"Jadi, mereka juga mau aku mempromosikannya di sosial mediaku?" tanya Farah sembari menatap malas lipstik di tangannya. Lalu senyum meremehkan tersungging di wajahnya dan tanpa peringatan dilemparkannya lipstik tersebut ke atas meja. "Kapan kamu bisa mendapatkan iklan dari brand-brand mewah untukku?" tanyanya lagi. Gita mengepalkan kedua tangannya, berusaha mengendalikan emosinya. Akhir pekannya sungguh-sungguh buruk karena harus menghadapi talent-nya yang amat menyebalkannya. Gita mengambil lipstik di atas meja kemudian merapikannya bersama makeup-makeup yang lain. "Kamu akan mendapatkannya segera. Untuk sekarang, ini yang mereka tawarkan untukmu," ujarnya dengan senyumnya. Ya, itu merupakan keramahan palsu andalannya. "Kamu selalu bilang begitu. Tapi kemana tawaran berhargaku?" Farah menatap tajam Gita, bermaksud mengintimidasinya. Tapi, Gita tidak akan sampai sejauh ini jika dirinya gampang terintimidasi. Dia terbiasa mendapatkan tatapan seperti itu ketika menawarkan talent-tal
Gita menjejakkan kakinya kesal saat menyadari kecerobohannya sendiri. Seharusnya dia tidak membiarkan Rangga memegang kunci mobilnya. Sedangkan dia tidak mungkin kembali ke kafe dan menemui mereka. Alasan apa yang akan diberikannya kepada Farah? Jadi dia memutuskan untuk berjalan ke mana pun kakinya membawa langkahnya. Dia mengambil rute ke barat menyusuri jalanan cukup ramai dan melewati deretan pertokoan, kafe, dan restoran. Lalu dia berbelok ke selatan. Di sini lebih sunyi dibandingkan jalan sebelumnya. Tetapi, ini masih di area pusat kota sehingga tempat ini tetaplah ramai. Tiba-tiba ponsel di tasnya kembali berdering. Bukan Jenny melainkan Rangga. "Halo," sapanya dengan intonasi sedikit keras. Rupanya kekesalan masih menguasainya. Aneh sekali. Kenapa dia bisa sekesal ini? "Kamu di mana?" tanya orang di seberang tanpa membalas sapaannya. Jadi, Gita berhenti untuk melihat sekelilingnya. "Di depan Blue Sky Gallery." Dia menyebutkan nama gedung di hadapannya. Itu merupakan sebua
"Itu siapa?" Rangga bertanya seraya membawa mobil yang mereka tumpangi keluar dari area pusat kota. Gita menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Kegugupan tiba-tiba menderanya. Padahal itu pertanyaan yang wajar. Rangga melihat Dewa dan dirinya tengah mengobrol meskipun tak sampai lima menit. Dan itu wajar sebab Rangga nyaris tak mengenal orang-orang di hidupnya selain keluarganya serta Lukman. Dia pun akan bereaksi serupa jika berada di posisinya. Itu seperti sebuah reaksi otomatis. Tapi, kenapa dia merasa seperti sedang tertangkah basah? "Aku mau jujur sama kamu." Akhirnya, Gita berucap sesuatu yang cukup mengejutkan Rangga. Bagaimana tidak? Pertanyaan sederhana itu berakhir menjadi sebuah pengakuan. Itu aneh, bukan? "Dela berniat menjodohkanku dengannya," lanjut Gita setelah menarik napas dalam. Dan usai mengatakannya, bebannya serasa hilang. "Kamu dan laki-laki tadi?" Itu respons pertama Rangga. Gita menganggukkan kepalanya, ragu. Tapi sadar Rangga tidak bisa melihatnya kare
"Kamu pasti sudah gila," ujar Gita usai mendudukkan dirinya di salah satu kursi kereta. Ya, kalian tidak salah membacanya. Gita dan Rangga mewujudkan ide dadakan pria itu setelah sebelumnya mereka berhenti untuk membeli makan siang sekaligus makan malam sebagai bekal perjalanan keduanya. Dan juga, camilan dan yang paling penting, makanan manis. Kali ini, mereka membeli brownies. Rangga tertawa di samping Gita usai meletakkan bawaan mereka ke bagasi atas kecuali makan siang yang hendak mereka nikmati. Tapi, apa lagi yang mereka bawa selain makanan? "Tapi kamu setuju. Jadi siapa yang lebih gila di sini?" sahutnya santai. "Kita sudah gila," simpul Gita, menganggukkan kepalanya yakin. Dia dan Rangga tidak jauh berbeda. Mereka sudah gila karena menyetujui ide dadakan ini. "See? Kita gila," tegas Rangga. Lalu dibukanya bungkusan makan siang mereka dan mengeluarkan isinya. Mereka membeli burger, kentang goreng, dan cola. "Ini. Kita makan dulu." Dia menyodorkan milik Gita kepada wanita i
