Gianna Ricci, atau yang biasa dipanggil Gia, menantu keluarga kaya raya Bianchi yang berdarah bangsawan, berdiri di dapur besar rumah Bianchi. Gia mengikat rambut pirangnya yang panjang ala kuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang dan kulitnya yang pucat. Mata cokelatnya yang besar dan berbinar-binar, kini tampak lelah dan penuh pikiran. Sesekali ia menyeka keringat dari dahinya saat dia memasak untuk makan malam keluarga besar Bianchi.
"Malam ini sebaikanya kau tidur di dapur! Besok adalah pesta ulang tahun Bella, aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun terutama bagian makanan! Jangan lupa, dia alergi kacang-kacangan, mengerti?!"
Gia mengangguk patuh ketika Sophia Rossi, ibu mertuanya, memberikan perintah dengan nada tegas. Dia tidak berani menatap mata Sophia terlalu lama, takut melihat ketidakpuasan yang mungkin terpancar di sana. Di sudut ruangan, Bella Milana, istri dari Leonardo Bianchi, adik dari suaminya Marco Bianchi, sedang berdiri, mengamati kejadian di dapur dengan senyum tipis di wajahnya. Meskipun baru tahun pertama Bella berada di rumah megah ini, kehadirannya sudah begitu dominan. Bella berasal dari keluarga Milana yang tak kalah kayanya dengan keluarga Bianchi.
Kontrasnya, perlakuan Sophia kepada Gia jauh berbeda. Gia, meskipun menyandang status menantu di keluarga terpandang ini, tak pernah merasakan kasih sayang ataupun penghormatan yang seharusnya dia terima. Semua ini hanya karena latar belakangnya yang berasal dari keluarga sederhana. Tiap hari, Gia lebih banyak menghabiskan waktunya di dapur besar yang dingin, sibuk memotong sayuran, mengaduk sup, dan memastikan setiap hidangan tersaji sempurna.
Sambil memasak, pikirannya melayang pada hari-hari pertama dia tinggal di rumah ini. Bagaimana setiap gerak-geriknya diawasi, dan setiap kesalahan kecil dibesar-besarkan. Tidak hanya di dapur, Gia juga bertanggung jawab membersihkan seluruh rumah yang luas ini. Lantai marmer yang berkilauan, jendela-jendela besar yang harus selalu bebas dari debu, serta perabotan antik yang membutuhkan perawatan khusus.
Selain itu, setiap pagi dan sore, Gia akan memberi makan burung-burung peliharaan Victor Bianchi, ayah mertuanya, di aviary besar di taman belakang. Dengan telaten, dia akan membuka kandang, mengisi tempat makan mereka dengan biji-bijian dan buah segar, sambil mengamati burung-burung, sesekali ia mengajak mereka berbicara karena hanya kepada burung-burung itulah Gia merasa bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri.
Ketika akhirnya makan malam siap dihidangkan, Gia merasa tubuhnya lelah luar biasa. Dia menyeka keringat dari dahinya, berharap bisa beristirahat sejenak. Namun, dia tahu tugasnya belum selesai. Dia harus mengatur meja makan dengan sempurna, memastikan setiap piring, gelas, dan sendok garpu berada di tempatnya, di bantu Elissa dan Maria pelayan keluarga Bianchi yang baik terhadapnya. Gia mundur beberapa langkah, berdiri tidak jauh dari meja makan.
Satu per satu, anggota keluarga Bianchi mulai berdatangan dan duduk di kursi mereka. Victor Bianchi menduduki kursi kepala meja, diikuti oleh istrinya, Sophia Rossi. Bella Milana masuk ia mengenakan gaun malam yang terlihat elegan. Leonardo Bianchi, adik Marco, juga ikut bergabung, dengan penampilan yang selalu rapi.
Lalu, suaminya Marco Bianchi memasuki ruang makan. Marco adalah pria yang memikat dengan penampilan yang selalu menarik perhatian. Rambutnya yang pirang disisir rapi ke belakang, memberi kesan klimis dan terawat. Di bawah cahaya lembut ruangan, rambutnya tampak berkilauan, menambah pesona aristokratnya. Dia memiliki wajah yang tegas dengan garis rahang yang jelas, hidung mancung, dan mata biru yang tajam, hal inilah yang memikat Gia dua tahun yang lalu.
Marco yang dulu ia kenal adalah pria lembut dan penyayang, berbanding terbalik dengan sikapnya sekarang. Tepatnya, sudah hampir setahun Marco mulai bersikap buruk dan kasar. Semua tindakan Marco akan sesuai dengan moodnya, jika sedang bagus, ia akan memperlakukan Gia dengan baik, tapi jika moodnya sedang buruk, Marco tidak akan segan memukul dan mengumpat, apalagi jika berkaitan dengan bisnis yang dikelolanya mengalami masalah seperti kejadian semalam.
