“Sebenernya ada apa Pa? Rangga kenapa?” Almara menatap lekat – lekat sosok Ayahnya itu. Berharap menemukan jawaban.
“Pa, please kasih tahu Aku...” ujarnya saat Hardian tak kunjung memberi jawaban.
“Almara, jangan terlalu dipikirkan. Papa yakin semua baik – baik saja. Kamu banyak istirahat dulu, nanti kalau kamu sudah benar – benar sembuh ...”
“Aku sudah sembuh Pa. Aku gak papa. Please Pa ...” Almara memohon pada Hardian. Namun ucapannya terhenti saat Kinanti memasuki ruangan dengan terburu –buru dan wajah frustasi.
“Gawat. Mereka dapat info darimana sih?” ujar Kinanti. Nafasnya tersengal.
“Ada apa Ma? Tenang dulu, ini minum dulu,” Hardian menyodorkan segelas air kepada istrinya sambil menuntunnya untuk duduk di sofa.
“Wartawan. Wartawan dapa
Senyumnya tersungging. Namun ada kegetiran di baliknya. Dia sudah siap jika reputasi dan karirnya hancur. Atau jika rumah tangganya berantakan. Atau jika seluruh manusia membencinya. Dia siap. Namun apa yang dilakukan wanita itu seakan meruntuhkan pertahanannya.Hampir sewindu berlalu, hatinya tetap milik wanita itu. Sekalipun riuh kehidupan sebagai artis menyibukkannya beberapa tahun ke belakang, kepalanya tak pernah sesibuk saat dia memikirkan wanita itu. Sekalipun ada seseorang sesempurna Sharon di sampingnya, dia tidak pernah mampu mengusir bayangan wanita itu dari ingatannya.Cintanya, hatinya, pikirannya, semuanya.Empat bulan yang lalu dia diberi harapan. Namun lihatlah apa yang wanita itu lakukan kepadanya sekarang. Di hadapan publik dia menyatakan cintanya kepada suaminya, seseorang yang katanya tidak pernah mampu menggantikan dirinya di hati wanita itu.Almara ternyata setega itu.&n
“Kita kemana sekarang Pak?” tanya Fariz saat hendak mengemudi mobil.“Ke kantor, ada yang menunggu Saya di sana,” jawab Rangga sambil melihat jam tangannya.“Baik.”Jalanan agak macet sehingga mereka baru tiba di kantor setelah menempuh perjalanan hampir satu jam.“Dia masih di dalam?” tanya Rangga pada Wina, sekretaris kantornya, saat dia sudah sampai di depan ruangan kerjanya.“Masih Pak,” jawab Wina.“Oke,” Rangga melangkah masuk ke ruangannya. Seorang pria sedang duduk santai di sofa tamu sambil menyesap secangkir kopi.“Maaf membuatmu lama menunggu, Ardan,” ujar Rangga sambil memposisikan dirinya duduk di hadapan Ardan.Ardan meletakkan cangkirnya lalu bersandar pada sofanya. Tersenyum, dia berkata, “It’s okay. C
“Terimakasih Kamu sudah bawa saya ke sini ya Fariz,” ucap Almara saat Fariz menghampirinya.“Tidak masalah Bu Almara, Saya rasa sudah sangat wajar jika Kita saling membantu. Tadinya saya datang mau menyerahkan ini,” Fariz menyerahkan sebuah kardus ponsel yang masih tersegel dengan rapi.“Ini dari Pak Rangga untuk menggantikan hape Bu Almara yang rusak. Oya, dan Saya juga membawa ini,” diserahkannya kepada Almara sebuah wadah kecil seukuran kotak lensa mata dari dalam sakunya.“Apa ini?”“Itu simcard, dari hape yang lama. Pak Rangga meminta saya menyimpannya dan rutin membelikan pulsa setiap bulan agar nomornya tetap aktif.”“Oh, oke, terimakasih,” Almara membuka kardus ponselnya dan memasang kartu simnya ke dalam ponsel tersebut.Saat Almara menginstal aplikasi perpesanan dan media sosial
Rangga masih berada di kantornya. Sudah hampir satu bulan dia nyaris tidak pernah pulang ke rumah. Siang ini saat dia menceraikan Almara, adalah pertama kalinya dia kembali ke rumah semenjak terkuaknya kasus perselingkuhan Almara dan Ardan.Baginya berada di rumah itu sama saja seperti meracuni hatinya sendiri. Baginya, rumah itu adalah rumah cintanya dengan Almara. Saat dia memutuskan bahwa dia tidak akan hidup bersama Almara lagi, dia bertekad tidak akan kembali lagi ke rumah itu. Saat ini, dia menempati apartemen yang biasanya dia gunakan untuk tamunya yang berasal dari luar kota.Sudah dini hari, waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Namun, dia masih berkutat dengan laptop dan beberapa dokumen di mejanya. Rangga mengerjapkan matanya, keduanya sudah terasa sepat. Otot – ototnya pun sudah lelah, tapi hanya ini yang bisa mengalihkan pikirannya dari Almara. Tenggorokannya terasa kering. Rangga bangkit dan be
