Bab 12 "Apa maksudmu, Kairo? Jangan karena ayah tidak memberikan perusahaan utama padamu, kau jadi mengarang cerita!" Ucap Ayah Damian. Kairo tersenyum tipis, ia lalu beranjak dari duduknya dan berdiri di depan mereka semua. Meskipun Kairo tidak bisa menempati perusahaan utama, ia masih mendapatkan jabatan yang tinggi di perusahaan sebagai wakil presdir. Hanya saja, Kairo yang serakah tidak akan puas begitu saja. Ia aka tetap mengincar semua harta kedua orang tuanya, termasuk semua aset perusahaan yang sangat fantastis. "Aku tidak pernah bisa mendapatkan apa yang di berikan oleh kakakku. Jadi, untuk apa aku terus mengejarnya?" Kairo berbalik dan hendak pergi meninggalkan mereka. Namun, ayah Damian menghentikannya. "Jelaskan dan katakan apa yang sebenarnya kau ketahui!" Perintah Ayah Damian. "Aku tidak akan mempertaruhkan apapun dari diriku. Ayah tau sendiri kan jika sampai Keent tau kalau aku membocorkan rahasianya? Mungkin, nyawaku akan terancam." Kairo terus saja men
Bab 13 Keesokan paginya, kedua bola mata Kamila mulai bergerak pelan sebelum ia membukanya. Ia merasa ada sesuatu yang berat menindih tubuhnya. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar dan menoleh ke arah bagian pinggangnya. "Hah??" Ia ternganga, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat melihat tangan dan kaki seseorang yang memeluknya dengan erat. Tiba-tiba sekelebat bayangan semalam melintas di pikirannya. Dimana saat Keent hendak pergi, Kamila menariknya dan merebahkan tubuh pria itu di atas ranjangnya. Bahkan Kamila meminta dan merengek agar Keent menemaninya tidur malam itu. "Ck, kenapa aku semalam tidak sadar sama sekali. Aisshh memalukan!" Pekik Kamila lirih. Dengan gerakan pelan, Kamila mulai menyingkirkan kaki dan tangan Keent dari tubuhnya. Ia menoleh ke arah jam yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Untung saja hari itu merupakan hari libur baginya, sehingga tidak perlu terburu-buru. "Aku akan membuatkan sarapan untuk Om Keent dulu." Kamila perlahan bera
Bab 14 Seketika kedua bola mata Keent membulat sesaat setelah ia membuka pintu utama. Di depannya sudah berdiri ayah Damian, Ibu Desi, dan Luna. Mereka bertiga mengunjungi rumahnya pagi itu. Perasaan Keent mulai tidak enak, bahkan pikirannya langsung tertuju pada Kairo. "Kenapa dengan wajahmu? Apa kau kaget tiba-tiba aku kemari, hah?" Tanya Ayah Damian. "Ada perlu apa?" Tanya Keent. "Aish, memangnya harus ada perlu saat orang tuamu berkunjung?" Sambung ibu Desi. Ibu Desi langsung masuk ke dalam setelah menyingkirkan tubuh Keent dari ambang pintu. Baru beberapa langkah ibu Desi masuk, ia tercengang melihat seorang gadis yang berdiri tak jauh darinya. "Siapa gadis mungil ini, Keent?" Tanya ibu Desi. Hal itu membuat semua orang masuk dan menatap secara bersamaan ke arah Kamila yang masih terpaku di sana. Keent lalu berjalan mendekati Kamila dan berdiri di sampingnya. Keent sudah memikirkan jawaban atas pertanyaan dari ibunya. Ia tidak punya pilihan lain selain mengaku
Bab 15 Mobil yang di tumpangi oleh Keent dan Andrew sudah terparkir di depan rumah Herman, tepatnya rumah kedua orang tua Kamila yang kini di huni oleh paman dan bibinya itu. "Keent, masalah mu banyak tapi kau masih saja mengurusi masalah Kamila. Aku takut kau bisa gila! Serahkan saja masalah ini padaku dan kau urus saja masalahmu sendiri." Kata Andrew. "Sejak kapan aku hidup dalam satu masalah?" "Huh, baiklah, terserah kau saja." Jawab Andrew, pasrah. Terlihat beberapa mobil baru saja keluar dari rumah itu. Sepertinya mereka teman bisnis dan klien dari kedua orangtua Kamila. Melihatnya, membuat Andrew semakin emosi berat. "Lihatlah, Keent. Bagaimana bisa seorang kakak melakukan hal ini pada adiknya. Kenapa Herman tidak jujur saja dan menunjukkan bahwa makam kedua adiknya ada di TPU Teratai?" Oceh Andrew. "Mereka melakukan itu agar semua klien memandangnya sebagai keluarga yang baik. Dia terlihat merawat makam adiknya, sehingga semua kliennya akan berbelas kasihan dan
