"Aku lihat loh." Seketika kerutan tercetak di dahi Gita begitu mendengar kalimat pertama Dela. Dia baru saja sampai dan langsung mendapati wanita itu berkata demikian. Itu jelas membingungkannya. "Apa yang kamu lihat?" "Kamu barusan keluar dari mobil hitam tapi itu bukan mobilmu." Dan kerutan Gita menghilang seiring kelegaan yang dirasakannya. Ternyata Dela melihatnya turun dari mobil Rangga. Atau lebih tepatnya, mobil Kirana yang Rangga pinjam untuk mengantarkannya ke sini. Untungnya, dia meminta Rangga menurunkannya agak jauh jadi Dela tidak bisa melihat siapa yang mengendarainya. "Kamu ingat Kirana? Dia yang anterin aku ke sini." Kenapa bukan nama Rangga yang keluar dari bibirnya?"Kamu sering ketemu dia?" "Nggak juga. Kita beberapa kali ketemu untuk membahas soal rekomendasiku." Dan kebohongan Gita terus berlanjut. "Rekomendasi apa?" "Pesta ulang tahunnya." Dan lagi-lagi terus berlanjut. Betapa bodoh Gita yang tak berani mengungkapkan kebenarannya padahal ini hanya sesimpel
Gita dan Dela sedang mengobrol dan bercanda ketika Lukman dan Dewa tiba-tiba datang. Dela juga terkejut melihat kehadiran mereka. Meski mereka semua berjanji makan malam bersama, dia tidak pernah tahu Dewa akan datang. "Kamu nggak bilang Dewa akan ikut ke sini?" Tanya Gita--protes--kepada Dela dengan berbisik-bisik. "Aku juga nggak tahu. Lukman nggak ngomong apa-apa soalnya." Dela membalas Gita dengan cara yang sama. Gita menaikkan satu alisnya, antara percaya dan tidak percaya. Dela sudah melakukan banyak hal seperti ini di masa lalu. Merencanakan makan siang atau makan malam sambil membawa seorang pria tanpa memberitahukannya terlebih dahulu. Ya, Dela sering menjebaknya. Tapi oke, dia akan mencoba untuk percaya. Toh, dia tidak bisa apa-apa lagi karena Dewa sudah terlanjur berada di sini. Sedangkan Lukman tidak mungkin dengan sengaja melakukannya, bukan? Lukman tahu siapa laki-laki yang disukainya. "Hai, girls," sapa Dewa ketika sampai di depan Gita dan Dela. "Boleh aku duduk di
"Makasih ya sudah nganterin aku," ucap Gita setelah Dewa menurunkannya di tempat tujuannya.Dewa menatap bangunan megah di hadapan mereka. Adiwijaya Hotel. "Siapa yang mau kamu temui di sini?" "Teman." Balas Gita singkat. Ya, dia meminta Dewa menurunkannya di Adiwijaya Hotel setelah penolakannya ditolak. Dia awalnya hendak pulang sendiri. Namun Dela mengatakan soal seorang pria tidak boleh membiarkan wanita pulang sendiri, dan alasan random lainnya sehingga dia berakhir menerimanya. Itu pun setelah tawaran Lukman yang juga berniat mengantarkannya pulang ditolak oleh Dela. Intinya, Dela menginginkannya bersama Dewa. Dewa tidak merespon. Matanya masih tertuju pada bangunan tinggi itu dan menebak-teman teman seperti apa yang akan Gita temui di sana. "Dia dari Jogja ya?" Seseorang yang menginap di hotel biasanya berasal dari luar kota. "Begitulah." Gita memilih jawaban yang aman dengan membiarkan semuanya tetap rahasia. "Lalu kita-" Dewa berhenti di tengah-tengah kalimanya dan menguba
Gita sengaja mengambil jarak selangkah di belakang Rangga ketika mereka berjalan kembali ke kamar mereka. Entah kenapa dia merasa Rangga sedang kesal. Pria itu lebih diam daripada biasanya, dan itu membuatnya bertanya-tanya. Apakah itu karena dirinya? Rangga terus diam bahkan setelah mereka sampai di dalam kamar. Namun, tatapan mata Gita tak lepas dari sang suami yang kini berada di dapur dan menenggak habis minumannya seolah-olah mencoba untuk mendinginkan sesuatu yang membara di dalam tubuhnya. Dan ketika Rangga tengah mengisi kembali gelasnya, Gita berjalan pelan menghampirinya. "Kamu marah sama aku?" tanya Gita begitu sampai di samping Rangga. "Nggak," jawab Rangga singkat lalu kembali menenggak gelasnya. Gita kembali diam dan mengamati setiap pergerakan pria itu. Barulah setelah Rangga meletakkan gelasnya ke atas meja, Gita meraih tangannya lalu menggengamnya untuk dia bawa mengikutinya menuju sofa.Rangga tidak berkata apa pun, begitu pun Gita. Dan sesampainya mereka di sofa