"Sialan! Beraninya Edward mensabotase proyek yang sedang kutangani!" seru Marco, ia membanting gelas anggur di tangannya hingga pecah berkeping-keping di lantai.
"Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja. Dia akan menyesal telah bermain-main denganku!"
Gia hanya bisa berdiri di sudut ruangan, merasa ngeri dan cemas, berusaha menghindari pandangan suaminya yang sedang murka.
"Kemarilah Gia! Aku butuh sentuhan penenang!" desak Marco, suaranya penuh amarah, sementara dia membuka kancing kemejanya satu per satu dengan gerakan kasar. Setiap kancing yang terbuka mengekspos lebih banyak lagi otot tubuhnya.
Deg! Deg!
Gia merasa jantungnya berdegup kencang, namun dia tidak berani menolak perintah suaminya. Dengan hati-hati, dia melangkah mendekat. Marco segera merengkuh tubuh Gia dengan kasar, mencium pipinya sekilas dengan bibir yang kasar.
"Cih! Sialan! Kenapa kau bau tidak enak! Dasar wanita jorok! Kau membuat nafsuku hilang seketika!" bentak Marco dengan nada tajam, membuat Gia merasa seperti seorang terdakwa di pengadilan yang sedang diserang habis-habisan.
Gia merunduk, tubuhnya bergetar karena ketakutan.
"M..maaf! Aku baru saja memotong bawang bombay dan belum sempat membersihkan tubuhku, karena banyaknya pekerjaan di dapur dan..." ucap Gia terbata-bata, mencoba memberikan penjelasan.
"Maksudmu, kau menyalahkan keluargaku karena menyuruhmu melakukan hal itu! Jangan banyak alasan! Bilang saja kau hanya malas merawat dirimu sendiri! Lihatlah, rambut berminyak dan berantakan itu! Sungguh, kau sangat menjijikan Gia!" hina Marco, suaranya penuh dengan kebencian dan kekejaman, menyulut api kemarahan di dalam diri Gia.
Gia merasakan harga dirinya hancur berkeping-keping, tidak hanya oleh kata-kata kasar Marco, tetapi juga oleh perasaan terasing dan tidak dihargai di rumah ini.
Marco melirik ke arah Gia sekilas, ia mengangguk. Melihat reaksi Marco saat ini sepertinya moodnya sedang bagus.
"Marco, apa kau sudah menghubungi Helena?" tanya Sophia sambil memotong daging dengan pisau tajam lalu memasukkan potongan daging itu ke dalam mulutnya.
"Sudah, Ibu. Helena akan hadir besok," jawab Marco dengan nada tenang.
Sophia mengangguk, tampak puas dengan jawaban putranya.
"Pastikan kau merayu Helena dengan benar. Besok, aku akan membuat Gia, si wanita tidak berguna itu seharian di dapur! Kau, bebas melakukan apapun," kata Sophia, sambil mengerlingkan matanya ke arah Marco.
Marco hanya terdiam, menatap Sophia sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Victor, ayahnya, yang duduk di ujung meja. Victor mengelus janggutnya yang mulai memutih.
"Keluarga Gall cukup berpengaruh, satu kesalahan saja bisa sangat fatal. Manfaatkan Helena dengan baik, dia juniormu di San Pietro bukan?" tanya Victor dengan suara beratnya.
Marco mengangguk, mengingat kembali masa-masa di San Pietro.
"Benar, dia juniorku," jawab Marco sambil melirik ke arah Gia yang berdiri di sudut ruangan.
Usai makan malam, Gia sibuk mencuci piring di dapur, suara air yang mengalir dan piring-piring yang berbenturan memenuhi ruangan. Elissa mendekat, menyenggol bahu Gia dengan lembut. "Istirahatlah, biar aku yang lanjutkan. Tuan Marco sepertinya mau mengajakmu berbicara," bisiknya.
Gia mengangguk dan membilas tangannya sebelum berbalik. Dia terkejut mendapati Marco berdiri tidak jauh darinya, tengah menghisap cerutu dengan tenang. Asap tipis mengepul, mengisi udara dapur dengan aroma tembakau yang khas.
"Ada apa? Tidak biasanya kau menemuiku di dapur?" tanya Gia, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
Marco hanya menatap Gia sambil memainkan cerutu di tangannya, menghisapnya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap perlahan.
"Malam ini, aku tidak tidur di kamar. Ibu menyuruhku tidur di dapur," kata Gia dengan nada lirih, seolah ingin berbagi cerita dengan Marco.
