Billy menghilang. Sebagaimana Hardian, Melissa juga tinggal di rumah Ardan dan Sharon karena tak ingin sendirian. Hari – harinya diisi dengan tidur dan menangis. Ardan nyaris putus asa tak tahu harus bagaimana menghibur mamanya gar bangkit dari keterpurukan.Sidang Sharon terus berlanjut. Julio bahkan menghadirkan Frans dan istrinya sebagai saksi. Pengacara itu dengan brilian membalikkan keadaan, membuat Sharon terlepas dari segala tuduhan dan berganti status sebagai saksi.Sidang – sidang selanjutnya berubah menjadi Nayra dan Kinanti yang sudah menjadi terdakwa. Namun Billy masih menjadi buronan.“Mama, gimana kalau kita jalan – jalan? Kita bisa menikmati puncak atau pantai buat refreshing,” bujuk Sharon kepada mama mertuanya.“Yuk Ma, bagus tuh idenya Sharon. Sekalian kita rayain kebebasannya Sharon karena dia udah lepas dari fitnah dan bukan tahanan rumah lagi,” tambah Ardan.Melissa hanya tersenyum dan mengangguk, “Ya udah ayok besok kita jalan – jalan.”“Yey.... gitu dong Ma,” s
“Apa kabar Fi?” tanya Rangga kepada sosok mungil di hadapannya.Fiolina menyempatkan menyeruput minumannya sebelum menjawab pertanyaan basa – basi Rangga. Hari ini, tiga hari setelah sidang pertama kasus penikaman Almara, Rangga dan Fiolina berjanji untuk bertemu di sebuah cafe.“Aku dalam keadaan yang super baik,” jawab Fiolina, “Almara tahu kamu ketemu sama aku?”Rangga mengangguk, “Tahu dong.”“Dia gak masalah kita ketemu berdua? Gak cemburu?”“Aku sempat berpikir kalau dia mungkin bakal ngelarang aku ketemu berdua aja sama kamu, tapi waktu aku minta ijin ternyata dia gak keberatan. Dia bilang, dia yakin kamu orang baik jadi dia gfak khawatir.”Fiolina tertawa ringan, “Itu karena dia gak tahu aja dulu aku cinta banget sama kamu. Kalau dia tahu, dia pasti cemburu dan berpikir kalau aku mungkin berniat merebut kamu dari dia.”“Gak kok. Dia tahu.”“Kamu yang cerita?”“Sedikit detailnya iya. Tapi dia udah tahu sebelum aku cerita?”“Tahu dari mana?”“Hm... itu agak panjang dan kompleks
Almara menjalani kehidupan barunya sebagai seorang ibu dengan ceria. Sekalipun banyak hal yang membuatnya kaget bahkan kelelahan namun dia tetap menikmati prosesnya. Dia dibantu oleh Hardian dan juga Rangga yang super semangat merawat Rama sekalipun mereka berdua banyak melakukan kesalahan konyol.Saat Rama genap berusia satu bulan, Rangga dengan antusias memiliki ide untuk merayakan. Almara bersikeras menolak, “Gak gak buat apa sih. Namanya ulang tahun itu ya setiap tahun, tunggu umur satu tahun. Lagian emangnya kamu mau merayakan setiap bulan?”“ya gak papa dong,” kekeh Rangga.“Gak usah, pemborosan. Dan gak wajar juga jadinya.”“Hm... oke oke ya udah, aku nurut bundanya Rama aja deh,” ujar Rangga.“It’s okay. Papa dulu juga terlampau semangat gitu kok waktu baru pertama kali jadi ayah pas Almara lahir hehe,” Hardian kali ini maju untuk membela Rangga karena merasakan kesamaan nasib sebagai ayah.“Tuh kan, berarti gak cuma aku,” saut Rangga.Di tengah kecerian mereka, ponsel Rangga
“Gimana kabar kamu Fi? Lama banget deh gak ketemu. Seru jalan – jalan ke Eropanya?” tanya Sharon saat Fiolina baru datang dan duduk di hadapannya dan Almara. “Seru dong. Maaf ya telat, aku bangun kesiangan,” jawab Fiolina sambil merapikan make up nya. Mereka bertiga berjanji untuk bertemu di sebuah cafe setelah 2 bulan Fiolina berlibur di Eropa. “Eh Fi, jadi kamu sama sekali gak denger kabar apapun dari perkembangan kasus Nayra, Mama Kinanti dan Billy?” tanya Almara. “Iya lah. Aku kan ngelarang kalian cerita apapun soal itu selama aku healing di Eropa dan aku juga ngelarang semua orang untuk kasih tahu aku supaya aku gak terganggu sama masalah mereka lagi selama di sana,” jawab Fiolina. Memang benar, tiga bulan sudah berlalu semenjak penangkapan Billy, Fiolina memutuskan untuk berjalan – jalan dan tidak mendengar kabar apa pun soal kasus itu selama dua bulan terakhir. “Emangnya ada kabar apa?” tanya Fiolina kepada Almara dan Sharon yang terlihat sedikit tegang. “Billy bunuh diri