Bab 16 Mobil yang di tumpangi oleh ayah Damian dan Ibu Desi baru saja tiba di depan rumah mewah miliknya. Keduanya turun dan berjalan beriringan masuk ke dalam. Sedari tadi tangan ayah Damian terkepal, menunjukkan bahwa dirinya sedang menahan emosi yang meluap. "Sayang, kita bisa bicarakan baik-baik dengan Kairo." Kata Ibu Desi. Sesekali Ibu Desi mencoba membujuk suaminya agar tidak melakukan hal yang bisa membuat kerusuhan rumah itu. Nyatanya, ayah Damian tidak mendengarkannya. ayah Damian sudah terlanjur marah dan merasa di permainkan oleh anak bungsunya itu. "Dimana Kairo?" Tanya ayah Damian pada seorang pelayan yang melintas di depannya. "Di kamarnya, tuan. Sepertinya masih tidur." Jawabnya. "Lihatlah anakmu, sudah jam segini masih tidur! Bagaimana aku bisa mempercayakan perusahaan ini padanya!" Suara ayah Damian terdengar begitu gemetar karena menahan emosi yang seakan ingin meledak begitu saja. Ia melangkahkan kakinya ke arah tangga menuju lantai dua dimana ka
Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke
Bab 2 "Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama y
Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 16 Mobil yang di tumpangi oleh ayah Damian dan Ibu Desi baru saja tiba di depan rumah mewah miliknya. Keduanya turun dan berjalan beriringan masuk ke dalam. Sedari tadi tangan ayah Damian terkepal, menunjukkan bahwa dirinya sedang menahan emosi yang meluap. "Sayang, kita bisa bicarakan baik-baik dengan Kairo." Kata Ibu Desi. Sesekali Ibu Desi mencoba membujuk suaminya agar tidak melakukan hal yang bisa membuat kerusuhan rumah itu. Nyatanya, ayah Damian tidak mendengarkannya. ayah Damian sudah terlanjur marah dan merasa di permainkan oleh anak bungsunya itu. "Dimana Kairo?" Tanya ayah Damian pada seorang pelayan yang melintas di depannya. "Di kamarnya, tuan. Sepertinya masih tidur." Jawabnya. "Lihatlah anakmu, sudah jam segini masih tidur! Bagaimana aku bisa mempercayakan perusahaan ini padanya!" Suara ayah Damian terdengar begitu gemetar karena menahan emosi yang seakan ingin meledak begitu saja. Ia melangkahkan kakinya ke arah tangga menuju lantai dua dimana ka
Bab 15 Mobil yang di tumpangi oleh Keent dan Andrew sudah terparkir di depan rumah Herman, tepatnya rumah kedua orang tua Kamila yang kini di huni oleh paman dan bibinya itu. "Keent, masalah mu banyak tapi kau masih saja mengurusi masalah Kamila. Aku takut kau bisa gila! Serahkan saja masalah ini padaku dan kau urus saja masalahmu sendiri." Kata Andrew. "Sejak kapan aku hidup dalam satu masalah?" "Huh, baiklah, terserah kau saja." Jawab Andrew, pasrah. Terlihat beberapa mobil baru saja keluar dari rumah itu. Sepertinya mereka teman bisnis dan klien dari kedua orangtua Kamila. Melihatnya, membuat Andrew semakin emosi berat. "Lihatlah, Keent. Bagaimana bisa seorang kakak melakukan hal ini pada adiknya. Kenapa Herman tidak jujur saja dan menunjukkan bahwa makam kedua adiknya ada di TPU Teratai?" Oceh Andrew. "Mereka melakukan itu agar semua klien memandangnya sebagai keluarga yang baik. Dia terlihat merawat makam adiknya, sehingga semua kliennya akan berbelas kasihan dan
