"Gimana perasaanmu habis pisah sama dia?" "Maksudmu Rangga?" "Iya. Siapa lagi?" Gita dan Kirana baru saja kembali dari bandara setelah mengantarkan kepergian Rangga. Ini adalah Minggu malam, hari di mana Rangga mesti kembali ke Surabaya. Gita menatap jalanan di depannya sembari memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Sejujurnya dia tidak mengerti maksud Kirana sebenarnya. "Kamu merasa sedih yang lain?" tanya Kirana lagi, kali ini memberikan contoh untuk memperjelas maksudnya. Gita kembali berpikir. Apakah dia sedih? Dia menggelengkan kepalanya ragu. "Nggak." "Trus, seneng?" Bola matanya bergerak ke kanan, tanda bahwa dia sedang berpikir. "Nggak." "Marah? Kecewa?" "Nggak juga." "Bingung?" "Nggak." Lalu hening. Kirana masih berfokus pada jalanan menuju apartemen Gita. Tapi wajahnya menunjukkan dia tengah berpikir. "Kalian sepertinya memang butuh waktu." "Untuk apa?" "Untuk saling memupuk cinta." Kirana membelokkan mobil yang mereka tumpangi ke kiri. Sepuluh menit
Gita memperhatikan Farah yang tengah bersalaman dengan Pak Deni, CEO dari Organisasi Sosial. Kemudian mereka berdua melihat ke arah depan, tepatnya ke arah kamera, lalu tersenyum. Ini merupakan acara pembukaan dari rangkaian kegiatan yang akan berlangsung seharian ini di panti asuhan. Rangakaian acara tersebut antara lain penyerahan donasi, makan siang, dan melakukan kegiatan bersama anak-anak panti asuhan. Ya, semua acara itu adalah untuk media dalam rangka menciptakan image di hadapan publik. Farah bertepuk tangan ketika sang CEO menyerahkan sebuah tulisan besar, sebagai simbol donasi, kepada pengurus panti asuhan. Hal itu membuat orang-orang di sekitar juga bertepuk tangan, membuat situasi menjadi meriah. Dan tak lupa sesi berfoto. Sang CEO bergantian menyalami para pengurus panti asuhan, dan tiap gilirannya harus ada foto yang diambil. Mereka semua lalu masuk ke sebuah ruangan dan berbincang-bincang. Lagi-lagi, sesi foto yang tidak boleh dilupakan untuk setiap kegiatan. Gita s
"Mereka lucu banget." Itu merupakan kalimat pertama Gita ketika panggilannya tersambung dengan Rangga dan setelah dia mengirimkan fotonya bersama anak-anak panti sebelumnya. "Iya," balas Rangga seraya mengusap rambut basahnya dengan handuk. Ini adalah rutinitasnya untuk mandi air hangat sebelum tidur. Dia bahkan berendam untuk beberapa saat jika dirasa tubuhnya sangat lelah. Ini akan membantunya tidur dengan lebih nyenyak. "Sampai jam berapa tadi kalian di sana?" "Kita pulang jam empat, jadi kita di sana sekitar lima jam." Gita lalu meletakkan ponselnya dan mengubahnya dalam mode speaker sebelum berjalan menuju lemari pakaiannya. "Kamu baru sampai rumah?" tanya Rangga lagi.Gita mengambil pakaian santainya dari dalam lemari--sebuah kaos kebesaran dan celana pendek. "Nggak juga. Aku baru selesai mandi." Dia sedikit mengeraskan suaranya mengingat jaraknya cukup jauh dari ponselnya. "Sudah makan malam?" "Kita tadi beli fastfood sebelum pulang." Gita mulai berganti pakaian saat mend
Gita seperti mendengar sesuatu. Atau tidak? Itu terdengar sangat samar sehingga dia tidak tahu apa didengarnya adalah kenyataan atau mimpi semata. Mimpi? Tunggu. Bukankah dia baru saja mengakhiri panggilan teleponnya dengan Rangga sebelum tidur? Barulah saat itu, kedua matanya membuka lebar. Rasanya seakan-akan dia ditarik dari dalam mimpi dan dipaksa untuk bangun dari tidurnya. Untuk sesaat, dia menebak suara tersebut berasal dari alarmnya. Namun kemudian disadarinya jika alarmnya tidak seberisik itu. Dia menggunakan nada ombak dan angin yang tenang jadi itu tak pernah akan mengagetkannya. Lalu dia menolehkan kepalanya cepat ke arah nakas tempat tidurnya ketika sebuah kesadaran menghampirinya. Itu nada dering ponselnya saat ada panggilan telepon masuk. Jadi dia dengan segera mengambil ponselnya dan melihat sekilas jam di layarnya. Ini baru jam dua pagi!"Halo," sapanya masih di antara mimpi dan kenyataan. "Halo. Apakah benar ini teman Farah?" balas sebuah suara berat dari seber
