Tetangga adalah saudara jauh yang dekat jaraknya. Keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja, karena saat berada dalam kesulitan, tetangga akan datang lebih dulu dari pada saudara kita yang tinggal jauh. Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah suara mereka, suara yang mungkin akan membuat telinga panas dan hati meradang. Sesumbang apapun suara itu dengan terpaksa harus didengarkan, karena tidak mudah menutup mulut tetangga. Perlu kehati-hatian dan sikap bijak menghadapi tetangga agar tidak menjadi masalah yang lebih besar.
Apa yang terjadi di keluarga Permadi tak luput dari perhatian tetangga sekitar. Pernikahan kedua putri Permadi dengan Rama menjadi perbincangan hangat ibu-ibu komplek. Mereka menganggap Nabila sebagai orang ketiga dalam hubungan Nadia dan Rama, bahkan julukan pelakor pun mereka sematkan pada Nabila. Dan simpati pada Nadia mereka tunjukkan dengan menjenguknya saat baru pulang dari rumah sakit.
Yunita tidak terima dengan kabar yang beredar. Yunita balik menyalahkan Nadia yang tidak bisa menjaga kandungannya hingga keguguran, dan karena kecewa dengan Nadia maka Rama menjatuhkan talak. Itulah versi yang diunggkapkan Yunita di depan para tetangga.
"Apa sih kurangnya Dia? Punya suami tanggung jawab masih saja tidak bersyukur, keluyuran setiap hari sampai keguguran, laki-laki mana yang tidak kecewa kehilangan anak yang ditunggu-tunggu." Yunita bercerita dengan santai kepada para tetangga saat belanja di abang-abang sayur di komplek.
"Kalau nggak ada Bila, sudah stres itu Rama menghadapi Dia, jadi pantas saja kalau akhirnya Rama jatuh cinta pada Bila dan menalak Dia." Yunita berusaha menyakinkan tetangga kalau Nabila tidak bersalah dan bukan pelakor, apalagi sebentar lagi Nabila dan Rama akan mengadakan resepsi pernikahan.
***
Meskipun sudah tidak menggunakan alat bantu jalan, tetapi Nadia masih terpincang-pincang saat berjalan. Nadia segera memilih menyibukkan dirinya bersama Hanna dari pada di rumah. Hampir setiap hari Hanna menjemput Nadia untuk membantu jualan online di kontrakan Hanna. Lalu diantar pulang menjelang senja. Setelah membersihkan diri, Nadia menghabiskan waktu di kamarnya. Itulah rutinitas Nadia setelah kembali ke rumah orang tuanya.
Tidak mudah bagi Nadia menerima semua perlakuan keluarganya. Hanya diam yang bisa dilakukan Nadia untuk meredam emosinya, pada akhirnya hubungan Nadia dengan keluarganya bagaikan terhalang benteng yang kokoh. Hingga Nadia tidak mengetahui jika Nabila dan Rama akan melaksanakan pernikahan, karena memang Nadia jarang dan hampir tidak pernah berbicara dengan keluarganya lagi.
Hanna mengantar Nadia setelah seharian mengurusi jualan online mereka. Hanna mengusap punggung Nadia untuk menenangkan Nadia setelah melihat halaman rumah yang sudah didekorasi dengan indah untuk pernikahan Rama dan Nabila. Pelaminan tampak menonjol dengan hiasan berbagai macam bunga, ada beberapa gubukan untuk tempat hidangan, meja dan kursi tamu pun sudah ditata rapi. Dan tentu saja berbeda dengan pernikahannya dulu yang diadakan dengan sangat sederhana.
"Kita bisa balik ke kontrakan, atau pergi kemana kau mau, aku akan menemanimu." Sebagai sahabat Hanna memahami betapa hancur hati Nadia.
"Terima kasih Han, aku nggak apa-apa. Bukankah kita sudah menduga ini pasti terjadi. Aku harus menghadapinya."
Hanna menganggukkan kepala karena mereka memang pernah membahas hal tersebut, dan juga rencana Nadia ke depan setelah kakinya benar-benar pulih, hanya mereka tidak menyangka akan terjadi secepat ini. Seperti biasanya Hanna akan mengantar Nadia sampai ke kamarnya dan langsung berpamitan dengan siapa saja yang ia temui di rumah.
Tak lama setelah kepergian Hanna, terdengar suara pintu diketuk. Nadia yang belum sempat membersihkan dirinya dan istirahat dengan berat hati melangkah kaki untuk membuka pintu. Setelah pintu dibuka tampak Yunita berdiri di balik pintu.
"Ada yang mau ibu bicarakan." Yunita segera memasuki kamar Nadia.
Yunita memperhatikan Nadia yang masih pincang berjalan menuju ranjang, lalu duduk ditepiannya. Yunita segera menarik kursi di depan meja rias, lalu mereka duduk berhadapan.
