"Aku mau es krim." "Hah?" "Aku mau es krim," ulang Gita dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Wajahnya pun menunjukkan hal yang sama meski fokusnya tetap tertuju pada jalanan di depannya. Ya, dia menyetir sembari menelepon Rangga dalam mode speaker. "Kamu sebaiknya makan malam dulu sebelum makan dessert." Oh, Gita seperti anak kecil yang mendapat omelan dari ayahnya karena mendahulukan es krim dibandingkan makanan utama. Tapi apa yang Rangga katakan ada benarnya. Es krim atau dessert seharusnya sebagai penutup an menjadi sesi akhir dari acara makan. Jika tidak, dia mungkin akan kekenyangan sebelum menghabiskan sepotong pizza yang tadi dibelinya untuk makan malam. "Aku akan makan sedikit sebelum mampir membeli es krim." Rangga sudah tahu jika dia baru saja pulang dari membeli pizza dan kini ada di kursi penumpang di sampingnya . Dia hanya perlu mencari toko es krim favoritnya, memarkirkan mobilnya, dan makan sepotong pizza. Setelahnya, es krim coklat, strawberry dan vanila siap
Hari ini, Gita mewakili Gilang membahas tawaran peran untuknya dalam sebuah film yang nantinya akan diproduksi oleh perusahaan Kirana. Walaupun bukan peran utama, Gilang mendapatkan peran sebagai pemain pria kedua. Itu merupakan peran yang cukup signifikan dalam cerita jadi Gita meminta penjelasan langsung tentang perannya sebelum script dia serahkan kepada Gilang.Setidaknya, dia tahu bagaimana menjawab keingintahuan sang artis nanti. Pertemuan tersebut tidak berlangsung cukup lama. Lebih dari setengah jam lalu dia bisa kembali ke perusahaan. Untuk apa? Mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Jenny. "Makasih untuk waktunya menjelaskan semua ini kepadaku," kata Gita mengakhiri pertemuan itu. Dia telah berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan. "Seharusnya aku yang berterima kasih kamu bersedia mengunjungi kantorku. Semoga segera ada kabar baik." Eric, sang penanggung jawab project, membalas. Mereka lalu bersalaman sebelum benar-benar mengakhiri pertemuan ini dan Gita meninggalkan r
"Selamat pagi. Silakan duduk," ucap seorang dokter wanita dengan name tag Sarah begitu Gita dan Dela memasuki sebuah ruangan. Dokter Sarah tampak berusia sekitar empat puluhan melihat beberapa kerutan kecil di sudut-sudut matanya. "Ada yang dapat saya bantu?" tanyanya setelah calon pasiennya duduk di hadapannya. Dia lalu menatap mereka bergantian, menunggu siapa yang lebih dulu bicara. "Jadi dokter," Dela menggantung kalimatnya, tampaknya masih merangkai bagaimana dia harus mengungkapkan maksudnya. "Kemarin saya mencoba tes dengan test pack dan hasilnya menunjukkan dua garis. Jadi saya ke sini untuk memastikan." Dia tidak mau mengungkapkan kesimpulannya meski itu tertera dalam box package. Dia kelihatannya ingin berhati-hati tentang hal ini. Dokter Sarah mendengarkan dengan baik penjelasan Dela lalu tersenyum mengerti. "Baiklah. Kalau begitu, mari cek menggunakan USG untuk melihat kepastiannya." Kemudian, dia menggesturkan Dela untuk berbaring di ranjang. Dengan bantuan perawat, mer
Perjalanan pulang dari klinik mungkin menjadi momen canggung terpanjang mereka selama bertahun-tahun bersahabat. Mereka tidak saling berbicara selain saat Gita menanyakan apakah mereka akan langsung kembali ke kantor Dela atau perlu pergi tempat lain. Selain itu, mereka hanya diam sepanjang perjalanan hingga Gita memarkirkan mobilnya di jalanan dekat kantor Dela. Mereka tampak terlalu berfokus dengan pemikiran mereka masing-masing, apa pun itu. "Kita sampai," kata Gita seolah-olah melaporkan situasi mereka yang telah sampai di tujuan. Itu ucapan tak penting sebab dia tak tahu lagi bagaimana harus memecah keheningan memuakkan ini. "Makasih tumpangannya," respon Dela seperti sebuah template dengan nada datar. Dia masih terlihat kesulitan menghilangkan apa pun yang mengganggu pikirannya. Tapi tunggu. Itu aneh. Kenapa Dela tidak lagi bahagia seperti ekspresi pertamanya saat mendengar kabar kehamilannya? "Tunggu," cegah Gita ketika dilihatnya Dela membuka pintu dengan hanya membawa tasn
