Beberapa minggu telah berlalu. Tidak ada banyak perubahan pada hubungan Gita dan Rangga. Mereka bertukar kabar setiap hari, Rangga akan mendatanginya akhir pekan atau hari lain ketika Gita libur, mereka akan menghabiskan waktu dengan mengobrol dan diselingi dengan saling menggoda, dan banyak lagi. Hubungan mereka terlihat baik-baik saja. Seperti hari ini, mereka mengakhiri panggilan telepon mereka ketika waktu makan siang berakhir. "Chat aku ya." Dan Rangga akan selalu meminta hal ini. Jika menelepon tidak memungkinkan, akan berbeda dengan berkirim pesan. Itu bisa dilakukan kapan pun meski mungkin mereka tidak dapat langsung membalasnya. "Tentu saja. Apakah aku juga perlu kirim foto juga?" "Boleh." "Tapi cuma foto punggungku. Nggak apa-apa?" Wajah Rangga berubah cemberut mendengarnya. Rupanya itu cuma kejahilan sang istri. "Aku tahu kamu nggak suka selfie, tapi kamu bisa minta tolong Hendri buat motoin kamu," sungutnya. Hendri adalah asisten termuda dalam tim baru Gita. Hendri
"Aku dengar kamu nggak bisa ke Jakarta," kata Ibu Rangga memulai obrolan di tengah makan malam mereka. Hanya ada mereka bertiga: dia, Ayah Rangga, dan Rangga. Sebuah keluarga kecil, bukan? Hanya ada tiga orang dalam keluarganya--empat jika menambahkan Gita. "Itu benar?" Dia mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan. Rangga sedikit terkejut mendengarnya. "Gita yang cerita sama Mama?" tanyanya balik. Ah, pertanyaan retoris. Pastilah Gita yang menceritakannya sebab itu merupakan percakapan mereka siang tadi. Pertanyaannya seharusnya menjadi kenapa Gita menceritakan kepada ibunya? "Iya. Aku tanya soal rencana kalian di akhir pekan tapi dia bilang kamu nggak bisa datang," jelas Ibu Rangga. Jadi Gita bukan tiba-tiba memberitahunya informasi tersebut. Selalu ada alasan di baliknya, mungkin... "Dia terdengar lumayan kecewa." Ya, kekecewaan. "Aku akan ke sana kok, Ma. Itu bohong supaya aku bisa kasih kejutan ke Gita." "Oh." Ibu Rangga merespon singkat. "Dia pasti senang kalau lihat kamu." "Y
Gita merasakan tubuhnya berat. Selain kantuk yang masih menggelayut akibat tidur di waktu hampir subuh, tulang-tulangnya terasa pegal. Itu mungkin hasil dari seharian bekerja menemani syuting Gilang. Padahal yang dilakukannya hanya menunggu dan mengamati proses syuting. Tapi tetap saja, itu melelahkannya. Dia benar-benar ingin bergelung dalam kasur dan selimutnya seharian penuh. Namun dia tidak dapat melakukannya sebab dia punya janji jam sepuluh nanti. Jadi, dia memaksakan tubuh beratnya untuk bangun, menyebak selimut hangatnya, kemudian beranjak menuju kamar mandi. Dia harus bersiap-siap karena ini sudah jam sembilan. Untungnya, tidak ada jadwal syuting hari ini. Kalaupun ada, hari ini merupakan giliran Aldi. Gilirannya sudah selesai, atau hampir karena sebenarnya, hanya tersisa beberapa adegan yang perlu Gilang lakukan lalu benar-benar selesai. Itu kabar baik, bukan? Tidak ada masalah dalam proses syuting, dan hal itu jelas melegakan semua pihak. Yang tersisa adalah proses produ
"Aku mau es krim." "Hah?" "Aku mau es krim," ulang Gita dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Wajahnya pun menunjukkan hal yang sama meski fokusnya tetap tertuju pada jalanan di depannya. Ya, dia menyetir sembari menelepon Rangga dalam mode speaker. "Kamu sebaiknya makan malam dulu sebelum makan dessert." Oh, Gita seperti anak kecil yang mendapat omelan dari ayahnya karena mendahulukan es krim dibandingkan makanan utama. Tapi apa yang Rangga katakan ada benarnya. Es krim atau dessert seharusnya sebagai penutup an menjadi sesi akhir dari acara makan. Jika tidak, dia mungkin akan kekenyangan sebelum menghabiskan sepotong pizza yang tadi dibelinya untuk makan malam. "Aku akan makan sedikit sebelum mampir membeli es krim." Rangga sudah tahu jika dia baru saja pulang dari membeli pizza dan kini ada di kursi penumpang di sampingnya . Dia hanya perlu mencari toko es krim favoritnya, memarkirkan mobilnya, dan makan sepotong pizza. Setelahnya, es krim coklat, strawberry dan vanila siap
