"Mereka lucu banget." Itu merupakan kalimat pertama Gita ketika panggilannya tersambung dengan Rangga dan setelah dia mengirimkan fotonya bersama anak-anak panti sebelumnya. "Iya," balas Rangga seraya mengusap rambut basahnya dengan handuk. Ini adalah rutinitasnya untuk mandi air hangat sebelum tidur. Dia bahkan berendam untuk beberapa saat jika dirasa tubuhnya sangat lelah. Ini akan membantunya tidur dengan lebih nyenyak. "Sampai jam berapa tadi kalian di sana?" "Kita pulang jam empat, jadi kita di sana sekitar lima jam." Gita lalu meletakkan ponselnya dan mengubahnya dalam mode speaker sebelum berjalan menuju lemari pakaiannya. "Kamu baru sampai rumah?" tanya Rangga lagi.Gita mengambil pakaian santainya dari dalam lemari--sebuah kaos kebesaran dan celana pendek. "Nggak juga. Aku baru selesai mandi." Dia sedikit mengeraskan suaranya mengingat jaraknya cukup jauh dari ponselnya. "Sudah makan malam?" "Kita tadi beli fastfood sebelum pulang." Gita mulai berganti pakaian saat mend
Gita seperti mendengar sesuatu. Atau tidak? Itu terdengar sangat samar sehingga dia tidak tahu apa didengarnya adalah kenyataan atau mimpi semata. Mimpi? Tunggu. Bukankah dia baru saja mengakhiri panggilan teleponnya dengan Rangga sebelum tidur? Barulah saat itu, kedua matanya membuka lebar. Rasanya seakan-akan dia ditarik dari dalam mimpi dan dipaksa untuk bangun dari tidurnya. Untuk sesaat, dia menebak suara tersebut berasal dari alarmnya. Namun kemudian disadarinya jika alarmnya tidak seberisik itu. Dia menggunakan nada ombak dan angin yang tenang jadi itu tak pernah akan mengagetkannya. Lalu dia menolehkan kepalanya cepat ke arah nakas tempat tidurnya ketika sebuah kesadaran menghampirinya. Itu nada dering ponselnya saat ada panggilan telepon masuk. Jadi dia dengan segera mengambil ponselnya dan melihat sekilas jam di layarnya. Ini baru jam dua pagi!"Halo," sapanya masih di antara mimpi dan kenyataan. "Halo. Apakah benar ini teman Farah?" balas sebuah suara berat dari seber
Kepala Gita celingukan ke kanan dan ke kiri dengan menggenggam ponsel di tangannya. Kentara sekali dia tengah menunggu seseorang. "Kamu lagi nyari siapa?" tanya Jenny dengan kedua alis berkerut, di sebelah Gita. Mereka baru saja selesai membahas kontrak untuk Farah. "Aku lagi nunggu seseorang," jawab Gita sedikit menggantung tiap kata-katanya. Kerutan di dahi Jenny semakin jelas. "Kamu kenal seseorang yang kerja di sini?" tanyanya lagi. Anggukan diberikan Gita namun matanya mesih berfokus untuk mengamati sekitarnya. "Iya. Dia bilang akan menemuiku di lobi." "Kalau gitu, kita tunggu di sofa saja." Tapi mereka baru saja berjalan selangkah dan mengubah arah ketika Gita menemukan orang ditunggu-tungggunya keluar dari lift. "Kirana," serunya sembari mengangkat tangan untuk menunjukkan keberadaannya. "Dia orangnya?" Gita mengangguk yakin. "Iya." "Bukankah dia CEO perusahaan ini?" Lagi. Anggukan yakin diberikan Gita. Kali ini, dengan senyum lebar seiring jarak Kirana dan dirinya ya
Gita mengambil bungkusan lalu mengeluarkan isinya. Itu merupakan toples kecil berisi beberapa kotak yang terbungkus aluminium kuning. Ya, akhirnya dia membeli cokelat setelah berdiskusi cukup lama dengan sang pemilik toko kue. Ternyata owner-nya sangat baik. Dia memberikan bebsampel gratis, yakni beberapa cokelat yang tersedia di etalase untuk Gita coba, dan juga mendengarkan setiap reaksi dan kesannya setelahnya. Itu menciptakan situasi yang nyaman bagi Gita untuk mengatakan apa yang diinginkannya meski Gita tidak yakin bisa mendeskripsikannya dengan baik dalam kata-kata. Namun dia mengerti, dan itu adalah poin plusnya. Karena itulah, Gita tak masalah untuk menunggu sang owner membuatkannya sampel coklat sesuai yang diinginkannya untuk kemudian dilanjutkan membuat apa kini ada dihadapannya. Senyum puas tersungging di bibirnya. Entah kenapa dia merasa lebih dekat dengan Rangga, dan dia ingin membagikan kesenangannya ini. Gita mengambil ponselnya lalu mulai menggulirkan jarinya unt
