Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu.
"Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.
Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."
Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!"
"Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis.
"Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.
Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya.
"Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat.
"Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu."
"Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan yang membahayakan!" balas Louis.
Gia mengangguk tegas. Sayup-sayup terdengar derap langkah kaki mendekat. Gia, dengan refleks yang tajam, berbalik dan mengarahkan pistolnya ke arah seseorang yang berlari ke arah mereka. Louis terkejut melihat betapa bagusnya refleks Gia dan cara dia memegang pistol.
"Leonardo?!" seru Gia, matanya membulat dan mulutnya setengah terbuka saat ia mengenali sosok yang muncul dari balik pintu kamar Marco. Gia menyipikan matanya, sekali lagi ia melihat ke arah belakang Leonardo, memastikan bahwa adik iparnya itu benar-benar keluar dari kamar Marco.
Leonardo mendekat dengan ekspresi bingung dan setengah ketakutan. Wajahnya pucat, keringat mengalir di pelipisnya, dan matanya penuh kecemasan. Gia menurunkan pistolnya perlahan, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Apa yang kau lakukan di..." ucapan Gia terpotong saat melihat sosok lain keluar dari kamar Marco, sosok itu berlari ke arah yang berlawanan. Mata Gia membulat, napasnya tertahan di tenggorokan. Tatapan Gia berubah menjadi sangat terkejut saat ia mengenali sosok tersebut.
Suasana semakin kacau di sekitar mereka, dengan para tamu yang panik terus berlari dan suara tembakan yang semakin intens dari luar, membuat Gia mengalihkan fokusnya, mengabaikan prasangka buruknya akan Leonardo.
"Siapa mereka?! Apa yang terjadi!" pekik Leonardo sambil berlari dan bersembunyi di antara para tamu.
Louis bergerak cepat, turun ke bawah dengan sigap. Tepat saat suara sirene polisi terdengar, seorang penyusup yang tertinggal dari kawanannya mencoba melarikan diri. Louis dengan cepat mengarahkan senjatanya, siap menembak.
"Jangan ditembak!" teriak Gia.
Terlambat. Louis sudah menarik pelatuknya, dan penyusup itu langsung terkapar di lantai. Gia segera berlari mendekat, kemarahan dan keputusasaan terlihat di wajahnya.
"Kenapa kau menembaknya?!" protes Gia.
"Apa anda tidak melihat dia menodongkan senjatanya lebih dulu?" balas Louis, suaranya terdengar panik dan tegang.
"Kau bisa menembak di titik lainnya! Jangan di kepala," ujar Gia dengan nada frustasi, matanya masih tertuju pada tubuh penyusup yang tergeletak tak bernyawa. "Kita perlu jawaban, bukan mayat!"
Louis menghela napas, jelas merasa bersalah namun tetap tegas.
"Maaf, Nona Gia. Situasinya terlalu berbahaya. Saya tidak bisa mengambil risiko."
Tepat pada saat itu, suara sirene polisi semakin mendekat, dan dalam hitungan menit, beberapa mobil polisi tiba di kediaman Bianchi. Para petugas polisi dengan cepat mengamankan area, memeriksa setiap sudut untuk memastikan tidak ada ancaman lebih lanjut. Banyak pengawal Bianchi yang terluka dan beberapa di antaranya tewas, namun beruntung tidak ada tamu yang terluka.
Di tengah kekacauan itu, Marco muncul, "Kau ke mana saja? Aku mencarimu!"
Gia menatap Marco dengan tatapan heran.
"Aku juga mencarimu. Tadi aku melihatmu berbicara dengan Helena, lalu setelah itu kalian menghilang," ucap Gia dengan nada curiga, matanya mengamati setiap ekspresi di wajah Marco.
Marco mengerutkan kening. "Aku tidak menghilang, hanya sembunyi. Syukurlah kau selamat," kata Marco, berusaha mendekat untuk memeluk Gia.
Gia buru-buru menghindar, matanya masih penuh dengan kecurigaan. Sebelum bisa berkata lebih lanjut, suara Victor terdengar menggema.
"Astaga! Kenapa ini bisa terjadi? Semua barang-barang berhargaku pecah! Sialan! Aku akan memberi perhitungan pada Romano! Dasar bajing*n tengik!" Victor berjalan mondar-mandir, matanya memeriksa setiap sudut ruangan yang berantakan, penuh dengan pecahan barang-barang antik dan perhiasan yang berserakan.
