Akhirnya Gita mengatakannya. Meski bukan merupakan kebenaran yang sesungguhnya, dia menceritakan soal Rangga kepada sahabat baiknya. Dan dia nyaris salah tingkah akibat dari kegugupannya. "Lukman?" panggil Gita ketika tak memperoleh balasan dari pria itu. Tapi Lukman bergeming dan tetap melakukan apa yang dilakukannya. Mengamati Rangga. Oh, kedua bola matanya seperti akan lepas mengingat betapa seriusnya dia memperhatikan laki-laki itu. "Lukman," panggil Gita lagi. Kali ini sedikit lebih keras sembari menarik lengan Lukman untuk mengembalikan atensi pria itu kepadanya. "Apakah dia baik?" Itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Lukman sejak pengakuan Gita. Setelahnya, dia menatap sahabatnya dalam, meminta kejujurannya. "Sejauh ini, dia baik. Dia banyak membantuku." Salah! Gita seharusnya tidak menjawab begitu karena nantinya Lukman akan bertanya... "Membantu apa?" Ya, Lukman akan bertanya detailnya. Dia tahu betul bahwa Gita adalah wanita mandiri. Gita tidak akan dengan muda
Gita mengelap wajahnya yang basah dengan tisu. Dia merasa lega setelah meluapkan kekesalannya di toilet yang untungnya kosong ini. Ralat. Sedikit kekesalan. Tapi setidaknya, itu terobati dengan postingan terbaru Farah. Wanita itu menurutinya. Karena itulah, dia merasa tenang. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya terkejut mendapati Rangga berdiri di depan toilet, dan dia sangat yakin pria itu tengah menunggunya. "Nungguin kamu keluar." Kedua alis Gita berkerut mendengarnya. "Buat apa nungguin aku?" "Buat kasih kamu ini." Rangga lalu menyodorkan sesuatu kepada Gita. Itu merupakan sebuah bola kecil yang terbungkus aluminium berwarna kuning. Gita mengambilnya seraya otaknya menebak-nebak apa itu. "Itu cokelat. Itu akan bikin moodmu membaik." Sebenarnya, Gita sudah menduganya. Ini memang mirip bungkusan cokelat dari brand terkenal maupun cokelat buatan homemade. "Kamu beli di mana?" Gita membuka bungkusnya lalu mulai memakannya. Kedua alisnya terangkat begitu cokelat itu menyentuh li
Gita menguap lebar hingga menghasilkan air mata di sudut-sudut matanya. Dia menghapusnya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya cukup keras untuk menghilangkan kantuknya. "Maaf. Aku nggak bisa tidur semalam," ujarnya sebelum Kirana bertanya. Sesuai janjinya, Gita menemani wanita itu dan mendatangi butik langganan Kirana untuk mendiskusikan soal gaun untuk pesta ulang tahunnya. "Dia kebayang-bayang hantu yang ditonton kemarin," ejek Rangga. Juga bersama Rangga. Suaminya itu memutuskan ikut karena tidak ada yang bisa dilakukannya selain menghabiskan akhir pekan dengan Gita sementara dia memilih untuk menemui sepupunya. Gita sontak memberikan lirikan tajamnya pada Rangga. Tidakkah Rangga puas mengomelinya untuk tak lagi menonton film horor? Yah, meski dia menikmatinya, dia akan mengakui jika terkadang dia takut juga karenanya hingga terbayang-bayang di dalam mimpi. Namun, dia tidak pernah merasa kapok. "Kukira kamu nggak bisa tidur karena alasan lain." Kirana menimpali. Dia menyesap k
"Kita mau pergi ke mana?" tanya Gita ketika dilihatnya Rangga membelokkan mobil yang mereka tumpangi ke kanan, mengarah ke barat Jakarta. Mereka jelas-jelas bukan menuju apartemennya, Adiwijaya Hotel, maupun rumah Kirana karena seharusnya rumahnya berada di wilayah selatan ibu kota. Lantas, ke mana mereka akan pergi? "Kita akan ke pantai dan membeli es krim," jawab Rangga tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya. Dia tampak santai, mengendarai di jalanan yang padat di akhir pekan. Jika itu Gita, dia pasti memilih... untuk tak ke mana pun. Dia akan memilih untuk bergelung di kasur nyamannya jika tidak punya pekerjaan ataupun janji dengan seseorang, kecuali dia memang ingin jalan-jalan mengelilingi kota. Tapi dia biasanya menggunakan bus atau terkadang berjalan kaki. "Iya. Ada kafe es krim yang enak di dekat pantai." Kirana menimpali dari kursi belakang. "Dan mungkin kita bisa makan siang bareng karena itu ini sudah siang." Mereka menyelesaikan urusan mereka dengan Ni
