Di halaman depan rumah Bianchi, Sophia dan Victor berjalan menuju mobil yang telah siap menunggu. Sepanjang perjalanan, Sophia terus berceloteh kesal tentang kalung berliannya yang hilang.
"Gara-gara wanita jal*ng itu! Aku terpaksa mengganti baju yang akan kupakai hari ini! Awas saja, jika terbukti dia pelakunya, aku akan menjebloskannya ke dalam penjara!"
"Jangan! Aku perlu dia untuk mengurus burung-burungku! Lagipula, kau akan repot sendiri nanti, jika kehilangan pelayan terbaik di rumah ini. Dengar... kita harus memanfaatkannya, selagi wanita itu tidak banyak tingkah!" sahut Victor dengan nada tenang namun tegas. Dia mengeluarkan pipa rokok dari sakunya, menyalakannya dengan elegan sambil berjalan.
Sophia mendengus, merasa tidak puas dengan jawaban suaminya.
"Dasar, yang kau pedulikan hanya burungmu! Kalung itu sangat berharga untukku! Produsennya hanya membuat lima jenis untuk edisi terbatas!" protes Sophia sambil memperbaiki gaun maroonnya yang mencolok, dengan potongan elegan dan detail bordir yang rumit. Rambutnya yang pirang ditata rapi, memperlihatkan leher jenjang yang dihiasi anting-anting berlian.
Victor hanya melirik istrinya sekilas, tidak begitu terpengaruh oleh amarahnya. Mereka tiba di depan mobil, di mana seorang pengawal berpakaian rapi sudah siap membuka pintu. Pengawal itu mengenakan kemeja hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya sedikit kecokelatan dan matanya berwarna cokelat. Tubuhnya proporsional dengan wajah tampan dan garis rahang yang tegas.
Victor masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, sementara Sophia masih sibuk merapikan gaunnya.
"Pengawal baru?" tegur Sophia dengan nada sedikit merendahkan.
Pengawal itu merunduk dengan sopan. "Iya, Nyonya. Perkenalkan saya Louis Marino, pengawal baru," jawabnya dengan suara tenang.
Dari dalam mobil, Victor berteriak, "Aku mendengar banyak pujian atas kinerjamu sebelumnya di pelatihan. Jangan mengecewakanku!"
Louis mengangguk dalam posisi merunduk, matanya tetap tertuju pada tanah. "Tentu, Tuan," jawab Louis singkat namun penuh keyakinan.
Sebelum pintu mobil tertutup, Sophia menatap Louis tajam.
"Awasi gerak-gerik Gia. Laporkan padaku jika ada hal yang mencurigakan!" perintahnya dengan nada dingin dan tegas.
Louis mengangguk sekali lagi, "Baik, Nyonya."
Louis melangkah masuk ke dalam kediaman Bianchi setelah mobil meninggalkan halaman. Dia melintasi lorong-lorong yang luas dan beraroma mewah. Dari kejauhan, dia melihat seorang wanita tengah membersihkan sofa ruang tamu. Louis mengenalinya dari profil yang telah dihafalkannya sebelumnya, itu adalah Gia. Menantu keluarga Bianchi yang tidak perlu di hormati, begitulah yang tertulis di profil yang ia baca semalam. Louis memperhatikan Gia yang terlihat begitu anggun saat membersihkan sofa, wajahnya yang pucat mencerminkan ketenangan di tengah keadaan yang penuh tekanan di rumah Bianchi.
"Selamat pagi, nona Gia?" sapanya dengan ramah.
Gia sedikit terkejut mendengar sapaan tersebut, menghentikan sejenak aktivitasnya. Dia mengamati penampilan Louis yang tampak seumuran dengannya, matanya menyelidiki pria baru tersebut dengan tajam.
"Pagi.." jawab Gia singkat, nada suaranya terdengar sedikit tertahan. "Kau pasti pengawal baru, karena hanya pengawal baru yang menyapaku seperti ini, dan keesokan harinya mereka akan sama acuhnya seperti yang lain," ujarnya dengan nada sinis, tanpa menoleh pada Louis.
Tidak ada jawaban dari Louis, ia hanya terdiam mengamati pergerakan Gia dengan seksama. Matanya memperhatikan setiap gerakan yang dilakukannya, mencoba memahami karakter dan sikap wanita yang ada di hadapannya.
Gia kembali sibuk dengan kemocengnya, melanjutkan membersihkan sofa tanpa memperdulikan keberadaan Louis.
"Oh, halo Gia," sambut Bella dengan nada merendahkan, sementara matanya berbinar penuh kepuasan.
"Sibuk sekali dengan pekerjaan rumah, ya? Bagaimana kalung berlianmu? Oh, maaf, aku lupa, sepertinya tidak ada lagi yang bisa kau pakai, sehingga kau harus menjadi pencuri. Astaga! Sepertinya, aku juga perlu menyimpan barang-barangku dengan baik mulai dari sekarang." lanjut Bella penuh dengan nada cibiran.
Gia menahan napasnya, merasakan darahnya mendidih mendengar kata-kata sinis itu.
"Aku berharap engkau menemukan kesenangan yang sama dalam pekerjaanmu, Bella," ucap Gia dengan suara yang bergetar sedikit karena usaha menahan emosinya. Dia tahu bahwa membalas ejekan Bella dengan nada yang sama hanya akan memperburuk situasi.
"Oh, tentu saja, aku menemukan kesenangan dalam hal-hal yang lebih bermakna daripada membersihkan debu dan kotoran," ejek Bella.
