Gita sengaja mengambil jarak selangkah di belakang Rangga ketika mereka berjalan kembali ke kamar mereka. Entah kenapa dia merasa Rangga sedang kesal. Pria itu lebih diam daripada biasanya, dan itu membuatnya bertanya-tanya. Apakah itu karena dirinya? Rangga terus diam bahkan setelah mereka sampai di dalam kamar. Namun, tatapan mata Gita tak lepas dari sang suami yang kini berada di dapur dan menenggak habis minumannya seolah-olah mencoba untuk mendinginkan sesuatu yang membara di dalam tubuhnya. Dan ketika Rangga tengah mengisi kembali gelasnya, Gita berjalan pelan menghampirinya. "Kamu marah sama aku?" tanya Gita begitu sampai di samping Rangga. "Nggak," jawab Rangga singkat lalu kembali menenggak gelasnya. Gita kembali diam dan mengamati setiap pergerakan pria itu. Barulah setelah Rangga meletakkan gelasnya ke atas meja, Gita meraih tangannya lalu menggengamnya untuk dia bawa mengikutinya menuju sofa.Rangga tidak berkata apa pun, begitu pun Gita. Dan sesampainya mereka di sofa
Rangga sedang bekerja dengan tabletnya sambil menikmati angin laut yang menyapu kulitnya. Itu memberikan ketenangan seiring bunyi ombak yang datang bergantian, memberikan suasana alam yang natural, dan menenangkan benaknya sehingga dia dapat lebih berfokus pada apa yang dikerjakannya. Membaca laporan. Ya, dia bekerja sembari menikmati ketenangan laut. Dan tentu saja, dia tidak datang seorang diri. Ada dua wanita yang paling berharga di hidupnya bersamanya. Seulas senyum tercetak di bibirnya memikirkan hal tersebut. Dia akhirnya menambahkan seseorang baru dalam hidupnya, istrinya, dan sebutan itu mungkin akan bertambah seiring perjalanan pernikahan mereka. Kemudian dia mengalihkan pandangannya sejenak pada hamparan pasir, laut, serta dua orang yang menjadi tokoh utama hari ini. Gita dan ibunya berdiri saling bersisian di tepi laut dan merasakan sisa ombak yang merendam kaki mereka. Tampaknya mereka tak berniat pergi lebih jauh dan menggunakan kesempatan tersebut untuk mengobrol sant
Gita berada di kantor Jenny keesokan paginya. Rasanya aneh ketika dia seharusnya menemani Farah ke sebuah event donasi dari organisasi sebelumnya dan malah berakhir sendirian di sini. Dia bahkan datang lebih dulu dibandingkan sang pemilik kantor. "Kok kamu sudah datang?" tanya Jenny seraya menutup pintu di belakanya. Dia lalu berjalan menuju mejanya, meletakkan tasnya, menghampiri Gita, dan duduk di sofa di hadapannya. Gita mengamati Jenny melakukan semuanya dan menjawab ketika wanita itu siap berbincang dengannya. "Aku mau berterima kasih soal pesanmu dan rasa pengertianmu," ujarnya, memulai percakapan dengan mengatakan bagian terbaik usai insiden memalukan malam itu. "Oh, dan hari libu kamu berikan. Aku gunakan dengan sangat baik," cengirnya. "Aku sudah menduga kamu pasti akan membutuhkannya. Dia memang," Jenny berhenti untuk mencari kata-kata yang tepat. "Apa kata yang paling pas mendeskripsikannya?" tanyanya setelah tak menemukan apa pun. Dahi Gita berkerut seiring otaknya yan
"Siapa Gilang?" "Dia yang terkenal itu loh dan banyak main di series dan film." Ada jeda selama beberapa detik. Orang di seberang, Rangga, sepertinya bingung mendapati seseorang mengangkat panggilan teleponnya namun bukan orang yang diteleponnya meski suara itu terdengar familiar. "Mama? Ini Mama?" Dia ragu-ragu bertanya. "Yes, ini ibumu," jawab Ibu Rangga santai. "Kenapa ponsel Gita ada pada Mama? Kalian lagi bareng-bareng?" "Iya, Sayang. Kita lagi makan siang bareng." "Kenapa Gita nggak bilang?" Bibir Ibu Rangga membentuk sebuah senyuman meski tahu putranya tidak dapay melihatnya. "Memang dia cerita apa sama kamu?" "Dia cuma bilang soal pekerjaannya yang dipindah ke tim Gilang. Makanya aku tanya siapa Gilang." Ibu Rangga menggumam kala sebuah kesimpulan melintasi benaknya. "Karena itulah dia selalu pegang ponselnya. Dia nunggu teleponmu," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri walaupun itu cukup keras hingga dapat didengar oleh Rangga. "Siapa yang menunggu teleponku?" "Gi