Bab 14 Seketika kedua bola mata Keent membulat sesaat setelah ia membuka pintu utama. Di depannya sudah berdiri ayah Damian, Ibu Desi, dan Luna. Mereka bertiga mengunjungi rumahnya pagi itu. Perasaan Keent mulai tidak enak, bahkan pikirannya langsung tertuju pada Kairo. "Kenapa dengan wajahmu? Apa kau kaget tiba-tiba aku kemari, hah?" Tanya Ayah Damian. "Ada perlu apa?" Tanya Keent. "Aish, memangnya harus ada perlu saat orang tuamu berkunjung?" Sambung ibu Desi. Ibu Desi langsung masuk ke dalam setelah menyingkirkan tubuh Keent dari ambang pintu. Baru beberapa langkah ibu Desi masuk, ia tercengang melihat seorang gadis yang berdiri tak jauh darinya. "Siapa gadis mungil ini, Keent?" Tanya ibu Desi. Hal itu membuat semua orang masuk dan menatap secara bersamaan ke arah Kamila yang masih terpaku di sana. Keent lalu berjalan mendekati Kamila dan berdiri di sampingnya. Keent sudah memikirkan jawaban atas pertanyaan dari ibunya. Ia tidak punya pilihan lain selain mengaku
Bab 13 Keesokan paginya, kedua bola mata Kamila mulai bergerak pelan sebelum ia membukanya. Ia merasa ada sesuatu yang berat menindih tubuhnya. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar dan menoleh ke arah bagian pinggangnya. "Hah??" Ia ternganga, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat melihat tangan dan kaki seseorang yang memeluknya dengan erat. Tiba-tiba sekelebat bayangan semalam melintas di pikirannya. Dimana saat Keent hendak pergi, Kamila menariknya dan merebahkan tubuh pria itu di atas ranjangnya. Bahkan Kamila meminta dan merengek agar Keent menemaninya tidur malam itu. "Ck, kenapa aku semalam tidak sadar sama sekali. Aisshh memalukan!" Pekik Kamila lirih. Dengan gerakan pelan, Kamila mulai menyingkirkan kaki dan tangan Keent dari tubuhnya. Ia menoleh ke arah jam yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Untung saja hari itu merupakan hari libur baginya, sehingga tidak perlu terburu-buru. "Aku akan membuatkan sarapan untuk Om Keent dulu." Kamila perlahan bera
Bab 12 "Apa maksudmu, Kairo? Jangan karena ayah tidak memberikan perusahaan utama padamu, kau jadi mengarang cerita!" Ucap Ayah Damian. Kairo tersenyum tipis, ia lalu beranjak dari duduknya dan berdiri di depan mereka semua. Meskipun Kairo tidak bisa menempati perusahaan utama, ia masih mendapatkan jabatan yang tinggi di perusahaan sebagai wakil presdir. Hanya saja, Kairo yang serakah tidak akan puas begitu saja. Ia aka tetap mengincar semua harta kedua orang tuanya, termasuk semua aset perusahaan yang sangat fantastis. "Aku tidak pernah bisa mendapatkan apa yang di berikan oleh kakakku. Jadi, untuk apa aku terus mengejarnya?" Kairo berbalik dan hendak pergi meninggalkan mereka. Namun, ayah Damian menghentikannya. "Jelaskan dan katakan apa yang sebenarnya kau ketahui!" Perintah Ayah Damian. "Aku tidak akan mempertaruhkan apapun dari diriku. Ayah tau sendiri kan jika sampai Keent tau kalau aku membocorkan rahasianya? Mungkin, nyawaku akan terancam." Kairo terus saja men
