Gita mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja menatap bungkusan yang tak tersentuh semenjak dia meletakkannya di sana beberapa menit yang lalu. Dia bahkan tidak mengetahui pasti isinya selain melihatnya sekilas di toko tadi. Dia bingung atas keputusannya. Benarkah apa yang dilakukannya? Ketukan jari di meja untuk sesaat berhenti ketika sebuah ide bodoh melintas di kepalanya. Dia akan mengembalikan bungkusan tersebut kepada pemberinya. Tapi apakah itu pantas dia lakukan setelah itu telah berada di atas mejanya. Hal ini pasti akan membuatnya terlihat tak sopan. Ketukannya berlanjut begitu dia mencoret ide tersebut. Dia memerlukan cara lain. Dan hembusan napas berat keluar dari bibirnya ketika dia tidak dapat menemukannya. Dia menyandarkan tubuhnya dengan rasa frustasi yang menyelimutinya. Seharusnya dia bersikeras menolak ide itu, bukannya membiarkan sisi tak teganya mengambil alih. Ini hanya akan membuatnya dalam dilema. Selalu begitu.Kemudian, pandangannya beralih pada ponsel di sebelah
Dia merasa terganggu. Rangga tidak tahu pasti kapan semua ini bermula, tapi dia sudah merasakannya ketika panggilan telepon mereka berakhir. Dia merasa terganggu, atau kesal, kecewa, sesuatu yang mirip seperti itu. Dia tidak dapat mendeskripsikannya dengan tepat. Yang jelas, dia merasa mood-nya memburuk. Dia mengancingkan jasnya secara asal tapi kemudian melepaskannya ketika dia merasakan sesak. Dia akan pergi dengan mengenakan pakaian yang lebih santai meski tetap mengenakan setelan resmi. Toh, dia hanya perlu mematuhi dresscode, mengenakan setelan dan rapi. "Malam, Mas Rangga," sapa Pak Cipto, owner dari Suara Harian, salah satu koran koran terkenal skala nasional. Ini merupakan perayaan tahun keenam puluhnya berdiri di Indonesia. "Makasih sudah datang," lanjutnya, menjabat tangan Rangga. "Sama-sama, Pak Cipto. Ini hari spesial untuk Suara Harian, jadi saya harus datang. Selamat ya!" "Makasih. Kita tidak akan bisa sampai di sini tanpa bantuan keluarga Adiwijaya ya." Rangga seb
Akhirnya pesta ulang tahun Kirana pun dilaksanakan. Pesta itu diadakan di Adiwijaya Hotel, tentunya, dan mengambil tema sesuai dengan yang telah mereka sepakati. Bajak laut. "Selamat, Ki. Happy birthday," ujar Gita saat duo Adiwijaya itu saling berpelukan. Dia lalu menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna putih. "Ini hadiahmu." "Makasih, Git." Kirana membukanya dan sedikit terkejut setelah menemukan apa yang ada di dalam kotak tersebut. Gita memberikannya sebuah gelang minimalis dengan tiga mutiara tidak terlalu besar. Juga ada inisial namanya yang tergantung di sana. "Ini cantik banget, Git." Dia lalu mengeluarkannya dan memberikannya kepada Gita untuk membantunya memakainya. Gita harus berterima kasih kepada Dewa soal ini. Hadiah pria itu memberikan sebuah ide untuk memesan gelang khusus untuk Kirana. Yah, walaupun dia hanya meminta staf toko untuk menambahkan inisial nama Kirana sesuai permintaannya. "Selamat ulang tahun, Kirana Adiwijaya," kata Rangga yang berdiri di sebelah Gi
Pukul tujuh, hall sudah dipenuhi oleh para tamu yang hampir semuanya tidak Gita kenal. Dia cuma tahu beberapa orang terkenal seperti Joshua, sutradara yang terkenal kejam namun berbakat, Miranda, aktris utama di film terakhir Joshua, dan Citra, aktris yang akan bermain di proyek Joshua selanjutnya yang tentunya masih rahasia. Namun, tak satu pun dari mereka yang Gita pernah berinteraksi langsung. "Hei, memangnya kamu siapa sampai mereka mau repot-repot kenal kamu?" begitu pikirnya.Gita rasa-rasanya seperti terdampar di gurun pasir. Tidak. Lebih tepatnya, dia merasa seperti sendirian di tengah keramaian ini. Kirana, sebagai orang yang berulang tahun, harus berkeliling menyapa para tamunya. Putra, kekasihnya, kadang-kadang menemani Kirana atau malah tertinggal di tengah keramaian saat Kirana pergi meninggalkannya untuk mendatangi tamu lain.Sementara itu, Rangga, seseorang yang dia kenal baik, sebenarnya bersedia untuk selalu ada di sisinya. Namun, kehadiran Rangga selalu menarik perha