Gita melangkahkan kakinya dengan pelan, bahkan sangat pelan. Dia juga bahkan berhenti cukup lama di setiap langkahnya sebelum berlanjut ke langkah selanjutnya. Terkadang, dia mengambil langkah mundur saat sesuatu menarik perhatiannya. Itulah yang dilakukannya sejak satu jam terakhir. Mengelilingi toko buku terbesar di Jakarta. Itu demi memenuhi janjinya kepada Rangga. Tapi, jujur, dia merasa sedikit ragu-ragu, mendatangi toko buku dengan hanya berharap untuk menemukan sesuatu. Ada banyak buku, tentunya, dan itu jelas membuatnya bingung. Buku manakah yang mesti dibelinya? Buku pengantar bisnis tampak membosankan--dia menghabiskan banyak waktu untuk membaca cepat beberapa isi babnya--dan buku yang terlalu bisnis juga sangat, sangat memusingkannya. Dia hanya membacanya dengan tatapan kosong, sementara otaknya sama sekali enggan memprosesnya. Lagi pula, ada banyak buku! Seharusnya, dia meminta rekomendasi Rangga. Gita mengambil sebuah buku yang berukuran cukup tebal, sekitar empat cen
Pertama-tama, Dewa mengajak Gita berjalan-jalan di seputar area toko buku. Mereka berhenti di setiap stand makanan atau foodtruck untuk mencoba makanan yang mereka jual. Crepes, latte, sandwich, sosis, es krim, dan masih banyak lagi. "Nggak, nggak, nggak," tolak Gita ketika Dewa menunjuk stand terdekat dari posisi keduanya. Tempat itu menjual kebab, dan meski itu tampak sangat menggiurkan, perutnya mulai terasa kenyang. Artinya, ini waktunya baginya untuk berhenti atau perutnya akan sakit. "Cuma satu gigit aja," bujuk Dewa tapi masih menarik tangan Gita walaupun wanita itu sudah menolaknya. "Kebabnya dua ya," ujarnya pada seorang laki-laki muda, penjual di balik meja. "Nggak. Satu aja," ralat Gita cepat. "Aku nggak sanggup lagi, Dewa," pintanya kepada lelaki di sebelahnya. "Oke, cuma satu dan itu untukmu." Akhirnya, Dewa menuruti Gita tapi kenapa tetap untuknya? Gita menggelengkan kepalanya lebih keras dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak sanggup makan lagi. Justru akan memaluk
Gita mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja menatap bungkusan yang tak tersentuh semenjak dia meletakkannya di sana beberapa menit yang lalu. Dia bahkan tidak mengetahui pasti isinya selain melihatnya sekilas di toko tadi. Dia bingung atas keputusannya. Benarkah apa yang dilakukannya? Ketukan jari di meja untuk sesaat berhenti ketika sebuah ide bodoh melintas di kepalanya. Dia akan mengembalikan bungkusan tersebut kepada pemberinya. Tapi apakah itu pantas dia lakukan setelah itu telah berada di atas mejanya. Hal ini pasti akan membuatnya terlihat tak sopan. Ketukannya berlanjut begitu dia mencoret ide tersebut. Dia memerlukan cara lain. Dan hembusan napas berat keluar dari bibirnya ketika dia tidak dapat menemukannya. Dia menyandarkan tubuhnya dengan rasa frustasi yang menyelimutinya. Seharusnya dia bersikeras menolak ide itu, bukannya membiarkan sisi tak teganya mengambil alih. Ini hanya akan membuatnya dalam dilema. Selalu begitu.Kemudian, pandangannya beralih pada ponsel di sebelah
Dia merasa terganggu. Rangga tidak tahu pasti kapan semua ini bermula, tapi dia sudah merasakannya ketika panggilan telepon mereka berakhir. Dia merasa terganggu, atau kesal, kecewa, sesuatu yang mirip seperti itu. Dia tidak dapat mendeskripsikannya dengan tepat. Yang jelas, dia merasa mood-nya memburuk. Dia mengancingkan jasnya secara asal tapi kemudian melepaskannya ketika dia merasakan sesak. Dia akan pergi dengan mengenakan pakaian yang lebih santai meski tetap mengenakan setelan resmi. Toh, dia hanya perlu mematuhi dresscode, mengenakan setelan dan rapi. "Malam, Mas Rangga," sapa Pak Cipto, owner dari Suara Harian, salah satu koran koran terkenal skala nasional. Ini merupakan perayaan tahun keenam puluhnya berdiri di Indonesia. "Makasih sudah datang," lanjutnya, menjabat tangan Rangga. "Sama-sama, Pak Cipto. Ini hari spesial untuk Suara Harian, jadi saya harus datang. Selamat ya!" "Makasih. Kita tidak akan bisa sampai di sini tanpa bantuan keluarga Adiwijaya ya." Rangga seb