"Empat kopi, please," kata Gita pada staf kafe lalu mengeluarkan empat buah botol dari tasnya. "Dan tolong pakai ini saja," imbuhnya seraya menyodorkan satu persatu botol kepada sang staf. Setelah pesanannya dikonfirmasi, dia membayarnya dan beralih berdiri di samping antrian untuk menunggu minumannya. Tepat saat itulah ponselnya berdering. "Hai," sapa Gita cerah pada orang di seberang. Itu Rangga. Tentu saja. Entah kenapa mood-nya menjadi lebih baik tiap kali pria itu menghubunginya."Hai. Kamu lagi sibuk sekarang?" Gita memandangi staf yang masih menyiapkan pesanan kopinya. "Nggak juga. Aku cuma lagi nunggu pesanan kopiki." Terdapat jeda selama tiga detik sebelum Rangga berucap, "Ini sudah jam delapan malam, Gita. Kamu nggak akan bisa tidur kalau minum kopi di jam segini." Ya, waktu sudah menunjuk angka delapan malam dan Rangga benar mengenai sulit tidur. Kopi seharusnya membantunya terbangun, bukan sebaliknya. Sedangkan sekarang sudah waktunya menjelang tidur. "Memang sih. Tap
Beberapa minggu telah berlalu. Tidak ada banyak perubahan pada hubungan Gita dan Rangga. Mereka bertukar kabar setiap hari, Rangga akan mendatanginya akhir pekan atau hari lain ketika Gita libur, mereka akan menghabiskan waktu dengan mengobrol dan diselingi dengan saling menggoda, dan banyak lagi. Hubungan mereka terlihat baik-baik saja. Seperti hari ini, mereka mengakhiri panggilan telepon mereka ketika waktu makan siang berakhir. "Chat aku ya." Dan Rangga akan selalu meminta hal ini. Jika menelepon tidak memungkinkan, akan berbeda dengan berkirim pesan. Itu bisa dilakukan kapan pun meski mungkin mereka tidak dapat langsung membalasnya. "Tentu saja. Apakah aku juga perlu kirim foto juga?" "Boleh." "Tapi cuma foto punggungku. Nggak apa-apa?" Wajah Rangga berubah cemberut mendengarnya. Rupanya itu cuma kejahilan sang istri. "Aku tahu kamu nggak suka selfie, tapi kamu bisa minta tolong Hendri buat motoin kamu," sungutnya. Hendri adalah asisten termuda dalam tim baru Gita. Hendri
"Aku dengar kamu nggak bisa ke Jakarta," kata Ibu Rangga memulai obrolan di tengah makan malam mereka. Hanya ada mereka bertiga: dia, Ayah Rangga, dan Rangga. Sebuah keluarga kecil, bukan? Hanya ada tiga orang dalam keluarganya--empat jika menambahkan Gita. "Itu benar?" Dia mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan. Rangga sedikit terkejut mendengarnya. "Gita yang cerita sama Mama?" tanyanya balik. Ah, pertanyaan retoris. Pastilah Gita yang menceritakannya sebab itu merupakan percakapan mereka siang tadi. Pertanyaannya seharusnya menjadi kenapa Gita menceritakan kepada ibunya? "Iya. Aku tanya soal rencana kalian di akhir pekan tapi dia bilang kamu nggak bisa datang," jelas Ibu Rangga. Jadi Gita bukan tiba-tiba memberitahunya informasi tersebut. Selalu ada alasan di baliknya, mungkin... "Dia terdengar lumayan kecewa." Ya, kekecewaan. "Aku akan ke sana kok, Ma. Itu bohong supaya aku bisa kasih kejutan ke Gita." "Oh." Ibu Rangga merespon singkat. "Dia pasti senang kalau lihat kamu." "Y
Gita merasakan tubuhnya berat. Selain kantuk yang masih menggelayut akibat tidur di waktu hampir subuh, tulang-tulangnya terasa pegal. Itu mungkin hasil dari seharian bekerja menemani syuting Gilang. Padahal yang dilakukannya hanya menunggu dan mengamati proses syuting. Tapi tetap saja, itu melelahkannya. Dia benar-benar ingin bergelung dalam kasur dan selimutnya seharian penuh. Namun dia tidak dapat melakukannya sebab dia punya janji jam sepuluh nanti. Jadi, dia memaksakan tubuh beratnya untuk bangun, menyebak selimut hangatnya, kemudian beranjak menuju kamar mandi. Dia harus bersiap-siap karena ini sudah jam sembilan. Untungnya, tidak ada jadwal syuting hari ini. Kalaupun ada, hari ini merupakan giliran Aldi. Gilirannya sudah selesai, atau hampir karena sebenarnya, hanya tersisa beberapa adegan yang perlu Gilang lakukan lalu benar-benar selesai. Itu kabar baik, bukan? Tidak ada masalah dalam proses syuting, dan hal itu jelas melegakan semua pihak. Yang tersisa adalah proses produ