"Besok kakakmu akan menikah, dampingi kakakmu seperti saat dia mendampingimu waktu itu."
"Maaf bu, besok aku akan pergi dengan Hanna, banyak pesanan, aku harus bantu packing."
"Jangan drama kamu, Dia!"
"Bukankah tanpa aku, pernikahan akan tetap dilaksanakan?"
"Besok kamu harus ada di rumah dan ikut menyalami tamu, apa kata orang jika kamu tidak ada di rumah."
"Dulu saat Kak Bila dan Rama menikah siri bapak dan ibu tidak mengundangku untuk menyaksikan pernikahan mereka, mengapa sekarang aku harus menyaksikan pernikahan mereka?"
"DIA!" Yunita membentak Nadia, sikap Nadia yang dingin dan memberontak membuat Yunita tersulut emosi.
"Jangan permalukan keluargamu dengan kekonyolanmu itu! Apa kata orang disaat keluarga kita punya hajat kau malah pergi keluyuran."
"Terus apa kata orang jika tahu kalau Kak Bila menikah dengan mantan suamiku?"
"TUTUP MULUTMU!" Yunita segera berdiri dan menjatuhkan telapak tangannya dengan keras ke pipi Nadia putri bungsunya.
Rasa panas di pipi menjalar ke seluruh tubuh dan terasa semakin mendalam memasuki hatinya hingga terasa meradang. Nadia memejamkan mata, bulir bening yang menetes segera ia seka dengan punggung tangannya.
"Jangan sebut Nabila pelakor, kamu yang pelakor. Kamu yang merayu Rama selama kakakmu bekerja di luar negeri. Kakakmu berjuang untuk kita, tapi apa yang kau lakukan? Kau merebut Rama, dan kini saatnya Rama kembali pada Nabila."
Suara gaduh di kamar Nadia membuat Nabila dan Permadi segera datang. Nafas Yunita yang tak beraturan meredam amarahnya, sedangkan Nadia terdiam dengan pandangan nanar. Permadi menghampiri Yunita, memegang bahu sang istri berusaha menenangkannya. Sedangkan Nabila menghampiri Nadia dan duduk di samping sang adik.
"Apa yang terjadi Dia?" tanya Nabila dengan lembut.
"Lihatlah kakakmu itu, dia selalu menyanyangimu meskipun Kau menyakitinya selama ini."
Nadia terdiam memejamkan matanya berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan ibunya. Mungkin pasokan oksigen ke otaknya berkurang sehingga ia tak mampu memahami kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut Yunita.
"Dia." Nabila mengusap punggung tangan Nadia.
"Aku mau istirahat." Nadia merasakan tubuhnya lemah tak berdaya mendengar perkataan sang ibu.
"Dia, besok Kakak akan menikah dengan Rama..."
"Aku tak peduli, terserah kalian mau berbuat apa." Nadia memotong pembicaraan Nabila.
"Kami saling mencintai Dia, biarkan kami bahagia." Nabila memohon dengan suaranya yang lemah lembut. "Kau harus tahu, kalau aku lebih dulu berhubungan dengan Rama dari pada dirimu. Rama adalah cinta pertamaku, dan aku adalah cinta pertama Rama." Nabila bercerita sambil menetes air mata.
"Apa yang telah kulakukan hingga menghalangi kebahagiaan kalian?"
Nadia menatap tajam ke arah Nabila, hingga Nabila menundukkan kepalanya sambil menyeka air mata yang terus menetes. Permadi mengusap bahu Yunita agar bisa menahan emosinya, apalagi saat tatapan tajam Nadia ke arahnya. Hingga kehadiran Rama di depan pintu dan masih menggunakan pakaian kerja hanya disadari oleh Nadia.
"Sejak pertama kali mengetahui pengkhianatan kalian, aku memilih mundur." Nadia menjeda kalimatnya, mengusap air mata yang dengan lancang mengalir mengiringi ucapan Nadia. "Aku menerima ditalak meskipun aku tahu, aku sedang mengandung anak Mas Rama." Dengan susah payah Nadia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Bahkan saat aku menemukan surat undangan sidang perceraian di kontrakan, aku memilih tidak datang, agar putusan sesuai dengan yang kalian inginkan." Nadia menarik nafas dalam-dalam, berusaha memberi kekuatan untuk melanjutkan kalimatnya. "Lalu ... dimana letak aku menghalangi kebahagiaan kalian?"
"Kau!" Permadi segera memegang bahu Yunita seakan memberi isyarat agar istrinya diam dan memberi kesempatan pada Nadia mengeluarkan isi hatinya.