"Gimana perasaanmu habis pisah sama dia?" "Maksudmu Rangga?" "Iya. Siapa lagi?" Gita dan Kirana baru saja kembali dari bandara setelah mengantarkan kepergian Rangga. Ini adalah Minggu malam, hari di mana Rangga mesti kembali ke Surabaya. Gita menatap jalanan di depannya sembari memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Sejujurnya dia tidak mengerti maksud Kirana sebenarnya. "Kamu merasa sedih yang lain?" tanya Kirana lagi, kali ini memberikan contoh untuk memperjelas maksudnya. Gita kembali berpikir. Apakah dia sedih? Dia menggelengkan kepalanya ragu. "Nggak." "Trus, seneng?" Bola matanya bergerak ke kanan, tanda bahwa dia sedang berpikir. "Nggak." "Marah? Kecewa?" "Nggak juga." "Bingung?" "Nggak." Lalu hening. Kirana masih berfokus pada jalanan menuju apartemen Gita. Tapi wajahnya menunjukkan dia tengah berpikir. "Kalian sepertinya memang butuh waktu." "Untuk apa?" "Untuk saling memupuk cinta." Kirana membelokkan mobil yang mereka tumpangi ke kiri. Sepuluh menit
Gita memperhatikan Farah yang tengah bersalaman dengan Pak Deni, CEO dari Organisasi Sosial. Kemudian mereka berdua melihat ke arah depan, tepatnya ke arah kamera, lalu tersenyum. Ini merupakan acara pembukaan dari rangkaian kegiatan yang akan berlangsung seharian ini di panti asuhan. Rangakaian acara tersebut antara lain penyerahan donasi, makan siang, dan melakukan kegiatan bersama anak-anak panti asuhan. Ya, semua acara itu adalah untuk media dalam rangka menciptakan image di hadapan publik. Farah bertepuk tangan ketika sang CEO menyerahkan sebuah tulisan besar, sebagai simbol donasi, kepada pengurus panti asuhan. Hal itu membuat orang-orang di sekitar juga bertepuk tangan, membuat situasi menjadi meriah. Dan tak lupa sesi berfoto. Sang CEO bergantian menyalami para pengurus panti asuhan, dan tiap gilirannya harus ada foto yang diambil. Mereka semua lalu masuk ke sebuah ruangan dan berbincang-bincang. Lagi-lagi, sesi foto yang tidak boleh dilupakan untuk setiap kegiatan. Gita s
"Mereka lucu banget." Itu merupakan kalimat pertama Gita ketika panggilannya tersambung dengan Rangga dan setelah dia mengirimkan fotonya bersama anak-anak panti sebelumnya. "Iya," balas Rangga seraya mengusap rambut basahnya dengan handuk. Ini adalah rutinitasnya untuk mandi air hangat sebelum tidur. Dia bahkan berendam untuk beberapa saat jika dirasa tubuhnya sangat lelah. Ini akan membantunya tidur dengan lebih nyenyak. "Sampai jam berapa tadi kalian di sana?" "Kita pulang jam empat, jadi kita di sana sekitar lima jam." Gita lalu meletakkan ponselnya dan mengubahnya dalam mode speaker sebelum berjalan menuju lemari pakaiannya. "Kamu baru sampai rumah?" tanya Rangga lagi.Gita mengambil pakaian santainya dari dalam lemari--sebuah kaos kebesaran dan celana pendek. "Nggak juga. Aku baru selesai mandi." Dia sedikit mengeraskan suaranya mengingat jaraknya cukup jauh dari ponselnya. "Sudah makan malam?" "Kita tadi beli fastfood sebelum pulang." Gita mulai berganti pakaian saat mend
Gita seperti mendengar sesuatu. Atau tidak? Itu terdengar sangat samar sehingga dia tidak tahu apa didengarnya adalah kenyataan atau mimpi semata. Mimpi? Tunggu. Bukankah dia baru saja mengakhiri panggilan teleponnya dengan Rangga sebelum tidur? Barulah saat itu, kedua matanya membuka lebar. Rasanya seakan-akan dia ditarik dari dalam mimpi dan dipaksa untuk bangun dari tidurnya. Untuk sesaat, dia menebak suara tersebut berasal dari alarmnya. Namun kemudian disadarinya jika alarmnya tidak seberisik itu. Dia menggunakan nada ombak dan angin yang tenang jadi itu tak pernah akan mengagetkannya. Lalu dia menolehkan kepalanya cepat ke arah nakas tempat tidurnya ketika sebuah kesadaran menghampirinya. Itu nada dering ponselnya saat ada panggilan telepon masuk. Jadi dia dengan segera mengambil ponselnya dan melihat sekilas jam di layarnya. Ini baru jam dua pagi!"Halo," sapanya masih di antara mimpi dan kenyataan. "Halo. Apakah benar ini teman Farah?" balas sebuah suara berat dari seber