Hanya suara tangis Nadia yang terdengar di ruang tamu keluarga Permadi. Rama, Nabila, Permadi dan Yunita hanya diam menyaksikan Nadia menangis. Satu hal yang mereka sadari saat ini adalah bahwa Nadia telah mengetahui apa yang selama ini mereka rahasiakan, pernikahan siri Rama dan Nabila.
"Kau sudah tahu semuanya?" Yunita bertanya dengan nada sinis.
Nadia yang masih menunduk hanya mengangguk pelan. Rasanya sudah tak sanggup lagi untuk bicara. Bibirnya terasa kelu, bahkan mungkin seluruh tubuhnya sudah mati rasa. Dia hanya bisa tergugu meratapi nasib.
"Dia, kami sudah menikah, hubungan kami halal. Dan saat ini aku sedang mengandung, kami akan memiliki anak," ucap Nabila dengan lembut, lalu melangkah mendekati Nadia dan duduk di sampingnya. "Aku harap kau bisa menerima ini semua, dan memberi ijin pada Mas Rama untuk menikahiku secara resmi, agar saat anak ini lahir nanti dia bisa mendapat akta lahir dengan nama ayahnya."
Nadia menggelengkan kepalanya dengan perlahan, dia tidak percaya kakaknya mampu berbicara sedemikian rupa dengan tenangnya. Seolah-olah pengkhianatan yang mereka lakukan tidak menyebabkan luka menganga di hati Nadia.
"Halal?" Lirih Nadia bertanya
"Jangan egois Dia!"
Hati Nadia bertanya, benarkah wanita yang baru saja bicara adalah ibunya. Mengapa saat dia terluka karena pengkhianatan justru dia yang dihakimi dan dianggap egois.
"Aku harap pengertianmu Dia, kami saling mencintai. Dan buah cinta kami sedang tumbuh di rahimku." Nabila memang seorang yang lemah lembut bahasanya, bahkan saat mengucapkan kata-kata yang menyakitkan pun dia tetap bertutur dengan kelemahlembutanya.
Nadia memberanikan diri mengangkat kepalanya dan menatap dua lelaki di depannya. Sang suami, lelaki yang menikahinya dan sang ayah, lelaki yang menjadi wali nikahnya. Dua lelaki itu justru memalingkan muka saat Nadia menatapnya bergantian. Pengecut, batin Nadia mengumpat untuk kedua lelaki tersebut.
"Tolong jelaskan semua ini Mas!" pinta Nadia sambil menatap ke arah Rama.
Nabila meraih tangan Nadia dan mengenggamnya dengan lembut. "Semua sudah jelas Dia, ijinka kami ..."
"Tolong jelaskan semua ini Mas!" Nadia berucap dengan meninggikan suaranya meskipun sambil menangis. Otak Nadia seakan buntu, hingga dia hanya bisa mengulang kalimat yang sama memotong perkataan Nabila untuk memohon penjelasan dari Rama sang suami.
"Maafkan aku, Dia! Dua minggu setelah pernikahan kita, aku menikahi Bila kakakmu secara siri." Rama menjeda kalimatnya sambil menarik nafas dalam-dalam. "Di rumah ini, dan Pak Permadi, ayah kalian sebagai walinya Bila."
Hancur hati Nadia sehancur-hancurnya, suami yang dia cintai dan keluarga yang dia sayangi mengkhianatinya dengan keji. Nadia merasa dia memang bukan ahli agama, tetapi yang dia ketahui bahwa tidak diperbolehkan dua saudari sekandung, satu nasab dan satu wali dipoligami, menikah dengan satu lelaki yang sama. Bagaimana mungkin Permadi sang ayah melakukan kelalaian tersebut.
"Kami saling mencintai Dia." Kembali tutur kata lembut Nabila seakan menyayat hati Nadia, haruskah sang kakak terus mengulangi kata cinta untuk menghancurkan hatinya.
"Mas, jika kau dan Kak Bila saling mencintai, apakah kau juga mencintaiku? Apakah kita juga saling mencintai? Ataukah cintaku yang hanya bertepuk sebelah tangan?"
Rama memalingkan mukanya, dengan kasar ia menyugar rambutnya. Rama bingung menjawab pertanyaan Nadia, karena Rama tahu apapun jawaban yang akan diberikan hati Nadia telah terluka.
"Dia, kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik," tutur Nabila dengan lembut berusaha menenangkan Nadia.
"Jalan keluar apa yang kau miliki untuk menyelesaikan masalah ini Mas?" Nadia menatap tajam ke arah Rama suaminya.
"Aku hanya ingin Rama segera menikahiku secara resmi, ini semua demi anak yang sedang kukandung. Aku harap pengertianmu, Dia."
Nadia berusaha keras mengabaikan semua perkataan Nabila yang terasa sangat menyakitkan. Nadia berharap Rama akan memberi jalan keluar yang terbaik untuk masalah yang sedang mereka hadapi. Tetapi sepertinya harapa Nadia tinggal hanyalah harapa semu, karena sejak tadi Rama hanya banyak diam, dan seakan Nabila yang memegang kendali keadaan.