"Bisa-bisanya ayah masih peduli dengan barang-barang antiknya, alih-alih nyawa para pengawal yang melayang karena mencoba melindunginya," pikir Gia dalam hati, menahan diri untuk tidak menyuarakan kemarahan itu.
Polisi terus bekerja, mengumpulkan bukti dan menginterogasi para tamu yang masih berada di tempat kejadian.
"Siapa Romano?" tanya Gia pada Marco.
"Musuh bebuyutan, keluarga Bianchi. Tapi tidak aku sangka, mereka akan melakukan hal di luar nalar seperti ini!"
"Selama ini, kita hanya bersaing di bisnis. Tidak pernah ada yang berani menyerang secara langsung seperti ini!" lanjut Marco, suaranya bergetar dengan kemarahan yang ditahan. Dia memandang sekeliling, melihat kerusakan yang terjadi di sekitar mereka, para tamu yang masih tampak terguncang, dan para pengawal yang terluka atau tewas. "Ini sudah melewati batas!"
"Bagaimana kita bisa memastikan bahwa ini adalah ulah mereka?" tanya Gia, masih tidak bisa menghilangkan rasa curiga yang mengganggu pikirannya.
"Kita akan menemukan buktinya. Polisi sedang menyelidiki, dan aku yakin mereka akan menemukan petunjuk yang mengarah ke Romano," jawab Marco, suaranya penuh keyakinan. Dia memandang Gia dengan intensitas yang kuat, seolah-olah berusaha meyakinkan dirinya sendiri juga.
Sophia, Bella, Helena, dan Leonardo turun ke bawah dengan wajah penuh kekhawatiran. Sophia terlihat ketakutan saat melihat sekeliling, matanya terbelalak dan napasnya tersengal-sengal. Dia segera memeluk Helena dengan erat.
"My darling? Syukurlah, kau baik-baik saja kan?" tanya Sophia dengan nada penuh kekhawatiran, menatap wajah Helena yang tampak tenang.
Gia melirik ke arah Sophia yang memperhatikan Helena dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak apa-apa, Ibu," jawab Helena.
"Ibu? Kau memanggil mertuaku Ibu?" tanya Gia.
Helena tersenyum miring.
"Aku yang memintanya memanggilku Ibu! Kenapa? Ada masalah?" seru Sophia, menatap Gia dengan tatapan menantang. Matanya kemudian melirik ke arah tangan Gia yang masih memegang senjata api.
"Cih...apa yang akan kau lakukan dengan senjata api itu? Mau berlagak sok pahlawan? Tidak usah bergaya! Biasanya juga memegang pisau dapur, mau sok-sokan memegang..."
"Heyy hey!" seru Sophia dan yang lainnya serentak, terkejut melihat tindakan Gia yang tiba-tiba menodongkan senjata apinya ke arah Helena.
"Maaf... aku lupa, masih memegang pistol ini di tanganku," ujar Gia dengan suara tajam, sambil tersenyum miring. Tatapan matanya lurus, menusuk ke arah Helena.
Helena menelan ludah, merasakan tekanan dari pandangan Gia.
"Helena, lebih baik malam ini kau tidur di rumah kami. Ibu khawatir, di luar sana masih tidak aman. Sedangkan di sini, polisi akan menjaga keamanan kita," tawar Sophia yang langsung dijawab anggukan oleh Helena.
Gia yang mendengar hal itu, langsung merasa curiga. Ia menoleh ke arah Marco, mencoba membaca ekspresi di wajah suaminya. Namun, wajah Marco tetap datar, tidak menunjukkan tanda-tanda emosi apapun.
"Kau! Bantu beres-beres rumah yang berantakan ini!" titah Sophia kepada Gia.
Gia menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua yang terjadi malam ini. Tanpa membalas ucapan Sophia, ia hanya terdiam, otaknya sudah terlalu lelah memproses begitu banyak hal. Pandangannya mengelilingi ruangan yang penuh dengan kerumunan orang yang panik dan cemas, hingga akhirnya tatapannya terjatuh pada Bella, yang tengah menangis di samping Leonardo.
Mata Gia dan Leonardo bertemu sejenak. Tatapan Gia menyipit, meski singkat, itu cukup untuk memancarkan ketegangan yang terabaikan. Gia merasa sepasang mata itu menyelidikinya, dan ia tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman yang merayap di hatinya.
"Menarik." gumam Gia.
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y