Sudah tiga bulan Nadia dan Rama menjalani kehidupan berumah tangga. Sederhana, itulah gambaran yang pas bagi pasangan muda ini. Diawali dengan pernikahan yang sederhana, hanya ijab qobul di KUA dilanjutkan dengan jamuan sederhana yang dihadiri oleh keluarga dan tetangga dekat saja. Selain sebagai syukuran juga pegumuman bahwa Nadia dan Rama telah sah sebagai pasangan suami istri. Setelah rangkaian acara telah selesai, Nadia dan Rama dilepas untuk hidup mandiri. Disinilah mereka sekarang, tinggal mengontrak di sebuah rumah petak sederhana.
Meskipun berbalut kesederhanaan tetapi Nadia bahagia. Merangkai rencana untuk masa depan mereka, mulai menyisihkan rejeki untuk uang muka KPR, agar tidak hidup mengontrak selamanya, hingga rencana untuk memiliki momongan.
Binar bahagia terpancar dari sorot mata Nadia, sudut bibirnya tertarik ke atas hingga membentuk lukisan senyum yang indah. Dipandanginya sebuah benda pipih yang berada di tangannya, sebuah testpack yang dengan jelas terpampang dua garis biru. Nadia tak bisa membendung rasa bahagia yang seakan bah membanjiri dirinya.
Dia segera meraih ponsel dan menghubungi Rama suaminya, ayah dari jabang bayi yang sedang tumbuh di rahimnya. Mungkin suaminya sedang sibuk bekerja atau sedang dalam perjalanan, sehingga dari tadi panggilannya tidak diangkat. Meskipun tersirat kekecewaan di wajah Nadia tetapi dia berpikir mungkin akan lebih baik nanti menyampaikan kabar bahagia ini langsung kepada Rama, dan dia ingin melihat ekspresi bahagia sang suami.
Berbagi kebahagiaan, Nadia segera mengendarai motor maticnya menuju rumah kedua orang tuanya. Pada saat pernikahannya dengan Rama, saat itu kedua orang tuanya mengatakan sudah tidak sabar lagi untuk menimang cucu. Harapan Nadia kedatangannya untuk mengabarkan perihal kehamilannya akan membuat kedua orang tuanya bahagia seperti dirinya saat ini.
Nadia memasuki pekarangan rumah dengan pelan-pelan, dia sangat berhati-hati menjaga buah hatinya yang sedang ia kandung. Sebuah kebetulan yang membuat Nadia semakin bahagia, motor Rama terpakir di halaman rumah, itu pertanda bahwa Rama juga berada di rumah tersebut.
Pintu depan terbuka lebar, terdengar suara obrolan yang diselingi tawa bahagia dari ruang keluarga, hingga salam yang diucapkan Nadia pun tak dibalas. Nadia melangkah pelan-pelan, tersungging senyuman di bibir dan tangannya terus mengelus pelan perutnya yang masih rata.
"Tadi pagi aku melakukan test sendiri dan hasilnya positif, lihatlah dua garis biru ini! Aku hamil." Nadia menghentikan langkahnya, ia sangat terkejut mendengar suara Nabila sang kakak yang mengatakan bahwa ia sedang mengandung, sedangkan sepengetahuan Nadia kakaknya tersebut belum menikah. Dan lebih terkejutnya lagi mengapa suara yang dia dengar penuh dengan kebahagiaan.
"Sebentar lagi kita akan mempunyai cucu Pak, kita akan dipanggil kakek dan nenek." Suara Yunita ibunya menimpali dengan tawa bahagia.
Nadia berdiri mematung mendengarkan pembicaraan keluarganya, dia tak habis pikir kakaknya hamil di luar nikah tetapi semua anggota keluarga bahagia, bahkan Nabila terdengar sangat antusias mengabarkannya.
"Rama! Sebaiknya kau ajak istrimu segera ke dokter untuk memastikan dan juga biar segera mendapat vitamin yang dibutuhkan untuk perkembangannya." Perintah Yunita kepada Rama.
Nadia sungguh terkejut, mendengar apa yang diucapkan ibunya. Rama disuruh membawa istrinya ke dokter padahal ibu tidak sedang berbicara dengannya, apalagi mengenai kehamilannya, ia bahkan belum memberitahukan pada siapa pun. Siapakah yang dimaksud ibu dengan istrinya Rama
"Ya Bu, Rama akan segera membawa Bila ke dokter." Nadia sungguh tidak percaya saat mendengar kata Rama akan membawa sang kakak ke dokter.
