"Aku bilang apa, kan? Kamu pasti kelelahan," tukas Gita saat melihat Rangga menguap lebar. Dia pun melihat kantuk di matanya. Itu pasti merupakan efek dari perjalanan panjang mereka."Nggak kok." "Bohong," cibir Gita. Siapa pun bisa melihat kebohongan tersebut. Rangga hanya bisa terkekeh mendapati tuduhan sang istri. Harus dia akui. Gita benar soal kelelahan. Badannya serasa remuk dan kedua matanya terasa berat meski dia telah tidur selama perjalanan mereka di kereta. Tampaknya, dia memang tak cocok melakukan perjalanan seperti ini. Ternyata sangat melelahkan. Tubuhnya tak kuat. "Nggak ada lain kali soal ini," ujar Gita lebih terdengar seperti sebuah perintah. Atau lebih tepatnya, larangan. Perjalanan seperti ini tak cocok untuk semua orang. "Kenapa? Seru kok," sahut Rangga. Meski lelah, dia bisa merasakan kedamaian seperti yang dia temukan di wajah istrinya. Hal ini membantunya untuk menjernihkan pikiran. Dan yang terpenting, perjalanan ini mendekatkan mereka sebab mereka terus
"Jadi, kamu akhirnya memutuskan untuk datang?""Aku nggak punya pilihan lain." Itu merupakan sepenggal percakapan antara Gita dan Rangga saat melakukan panggilan telepon rutin mereka. Tentu saja, Gita menceritakan perihal undangan Dela dan kemungkinan bahwa Dewa juga akan berada di sana. Itu merupakan hal yang tidak bisa disembunyikannya jika dia bertekad untuk memenuhi janjinya. "Kamu tahu kamu bisa menolaknya." Gita memutar kemudi ke kanan, memasuki jalanan menuju rumah Lukman. Rumah-rumah berjejer di kanan dan kiri jalan. Tapi kawasan itu cukup sepi mengingat area ini seperti apartemennya yang bukan berada di daerah pusat kota. "Bisa-bisa dia nanti datang ke apartemenku." Gita mengujarkan skenario terburuk yang mungkin terjadi jika dia tidak memenuhi undangan sahabat wanitanya itu. "Aku sangat kenal Dela. Dia nggak kenal kata menyerah." Dan dia tahu itu pasti akan terjadi. Dela tidak mudah menyerah. Dela akan terus mencoba, dalam berbagai cara, sampai dia tak tahan lagi dibuatn
"Kamu tahu, Dewa. Gita nggak bisa masak loh." Sontak, kepala Gita menoleh ke arah Dela segera setelah dia mendengar ucapan wanita itu. Alisnya bertaut, bingung kenapa tiba-tiba sahabatnya membahas perihal tersebut. "Dia pernah goreng ikan sampai gosong, bikin mie rebus tapi kebanyakan air, lupa kasih garam dan lada saat memanggang steak, dan banyak lagi." Dela menyebutkan beberapa contoh aibnya di dunia masak-memasak sebelum Gita dapat bereaksi pada pernyataannya sebelumnya. Oke. Gita akan mengakui bahwa kemampuan memasaknya adalah sangat biasa saja. Dan ya, dia pernah melakukan semua yang disebutkan Dela. Dia tidak terbiasa mengolah ikan jadi dia tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk membaliknya. Alhasil, dia jadi terlalu cepat melakukannya sehingga ikannya hancur. Untuk mie rebus, dia hanya menambahkan air sedikit lebih banyak dari yang seharusnya. Dan hasilnya tidak terlalu buruk selain rasanya menjadi lebih hambar. Terakhir soal steak, itu memang kesalahan Gita. Dia ingat ha
Gita berdiri di belakang para kru dengan kedua tangan bersidekap. Dia menatap lurus ke depan, tepatnya ke arah Farah yang tengah berpose dengan memakai dress selutut berwarna putih dan bermotif polkadot. Ini merupakan sesi photoshoot-nya untuk sebuah majalah sekaligus akan ada wawancara di akhir kegiatan ini. "Farah, gimana kalau kamu melompat sambil menunjukkan wajah ceria?" tanya wanita yang berdiri di samping Gita. Dia adalah penata gaya dari majalah. Farah menganggukkan kepalanya lalu melanjutkan sesi foto-fotonya. Dia mengikuti arahan wanita itu dengan beberapa kali melompat sembari tersenyum dan tertawa lebar. Tema yang digunakan kali ini adalah tentang keceriaan. Itulah kenapa motif polkadot di dress yang dikenakannya berwarna colorful. Kemudian, sang penata gaya memerintahkan seseorang untuk menyediakan kursi untuk Farah. Jadi, selanjutnya Farah mesti mencari pose yang menarik menggunakan kursi tersebut. Hal ini berlangsung selama beberapa saat hingga sesi photoshoot berak
