“Yaaah ... jadwalnya harus sama banget ya? Kita jadi gak bisa saling hadir di pernikahan masing – masing dong,” Fiolina tampak menggerutu namun masih dengan semangat melahap sushinya.
“Heem, gimana lagi, para orang tua sudah setuju dan gedung juga sudah kami book,” ucap Almara. Dalam hati dia merasa lega, untunglah jika dia ada alasan untuk tidak hadir di pernikahan Rangga.
Mereka berempat lanjut berbincang mengenai banyak hal. Hingga waktu menunjukkan pukul empat sore, barulah mereka berpisah dan pulang dengan pasangan masing – masing.
Hari itu adalah hari terakhir Almara bertemu dengan Rangga dan Fiolina sebelum pernikahannya. Hari – hari selanjutnya diisi dengan kesibukan menjelang pernikahan. Sedikit banyak, tetek bengek pernikahan mampu mengalihkan pikirannya dari Rangga.
Namun, saat dia sendirian, rasa pedih masih sering muncul dalam hatinya. Yang bisa Almara lakukan hanya meni
Dear reader, Buat yang masih bingung dengan tanggal – tanggal alias timeline. Aku akan jelaskan di sini ya supaya kalian gak bingung lagi membaca bab – bab selanjutnya. Ini adalah umur para tokoh pada tahun 2022 : Almara : 28 tahun (Lahir 5 April 1994) Rangga : 37 tahun (Lahir 14 Desember 1984) Ardan : 28 tahun (Lahir 20 Januari 1994) Fiolina : 34 tahun (Lahir 25 Agustus 1987) Peristiwa Penting : &n
Almara terjatuh semakin dalam dan semakin cepat. Seketika anggota tubuhnya tersentak. Hanya dalam waktu sepersekian detik, dia mendapati tubuhnya berbaring pada sebuah ranjang.Di antara detak jantungnya yang semakin cepat, sekuat tenaga dia mencoba untuk membuka matanya. Pandangannya berkabut. Ditatapnya langit – langit ruangan yang sunyi namun menenangkan.“Almara ... Almara Kamu sadar Nak,” Suara seorang wanita bergumam di sebelah kiri tubuh Almara yang sedang berbaring.Almara hafal suara itu. Itu adalah suara Kinanti, Mamanya.Dengan sigap Kinanti menekan tombol untuk memanggil perawat. Almara belum sepenuhnya sadar, yang dia rasakan hanyalah siluete perawat yang datang silih berganti, gumaman Kinanti yang entah apa, dan juga dokter yang datang melakukan pemeriksaan sesekali.Almara tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak pertama kali diri
“Sebenernya ada apa Pa? Rangga kenapa?” Almara menatap lekat – lekat sosok Ayahnya itu. Berharap menemukan jawaban.“Pa, please kasih tahu Aku...” ujarnya saat Hardian tak kunjung memberi jawaban.“Almara, jangan terlalu dipikirkan. Papa yakin semua baik – baik saja. Kamu banyak istirahat dulu, nanti kalau kamu sudah benar – benar sembuh ...”“Aku sudah sembuh Pa. Aku gak papa. Please Pa ...” Almara memohon pada Hardian. Namun ucapannya terhenti saat Kinanti memasuki ruangan dengan terburu –buru dan wajah frustasi.“Gawat. Mereka dapat info darimana sih?” ujar Kinanti. Nafasnya tersengal.“Ada apa Ma? Tenang dulu, ini minum dulu,” Hardian menyodorkan segelas air kepada istrinya sambil menuntunnya untuk duduk di sofa.“Wartawan. Wartawan dapa
Senyumnya tersungging. Namun ada kegetiran di baliknya. Dia sudah siap jika reputasi dan karirnya hancur. Atau jika rumah tangganya berantakan. Atau jika seluruh manusia membencinya. Dia siap. Namun apa yang dilakukan wanita itu seakan meruntuhkan pertahanannya.Hampir sewindu berlalu, hatinya tetap milik wanita itu. Sekalipun riuh kehidupan sebagai artis menyibukkannya beberapa tahun ke belakang, kepalanya tak pernah sesibuk saat dia memikirkan wanita itu. Sekalipun ada seseorang sesempurna Sharon di sampingnya, dia tidak pernah mampu mengusir bayangan wanita itu dari ingatannya.Cintanya, hatinya, pikirannya, semuanya.Empat bulan yang lalu dia diberi harapan. Namun lihatlah apa yang wanita itu lakukan kepadanya sekarang. Di hadapan publik dia menyatakan cintanya kepada suaminya, seseorang yang katanya tidak pernah mampu menggantikan dirinya di hati wanita itu.Almara ternyata setega itu.&n
