"Pagi Blue? Pagi Palm?" sapa Gia pada Blue si burung lovebird yang berwarna biru cerah dan Palm, si burung kakaktua yang memiliki bulu hitam mengkilap. Kedua burung itu duduk di atas palang yang terletak di sudut ruangan, siap menyambut Gia dengan riang.
Blue dengan lincah menggerakkan kepala kecilnya, melambai-lambai pada Gia dengan sayapnya yang mungil. Sementara Palm, dengan postur tubuh yang gagah, menyambut Gia dengan suara kerasnya yang khas.
"Hi, pagi Gia," kicau Palm membalas sapaan Gia.
"Makan yang banyak," seru Gia sambil tersenyum lebar, membalas sapaan Palm. Dia kemudian mengambil mangkuk kecil dari meja dan mengisi dengan biji-bijian favorit Blue dan Palm. Dengan hati-hati, dia menghampiri kedua burung itu dan menaruh mangkuk di depan mereka.
Gia! Gawat! Nyonya besar mengamuk, dia mencarimu!" Gia mendengar teriakan Elissa dan segera memalingkan kepalanya, matanya membesar dalam kekagetan saat ia melihat Elissa yang tergopoh-gopoh mendekatinya.
"Apa yang terjadi Elissa?!"
"Nyonya kehilangan kalung berliannya yang akan ia pakai nanti! Sekarang dia mencarimu! Dan menuduhmu mencuri kalungnya!" terang Elissa.
"Tidak! Aku tidak mencuri apapun! Bukan aku orangnya! Ibu pasti kurang teliti, kemarin saat aku membereskannya, kalung itu masih ada di tempatnya!"
Gia langsung bergegas, jantungnya berdetak kencang. Setengah berlari menaiki tangga, menuju ke kamar Sophia yang terletak di lantai dua, Sophia mendapati pintu kamar terbuka, Victor keluar dari dalam kamar dengan wajah masih mengantuk.
"Aku yakin Gia pelakunya! Jelas-jelas aku menaruhnya di sini! Siapa lagi pelakunya jika bukan wanita jal*ng itu!" Seruan Sophia terdengar jelas, mencapai telinga Gia saat ia mendekati kamar.
"Bukan aku pelakunya, Ibu, aku..." Gia tak sempat menyelesaikan kalimatnya saat tiba-tiba Sophia melempar kotak berlian ke arahnya. Refleks Gia cukup bagus, ia berhasil menghindari lemparan tersebut dengan cepat.
Plakk!
Tangan Sophia mendarat keras di pipi Gia, membuat wajahnya tersentak ke samping. Gia menatap Sophia dengan pandangan menantang, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh dengan ketegangan.
"Bukan aku yang mencurinya, kemarin pagi aku masih melihat kalung itu masih ada di tempatnya! Dan di sore hari..." Gia terdiam sejenak, seolah mengingat sesuatu.
"Alasan! Dasar pencuri! Aku tidak pernah menyangka kejadian sial ini akan menimpaku! Padahal aku percaya, serendah-rendahnya dirimu, kau tidak akan mencuri!" Sophia menggeleng sambil menatap tajam ke arah Gia.
"Tidak kusangka kau lebih rendah dari apapun yang ada di muka bumi ini!" Dengan kasar, Sophia menarik kerah baju Gia, mendekatkan wajah mereka.
"Sudah aku bilang, bukan aku pelakunya! Kalau tidak percaya, Ibu bisa menggeledah isi kamarku! Atau coba cek CCTV?" Gia membalas dengan suara keras, penuh emosi namun tetap tegar.
Sophia melepaskan cengkeramannya dengan kasar, mendorong Gia menjauh. "Cih..." Sophia mendesis dengan jijik, mengulurkan tangannya pada salah seorang pelayan. Pelayan itu segera menyodorkan tisu. Sophia langsung membersihkan kedua telapak tangannya yang tadi ia gunakan untuk menyentuh Gia, ekspresi jijiknya sangat kentara, seolah Gia adalah sesuatu yang kotor.
"Tanpa kau suruh, aku sudah melakukannya! CCTV samping kamarku rusak, dan satu-satunya orang yang jelas-jelas setiap hari keluar masuk ke dalam kamar ini, hanya dirimu!"
Gia terdiam, mulutnya membuka tetapi tak ada kata yang keluar. Tatapan Sophia semakin tajam dan penuh kebencian.
"Pergi sana! Enyah dari hadapanku! Jika kau terbukti pelakunya, aku pastikan kau akan mendekam di dalam penjara!" ancam Sophia.