Hari ini, Gita mewakili Gilang membahas tawaran peran untuknya dalam sebuah film yang nantinya akan diproduksi oleh perusahaan Kirana. Walaupun bukan peran utama, Gilang mendapatkan peran sebagai pemain pria kedua. Itu merupakan peran yang cukup signifikan dalam cerita jadi Gita meminta penjelasan langsung tentang perannya sebelum script dia serahkan kepada Gilang.Setidaknya, dia tahu bagaimana menjawab keingintahuan sang artis nanti. Pertemuan tersebut tidak berlangsung cukup lama. Lebih dari setengah jam lalu dia bisa kembali ke perusahaan. Untuk apa? Mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Jenny. "Makasih untuk waktunya menjelaskan semua ini kepadaku," kata Gita mengakhiri pertemuan itu. Dia telah berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan. "Seharusnya aku yang berterima kasih kamu bersedia mengunjungi kantorku. Semoga segera ada kabar baik." Eric, sang penanggung jawab project, membalas. Mereka lalu bersalaman sebelum benar-benar mengakhiri pertemuan ini dan Gita meninggalkan r
"Selamat pagi. Silakan duduk," ucap seorang dokter wanita dengan name tag Sarah begitu Gita dan Dela memasuki sebuah ruangan. Dokter Sarah tampak berusia sekitar empat puluhan melihat beberapa kerutan kecil di sudut-sudut matanya. "Ada yang dapat saya bantu?" tanyanya setelah calon pasiennya duduk di hadapannya. Dia lalu menatap mereka bergantian, menunggu siapa yang lebih dulu bicara. "Jadi dokter," Dela menggantung kalimatnya, tampaknya masih merangkai bagaimana dia harus mengungkapkan maksudnya. "Kemarin saya mencoba tes dengan test pack dan hasilnya menunjukkan dua garis. Jadi saya ke sini untuk memastikan." Dia tidak mau mengungkapkan kesimpulannya meski itu tertera dalam box package. Dia kelihatannya ingin berhati-hati tentang hal ini. Dokter Sarah mendengarkan dengan baik penjelasan Dela lalu tersenyum mengerti. "Baiklah. Kalau begitu, mari cek menggunakan USG untuk melihat kepastiannya." Kemudian, dia menggesturkan Dela untuk berbaring di ranjang. Dengan bantuan perawat, mer
Perjalanan pulang dari klinik mungkin menjadi momen canggung terpanjang mereka selama bertahun-tahun bersahabat. Mereka tidak saling berbicara selain saat Gita menanyakan apakah mereka akan langsung kembali ke kantor Dela atau perlu pergi tempat lain. Selain itu, mereka hanya diam sepanjang perjalanan hingga Gita memarkirkan mobilnya di jalanan dekat kantor Dela. Mereka tampak terlalu berfokus dengan pemikiran mereka masing-masing, apa pun itu. "Kita sampai," kata Gita seolah-olah melaporkan situasi mereka yang telah sampai di tujuan. Itu ucapan tak penting sebab dia tak tahu lagi bagaimana harus memecah keheningan memuakkan ini. "Makasih tumpangannya," respon Dela seperti sebuah template dengan nada datar. Dia masih terlihat kesulitan menghilangkan apa pun yang mengganggu pikirannya. Tapi tunggu. Itu aneh. Kenapa Dela tidak lagi bahagia seperti ekspresi pertamanya saat mendengar kabar kehamilannya? "Tunggu," cegah Gita ketika dilihatnya Dela membuka pintu dengan hanya membawa tasn
Setelah mengurus pekerjaannya, Gita tidak langsung pulang melainkan menghabiskan waktu di kafe di dekat apartemennya. Dia sengaja melakukannya supaya dia tidak terlalu berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Sendirian di rumah dapat memicu hal tersebut dan itu buruk karena dia mungkin menangis seharian karenanya. Dia telah di sana selama dua jam ketika Lukman mengiriminya pesan ingin bertemu dengannya. Jadi dia menunggu lebih lama meski itu terasa membakar bokongnya akibat terlalu lama duduk. Oh, itu bukan salah Lukman. Itu keputusan Gita yang memilih hanya duduk dan tak melakukan apa-apa di tempat yang sama. Dan benar-benar tidak melakukan apa pun karena dia hanya membawa dirinya dan ponselnya bersamanya. Lukman datang hampir pukul setengah lima. Wajah sahabatnya tampak tegang ketika menghampiri Gita dan itu membuatnya mengira-ngira mungkin ini merupaka hari buruknya. Gagal berdiskusi dengan kliennya atau yang lain. Tapi dia yakin itu akan seketika berubah ketika mengetahui kabar baik
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me