Gita membiarkan air mengalir dan membasahi kedua tangannya cukup lama untuk menyebarkan rasa dinginnya ke seluruh tubuhnya dan mendinginkan rasa gerah yang dirasakannya walaupun dia tahu itu jelas tidak berguna. Bagaimana mungkin air dapat meredakan kekesalannya? Tapi anehnya, Gita mendapat sedikit ketenangan dengan melakukannya. Napasnya menjadi lebih teratur dan tidak ada lagi hal-hal yang menganggu pikirannya saat melihat air yang mengalir dari keran di wastafel. Dia pun merasa jauh, jauh lebih baik dibandingkan sebelum masuk ke dalam toilet lima belas menit lalu. Tak lama kemudia, dia merasa sudah cukup. Jadi dia mematikan keran lalu mengambil tisu untuk mengeringkan tangannya. Setelah membuangnya ke tempat sampah, dia melihat pantulan dirinya di cermin untuk yang terakhir kali. Dia berusaha untuk tersenyum dan kali ini, itu tampak normal. Artinya dia berhasil mengontrol emosinya. Jadi, ini waktunya meninggalkan tempat ini. "Kamu membawanya?" Gita langsung mendengar suara Far
Gita mengikuti Farah dengan jarak yang tak terlalu dekat namun juga tidak jauh untuk memastikan dirinya tak terdeteksi. Keremangan memudahkannya dalam mengawasi targetnya. Oh, dia merasa seperti seorang mata-mata dalam film-film aksi. Kegugupan dan antisipasi bercampur jadi satu. Tapi satu yang pasti, dia harus terus memastikan targetnya tetap dalam jarak pandangnya. Dan juga, dia perlu membuat sebuah rencana. "Hai, semuanya," ucap Farah, bergabung dalam lingkaran keluarga Adiwijaya. Di sana ada Rangga, Kirana, dan Putra. Sang pemilik pesta baru saja kembali dari lantai dansa. "Pestanya benar-benar amazing. Aku baru tahu tema bajak laut akan semenyenangkan ini." Pujiannya terdengar meragukan karena dia bahkan tidak repot-repot mengenakan kostus sesuai dresscode. Meski demikian, Kirana harus ramah ke tamunya. Jadi dia memberikan senyumannya dan berucap, "Makasih." "Happy birthday." Kirana hanya membalas ucapan tersebut dengan senyum. "Kenapa kamu nggak berdansa?" Farah tertawa. "A
Gita dan Rangga kembali dari lantai dansa setelah menghabiskan waktu hampir dua puluh menit berdansa dan menikmati musik syahdu. Mereka berjalan dengan tawa menghiasi wajah masing-masing, menandakan bahwa baik baik terjadi kepada keduanya. "Apa ini? Kalian kembali seperti orang yang berbeda padahal kalian cuma berdansa," goda Kirana. Dia dapat melihat sesuatu yang perlahan-lahan tumbuh di antara Gita dan Rangga. "Sepupumu itu lucu. Dia bilang mau mengadakan pesta dengan dansa sepanjang acara," kata Gita di sela-sela tawanya. "Why not? Bukannya itu jadi seperti di jaman dulu? Pesta para bangsawan adalah soal dansa." Gita tertawa mendengarnya hingga dia tidak menyadari ada seseorang yang lewat di belakangnya. Dia akan menabraknya jika Rangga tidak sigap untuk memegang lengannya dan menariknya. Oh, ini seperti adegan dalam film-film romantis yang dulu pernah ditontonnya. "Itu kan jaman dulu," balasnya usai pulih dari situasi tersebut. Tak dapat dipungkiri, jantungnya sempat berdetak
Secepat kesadaran itu menghampirinya, secepat itu pula responnya dipaksa untuk aktif. Dia harus meninggalkan tempat ini sekarang. Maka, dia keluar dari toilet dengan terburu-buru. Tapi kakinya seketika berhenti begitu menemukan Rangga tengah berdiri di depan toilet. Pria itu menunggunya? Namun Gita tidak bisa menunjukkan dirinya. Dia terlalu berantakan dan panas. Akan buruk jika Rangga melihatnya seperti ini. "Gita," panggil Rangga yang dengan segera menghampirinya. Rangga terdengar khawatir, begitu pun raut wajahnya. Gita sedikit memiringkan tubuhnya dengan satu tangan yang menutupi kedua matanya. Matanya sembab dan dia tak mau Rangga melihatnya. "Kenapa di sini?" Bahkan suaranya pun parau akibat tangisannya. Ini benar-benar dirinya dalam versi terkacau. "Aku nungguin kamu." Ya, siapa pun tahu itulah yang memang dilakukan Rangga. Dia mengejarnya begitu Gita meninggalkannya. Dan dia melihat wanitanya memasuki toilet jadi dia menunggu di luar dengan sabar dan cemas tanpa berniat m