Rangga sedang bekerja dengan tabletnya sambil menikmati angin laut yang menyapu kulitnya. Itu memberikan ketenangan seiring bunyi ombak yang datang bergantian, memberikan suasana alam yang natural, dan menenangkan benaknya sehingga dia dapat lebih berfokus pada apa yang dikerjakannya. Membaca laporan. Ya, dia bekerja sembari menikmati ketenangan laut. Dan tentu saja, dia tidak datang seorang diri. Ada dua wanita yang paling berharga di hidupnya bersamanya. Seulas senyum tercetak di bibirnya memikirkan hal tersebut. Dia akhirnya menambahkan seseorang baru dalam hidupnya, istrinya, dan sebutan itu mungkin akan bertambah seiring perjalanan pernikahan mereka. Kemudian dia mengalihkan pandangannya sejenak pada hamparan pasir, laut, serta dua orang yang menjadi tokoh utama hari ini. Gita dan ibunya berdiri saling bersisian di tepi laut dan merasakan sisa ombak yang merendam kaki mereka. Tampaknya mereka tak berniat pergi lebih jauh dan menggunakan kesempatan tersebut untuk mengobrol sant
Gita berada di kantor Jenny keesokan paginya. Rasanya aneh ketika dia seharusnya menemani Farah ke sebuah event donasi dari organisasi sebelumnya dan malah berakhir sendirian di sini. Dia bahkan datang lebih dulu dibandingkan sang pemilik kantor. "Kok kamu sudah datang?" tanya Jenny seraya menutup pintu di belakanya. Dia lalu berjalan menuju mejanya, meletakkan tasnya, menghampiri Gita, dan duduk di sofa di hadapannya. Gita mengamati Jenny melakukan semuanya dan menjawab ketika wanita itu siap berbincang dengannya. "Aku mau berterima kasih soal pesanmu dan rasa pengertianmu," ujarnya, memulai percakapan dengan mengatakan bagian terbaik usai insiden memalukan malam itu. "Oh, dan hari libu kamu berikan. Aku gunakan dengan sangat baik," cengirnya. "Aku sudah menduga kamu pasti akan membutuhkannya. Dia memang," Jenny berhenti untuk mencari kata-kata yang tepat. "Apa kata yang paling pas mendeskripsikannya?" tanyanya setelah tak menemukan apa pun. Dahi Gita berkerut seiring otaknya yan
"Siapa Gilang?" "Dia yang terkenal itu loh dan banyak main di series dan film." Ada jeda selama beberapa detik. Orang di seberang, Rangga, sepertinya bingung mendapati seseorang mengangkat panggilan teleponnya namun bukan orang yang diteleponnya meski suara itu terdengar familiar. "Mama? Ini Mama?" Dia ragu-ragu bertanya. "Yes, ini ibumu," jawab Ibu Rangga santai. "Kenapa ponsel Gita ada pada Mama? Kalian lagi bareng-bareng?" "Iya, Sayang. Kita lagi makan siang bareng." "Kenapa Gita nggak bilang?" Bibir Ibu Rangga membentuk sebuah senyuman meski tahu putranya tidak dapay melihatnya. "Memang dia cerita apa sama kamu?" "Dia cuma bilang soal pekerjaannya yang dipindah ke tim Gilang. Makanya aku tanya siapa Gilang." Ibu Rangga menggumam kala sebuah kesimpulan melintasi benaknya. "Karena itulah dia selalu pegang ponselnya. Dia nunggu teleponmu," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri walaupun itu cukup keras hingga dapat didengar oleh Rangga. "Siapa yang menunggu teleponku?" "Gi
"Empat kopi, please," kata Gita pada staf kafe lalu mengeluarkan empat buah botol dari tasnya. "Dan tolong pakai ini saja," imbuhnya seraya menyodorkan satu persatu botol kepada sang staf. Setelah pesanannya dikonfirmasi, dia membayarnya dan beralih berdiri di samping antrian untuk menunggu minumannya. Tepat saat itulah ponselnya berdering. "Hai," sapa Gita cerah pada orang di seberang. Itu Rangga. Tentu saja. Entah kenapa mood-nya menjadi lebih baik tiap kali pria itu menghubunginya."Hai. Kamu lagi sibuk sekarang?" Gita memandangi staf yang masih menyiapkan pesanan kopinya. "Nggak juga. Aku cuma lagi nunggu pesanan kopiki." Terdapat jeda selama tiga detik sebelum Rangga berucap, "Ini sudah jam delapan malam, Gita. Kamu nggak akan bisa tidur kalau minum kopi di jam segini." Ya, waktu sudah menunjuk angka delapan malam dan Rangga benar mengenai sulit tidur. Kopi seharusnya membantunya terbangun, bukan sebaliknya. Sedangkan sekarang sudah waktunya menjelang tidur. "Memang sih. Tap