Dengan perasaan campur aduk antara marah dan frustasi, Gia berbalik dan pergi dari hadapan Sophia.
"Akh!" pekik Gia merasakan hantaman keras di kepalanya.
Leonardo, adik iparnya, sengaja memukul kepala Gia dengan siku, membuatnya terhuyung sedikit.
"Bangunkan suamimu, hari ini ada meeting pagi!" kata Leonardo, ia menyeringai sambil berlalu membawa setumpuk berkas di tangannya
Gia sebenarnya kesal dengan adik iparnya yang kelewat tidak sopan, tapi ia malas bertengkar dengan pria menyebalkan tersebut. Gia terpaksa mengabaikan perlakuan kasar Leonardo dan menuju ke kamar Marco yang terletak di ujung koridor lantai dua, dekat dengan balkon yang menghadap ke taman.
Tok tok tok!
"Marco?" panggil Gia, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. Gia membuka pintu kamar dan mendapati Marco tengah duduk di atas ranjang, menatap tajam ke arahnya. Sorot matanya membuat Gia sedikit gentar, namun ia tetap melangkah masuk.
"Leonardo memintaku untuk membangunkanmu, katanya ada meeting pagi ini," ucap Gia dengan suara pelan, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya masih berkecamuk.
Marco tidak merespon ucapan Gia. Ia justru bangkit dari ranjang dan mendekat ke arah Gia yang berdiri di ambang pintu.
"Aku sudah bangun dari tadi. Suara bising dari luar sangat mengganggu," ungkap Marco dengan suara berat.
Gia menundukkan wajahnya, merasa malu dan tertekan oleh tatapan tajam suaminya.
"Ibu menuduhku mencuri kalungnya," ucap Gia lirih, suaranya bahkan nyaris tidak terdengar.
Marco meraih dagu Gia, memaksanya untuk menatapnya.
"Kau... sudah bertindak terlalu jauh," ucap Marco dengan nada datar namun tatapannya tetap tajam.
"Jangan bilang kau juga mencurigaiku?! Dengar... aku bahkan ti—" ucapan Gia terpotong ketika Marco merengkuh tubuh Gia dengan sebelah tangannya, menariknya mendekat. Sementara itu dengan cekatan, tangan yang satunya lagi menutup pintu, membiarkan suara derak pintu yang tertutup menggema di ruangan itu.
Marco memeluk tubuh Gia dengan erat, membuatnya sulit untuk bergerak. Marco mendekatkan wajahnya ke telinga Gia.
"Kita akan bicarakan ini nanti," bisik Marco di telinga Gia, suaranya terdengar rendah namun tegas.
Gia dan Marco saling bertatapan, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Marco menundukkan kepalanya, memberikan kecupan lembut di leher Gia. Otot Gia langsung menegang, sensasi hangat dari ciuman Marco membuatnya terkejut. Ciuman itu kemudian beralih ke bibir, penuh hasrat dan mendalam. Tangan kiri Marco menekan tengkuk leher Gia, memperdalam ciuman mereka, sementara tangan kanannya mulai menjelajahi area sensitif Gia, membuatnya semakin sulit untuk menahan desahan.
"Ahhhh!" sebuah desahan terdengar dari Gia saat Marco mulai memainkan tangannya di area sensitif.
"Aku menginginkanmu," bisik Marco di sela-sela ciuman mereka, suaranya penuh dengan hasrat.
Dengan lembut namun tegas, Marco mengangkat tubuh mungil Gia, posisi mereka masih berciuman. Marco menjatuhkan Gia ke ranjang dengan hati-hati, membuat mereka saling bertatapan dalam keheningan yang intens.
"Kau ada meeting pagi," ujar Gia, mencoba mengingatkan Marco.
Marco menggelengkan kepalanya, lalu meraih tangan Gia, mengarahkannya ke area bawah milik Marco yang sudah menegang.
"Kau harus tanggung jawab, karena telah membangunkannya," gumam Marco dengan suara rendah, matanya tetap terkunci pada Gia, penuh dengan hasrat.
Setelah momen keintiman mereka berakhir, Marco bangkit dari ranjang dan berbisik, "Aku mau mandi, keluarlah." Suaranya tegas, mengisyaratkan akhir dari keintiman tersebut.
Gia memperbaiki penampilannya sambil beranjak dari ranjang, merapikan pakaiannya dengan cepat.
"Kubuatkan sarapan?" tawar Gia.
Marco menggeleng sambil berjalan menuju kamar mandi. "Tidak perlu, aku sudah sangat terlambat."