Gita berjalan di belakang Farah, Bagas, dan Andin dan mengamati ketiganya saat mereka memasuki sebuah lobi hotel. Mereka berada di sana untuk makan siang. Itu merupakan permintaan Farah, tentunya. Dia mendadak ingin makan di hotel Adiwijaya. Hal itu jelas membuat jantung Gita berdetak cepat akibat kegugugan yang tiba-tiba melandanya. Bagaimana jika ada seseorang yang mengenalinya? "Farah, restorannya ada di sebelah kanan," ujar Andin ketika Farah masih berjalan lurus padahal mereka perlu berbelok ke kanan untuk mencapai restoran tujuan. Namun Farah mengabaikan ucapan Andin. Dia terus berjalan lurus menuju meja resepsionis. Mau tak mau tiga orang yang bersamanya harus mengikutinya dalam kebingungan. Detak jantung Gita semakin menggila seiring semakin dekatnya jarak mereka dengan meja resepsionis. Dia menatap gugup para staf yang berada lima meter di depannya. Semoga tidak ada yang mengenalinya. Tetapi, memang siapa dirinya hingga wajib dikenali oleh mereka? "Apakah Rangga Adiwija
Gita past sudahi gila karena telah mengajukan ide tersebut. Ya, tentu saja. Dia sudah menghadirkan Kirana dan Rangga dalam kencan ganda usulan Dela. Awalnya, Gita hanya mengajak Kirana. Itu supaya dia terbebas dari bujukan Dela dan tidak terjebak dengan Dewa. Dan dia bertekad untuk terus menempel kepada wanita itu. Tapi rupanya itu menjadi ide terburuk Gita. Kirana bersikeras untuk mengajak Rangga. Dia bahkan menjemput sepupunya itu dari Surabaya. Benar-benar gila! Tidak. Bukan Kirana yang gila, melainkan Gita. Lantas, bagaimana dia akan mengatasi situasi ini? "Jadi, ini teman yang kuceritakan. Ini Kirana dan di sebelahnya adalah Rangga." Gita memperkenalkan dua orang yang dibawanya pada tiga orang lain yang telah menunggunya di restoran untuk makan siang. Jika Gita pikirkan kembali, apa yang dikatakan Rangga dan Kirana ada benarnya. Ini waktunya baginya untuk memperkenalkan Rangga. Untungnya, Rangga dan Kirana setuju untuk tak membongkar semua kebenarannya secara langsung. "Hai
Akhirnya Gita mengatakannya. Meski bukan merupakan kebenaran yang sesungguhnya, dia menceritakan soal Rangga kepada sahabat baiknya. Dan dia nyaris salah tingkah akibat dari kegugupannya. "Lukman?" panggil Gita ketika tak memperoleh balasan dari pria itu. Tapi Lukman bergeming dan tetap melakukan apa yang dilakukannya. Mengamati Rangga. Oh, kedua bola matanya seperti akan lepas mengingat betapa seriusnya dia memperhatikan laki-laki itu. "Lukman," panggil Gita lagi. Kali ini sedikit lebih keras sembari menarik lengan Lukman untuk mengembalikan atensi pria itu kepadanya. "Apakah dia baik?" Itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Lukman sejak pengakuan Gita. Setelahnya, dia menatap sahabatnya dalam, meminta kejujurannya. "Sejauh ini, dia baik. Dia banyak membantuku." Salah! Gita seharusnya tidak menjawab begitu karena nantinya Lukman akan bertanya... "Membantu apa?" Ya, Lukman akan bertanya detailnya. Dia tahu betul bahwa Gita adalah wanita mandiri. Gita tidak akan dengan muda
Gita mengelap wajahnya yang basah dengan tisu. Dia merasa lega setelah meluapkan kekesalannya di toilet yang untungnya kosong ini. Ralat. Sedikit kekesalan. Tapi setidaknya, itu terobati dengan postingan terbaru Farah. Wanita itu menurutinya. Karena itulah, dia merasa tenang. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya terkejut mendapati Rangga berdiri di depan toilet, dan dia sangat yakin pria itu tengah menunggunya. "Nungguin kamu keluar." Kedua alis Gita berkerut mendengarnya. "Buat apa nungguin aku?" "Buat kasih kamu ini." Rangga lalu menyodorkan sesuatu kepada Gita. Itu merupakan sebuah bola kecil yang terbungkus aluminium berwarna kuning. Gita mengambilnya seraya otaknya menebak-nebak apa itu. "Itu cokelat. Itu akan bikin moodmu membaik." Sebenarnya, Gita sudah menduganya. Ini memang mirip bungkusan cokelat dari brand terkenal maupun cokelat buatan homemade. "Kamu beli di mana?" Gita membuka bungkusnya lalu mulai memakannya. Kedua alisnya terangkat begitu cokelat itu menyentuh li