"Aku mau es krim." "Hah?" "Aku mau es krim," ulang Gita dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Wajahnya pun menunjukkan hal yang sama meski fokusnya tetap tertuju pada jalanan di depannya. Ya, dia menyetir sembari menelepon Rangga dalam mode speaker. "Kamu sebaiknya makan malam dulu sebelum makan dessert." Oh, Gita seperti anak kecil yang mendapat omelan dari ayahnya karena mendahulukan es krim dibandingkan makanan utama. Tapi apa yang Rangga katakan ada benarnya. Es krim atau dessert seharusnya sebagai penutup an menjadi sesi akhir dari acara makan. Jika tidak, dia mungkin akan kekenyangan sebelum menghabiskan sepotong pizza yang tadi dibelinya untuk makan malam. "Aku akan makan sedikit sebelum mampir membeli es krim." Rangga sudah tahu jika dia baru saja pulang dari membeli pizza dan kini ada di kursi penumpang di sampingnya . Dia hanya perlu mencari toko es krim favoritnya, memarkirkan mobilnya, dan makan sepotong pizza. Setelahnya, es krim coklat, strawberry dan vanila siap
Hari ini, Gita mewakili Gilang membahas tawaran peran untuknya dalam sebuah film yang nantinya akan diproduksi oleh perusahaan Kirana. Walaupun bukan peran utama, Gilang mendapatkan peran sebagai pemain pria kedua. Itu merupakan peran yang cukup signifikan dalam cerita jadi Gita meminta penjelasan langsung tentang perannya sebelum script dia serahkan kepada Gilang.Setidaknya, dia tahu bagaimana menjawab keingintahuan sang artis nanti. Pertemuan tersebut tidak berlangsung cukup lama. Lebih dari setengah jam lalu dia bisa kembali ke perusahaan. Untuk apa? Mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Jenny. "Makasih untuk waktunya menjelaskan semua ini kepadaku," kata Gita mengakhiri pertemuan itu. Dia telah berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan. "Seharusnya aku yang berterima kasih kamu bersedia mengunjungi kantorku. Semoga segera ada kabar baik." Eric, sang penanggung jawab project, membalas. Mereka lalu bersalaman sebelum benar-benar mengakhiri pertemuan ini dan Gita meninggalkan r
"Selamat pagi. Silakan duduk," ucap seorang dokter wanita dengan name tag Sarah begitu Gita dan Dela memasuki sebuah ruangan. Dokter Sarah tampak berusia sekitar empat puluhan melihat beberapa kerutan kecil di sudut-sudut matanya. "Ada yang dapat saya bantu?" tanyanya setelah calon pasiennya duduk di hadapannya. Dia lalu menatap mereka bergantian, menunggu siapa yang lebih dulu bicara. "Jadi dokter," Dela menggantung kalimatnya, tampaknya masih merangkai bagaimana dia harus mengungkapkan maksudnya. "Kemarin saya mencoba tes dengan test pack dan hasilnya menunjukkan dua garis. Jadi saya ke sini untuk memastikan." Dia tidak mau mengungkapkan kesimpulannya meski itu tertera dalam box package. Dia kelihatannya ingin berhati-hati tentang hal ini. Dokter Sarah mendengarkan dengan baik penjelasan Dela lalu tersenyum mengerti. "Baiklah. Kalau begitu, mari cek menggunakan USG untuk melihat kepastiannya." Kemudian, dia menggesturkan Dela untuk berbaring di ranjang. Dengan bantuan perawat, mer
Perjalanan pulang dari klinik mungkin menjadi momen canggung terpanjang mereka selama bertahun-tahun bersahabat. Mereka tidak saling berbicara selain saat Gita menanyakan apakah mereka akan langsung kembali ke kantor Dela atau perlu pergi tempat lain. Selain itu, mereka hanya diam sepanjang perjalanan hingga Gita memarkirkan mobilnya di jalanan dekat kantor Dela. Mereka tampak terlalu berfokus dengan pemikiran mereka masing-masing, apa pun itu. "Kita sampai," kata Gita seolah-olah melaporkan situasi mereka yang telah sampai di tujuan. Itu ucapan tak penting sebab dia tak tahu lagi bagaimana harus memecah keheningan memuakkan ini. "Makasih tumpangannya," respon Dela seperti sebuah template dengan nada datar. Dia masih terlihat kesulitan menghilangkan apa pun yang mengganggu pikirannya. Tapi tunggu. Itu aneh. Kenapa Dela tidak lagi bahagia seperti ekspresi pertamanya saat mendengar kabar kehamilannya? "Tunggu," cegah Gita ketika dilihatnya Dela membuka pintu dengan hanya membawa tasn