Tubuh Nadia terasa lemas, hingga ia harus berjalan dengan merambat menghampiri sofa di ruang tamu dan menjatuhkan dirinya dengan perlahan. Nadia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Nabila sang kakak ternyata juga merupaka istri dari lelaki yang selama ini telah menikahinya. Bahkan sang kakak juga sedang hamil seperti dirinya.
Seingat Nadia, dia dinikahi di KUA dan pernikahannya sah di mata agama dan negara, lalu di manakah posisi kakaknya Nabila? Siapakah istri pertama dan siapakah yang menjadi istri kedua dari Rama? Itulah pertanyaan yang mengganggunya saat ini.
"Aku akan bersiap-siap dulu Mas." Terdengar suara manja dan mesra Nabila mengiringi tetesan air mata Nadia.
"Kita juga ikut ya Pak, ini adalah cucu pertama kita, jadi harus kita rayakan, nanti kita langsung makan malam di luar." Suara Yunita sang ibu menggema tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Tentu Bu." Suara Permadi sang ayah terdengar diiringi tawa bahagia oleh semua anggota keluarga. "Ayo Rama! Calon ayah harus semangat!"
"Ya Pak!" Jawab Rama dengan tegas dan terdengar tanpa keraguan sedikitpun.
Nadia mulai tergugu, ia hanya bisa membekap mulutnya agar suara tangisnya tak keluar hingga terdengar oleh mereka yang berada di ruang keluarga. Nadia memejamkan mata berusaha menenangkan dirinya, beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam untuk meredam segala gejolak amarah dalam dirinya. Tetapi apa yang akan dia lakukan, sedangkan yang dia hadapi adalah keluarganya sendiri, orang-orang yang seharusnya ia sayangi dan juga menyanyanginya. Tapi yang dia rasakan saat ini adalah sebuah pengkhianatan.
"Maaf Pak, boleh pinjam mobilnya?"
"Sudah pasti kita bawa mobil Rama, biar Bila nyaman dan pastinya lebih aman juga. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada calon cucu ibu," jawab Yunita.
"Rama, Rama, kita mau periksa kandungan, masak iring-iringan naik motor, kaya mau kampanye," sahut Permadi yang diikuti suara gelak tawa penuh bahagia.
"Bila sudah siap."
"Anak ibu cantiknya, jangan-jangan cucu pertama ibu nanti perempuan."
"Laki-laki perempuan sama saja Bu, yang penting sehat."
"Amiiiin!" Seolah paduan suara, semua menyahut perkataan Rama.
"Kita berangkat sekarang Mas, keburu antriannya banyak."
"Digandeng Ram! Belajar jadi suami siaga, Bila sedang mengandung anakmu, jadi menjaga Bila juga berarti menjaga anakmu."
Rama berjalan sambil mengandeng erat tangan Nabila, diikuti bapak dan ibu dibelakangnya. Langkah Rama menjadi pelan saat ia melihat sepasang sandal di depan pintu dan motor Nadia terparkir di halaman rumah. Rama mengenali sandal itu, sandal Nadia istri sahnya. Memasuki ruang tamu Rama langsung mendapati Nadia yang duduk tertunduk di sofa. Rama, Nabila, Permadi dan Yunita menghentikan langkah menatap ke arah Nadia.
"Dia," lirih suara Permadi menyapa anaknya, tetapi masih terdengar oleh semua yang ada di ruangan tersebut. Tatapan mata Permadi penuh luka dan penyesalan bahkan dengan perlahan ayah dua putri itu memalingkan muka untuk menyeka air mata yang menetes.
Nadia yang masih duduk di sofa menengadahkan wajahnya, dia paksakan untuk tersenyum hingga bibirnya bergetar, dan air matanya tak terbendung lagi membasahi pipinya.
"Selamat buat Bapak dan Ibu yang akan menjadi kakek dan nenek." Nadia mengucapkannya dengan terbata-bata dan tangannya yang tersembunyi di balik jilbabnya meremas perutnya yang merasakan kram. Dalam hati dia berdoa agar anaknya tenang di dalam perutnya meski sang ibu sedang terluka.
"Dan selamat buat Mas Rama yang akan menjadi seorang ayah." Setelah mengucapkan kata tersebut Nadia tak bisa lagi menahan tangisnya, hingga ia tergugu di depan keluarganya.