"Tapi sepertinya bagi beberapa orang, itulah satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan dengan baik. Pastikan tidak ada debu sedikitpun! Aku ingin semuanya berjalan dengan sempurna untuk nanti malam! Oh...aku tidak suka guci besar itu ada di situ! Pindahkan!" ejek Bella sambil menunjuk sebuah guci warna putih yang terletak di pojok ruang tamu. Guci tersebut memiliki bentuk elegan dengan detail ukiran yang rumit dan corak emas yang terlihat mahal.
Gia menjawab dengan tegas, "Itu adalah guci kesayangan ayah. Dia paling tidak suka jika barang kesukaannya berpindah dari tempat asalnya."
"Lakukan saja sesuai perintahku! Ayah tidak akan marah jika aku yang menginginkannya!" kata Bella dengan nada akuh.
"Baik..aku akan memindahkannya tapi jika terjadi sesuatu, kau yang harus tanggung jawab!" seru Gia.
Bella hanya tersenyum miring, menunjukkan ketidakpedulian terhadap peringatan Gia.
"Dasar cerewet! Lakukan saja sesuai perintahku! Lagipula tidak akan ada yang tahu siapa yang memindahkannya! CCTV di sudut itu sudah rusak," ujarnya dengan nada acuh.
Gia menyipitkan matanya, mencurigai sikap Bella. "Kau... ternyata cukup tahu perihal CCTV dengan baik, Bella? Termasuk CCTV di dekat kamar ibu yang rusak?" ucap Gia dengan nada penuh selidik.
Bella menelan ludahnya dengan berat, matanya mencoba menyembunyikan kegugupan yang merambat di dalam dirinya.
"W-Well," balas Bella dengan suara yang sedikit gemetar, mencoba untuk tidak terlihat terlalu mencurigakan.
"Aku hanya berbicara secara umum, tentu saja. Bukankah penting bagi semua orang untuk mengetahui tentang keamanan rumah mereka?"
"Oh! Jadi kemarin sore aku melihatmu di sekitar kamar ibu itu, apakah hanya suatu kebetulan Bella? Dan...kebetulan juga paginya, kalung berlian milik ibu hilang?"
"Maksudmu kau menuduhku mencuri kalung milik ibu?!" seru Bella dengan suara yang terdengar semakin tinggi, ekspresinya penuh dengan kemarahan yang meledak-ledak.
"Menurutmu?"
Plakk!
Suara tamparan keras itu terdengar nyaring di ruangan
"Jaga bicaramu! Dasar jal*ng!" pekik Bella.
"Aku bukan jal*ng! Jika kau tidak melakukannya? Kenapa mesti tersinggung?!" seru Gia dengan suara yang penuh dengan penegasan, mencoba untuk tidak membiarkan kata-kata Bella merusak harga dirinya.
Bella mengayunkan tangannya untuk melancarkan pukulan sekali lagi. Tangan kanannya terangkat, siap untuk melepaskan serangan. Tapi sebelum pukulannya bisa mencapai sasaran, Louis dengan refleks yang cepat menarik tubuh Gia ke belakangnya, memisahkan mereka sebelum kekerasan terjadi. Alhasil Bella hanya berhasil menampar angin.
"Maaf, memotong pembicaraan kalian, tapi soal CCTV, sebentar lagi semuanya akan dibenahi, jadi jika ingin memindahkan gucinya, sekarang adalah saat yang tepat, sebelum petugas datang?" ucap Louis dengan suara tenang, mencoba untuk meredakan ketegangan di antara mereka.
Bella memicingkan matanya, menatap Louis dengan tatapan tajam.
"Kalau begitu kalian berdua! Cepat pindahkan gucinya!" ucap Bella dengan nada yang masih terdengar tajam sebelum akhirnya meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, meninggalkan Gia dan Louis.
Gia menghela napas dalam-dalam, matanya terikat pada kepergian Bella dengan ekspresi campuran antara kesal dan frustrasi. Sadar akan posisi tangan Louis yang berada di pinggulnya, Gia segera menepis tangan Louis.
"Kau.. seharusnya tidak ikut campur!" ucap Gia dengan nada tajam, tatapan matanya menusuk ke arah Louis, menunjukkan ketidakpuasan atas tindakan pengawal baru tersebut.
Louis terdiam sejenak, matanya terkunci pada wajah Gia dengan intensitas yang sama.
"Kau mengacaukan rencanaku, tuan sok pemberani!" kata Gia dengan suara yang penuh penekanan, mengecam Louis atas tindakannya.
"Namaku Louis Marino, dan aku memang pemberani, tapi tidak sok,"
Malam itu, kediaman Bianchi penuh dengan kesibukan. Para pelayan dan pengawal bergegas di setiap sudut, memastikan pesta ulang tahun Bella berjalan sempurna. Gia sibuk menata bunga-bunga di atas meja dan memastikan makanan ringan teratur dengan sempurna. Sesekali, matanya melirik ke arah keluarga Bianchi yang sedang berkumpul. Sophia memakai gaun hitam yang anggun dengan detail renda halus di bagian leher dan lengan, diikuti oleh Victor yang mengenakan setelan warna hitam, serta Marco dan Leonardo yang tampak gagah dalam tuksedo mereka. Namun, perhatian Gia terfokus pada Bella dengan gaun warna biru safirnya.Gia mengamati Bella yang seolah ingin menonjolkan lekuk tubuhnya. Bagian atas gaun itu bertabur payet berkilauan, sementara roknya mengalir lembut hingga ke lantai. Belahan di bagian depan memberikan sentuhan berani, namun tetap berkelas, memamerkan kakinya yang jenjang saat ia berjalan.Gia merasa penampilannya sangat kontras dengan para tamu. Ia mengenakan seragam khas pelayan,
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y