"Empat kopi, please," kata Gita pada staf kafe lalu mengeluarkan empat buah botol dari tasnya. "Dan tolong pakai ini saja," imbuhnya seraya menyodorkan satu persatu botol kepada sang staf. Setelah pesanannya dikonfirmasi, dia membayarnya dan beralih berdiri di samping antrian untuk menunggu minumannya. Tepat saat itulah ponselnya berdering. "Hai," sapa Gita cerah pada orang di seberang. Itu Rangga. Tentu saja. Entah kenapa mood-nya menjadi lebih baik tiap kali pria itu menghubunginya."Hai. Kamu lagi sibuk sekarang?" Gita memandangi staf yang masih menyiapkan pesanan kopinya. "Nggak juga. Aku cuma lagi nunggu pesanan kopiki." Terdapat jeda selama tiga detik sebelum Rangga berucap, "Ini sudah jam delapan malam, Gita. Kamu nggak akan bisa tidur kalau minum kopi di jam segini." Ya, waktu sudah menunjuk angka delapan malam dan Rangga benar mengenai sulit tidur. Kopi seharusnya membantunya terbangun, bukan sebaliknya. Sedangkan sekarang sudah waktunya menjelang tidur. "Memang sih. Tap
Beberapa minggu telah berlalu. Tidak ada banyak perubahan pada hubungan Gita dan Rangga. Mereka bertukar kabar setiap hari, Rangga akan mendatanginya akhir pekan atau hari lain ketika Gita libur, mereka akan menghabiskan waktu dengan mengobrol dan diselingi dengan saling menggoda, dan banyak lagi. Hubungan mereka terlihat baik-baik saja. Seperti hari ini, mereka mengakhiri panggilan telepon mereka ketika waktu makan siang berakhir. "Chat aku ya." Dan Rangga akan selalu meminta hal ini. Jika menelepon tidak memungkinkan, akan berbeda dengan berkirim pesan. Itu bisa dilakukan kapan pun meski mungkin mereka tidak dapat langsung membalasnya. "Tentu saja. Apakah aku juga perlu kirim foto juga?" "Boleh." "Tapi cuma foto punggungku. Nggak apa-apa?" Wajah Rangga berubah cemberut mendengarnya. Rupanya itu cuma kejahilan sang istri. "Aku tahu kamu nggak suka selfie, tapi kamu bisa minta tolong Hendri buat motoin kamu," sungutnya. Hendri adalah asisten termuda dalam tim baru Gita. Hendri
"Aku dengar kamu nggak bisa ke Jakarta," kata Ibu Rangga memulai obrolan di tengah makan malam mereka. Hanya ada mereka bertiga: dia, Ayah Rangga, dan Rangga. Sebuah keluarga kecil, bukan? Hanya ada tiga orang dalam keluarganya--empat jika menambahkan Gita. "Itu benar?" Dia mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan. Rangga sedikit terkejut mendengarnya. "Gita yang cerita sama Mama?" tanyanya balik. Ah, pertanyaan retoris. Pastilah Gita yang menceritakannya sebab itu merupakan percakapan mereka siang tadi. Pertanyaannya seharusnya menjadi kenapa Gita menceritakan kepada ibunya? "Iya. Aku tanya soal rencana kalian di akhir pekan tapi dia bilang kamu nggak bisa datang," jelas Ibu Rangga. Jadi Gita bukan tiba-tiba memberitahunya informasi tersebut. Selalu ada alasan di baliknya, mungkin... "Dia terdengar lumayan kecewa." Ya, kekecewaan. "Aku akan ke sana kok, Ma. Itu bohong supaya aku bisa kasih kejutan ke Gita." "Oh." Ibu Rangga merespon singkat. "Dia pasti senang kalau lihat kamu." "Y
Gita merasakan tubuhnya berat. Selain kantuk yang masih menggelayut akibat tidur di waktu hampir subuh, tulang-tulangnya terasa pegal. Itu mungkin hasil dari seharian bekerja menemani syuting Gilang. Padahal yang dilakukannya hanya menunggu dan mengamati proses syuting. Tapi tetap saja, itu melelahkannya. Dia benar-benar ingin bergelung dalam kasur dan selimutnya seharian penuh. Namun dia tidak dapat melakukannya sebab dia punya janji jam sepuluh nanti. Jadi, dia memaksakan tubuh beratnya untuk bangun, menyebak selimut hangatnya, kemudian beranjak menuju kamar mandi. Dia harus bersiap-siap karena ini sudah jam sembilan. Untungnya, tidak ada jadwal syuting hari ini. Kalaupun ada, hari ini merupakan giliran Aldi. Gilirannya sudah selesai, atau hampir karena sebenarnya, hanya tersisa beberapa adegan yang perlu Gilang lakukan lalu benar-benar selesai. Itu kabar baik, bukan? Tidak ada masalah dalam proses syuting, dan hal itu jelas melegakan semua pihak. Yang tersisa adalah proses produ