Aku memasuki kantor polisi dengan jantung berdebar. Dalam hati kecilku, Aku mengakui jika Aku ketakutan. Bukan, bukan karena Aku takut tidak mampu meluruskan kesalahpahaman jika ini adalah fitnah. Melainkan Aku takut jika ini benar.“Selamat siang Pak Rangga,” seorang petugas polisi bernama Jefri menyalamiku dan tersenyum dengan ramah. Dia adalah salah satu polisi yang bertanggung jawab terhadap kasus Almara.“Saya ke sini untuk mengkonfirmasi temuan baru polisi yang disampaikan oleh asisten Saya.”“Oh, ya benar. Pak Fariz sudah menjelaskan berarti ya?”“Bisakah Saya tahu lebih detail?” tanyaku pada Jefri.“Awalnya kami menemukan chat antara istri Anda dan Ardan di sini,” ujarnya sambil menyodorkan ponsel Almara kepadaku. Aku tahu jika polisi memang mengambil ponsel Almara untuk penyelidikan. Jefri mengatakan dia menemuk
“Pak Rangga tidak pernah meninggalkan rumah sakit sama sekali sejak pertama kali Beliau mendapat berita mengenai penikaman tersebut. Sama sekali tidak pernah pulang selama lebih dari tiga bulan. Saya yang selalu membawakan Pak Rangga makanan, baju ganti, keperluan mandi dan lain – lain,” terang Fariz kepada Almara.“Suatu hari Kami mendapat info bahwa ternyata pelaku penikaman hanyalah orang bayaran. Dan yang membayarnya adalah Istri Pak Ardan. Motifnya karena cemburu akan hubungan Anda dan Pak Ardan,”Almara memejamkan matanya, mengapa jadi seperti ini?“Pak Rangga ke kantor polisi untuk mengkonfirmasi hal tersebut. Dan dari sana Pak Rangga mendapatkan hape Bu Almara yang sempat disita polisi. Di Hape itu, Pak Rangga membaca semua pesan antara Anda dan Pak Ardan. Bahkan...” Fariz sempat ragu namun akhirnya tetap melanjutkan.“Seseorang mengirim a
Keesokan paginya, Ardan memarkir mobilnya di sebuah kantor Firma Hukum. Setelah mengatakan tujuannya kepada reseptionist yang sedang bertugas, dia terpaksa harus menunggu untuk waktu yang cukup lama dengan alasan karena dia belum memiliki janji sebelumnya.Saat hari sudah mulai sore, dia disilakan untuk menemui Julio Aksara di ruangannya. Awalnya, Ardan mengira Julio Aksara adalah seorang pengacara senior yang sudah tua yang berusia sekitar 40 atau 50 tahun. Namun saat dia memasuki ruangan, ternyata Julio masih sangat muda dan tampan. Mungkin dia berusia awal 30-an.“Selamat Sore Pak Ardan, maaf jika Anda terpaksa menunggu untuk waktu yang sangat lama,” ucap Julio sambil mempersilakan Ardan untuk duduk.“Tidak masalah, akhir – akhir ini menunggu sudah jadi pekerjaan rutin saya.”Julio tertawa ringan, “Jadi apa tujuan Anda ingin menemui Saya sejak pagi – pagi
Ardan termenung menatap langit – langit kamarnya seorang diri. Sudah dini hari, namun sekuat apapun dia mencoba untuk tidur, seluruh sel – sel tubuhnya seakan menolak untuk terlelap. Otaknya tak pernah berpikir sekeras ini, setiap kejadian yang dia alami beberapa waktu ke belakang benar – benar seperti benang kusut yang menyesatkannya.Dia memikirkan Almara yang mengajak dirinya untuk bertemu pagi nanti. Entah apa yang akan wanita itu katakan, Ardan terlalu takut untuk sekedar berandai – andai. Dia takut, dia takut jika Almara benar – benar sudah memilih Rangga sebagai penghuni hatinya. Dia tidak siap.Dia juga memikirkan Sharon. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu, mengapa bisa – bisanya dia menerima permintaan Si Julio Pengacara Brengsek itu.Ardan masih ingat apa yang Sharon katakan saat dia membujuk wanita itu untuk membatalkan perjanjiannya dengan Julio,&