Gia memandang punggung Marco yang mulai menjauh, merasa campuran emosi yang kompleks. Setelah Marco menghilang di balik pintu kamar mandi, Gia menghela napas dan melangkah keluar dari kamar, berusaha menenangkan dirinya.
"Gia! Cepat bantu aku! Aku sudah menyuruh Paul untuk datang siang nanti, tapi dia malah datang pagi-pagi sekali!" gerutu Maria yang kesal pada Paul si tukang bunga, suaranya terdengar dari ujung koridor.
Gia mengangguk, mengalihkan pikirannya dari kejadian sebelumnya. Bersama Maria, mereka menuju halaman depan di mana Paul sedang sibuk dengan bunga-bunga yang dibawanya.
"Kau tidak apa-apa? Kudengar nyonya besar memarahimu?" tanya Maria dengan nada prihatin, matanya menatap Gia dengan cemas.
"Aku baik-baik saja," jawab Gia, mencoba tersenyum. "Oh ya? Ada yang ingin aku tanyakan. Kemarin sore, saat kau membersihkan kamar Bella, apakah dia ada di sekitar kamarnya?"
Maria menggelengkan kepalanya. "Tidak, Bella tidak ada di kamarnya. Aku membersihkan kamar itu sendiri," jawab Maria dengan pasti.
Gia menghela napas sambil mengangguk.
"Berarti kemarin sore aku tidak salah lihat?" gumam Gia, lebih kepada dirinya sendiri, matanya menerawang sejenak sebelum kembali fokus pada tugasnya bersama Maria. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang kalung yang hilang dan apa yang sebenarnya terjadi.
Di halaman depan rumah Bianchi, Sophia dan Victor berjalan menuju mobil yang telah siap menunggu. Sepanjang perjalanan, Sophia terus berceloteh kesal tentang kalung berliannya yang hilang."Gara-gara wanita jal*ng itu! Aku terpaksa mengganti baju yang akan kupakai hari ini! Awas saja, jika terbukti dia pelakunya, aku akan menjebloskannya ke dalam penjara!" "Jangan! Aku perlu dia untuk mengurus burung-burungku! Lagipula, kau akan repot sendiri nanti, jika kehilangan pelayan terbaik di rumah ini. Dengar... kita harus memanfaatkannya, selagi wanita itu tidak banyak tingkah!" sahut Victor dengan nada tenang namun tegas. Dia mengeluarkan pipa rokok dari sakunya, menyalakannya dengan elegan sambil berjalan.Sophia mendengus, merasa tidak puas dengan jawaban suaminya. "Dasar, yang kau pedulikan hanya burungmu! Kalung itu sangat berharga untukku! Produsennya hanya membuat lima jenis untuk edisi terbatas!" protes Sophia sambil memperbaiki gaun maroonnya yang mencolok, dengan potongan elegan
Malam itu, kediaman Bianchi penuh dengan kesibukan. Para pelayan dan pengawal bergegas di setiap sudut, memastikan pesta ulang tahun Bella berjalan sempurna. Gia sibuk menata bunga-bunga di atas meja dan memastikan makanan ringan teratur dengan sempurna. Sesekali, matanya melirik ke arah keluarga Bianchi yang sedang berkumpul. Sophia memakai gaun hitam yang anggun dengan detail renda halus di bagian leher dan lengan, diikuti oleh Victor yang mengenakan setelan warna hitam, serta Marco dan Leonardo yang tampak gagah dalam tuksedo mereka. Namun, perhatian Gia terfokus pada Bella dengan gaun warna biru safirnya.Gia mengamati Bella yang seolah ingin menonjolkan lekuk tubuhnya. Bagian atas gaun itu bertabur payet berkilauan, sementara roknya mengalir lembut hingga ke lantai. Belahan di bagian depan memberikan sentuhan berani, namun tetap berkelas, memamerkan kakinya yang jenjang saat ia berjalan.Gia merasa penampilannya sangat kontras dengan para tamu. Ia mengenakan seragam khas pelayan,
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Apa yang kau lakukan di sini?"Leonardo tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Gia yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis, menikmati situasi canggung tersebut. "Kami hanya berbicara," Bella melangkah masuk, tatapannya kini beralih ke Gia. "Berbicara? Di kamar ini? Tentang apa?"Gia mengangkat bahu dengan santai. "Oh, hanya obrolan ringan keluarga, Bella. Tidak ada yang penting."Bella menatap Leonardo dan Gia secara bergantian. "Sejak kapan, kalian begitu akrab hingga perlu berbicara berduaan di dalam kamar?""Entahlah...aku tidak merasa akrab dengannya," jawab Gia, kedua matanya melirik Leonardo yang nampak tertekan.Bella mempersempit pandangannya, tatapannya tajam tertuju pada suaminya. "Leonardo, jelaskan ini kepadaku. Sekarang!""Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, " kata Leonardo, kemudian berjalan cepat meninggalkan Bella dan Gia. "Silahkan berpikiran yang macam-macam! Tapi...asal kau tau, Leonardo bukan tipeku," ujar Gia sembari mengedipkan seb