“Kita kemana sekarang Pak?” tanya Fariz saat hendak mengemudi mobil.“Ke kantor, ada yang menunggu Saya di sana,” jawab Rangga sambil melihat jam tangannya.“Baik.”Jalanan agak macet sehingga mereka baru tiba di kantor setelah menempuh perjalanan hampir satu jam.“Dia masih di dalam?” tanya Rangga pada Wina, sekretaris kantornya, saat dia sudah sampai di depan ruangan kerjanya.“Masih Pak,” jawab Wina.“Oke,” Rangga melangkah masuk ke ruangannya. Seorang pria sedang duduk santai di sofa tamu sambil menyesap secangkir kopi.“Maaf membuatmu lama menunggu, Ardan,” ujar Rangga sambil memposisikan dirinya duduk di hadapan Ardan.Ardan meletakkan cangkirnya lalu bersandar pada sofanya. Tersenyum, dia berkata, “It’s okay. C
“Terimakasih Kamu sudah bawa saya ke sini ya Fariz,” ucap Almara saat Fariz menghampirinya.“Tidak masalah Bu Almara, Saya rasa sudah sangat wajar jika Kita saling membantu. Tadinya saya datang mau menyerahkan ini,” Fariz menyerahkan sebuah kardus ponsel yang masih tersegel dengan rapi.“Ini dari Pak Rangga untuk menggantikan hape Bu Almara yang rusak. Oya, dan Saya juga membawa ini,” diserahkannya kepada Almara sebuah wadah kecil seukuran kotak lensa mata dari dalam sakunya.“Apa ini?”“Itu simcard, dari hape yang lama. Pak Rangga meminta saya menyimpannya dan rutin membelikan pulsa setiap bulan agar nomornya tetap aktif.”“Oh, oke, terimakasih,” Almara membuka kardus ponselnya dan memasang kartu simnya ke dalam ponsel tersebut.Saat Almara menginstal aplikasi perpesanan dan media sosial
Rangga masih berada di kantornya. Sudah hampir satu bulan dia nyaris tidak pernah pulang ke rumah. Siang ini saat dia menceraikan Almara, adalah pertama kalinya dia kembali ke rumah semenjak terkuaknya kasus perselingkuhan Almara dan Ardan.Baginya berada di rumah itu sama saja seperti meracuni hatinya sendiri. Baginya, rumah itu adalah rumah cintanya dengan Almara. Saat dia memutuskan bahwa dia tidak akan hidup bersama Almara lagi, dia bertekad tidak akan kembali lagi ke rumah itu. Saat ini, dia menempati apartemen yang biasanya dia gunakan untuk tamunya yang berasal dari luar kota.Sudah dini hari, waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Namun, dia masih berkutat dengan laptop dan beberapa dokumen di mejanya. Rangga mengerjapkan matanya, keduanya sudah terasa sepat. Otot – ototnya pun sudah lelah, tapi hanya ini yang bisa mengalihkan pikirannya dari Almara. Tenggorokannya terasa kering. Rangga bangkit dan be
Aku memasuki kantor polisi dengan jantung berdebar. Dalam hati kecilku, Aku mengakui jika Aku ketakutan. Bukan, bukan karena Aku takut tidak mampu meluruskan kesalahpahaman jika ini adalah fitnah. Melainkan Aku takut jika ini benar.“Selamat siang Pak Rangga,” seorang petugas polisi bernama Jefri menyalamiku dan tersenyum dengan ramah. Dia adalah salah satu polisi yang bertanggung jawab terhadap kasus Almara.“Saya ke sini untuk mengkonfirmasi temuan baru polisi yang disampaikan oleh asisten Saya.”“Oh, ya benar. Pak Fariz sudah menjelaskan berarti ya?”“Bisakah Saya tahu lebih detail?” tanyaku pada Jefri.“Awalnya kami menemukan chat antara istri Anda dan Ardan di sini,” ujarnya sambil menyodorkan ponsel Almara kepadaku. Aku tahu jika polisi memang mengambil ponsel Almara untuk penyelidikan. Jefri mengatakan dia menemuk