Bab 11 Setelah berhasil melewati makan malam yang sedikit canggung, akhirnya mereka bisa mengakhirinya dengan baik. Ayah Damian kini memulai inti dari pertemuan keluarga itu. "Karena sudah kumpul semuanya, maka biarkan ayah sedikit memberi pengumuman di meja makan ini. Ayah mau, semua mendengarkan dengan baik." Kata Ayah Damian. "Katakan saja, Ayah. Aku akan mendengarkannya dengan seksama." Jawab Kairo dengan senyuman sinis di bibirnya. Ayah Damian mulai menghela napas panjang. Ia sesekali melirik ke arah Keent yang masih diam seraya memainkan sendok dan garpu di atas piringnya yang sudah kosong. Sebenarnya Ayah Damian sudah tau kalau Keent pasti akan melawannya. Hanya saja, ia perlu mengatakan hal ini. "Keent dan Luna akan melangsungkan pernikahannya satu bulan ke depan!" Tegas ayah Damian. Deg! Mendengar kata yang baru saja terucap dari mulut sang ayah tentang dirinya, membuat Keent langsung menoleh ke arah pria paruh baya yang duduk di meja tunggal. "Apa ini? K
Bab 10 "Kalau begitu, Ayo pacaran denganku!" Ucap Keent. Kamila yang tidak percaya langsung membulatkan kedua matanya. Ia sama sekali tidak pernah menyangka jika kalimat itu akan terlontar dari mulut Keent dengan mudah. Ia menyadari perbedaan yang menonjol diantara mereka, membuatnya menyangkal dan menilai kalau Keent tengah bercanda. "Om jangan bercanda. Sama sekali tidak lucu!" Tegas Kamila. Keent mendekatkan wajahnya, ia lalu meraih tangan Kamila dan mendaratkannya tepat di dada kekar miliknya. "Dengarkan detak jantungnya. Ini sama sekali tidak normal. Semenjak pertama melihatmu waktu itu, jantungku tidak pernah normal seperti biasanya." Kata Keent. Lagi-lagi pernyataan mencengangkan di dengar oleh Kamila. Ia bingung, namun Keent tetap mendesaknya. Meskipun tidak bisa di pungkiri kalau Kamila menyukai hal ini, tapi tetap saja baginya ini terlalu cepat. Harus memerlukan sedikit waktu untuk bisa memahami. "O-om, aku tidak mengerti ini sungguhan atau bukan. Hanya saja
Bab 9 "Kairo?" Seketika kedua bola mata Keent terbelalak saat melihat adiknya datang ke rumahnya dengan cara yang sama sekali tidak sopan. Kairo dengan santainya tertawa kecil sambil mendekati Keent dan Kamila. "Waahh... Ternyata kakakku yang dingin ini sudah ada kemajuan! Hebat sekali. Aku pikir gadis ini pasti bukan gadis sembarangan kan?" Kairo hendak menyentuh dagu Kamila, namun Keent menepisnya dengan kuat. Hal itu membuat Kairo semakin takjub meskipun sebenarnya ia sangat kaget sekali dengan perubahan kakaknya itu. Lagi-lagi Kairo terkekeh, ia seakan meledek Keent yang memiliki selera rendah. "Lain kali, jangan pernah datang ke rumah ku seenaknya. Atau, aku akan membuatmu menyesal seumur hidupmu!" Ancam Keent. "Yah.. Bisa aku pertimbangkan. Asalkan kakak tidak menyetujui apapun yang ayah katakan nanti malam, maka aku tidak akan mengusik mu." ujar Kairo. Keent menoleh ke arah Kamila yang masih memegangi ujung jas milik Keent dengan kuat. Ketakutan bersarang di pik
Bab 8 "Di halaman samping rumahku. Kalian bisa datang ke sana untuk sekedar berduka sambil memberikan bunga di makam mereka bertiga. Aku sengaja memakamkan mereka di sana supaya kami merawatnya dengan baik." Jawab Herman dengan lantang. Sungguh di luar nalar, bahkan ini merupakan pembodohan publik yang di lakukan oleh Herman. Demi meyakinkan semua orang, dia rela melakukan kebohongan besar kali ini. Makam kedua orang tua Kamila berada di TPU Teratai, akan tetapi Herman justru membohongi semua orang dengan mengatakan hal tersebut. "Kalau begitu ijinkan kami datang kesana saat kami senggang, Pak." sahut salah satu dari mereka. "Tentu saja, aku justru senang jika kalian masih menghargai adikku meskipun dia sudah tidak ada di dunia ini lagi." jawab Herman. Menit terus berjalan, hingga akhirnya meeting siang itu selesai juga. Semua klien yang hadir berlalu dari ruangan itu masing-masing. Di ruangan hanya tersisa Herman saja. Ia berjalan ke arah balkon dan mulai menghubungi nom