Dengan penuh perjuangan akhirnya almara berhasil membuka matanya. Nyala lampu ruangan menyilaukan pandangannya yang masih buram. Mungkin butuh sekitar sepuluh menit sampai pandangannya menjadi normal. Almara memperhatikan sekitarnya. Ah benar saja, dia ada di rumah sakit. Samar - samar dia melihat sosok lelaki sedang duduk di sofa penunggu pasien. Almara memperjelas pandangannya, ternyata bukan Rangga ataupun Ardan. Bukan pula Ayah atau Adik lelakinya. Wajahnya asing. Almara mulai khawatir, mungkinkah dia lelaki yang menikamnya? "Maaf Anda siapa?" Almara memberanikan dirinya bertanya pada laki - laki itu. Almara melirik pada tombol untuk memanggil perawat di samping tempat tidurnya, bersiap menekannya kapan saja jika sesuatu menimpa dirinya. "Kenapa Anda di sini? Di mana keluarga saya?" Almara mulai panik namun berusaha untuk tetap tenang. "Apakah peristiwa penikaman tadi sore membuatmu istirahat dari pikiran kalutmu yang penuh penyesalan itu Almara?" Bukannya menjawab pertany
Almara termenung. Hari ini bukan hari yang sibuk. Dia memiliki banyak waktu untuk melakukan hobinya seperti membaca novel misteri di perpustakaan kota, berkutat di dapur mencoba resep kue terbaru atau sekedar duduk di kamarnya yang lapang menonton drama korea secara maraton.Biasanya siang hari seperti saat ini, dia pasti sedang sibuk - sibuknya menyunting video dari kliennya. Jika antriannya panjang, sampai malam tiba pun dia tetap berjibaku duduk di depan laptop miliknya, mengedit dengan penuh gairah setiap video dari kliennya.Pekerjaannya sebagai penyunting video lepas lumayan menghasilkan juga. Walaupun jumlah klien setiap bulannya naik turun tapi dalam sebulan Almara belum pernah menghasilkan uang di bawah 6 juta.Uang 6 juta mungkin jumlah yang sedikit baginya sekarang. Semenjak menikahi seorang pengusaha muda yang sukses, hidup Almara menjadi terjamin dan serba cukup. Namun pekerjaan ini sudah menjadi hobi yang t
Tubuh Almara terkulai lemah. Almara sebetulnya sudah sadar, namun berat sekali rasanya untuk membuka mata dan menggerakkan badannya. Seolah - olah energinya telah terserap habis oleh kasur tempat dia berbaring. Dia masih ingat kejadian saat di taman, saat sosok yang tak dia kenal tiba - tiba menikamnya hingga ambruk. Tadinya dia pikir, mungkin inilah akhir hidupnya, mati ditikam entah oleh siapa. Tapi melihat keadaannya saat ini, Almara yakin dia tidak mati. Dengan penuh perjuangan akhirnya almara berhasil membuka matanya. Nyala lampu ruangan menyilaukan pandangannya yang masih buram. Mungkin butuh sekitar sepuluh menit sampai pandangannya menjadi normal. Almara memperhatikan sekitarnya.Ah benar saja, dia ada di rumah sakit. Samar - samar dia melihat sosok lelaki sedang duduk di sofa penunggu pasien. Almara memperjelas pandangannya, ternyata bukan Rangga ataupun Ardan. Bukan pula Ayah atau A
Jantung Almara semakin berdebar, jika saja tidak ada tulang rusuknya, jantungnya pasti sudah melompat keluar. Kembali terduduk di atas ranjangnya, kedua tangannya menggosok - gosok mukanya seperti barusaha bangun dari mimpi.Almara mencubit pipinya sekeras mungkin sampai dia menjerit kesakitan."Oh no no no, bukan mimpi, oh Tuhan, Astaga, Astaga ..." Almara menggelengkan kepalanya merasa tidak percaya dengan apa yang dialaminya.Almara meraih ponselnya, dilihatnya tanggal yang tertera. Senin, 19Januari 2015 pukul 05.15 pagi. Almara menghitung dengan jarinya, jika dia tidak salah hitung, ini berarti dia sedang menempuh kuliah semester 8 di tanggal ini.Almara mencoba menenangkan dirinya. Dia menarik nafas dalam - dalam, menahannya sebentar lalu menghembuskan secara perlahan. Proses relaksasi itu dia lakukan berulang kali sambil memejamkan mata. Lalu tiba - tiba dia tering