Setelah mengurus pekerjaannya, Gita tidak langsung pulang melainkan menghabiskan waktu di kafe di dekat apartemennya. Dia sengaja melakukannya supaya dia tidak terlalu berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Sendirian di rumah dapat memicu hal tersebut dan itu buruk karena dia mungkin menangis seharian karenanya. Dia telah di sana selama dua jam ketika Lukman mengiriminya pesan ingin bertemu dengannya. Jadi dia menunggu lebih lama meski itu terasa membakar bokongnya akibat terlalu lama duduk. Oh, itu bukan salah Lukman. Itu keputusan Gita yang memilih hanya duduk dan tak melakukan apa-apa di tempat yang sama. Dan benar-benar tidak melakukan apa pun karena dia hanya membawa dirinya dan ponselnya bersamanya. Lukman datang hampir pukul setengah lima. Wajah sahabatnya tampak tegang ketika menghampiri Gita dan itu membuatnya mengira-ngira mungkin ini merupaka hari buruknya. Gagal berdiskusi dengan kliennya atau yang lain. Tapi dia yakin itu akan seketika berubah ketika mengetahui kabar baik
"Rangga?" Gita nyaris membelalakkan kedua matanya melihat kehadiran seseorang yang tak diduganya di depan pintu apartemennya sepulang dia dari kafe. Dia bahkan mengedipkan matanya berkali-kali untuk memastikan penglihatannya. Itu Rangga. Apa yang dilakukannya di sini? Rangga juga terkejut melihat Gita dan sedetik kemudian berubah menjadi hembusan napas lega. Lalu dia bergegas menghampiri istrinya dengan langkah lebar dan tanpa kata memeluknya. "Aku lega kamu baik-baik saja." Itu memunculkan kerutan di dahi Gita. Selain karena kehadiran pria itu yang tiba-tiba, kalimat Rangga terdengar aneh. Tentu saja, dia baik-baik saja. kenapa Rangga berpikir dia tidak baik-baik saja? "Kenapa kamu di sini?" Bukannya menanyakan maksud Rangga, dia bertanya hal lain yang menjadi sumber utama rasa penasarannya. "Tentu saja untuk ketemu kamu, bodoh," jawab Rangga begitu dekat dengan telinganya. Kemudian dia mengeratkan pelukannya seolah-olah dia sudah lama tak melihat sang istri padahal mereka hanya
"Hai, ini ayahmu. Haruskah aku memperkenalkan diri dulu?" Gita tertawa mendengar bagaimana Rangga memulai percakapan dengan bayi mareka. Ralat. Perutnya. Itu lucu namun mendebarkan mengingat dia pun melakukan hal yang sama sebelumnya. Mungkin, mereka hanya perlu berhati-hati melakukannya agar tak menarik perhatian orang-orang karena mereka pasti akan menganggapnya aneh. "Oke. Namaku Rangga Adiwijaya. Aku adalah ayahmu satu-satunya dan yang bertanggung jawab penuh untuk melindungimu. Dan ibumu, tentu saja. Oh, sudahkah kamu mengenal ibumu? Dia wanita yang luar biasa. Namanya Gita Adiwijaya. Namanya bagus, kan?" Gita secara tak sadar tersipu. Itu pujian untuknya, bukan? Tangan Rangga bergerak untuk mengelus perut istrinya. Dia melakukannya sangat lembut seolah-olah Gita adalah barang yang mudah pecah. "Kamu pasti bingung hari ini. Begitu juga kami. Tapi semua sudah beres dan kita sepakat untuk memulai hari yang baru denganmu di antara kami. Kita akan memberikan yang terbaik untukmu.
Esok harinya, mereka mewujudkan rencana tersebut. Mereka mendatangi dokter kandungan untuk kedua kalinya. Tapi Gita sengaja meminta Rangga untuk menemui dokter lain agar tak perlu menjawab pertanyaan tentang alasan kedatangannya lagi. Dia malu harus menceritakannya. Maka, Gita punya rencana di kepalanya. Mendatangi rumah sakit dan berakting ini adalah kunjungan pertama mereka. "Sebenarnya, kemarin dia telah ke dokter kandungan tanpaku dan mendapatkan hasil positif. Tapi aku ingin mengalami momen ini juga dan sebulan lagi itu sangat lama. Jadi kita sepakat untuk menganggap ini sebagai kunjungan pertama," jelas Rangga saat memulai konsultasi. Seketika kedua bahu Gita melemas mendengar penuturan panjang Rangga. Rencananya langsung buyar dan dia cuma bisa tersenyum canggung kepada sang dokter dengan name tag Belinda itu. Dokter Belinda lebih muda dibandingkan dokternya kemarin. Dokter Belinda mendengarkan semuanya lalu menunjukkan senyum pengertiannya. "Saya mengerti. Kita akan mengec