"Aku tidak berbohong, soal kerjasama itu Ibu. Hanya saja, aku tidak tau kalau..keluarga kalian, seperti ini?" "Apa maksudmu dengan 'seperti ini'?!" sentak Sophia, suaranya naik satu oktaf lebih tinggi."Berantakan? Kacau? Begitu maksudmu?" sela Gia dengan nada mengejek."Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara!" bentak Helena, matanya melotot tajam ke arah Gia."Sudah-sudah! Kalian berdua membuatku semakin pusing!" teriak Marco sembari melempar map di tangannya ke lantai dengan kasar.Ricardo menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya di tengah hiruk-pikuk perdebatan di dalam kediaman Bianchi."Saya rasa, saya harus pergi," katanya dengan suara rendah, ia melirik sekilas ke arah Helena. lalu mengangguk singkat sebelum akhirnya melangkah keluar dari kediaman Bianchi. Satu per satu anggota keluarga Bianchi mulai meninggalkan ruang tamu. Gia melirik ke arah Marco dan Helena yang berjalan menaiki anak tangga. Dari kejauhan, terlihat Helena terus berusaha menempel kepada
"Apa yang terjadi!" seru Victor, terkejut saat mendapati banyak pengawal yang tergeletak diikat sepanjang jalan menuju kediaman Bianchi. Mereka bergerak seperti ulat, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Matanya terbelalak saat semakin banyak pemandangan serupa terlihat semakin dekat ke rumah.Keterkejutannya semakin memuncak. Melihat beberapa pengawal dan pelayan tergeletak di lantai, diikat erat dengan mulut yang disumpal dan tangan mereka terikat menjadi satu. Victor mengedarkan pandangannya, melihat lukisan besar anggota keluarga Bianchi yang koyak dan berserakan di lantai."Orang gila mana yang berani melakukan hal ini!" seru Victor. Sedetik kemudian raut wajahnya tiba-tiba berubah, seolah teringat sesuatu yang sangat penting. "Oh tidak! Burung-burungku!"Sophia, yang mendengar teriakan Victor, ikut panik. "Perhiasanku!" serunya, berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Gaun panjangnya berkibar di belakangnya saat dia berlari dengan cepat, hampir tersandung beberapa kali.Gia s
Gia menyusuri kediaman Bianchi, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan pengawal dan pelayan yang sibuk berlalu lalang di pagi hari. Louis mengekor di belakangnya, matanya waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka."Kau sudah siap? Akan ada pertunjukan bagus hari ini.""Aku ragu, pria tua itu mau melakukannya," ujar Louis.Gia berhenti sejenak, menatap Louis dengan tatapan tajam. "Kau meremehkanku, Louis. Pria tua itu tidak akan punya pilihan lain," ujar Gia. Sedetik kemudaian mata Gia melebar saat melihat Marco berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit sambil menatap Louis. "Kita mulai dramanya," bisik Gia pelan.Dengan gerakan yang terencana, Gia tiba-tiba ambruk, tubuhnya jatuh ke depan. Louis, dengan refleks cepat, segera menangkapnya sebelum tubuh Gia menyentuh lantai.Marco, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, segera berlari ke arah mereka. "Apa yang terjadi!""Saya tidak tahu, Nona Gia tiba-tiba saja terjatuh?" Marco s
"Kau yakin wanita jal*ng itu mengandung anakmu?" tanya Sophia."Tentu saja, apa ibu meragukan Gia?!" jawab Marco dengan suara yang sedikit emosi. Matanya menatap satu per satu anggota keluarganya, menantang mereka untuk meragukan ucapannya. "Wanita itu bahkan tidak pernah bergaul dengan pria lain selain aku!""Kita hanya butuh anaknya, singkirkan wanita itu setelah dia melahirkan," ucap Victor dengan nada yang begitu tenang, seolah-olah ia sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Aku setuju, wanita itu sudah terlalu lama hidup enak di rumah ini," sahut Sophia."Bukankah Ibu menyukai pekerjaannya di rumah? Ayah juga puas, dengan pekerjaannya mengurus burung-burung di aviary ayah bukan?! Jujur saja, selama ini Gia tidak pernah diperlakukan layak sebagai menantu di rumah ini!" Victor mengerutkan keningnya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan. "Kau terlihat sensitif hanya karena mendengar wanita murahan itu hamil. Apa kau menyukainya?" cibir Bella."Diam! Itu bukan urusanmu! Urus saj