"Aku masih menganggapmu sebagai imamku, apapun keputusan yang kau ambil akan aku terima."
"Dia ...."
"Kak Bila, ijinkan aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku." Dengan tegas Nadia memotong pembicaraan Nabila.
"Mas Rama, apakah aku memang tidak berarti bagimu? Hingga aku menghianatiku sedemikian rupa?" Nadia menatap tajam ke arah Rama, tak lama kemudian tatapan mata penuh luka itu beralih ke Permadi sang ayah. "Pak! Apakah aku juga tidak berarti bagimu? Hingga setelah menjalankan kewajibanmu menjadi wali nikahku, kau juga menjadi wali nikah putrimu yang lain tetapi dengan laki-laki yang sama." Nadia tak bisa menahan tangisnya lagi. "Mengapa kau membiarkan mereka mengkhianatiku, mengapa kau membiarkan mereka menyakitiku, Pak?" Nadia semakin tergugu, "Apa salahku Mas? Apa salahku Pak?"
"Tidak usah banyak drama Dia! Kami sedang ada urusan, kita bicarakan lagi nanti setelah kami pulang dari dokter memeriksakan kandungan Bila." Yunita tampak jengah, situasi seperti ini tidak akan cepat selesai, apalagi kedua pria di depannya hanya diam tidak mengambil tindakan.
"Bu! Ijinkan aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku," pinta Nadia dengan lembut.
"Sampai kapan?" Balas Yunita dengan ketus.
"Sampai Mas Rama mengambil keputusan, memberi solusi atas masalah ini."
"Dia ..." Nabila berusaha menenangkan Nadia.
"Mas!" Nadia kembali memotong pembicaraan Nabila. "Aku akan menerima apapun keputusanmu, tapi aku tidak mau dimadu dengan cara seperti ini. Apalagi memadu dua saudara sekandung adalah sesuatu yang haram, Mas."
Rama dan Permadi seketika itu juga menatap Nadia, mereka baru menyadari kesalahan besar yang mereka lakukan. Melakukan dan mengijinkan terjadinya poligami tanpa mencari tahu ilmu dan hukumnya.
"Talak Dia, Rama!" Yunita memerintah Rama denga tegas sambil menunjuk ka arah Nadia. "Kau tidak mungkin meninggalkan Bila, karena Bila sekarang sedang mengandung anakmu."
Nadia menunduk menghapus air matanya, lalu tangannya menyelinap ke balik jilbab meremas perutnya. Kram di perutnya terasa semakin menyiksa raga, disaat bersamaan jiwanya terasa hancur berkeping-keping.
Nabila segera berdiri menghampiri Rama, diraihnya lengan pria yang telah menikahinya secara siri tersebut.
"Rama! Jangan tinggalkan aku!" Nabila memohon, bahkan air matanya pun mulai menetes, hingga Rama yang melihatnya menjadi tidak tega. "Aku sedang mengandung anakmu Rama, ini anak kita." Nabila meraih tangan Rama dan mengusapkanya ke perutnya yang masih rata. "Kita akan bahagia bersama, jangan tinggalkan aku Rama! Aku mohon!"
Nadia menatap tajam ke arah Rama, ia menunggu keputusan yang akan dibuat oleh lelaki yang telah menikahi tersebut. Rama justru memalingkan mukanya tak berani menatap Nadia, penyesalan dan rasa bersalah menyelimutinya. Rama tak tahu bagaimana cara memperbaiki keadaan, kesalahan yang dia lakukan sangatlah besar. Bukan hanya menyakiti hati Nadia, wanita yang saat ini masih berstatus sebagai istrinya yang sah, tetapi apa yang dia lakukan telah merusak hubungan silaturahim sebuah keluarga, hubungan orang tua dengan anaknya, kakak dan adiknya. Tetapi seburuk apapun keadaannya, sebagai lelaki yang dianggap imam oleh istri-istrinya Rama tetap harus mengambil keputusan.
"Maafkan aku, Dia!" Rama menunduk tak berani menatap Nadia, tangannya menggenggam erat jari-jari Nabila, bahkan Nabila terlihat meringis kesakitan. "Nadia Putri Permadi ..." Rama menarik nafas dalam-dalam, dia merasakan sesak di dadanya hingga sulit untuk berucap. "Disaksikan keluargamu, kutajuhkan talak padamu, mulai hari ini kau bukan istriku lagi."
Nadia memejamkan mata, air matanya menetes perlahan membasahi pipi. Beberapa kali Nadia menarik nafas dalam-dalam, sesakit apapun hatinya, serapuh apapun dirinya, Nadia berusaha terlihat tegar.
"Untukmu Noordiansyah Ramadhan, saya terima talakmu dengan ikhlas ... mulai detik ini kamu ... MANTAN SUAMIKU."
Nadia bergegas pergi meninggalkan rumah orang tuanya.