"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap.
"Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak.
"Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa.
"Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."
Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.
Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung.
"Menghilangkan stres," jawab Louis, suaranya terdengar lelah. "Saya tidak tidur semalaman berjaga. Tuan Victor khawatir, burung-burungnya stres karena kejadian kemarin. Padahal... saya yang stres," keluh Louis.
Gia berhenti sejenak dan menghela napas, mencoba menahan senyuman. "Jadi, kau yang sebenarnya butuh perawatan, bukan burung-burung ini," Gia berkelakar.
"Setidaknya melihat dan mendengar kicauan burung-burung ini, membuat saya sedikit terhibur. Terapinya sedikit manjur," terang Louis, sudut bibirny sedikit terangkat. Gia menatap Louis sekilas, tepat di saat pria itu menumpahkan biji-bijian ke lantai.
"Kau, pergi saja dari sini. Tidak perlu repot-repot membantu. Aku biasa sendiri! Bukannya membantu, kau justru menambah pekerjaanku!" ucap Gia disertai decakan kesal.
Louis menatapnya dengan sedikit rasa bersalah. "Ups! Saya tidak sengaja, tapi sebenarnya tujuan saya memang bukan mau membantu anda," jelasnya, sambil memungut beberapa biji-bijian yang berserakan.
Gia melipat tangan di depan dada dan memandang Louis dengan tatapan tajam.
"Bagus, enyahlah dari hadapanku! Asal kau tau, sejak kemarin, tiap kali bertemu denganmu, nasib sial terus mengikutiku!"
"Saya akan pergi setelah mendapatkan kembali pistol yang Anda ambil kemarin, Nona Gia. Tolong berikan kepada saya." pinta Louis, sembari mengulurkan sebelah tangannya.
"Aku tidak ingat, di mana aku menaruhnya. Nanti jika sudah ingat, akan kukem..."
"Kenapa bisa tidak ingat! Cepat cari dan kembalikan padaku! Aku menyesal telah meminjamkanmu, milikku yang berharga!" sentak Louis dengan nada tinggi. Sorot matanya berkilat marah, alisnya mengerut tajam, dan rahangnya mengeras.
Gia tercengang, matanya membulat dan bibirnya terbuka sedikit, tidak percaya dengan perubahan sikap Louis yang tiba-tiba.
"Kau marah denganku?! Cih... akhirnya sopan santunmu sudah berakhir di hari kedua!" sindir Gia.
Louis nampak sedikit kaget sendiri dengan emosinya yang meluap-luap.
"M..maaf, saya tid..." Ucapannya terpotong ketika Gia dengan cepat mendorongnya pergi dari aviary.
"Aku akan mengembalikannya nanti jika sudah ingat, di mana aku menaruhnya!" Gia berteriak sambil menutup pintu aviary dengan kasar. Setelah selesai memberi makan dan membersihkan aviary, Gia merasakan tubuhnya mulai lemah. Keringat dingin membasahi dahinya, ia menyentuh keningnya yang hangat dan sedikit pusing. Kepalanya terasa berat, dan rasa mual mulai menyelimutinya.
"Ini pasti gara-gara kurang istirahat," lenguh Gia sambil berjalan keluar dari aviary. Dia melihat bahwa penjagaan di kediaman Bianchi diperketat. Di setiap sudut ruangan, terlihat para pengawal yang berjaga dengan waspada, sementara beberapa lainnya berpatroli di luar ruangan. Gia berjalan melewati mereka, menuju kamar Marco untuk mengambil obat.
Matanya berkunang-kunang saat dia mendekati kamar Marco. Lamat-lamat, dia melihat seorang wanita baru saja keluar dari dalam kamar suaminya. Gia memicingkan matanya, rasa pusing yang mendera membuatnya kehilangan fokus. Dia berjalan semakin dekat, memastikan penglihatannya bukan halusinasi.
Gia masuk ke dalam kamar Marco tanpa mengetuk karena pintu itu sudah terbuka. Dia melihat Marco yang berbaring di tempat tidur, pura-pura tidur. Gia tahu suaminya itu hanya berpura-pura karena dia sempat memergokinya pura-pura terpejam saat kedua mata mereka bertemu.
"Siapa yang barusan keluar dari kamar ini?"
"Hoamm!" Marco hanya menguap sebagai jawaban, sembari menarik selimut ke atas, menutupi hampir sekujur tubuhnya, seolah pertanyaan Gia tidak begitu penting.
"Jawab aku, Marco!" teriak Gia.
"Diam! Aku tidak tuli! Tidak perlu teriak-teriak seperti itu!" seru Marco, masih dalam posisi miring di atas ranjang, wajahnya menunjukkan rasa terganggu.
Gia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Baik, aku ulangi sekali lagi, siapa wanita yang barusan keluar dari kamar ini?" tanya Gia, kali ini dengan nada lebih lirih namun penuh penekanan.
"Hanya seorang pelayan."
"Oh ya? Sejak kapan kau mengizinkan pelayan wanita masuk ke dalam kamar ini? Sejauh ini kau hanya mau aku yang mengurus kamar ini!"
Sreek!
Gia mendengar suara kecil dari luar pintu. Tatapannya tertuju pada celah pintu yang sedikit terbuka. Dengan cepat, Gia membuka pintu dan mendapati Helena berdiri di sana.
"Apa kau pelayan yang dimaksud suamiku?" tanya Gia dengan nada menyindir, tatapannya menelusuri Helena dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Apa? Pelayan kau bilang?!" Helena sontak berkacak pinggang, kedua matanya menatap Gia dengan pandangan remeh, disertai senyuman miring.
Gia menyilangkan tangan di depan dada, pandangannya tidak beralih dari Helena.
"Ya, pelayan. Kau baru saja keluar dari kamar suamiku, bukan?"
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
Gianna Ricci, atau yang biasa dipanggil Gia, menantu keluarga kaya raya Bianchi yang berdarah bangsawan, berdiri di dapur besar rumah Bianchi. Gia mengikat rambut pirangnya yang panjang ala kuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang dan kulitnya yang pucat. Mata cokelatnya yang besar dan berbinar-binar, kini tampak lelah dan penuh pikiran. Sesekali ia menyeka keringat dari dahinya saat dia memasak untuk makan malam keluarga besar Bianchi. "Malam ini sebaikanya kau tidur di dapur! Besok adalah pesta ulang tahun Bella, aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun terutama bagian makanan! Jangan lupa, dia alergi kacang-kacangan, mengerti?!"Gia mengangguk patuh ketika Sophia Rossi, ibu mertuanya, memberikan perintah dengan nada tegas. Dia tidak berani menatap mata Sophia terlalu lama, takut melihat ketidakpuasan yang mungkin terpancar di sana. Di sudut ruangan, Bella Milana, istri dari Leonardo Bianchi, adik dari suaminya Marco Bianchi, sedang berdiri, mengamati kejadian di dapur dengan seny
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y