"Oh..." ujar Marco sambil menatap Gia dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia mengulurkan cerutunya ke arah Gia, membuat sudut mata Gia langsung mencari keberadaan asbak. Namun, tangan Marco dengan cekatan langsung meraih tangan Gia
"Akh!" Gia meringis kesakitan saat Marco dengan kejam menggunakant telapak tangannya untuk mematikan cerutu yang masih menyala. Rasa panas dan perih segera menjalar di telapak tangannya.
Marco tidak melepaskan tatapannya dari Gia, ia menekan tangan Gia dengan lebih kuat ke atas bara cerutu.
"Kau tahu, Gia," kata Marco dengan suara rendah namun penuh ancaman, "di rumah ini, kau harus tahu tempatmu. Jangan bersikap seolah, aku ini adalah teman curhatmu! Kau...hanyalah pemuas hasratku!"
Gia menahan air mata yang hampir jatuh, mencoba menahan rasa sakit yang semakin intens. Saat akhirnya Marco melepaskan genggamannya, Gia menarik tangannya dengan cepat, meniup kulit yang terbakar dengan napas terburu-buru.
Marco hanya mengangkat alis, seolah-olah apa yang baru saja terjadi adalah hal sepele. "Ingat itu!"
"Pagi Blue? Pagi Palm?" sapa Gia pada Blue si burung lovebird yang berwarna biru cerah dan Palm, si burung kakaktua yang memiliki bulu hitam mengkilap. Kedua burung itu duduk di atas palang yang terletak di sudut ruangan, siap menyambut Gia dengan riang.Blue dengan lincah menggerakkan kepala kecilnya, melambai-lambai pada Gia dengan sayapnya yang mungil. Sementara Palm, dengan postur tubuh yang gagah, menyambut Gia dengan suara kerasnya yang khas."Hi, pagi Gia," kicau Palm membalas sapaan Gia."Makan yang banyak," seru Gia sambil tersenyum lebar, membalas sapaan Palm. Dia kemudian mengambil mangkuk kecil dari meja dan mengisi dengan biji-bijian favorit Blue dan Palm. Dengan hati-hati, dia menghampiri kedua burung itu dan menaruh mangkuk di depan mereka.Gia! Gawat! Nyonya besar mengamuk, dia mencarimu!" Gia mendengar teriakan Elissa dan segera memalingkan kepalanya, matanya membesar dalam kekagetan saat ia melihat Elissa yang tergopoh-gopoh mendekatinya."Apa yang terjadi Elissa?!"
Di halaman depan rumah Bianchi, Sophia dan Victor berjalan menuju mobil yang telah siap menunggu. Sepanjang perjalanan, Sophia terus berceloteh kesal tentang kalung berliannya yang hilang."Gara-gara wanita jal*ng itu! Aku terpaksa mengganti baju yang akan kupakai hari ini! Awas saja, jika terbukti dia pelakunya, aku akan menjebloskannya ke dalam penjara!" "Jangan! Aku perlu dia untuk mengurus burung-burungku! Lagipula, kau akan repot sendiri nanti, jika kehilangan pelayan terbaik di rumah ini. Dengar... kita harus memanfaatkannya, selagi wanita itu tidak banyak tingkah!" sahut Victor dengan nada tenang namun tegas. Dia mengeluarkan pipa rokok dari sakunya, menyalakannya dengan elegan sambil berjalan.Sophia mendengus, merasa tidak puas dengan jawaban suaminya. "Dasar, yang kau pedulikan hanya burungmu! Kalung itu sangat berharga untukku! Produsennya hanya membuat lima jenis untuk edisi terbatas!" protes Sophia sambil memperbaiki gaun maroonnya yang mencolok, dengan potongan elegan
Malam itu, kediaman Bianchi penuh dengan kesibukan. Para pelayan dan pengawal bergegas di setiap sudut, memastikan pesta ulang tahun Bella berjalan sempurna. Gia sibuk menata bunga-bunga di atas meja dan memastikan makanan ringan teratur dengan sempurna. Sesekali, matanya melirik ke arah keluarga Bianchi yang sedang berkumpul. Sophia memakai gaun hitam yang anggun dengan detail renda halus di bagian leher dan lengan, diikuti oleh Victor yang mengenakan setelan warna hitam, serta Marco dan Leonardo yang tampak gagah dalam tuksedo mereka. Namun, perhatian Gia terfokus pada Bella dengan gaun warna biru safirnya.Gia mengamati Bella yang seolah ingin menonjolkan lekuk tubuhnya. Bagian atas gaun itu bertabur payet berkilauan, sementara roknya mengalir lembut hingga ke lantai. Belahan di bagian depan memberikan sentuhan berani, namun tetap berkelas, memamerkan kakinya yang jenjang saat ia berjalan.Gia merasa penampilannya sangat kontras dengan para tamu. Ia mengenakan seragam khas pelayan,
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y