"Aku terima pernikahanku dengan Mas Rama berakhir saat dia mengucapkan talak, bahkan kata rujuk pun tak bisa lagi menyatukan kami setelah aku keguguran, aku berpikir semua telah berakhir saat itu. Tak ada lagi Nadia dan Rama." Nadia memandang satu per satu orang di depannya.
"Kita sering dengar kalau manusia adalah mahkluk individu dan juga mahkluk sosial, tetapi kita sering lupa kalau manusia juga mahkluk berperasaan. Menjaga perasaan manusia yang lain akan membuat menjadi individu yang bersahaja dan bisa bersosialisasi dengan baik agar bisa hidup dengan tentram. Tapi pernahkah kalian menjaga perasaanku?" Tak ada yang menjawab pertanyaan Nadia.
"Tidak pernah." Akhirnya Nadia menjawab sendiri pertanyaannya. "Hatiku sakit saat pernikahanku harus berakhir dengan perceraian. Tapi yang lebih menyakitkan bagiku ketidakpedulian kalian atas duka dan kesedihanku karena kehilangan calon anakku yang belum sempat melihat dunia. Dan belum genap seratus hari kepergiannya bayi malang itu kalian akan berpesta. Kalian kakek dan neneknya, ayah dan tantenya, tapi kalian menganggapnya tak pernah ada."
"Jangan banyak drama kamu Dia! Kamu keguguran itu karena kesalahan kamu sendiri, kenapa harus ngebut?" Yunita tampak emosi, tidak terima dengan semua ucapan Nadia.
"Kakak punya alasan, mengapa kami harus segera meresmikan pernikahan kami." Nabila meraih tangan Nadia.
"Kakak punya alasan, dan aku punya perasaan."
"Apa maumu Dia? Kau mau mempermalukan kakakmu? Bila harus segera menikah, sebelum perutnya membesar. Kau ingin kakakmu menikah dalam keadaan perut buncit?" Emosi Yunita semakin tak tertahan.
Nadia menatap tajam Rama yang dari tadi masih berdiri di depan pintu. "Terserah! Terserah kalian mau berbuat apa? Aku tidak peduli. Semoga kalian bahagia dengan apa yang kalian lakukan."
Nabila yang baru mengetahui keberadaan Rama, segera berlari menghambur kepelukan Rama. Rama meraih bahu Nabila yang sedang menangis lalu menuntunnya meninggalkan kamar Nadia.
"Pokoknya besok kamu harus di rumah, ini memang bukan pernikahanmu, tapi keluargamu yang punya hajat. Kamu harus bersikap biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jangan permalukan keluargamu!" Yunita memerintah Nadia dengan tegas. Yunita yang tidak ingin menerima bantahan dan memperpanjang pembicaraan bergegas meninggalkan kamar Nadia.
Di kamar itu tinggal Nadia dan Permadi, mereka terdiam hingga menciptakan suasana hening. Ayah dan anak itu bergelut dengan pikiran masing-masing.
"Maafkan bapak!" Suara Permadi memecah keheningan, dan hanya dibalas dengan tatapan mata tajam oleh Nadia.
Permadi pun membalikkan badan hendak meninggalkan Nadia, dia pun kembali berhenti saat sudah berada di depan pintu. Ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan putri bungsunya, tetapi seakan bibirnya terkunci, tak bisa berkata-kata.
"Maaf." Akhirnya hanya kata itu yang terucap dari mulut Permadi.
"Aku justru mau berterima kasih sama bapak, dengan undangan sidang ditujukan ke kontrakan, aku tidak perlu repot-repot mengurus perceraian. Semua urusan cepat selesai, bahkan akta cerai pun sudah ku ambil dari pengadilan agama. Sekali lagi terima kasih pak."
Entah kalimat Nadia itu tulus atau sarkas, tetapi permadi merasakan hatinya bagaikan tersayat-sayat saat mendengar ucapan terima kasih dari Nadia. Dengan langkah gontai Permadi meninggalkan kamar Nadia.
***
"Saya terima nikahnya Nabila Putri Permadi binti Permadi dengan mas kawin emas sepuluh gram dibayar tunai."
Terdengar suara Rama mengucapkan akad nikah dengan lancar, dan disahut kata sah dari penghulu dan diikuti oleh saksi-saksi. Nadia duduk di samping Yunita menyaksikan pernikahan Nabila dan Rama. Luka itu masih ada tetapi Nadia berusaha tegar, bahkan ia bisa tersenyum bersalaman dengan para tamu undangan. Hingga Nadia dan Rama saling berpandangan, Nadia sedikit mengangkat dagunya sambil menatap tajam ke arah Rama. Nadia menunjukkan jika dirinya masih mampu berdiri tegar meskipun banyak luka yang dia torehkan. Rama akhirnya mengalihkan pandangannya saat ada tamu yang akan menyalaminya untuk mengucapkan selamat.