggalkan Surabaya sebab rumah Rangga dan juga perusahaan utamanya berada di kota tersebut. Rangga pergi ke Jakarta demi menemui Gita. "Hai, maaf sudah membuatmu menunggu," ujar Gita setelah menghentikan mobil dan menurunkan kaca jendelanya. Rangga telah berdiri di luar setelah Gita membuat lelaki itu menunggu selama setengah jam. Semua itu karena pekerjaannya. Dia mesti mengurusi tawaran iklan untuk Farah, dan itu berlangsung lebih lama dari dugaannya. Rangga sedikit menunduk dan memberikan senyumnya kepada sang istri. "It's okay, Git. Nggak seharusnya juga aku memintamu menjemputku saat kamu sibuk." Gita membuka mulutnya, hendak mengeluarkan bantahannya ketika Rangga berkata lagi. "Tolong buka bagasinya." Gita lalu teringat koper 20 inci di samping Rangga. Tadinya dia berniat membukanya s
"Kamu sudah tidur?" Gita mengubah posisi tidurnya dari telentang menjadi miring ke kiri sehingga dia dapat melihat lawan bicaranya dengan jelas. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktunya untuk tidur dan beristirahat.Seharusnya begitu.Rangga melirik ke arah Gita dan membalas, "Belum. Kenapa kamu belum tidur?" tanyanya balik. Setengah jam telah berlalu sejak mereka memutuskan untuk mengakhiri obrolan malam mereka dan bersiap-siap untuk tidur. Lalu, keheningan mengisi apartemen mungil tersebut. Tetapi rupanya, itu hanya wacana sebab mereka belum sampai ke dunia mimpi. "Nggak tahu. Rasanya sulit banget untuk tidur," aku Gita. Dia memiliki teori mengapa kondisi ini terjadi. Hal ini mungkin berkaitan keberadaan Rangga di sampingnya. Dia nyaris tidak pernah membawa laki-laki tidur di apartemennya. Hanya Lukman. Itu pun untuk merawatnya saat sedang sakit. "Karena aku?" tebak Rangga tepat sasaran. Atau tidak? Bagaimanapun itu cuma dugaannya saja. Dia tidak tahu alasan pastinya.