Kepala Gita celingukan ke kanan dan ke kiri dengan menggenggam ponsel di tangannya. Kentara sekali dia tengah menunggu seseorang. "Kamu lagi nyari siapa?" tanya Jenny dengan kedua alis berkerut, di sebelah Gita. Mereka baru saja selesai membahas kontrak untuk Farah. "Aku lagi nunggu seseorang," jawab Gita sedikit menggantung tiap kata-katanya. Kerutan di dahi Jenny semakin jelas. "Kamu kenal seseorang yang kerja di sini?" tanyanya lagi. Anggukan diberikan Gita namun matanya mesih berfokus untuk mengamati sekitarnya. "Iya. Dia bilang akan menemuiku di lobi." "Kalau gitu, kita tunggu di sofa saja." Tapi mereka baru saja berjalan selangkah dan mengubah arah ketika Gita menemukan orang ditunggu-tungggunya keluar dari lift. "Kirana," serunya sembari mengangkat tangan untuk menunjukkan keberadaannya. "Dia orangnya?" Gita mengangguk yakin. "Iya." "Bukankah dia CEO perusahaan ini?" Lagi. Anggukan yakin diberikan Gita. Kali ini, dengan senyum lebar seiring jarak Kirana dan dirinya ya
Gita mengambil bungkusan lalu mengeluarkan isinya. Itu merupakan toples kecil berisi beberapa kotak yang terbungkus aluminium kuning. Ya, akhirnya dia membeli cokelat setelah berdiskusi cukup lama dengan sang pemilik toko kue. Ternyata owner-nya sangat baik. Dia memberikan bebsampel gratis, yakni beberapa cokelat yang tersedia di etalase untuk Gita coba, dan juga mendengarkan setiap reaksi dan kesannya setelahnya. Itu menciptakan situasi yang nyaman bagi Gita untuk mengatakan apa yang diinginkannya meski Gita tidak yakin bisa mendeskripsikannya dengan baik dalam kata-kata. Namun dia mengerti, dan itu adalah poin plusnya. Karena itulah, Gita tak masalah untuk menunggu sang owner membuatkannya sampel coklat sesuai yang diinginkannya untuk kemudian dilanjutkan membuat apa kini ada dihadapannya. Senyum puas tersungging di bibirnya. Entah kenapa dia merasa lebih dekat dengan Rangga, dan dia ingin membagikan kesenangannya ini. Gita mengambil ponselnya lalu mulai menggulirkan jarinya unt
Gita melangkahkan kakinya dengan pelan, bahkan sangat pelan. Dia juga bahkan berhenti cukup lama di setiap langkahnya sebelum berlanjut ke langkah selanjutnya. Terkadang, dia mengambil langkah mundur saat sesuatu menarik perhatiannya. Itulah yang dilakukannya sejak satu jam terakhir. Mengelilingi toko buku terbesar di Jakarta. Itu demi memenuhi janjinya kepada Rangga. Tapi, jujur, dia merasa sedikit ragu-ragu, mendatangi toko buku dengan hanya berharap untuk menemukan sesuatu. Ada banyak buku, tentunya, dan itu jelas membuatnya bingung. Buku manakah yang mesti dibelinya? Buku pengantar bisnis tampak membosankan--dia menghabiskan banyak waktu untuk membaca cepat beberapa isi babnya--dan buku yang terlalu bisnis juga sangat, sangat memusingkannya. Dia hanya membacanya dengan tatapan kosong, sementara otaknya sama sekali enggan memprosesnya. Lagi pula, ada banyak buku! Seharusnya, dia meminta rekomendasi Rangga. Gita mengambil sebuah buku yang berukuran cukup tebal, sekitar empat cen
Pertama-tama, Dewa mengajak Gita berjalan-jalan di seputar area toko buku. Mereka berhenti di setiap stand makanan atau foodtruck untuk mencoba makanan yang mereka jual. Crepes, latte, sandwich, sosis, es krim, dan masih banyak lagi. "Nggak, nggak, nggak," tolak Gita ketika Dewa menunjuk stand terdekat dari posisi keduanya. Tempat itu menjual kebab, dan meski itu tampak sangat menggiurkan, perutnya mulai terasa kenyang. Artinya, ini waktunya baginya untuk berhenti atau perutnya akan sakit. "Cuma satu gigit aja," bujuk Dewa tapi masih menarik tangan Gita walaupun wanita itu sudah menolaknya. "Kebabnya dua ya," ujarnya pada seorang laki-laki muda, penjual di balik meja. "Nggak. Satu aja," ralat Gita cepat. "Aku nggak sanggup lagi, Dewa," pintanya kepada lelaki di sebelahnya. "Oke, cuma satu dan itu untukmu." Akhirnya, Dewa menuruti Gita tapi kenapa tetap untuknya? Gita menggelengkan kepalanya lebih keras dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak sanggup makan lagi. Justru akan memaluk
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me