"Aku bilang apa, kan? Kamu pasti kelelahan," tukas Gita saat melihat Rangga menguap lebar. Dia pun melihat kantuk di matanya. Itu pasti merupakan efek dari perjalanan panjang mereka."Nggak kok." "Bohong," cibir Gita. Siapa pun bisa melihat kebohongan tersebut. Rangga hanya bisa terkekeh mendapati tuduhan sang istri. Harus dia akui. Gita benar soal kelelahan. Badannya serasa remuk dan kedua matanya terasa berat meski dia telah tidur selama perjalanan mereka di kereta. Tampaknya, dia memang tak cocok melakukan perjalanan seperti ini. Ternyata sangat melelahkan. Tubuhnya tak kuat. "Nggak ada lain kali soal ini," ujar Gita lebih terdengar seperti sebuah perintah. Atau lebih tepatnya, larangan. Perjalanan seperti ini tak cocok untuk semua orang. "Kenapa? Seru kok," sahut Rangga. Meski lelah, dia bisa merasakan kedamaian seperti yang dia temukan di wajah istrinya. Hal ini membantunya untuk menjernihkan pikiran. Dan yang terpenting, perjalanan ini mendekatkan mereka sebab mereka terus
"Jadi, kamu akhirnya memutuskan untuk datang?""Aku nggak punya pilihan lain." Itu merupakan sepenggal percakapan antara Gita dan Rangga saat melakukan panggilan telepon rutin mereka. Tentu saja, Gita menceritakan perihal undangan Dela dan kemungkinan bahwa Dewa juga akan berada di sana. Itu merupakan hal yang tidak bisa disembunyikannya jika dia bertekad untuk memenuhi janjinya. "Kamu tahu kamu bisa menolaknya." Gita memutar kemudi ke kanan, memasuki jalanan menuju rumah Lukman. Rumah-rumah berjejer di kanan dan kiri jalan. Tapi kawasan itu cukup sepi mengingat area ini seperti apartemennya yang bukan berada di daerah pusat kota. "Bisa-bisa dia nanti datang ke apartemenku." Gita mengujarkan skenario terburuk yang mungkin terjadi jika dia tidak memenuhi undangan sahabat wanitanya itu. "Aku sangat kenal Dela. Dia nggak kenal kata menyerah." Dan dia tahu itu pasti akan terjadi. Dela tidak mudah menyerah. Dela akan terus mencoba, dalam berbagai cara, sampai dia tak tahan lagi dibuatn
"Kamu tahu, Dewa. Gita nggak bisa masak loh." Sontak, kepala Gita menoleh ke arah Dela segera setelah dia mendengar ucapan wanita itu. Alisnya bertaut, bingung kenapa tiba-tiba sahabatnya membahas perihal tersebut. "Dia pernah goreng ikan sampai gosong, bikin mie rebus tapi kebanyakan air, lupa kasih garam dan lada saat memanggang steak, dan banyak lagi." Dela menyebutkan beberapa contoh aibnya di dunia masak-memasak sebelum Gita dapat bereaksi pada pernyataannya sebelumnya. Oke. Gita akan mengakui bahwa kemampuan memasaknya adalah sangat biasa saja. Dan ya, dia pernah melakukan semua yang disebutkan Dela. Dia tidak terbiasa mengolah ikan jadi dia tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk membaliknya. Alhasil, dia jadi terlalu cepat melakukannya sehingga ikannya hancur. Untuk mie rebus, dia hanya menambahkan air sedikit lebih banyak dari yang seharusnya. Dan hasilnya tidak terlalu buruk selain rasanya menjadi lebih hambar. Terakhir soal steak, itu memang kesalahan Gita. Dia ingat ha
Gita berdiri di belakang para kru dengan kedua tangan bersidekap. Dia menatap lurus ke depan, tepatnya ke arah Farah yang tengah berpose dengan memakai dress selutut berwarna putih dan bermotif polkadot. Ini merupakan sesi photoshoot-nya untuk sebuah majalah sekaligus akan ada wawancara di akhir kegiatan ini. "Farah, gimana kalau kamu melompat sambil menunjukkan wajah ceria?" tanya wanita yang berdiri di samping Gita. Dia adalah penata gaya dari majalah. Farah menganggukkan kepalanya lalu melanjutkan sesi foto-fotonya. Dia mengikuti arahan wanita itu dengan beberapa kali melompat sembari tersenyum dan tertawa lebar. Tema yang digunakan kali ini adalah tentang keceriaan. Itulah kenapa motif polkadot di dress yang dikenakannya berwarna colorful. Kemudian, sang penata gaya memerintahkan seseorang untuk menyediakan kursi untuk Farah. Jadi, selanjutnya Farah mesti mencari pose yang menarik menggunakan kursi tersebut. Hal ini berlangsung selama beberapa saat hingga sesi photoshoot berak