Gia duduk di kursi roda, memandangi jalanan yang ramai lewat kaca transparan di kamar rumah sakit. Matanya sembab, tampak lelah dan kosong, ia sudah tidak mampu lagi mengeluarkan air mata karena terlalu banyak menangis. Pandangannya terasa hampa seolah sebagian dari dirinya telah hilang selamanya.Louis masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. "Anda baik-baik saja, Nona Gia?"Gia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. "Apa aku terlihat baik-baik saja?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, penuh dengan kehampaan dan kehilangan hasrat untuk hidup.Louis merundukkan kepala, tatapannya nanar melihat Gia dalam keadaan seperti itu. "Kau sudah menghubungi Marco?" Louis menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. "Bukankah Anda melarang saya menghubungi keluarga Bianchi?"Gia menutup matanya sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum berdiri dari kursi rodanya. Louis segera melangkah maju untuk membantunya, namun Gia menepis bantuan itu dengan tangan yang gemetar."Sekar
"Jaga bicaramu! Dia tamu keluarga Bianchi! Beraninya wanita sepertimu menghina tamuku!" seru Sophia."Masalahnya aku melihat wanita ini keluar dari kamar suamiku! Apa seorang tamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamar seorang pria yang sudah bersuami?! Di saat istrinya sedang tidak ada di sana?" seru Gia, tatapan tajamnya tidak lepas dari Helena.Sophia melirik ke arah Marco dan Helena secara bergantian."Itu tidak benar! Kau terlalu berlebihan, Gia! Apa kau punya bukti kalau Helena masuk ke dalam kamarku?" ucap Marco mencoba membela diri.Gia terdiam, menatap Marco dengan sorot mata yang tidak percaya. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tertahan."Sudah pergi sana! Ada banyak pekerjaan di dapur! Pagi-pagi sudah berisik!" gerutu Sophia sambil melambaikan tangannya, menyuruh Gia pergi.Gia tidak langsung beranjak, masih menatap Marco dengan tatapan tajam, seolah ingin mencari kebenaran di balik matanya. Namun, Marco hanya menghindari tatapannya, mencoba untuk
"Gia, cepat bangun! Kau hampir kesiangan!" seru Elissa, kedua tangannya mengguncang tubuh Gia yang masih terlelap."Oh!" Gia terperanjat, kedua matanya terbuka lebar. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak nyenyak."Maaf, Gia, aku dan Maria sebenarnya ingin membiarkanmu tidur lebih lama lagi, karena kau terlihat sangat lelah. Tapi kami tidak bisa mengerjakan bagian aviary," ujar Elissa."Tidak apa-apa, Elissa. Aku akan segera ke sana."Gia bergegas menuju aviary, dan mendapati Louis berdiri di depan pintu aviary. Dia tampak letih, dengan lingkaran gelap di bawah matanya.Gia berjalan seolah tidak menggubris keberadaan Louis, ia langsung membuka pintu aviary. Louis mengikutinya tanpa berkata apa-apa. Gia melirik sekilas ke arah Louis, merasa kehadiran Louis mengganggu pikirannya, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus."Apa yang kau lakukan?" tanya Gia, menoleh ke arah Louis yang sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tempat makan burung
Gia dan Louis terus berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah mewah itu."Kau punya senjata?" tanya Gia pada Louis.Louis mengangguk cepat, tapi tetap fokus pada jalannya. "Ya, aku punya."Gia memegang lengan Louis dengan erat, memaksanya berhenti sejenak. "Berikan padaku!" "Tidak! Anda harus sembunyi, situasinya sangat berbahaya!" tegas Louis."Berikan padaku!" Gia memaksa lebih keras, "Aku yakin kau punya senjata cadangan." desak Gia, tidak memberi Louis kesempatan untuk berpikir.Louis tetap berusaha menolak, tetapi Gia lebih cepat. Dengan gerakan cepat, dia meraih ke arah sarung senjata di pinggang Louis, tempat pistol biasanya disimpan. Louis mencoba menahannya, tetapi Gia dengan cekatan berhasil meraih pistol dari sarungnya."Nona Gia, ini sangat berbahaya!" Louis memperingatkan lagi, tetapi Gia sudah memegang pistol dengan erat."Kita tidak punya waktu untuk berdebat," tegas Gia. "Aku akan membantumu.""Baiklah, tapi tetaplah berada di dekat saya. Jangan membuat gerakan y