Aku membisu, mencerna pertanyaan to the point Oma beberapa saat lalu. Ini terlalu tiba-tiba menurutku. Bahkan, Oma saja baru bertemu aku dua kali. Mengapa bisa begitu mudahnya memintaku menikah dengan cucunya? Apa dia tidak merasa perlu menyeleksi wanita yang akan menjadi pendamping hidup Daffa? Mereka kan orang kaya, ada banyak yang perlu dijaga dan dilindungi.
Tidak Daffa, tidak Oma, keduanya sama-sama sulit dipahami.
“Bagaimana, Kelana? Mau, ya?”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Oma dan Daffa melihat ke arahku, menunggu jawaban dari pertanyaan spontan beberapa detik lalu.
“Setelah apa yang kalian lakukan, Oma rasa tidak ada alasan untuk kamu menolak. Benar bukan?” imbuh Oma.
Aku tahu ke mana arah pembicaraan Oma. Mengingatnya mampu membuat wajahku memerah. Ah! Memalukan sekali. Mengapa bisa hal pribadi seperti kemarin diketahui Oma? Aku jadi berpikir jika Daffa tak lebih pintar dari omanya.
“Oma,
“Siapa kalian?!” ulangku penuh penekanan. “Hahahaha kamu tidak perlu tahu siapa kami. Kemarilah, bukannya kamu mencari Marsel dan Daren? Mereka ada di dalam,” sahut salah satunya. Aku tak bisa melihat wajah dua manusia di hadapanku. Karena selain penerangan yang minim, mereka juga mengenakan topeng. Aku mundur beberapa langkah, hatiku mengatakan tak ada Daren maupun Marsel di tempat ini, untuk itu aku harus segera pergi dan menyelamatkan diri. Namun, semakin aku mundur, mereka semakin mendekat. Tawa seram dan membahana masih terdengar, tampaknya mereka sangat senang mendapati aku yang begitu panik dan ketakutan. “Mau ke mana, manis?” Sial! Bagaimana aku bisa keluar kalau pintunya terkunci begini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Di tengah situasi mencekam seperti ini, aku berusaha memutar otak, melihat sekeliling barangkali menemukan jalan keluar. Namun nihil, aku tak menemukan pintu lain ataupun jendela. Salah satu dari mereka mendekat. Samar-samar aku bisa melihat pria bot
Beberapa jam sebelumnya“Saya ayah kandung kamu, Delia.”Ungkapan itu membuat Delia tercengang. Begitupun Rachel yang menggeleng keras. Dia tak percaya, jika pada akhirnya Marsel akan mengatakan fakta yang sudah bertahun-tahun lamanya mereka sembunyikan.“Marsel!” bentak Rachel. “Jangan sekarang, please,” lirihnya.Marsel mengabaikan Rachel. “Kemarilah, Nak, ini Papa.” Ia berjongkok dan merentangkan tangan, meminta Delia mendekat dan memeluknya.Delia belum juga bergerak. Ia masih berada di posisi semula, netranya menatap Rachel dan Marsel bergantian, mencari kebenaran dari ucapan dua manusia dewasa di hadapannya.Heru yang berada tepat di belakang Delia pun membisu, menyaksikan terungkapnya kenyataan yang selama ini juga menjadi tanda tanya besar di kepalanya.“Pa-pa,” lirih Delia dengan suara terbata.“Iya sayang, ini Papa, Papa kandun
Tanpa pikir panjang, Marsel segera beranjak dari kursinya, menuruti perintah Rachel tanpa memedulikan panggilan Delia yang memintanya berhenti. Ia merasa, semua yang ia dengar dari Rachel tentang Kelana sudah cukup menjadi alasan dirinya membenci wanita itu.Marsel tak menunda-nunda, ia segera menjalankan rencana yang tempo hari mereka bahas di kafe. Lagipula, dia pun sudah sangat muak dengan wajah polos dan sikap sok baik wanita tersebut.Sembari mengendarai mobil, Marsel menghubungi anak buahnya dan menyusun strategi untuk menjebak Kelana. Ia menjadikan Daren sebagai umpan, dan benar saja, Kelana langsung percaya dan bersedia membantunya tanpa paksaan.“Perempuan bodoh! Mau-maunya gue bohongin,” gumam Marsel. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibirnya. “Tamat lo, Kelana! Siapa suruh buat anak dan wanita yang gue cintai menderita,” sambungnya.Untung saja, Marsel sudah mengantar Daren ke rumah Bu Sari. Kalau tid
Aku terbangun dengan keringat mengucur deras dan perasaan tak menentu. Jantungku berdegup kencang, aku tak mengerti mengapa gelisah seperti ini. Sampai beberapa menit lamanya, mataku tak kunjung tertutup lagi. Bergulang-guling kesana-kemari, hanya itulah yang kulakukan sedari tadi. Pikiranku tertuju pada Kelana, apa yang sedang wanita itu lakukan? Ah! Padahal baru beberapa jam lalu kami bertemu, tapi aku sudah merindukannya. Telepon jangan, telepon jangan, telepon jangan, aku menghitung kancing piamaku untuk menentukan apakah harus menghubungi Kelana sepagi ini, atau menundanya sebentar lagi, setidaknya sampai matahari bersinar di paraduannya. “Telepon aja deh,” putusku. Aku mengambil ponsel yang berada di atas nakas dan menyalakannya. Di sana ter
Aku tersenyum puas menatap pemandangan di hadapanku. Api yang besar dan menyala-nyala nyaris membakar habis Gedung tua itu. Bisa dipastikan siapa pun yang berada di dalamnya tidak akan selamat, melihat bagaimana aksi si jago merah yang begitu brutalnya. “Selamat tinggal, Kelana,” ucapku dengan senyum mengembang. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain menyaksikan sendiri kematian Kelana. Wanita yang sedari dulu menjadi rivalku. “Dia pasti sudah jadi abu,” gumam Marsel. “Memang itu yang gue mau,” timpalku.Marsel, laki-laki yang saat ini berada di sampingku mengeratkan genggamannya. Kami tertawa bersama, merayakan keberhasilan atas rencana ini. “Good job, honey, lo keren banget,” puji Marsel pad
Kepulan asap di dalam ruangan membuatku terbatuk. Sekujur badanku terasa kaku, aku berusaha menggerakkannya secara perlahan. Mataku terpejam menahan nyeri yang mendera. Teringat akan kejadian terakhir kali, saat dua manusia itu membuatku tak sadarkan diri kemudian menggerayangi tubuhku. Cairan bening menetes, aku menyesal tidak bisa melindungi diri sendiri. Jika melindungi diri sendiri saja gagal, bagaimana bisa aku melindungi Lintang?Aku terbatuk lagi, diikuti dadaku yang begitu sesak, mungkin karena terlalu banyak menghirup asap. Bersamaan dengan itu, aku mendapati benda pipih yang layarnya berpendar-pendar. Susah payah aku meraih benda tersebut, dan akhirnya berhasil. Beruntungnya, tak ada pola maupun kode keamanan yang digunakan, sehingga memudahkanku menggunakannya.Aku mengingat-ingat nomor seseorang dan bergegas menghubunginya. Namun, orang tersebut tak menjawab, membuatku nyaris putus asa. Dadaku semakin sesak, kepulan asap sudah terlihat dimana-mana.A
“Bu Sari,” panggilku dengan suara lirih.“Mbak Kelana…” balas Bu Sari tak kalah lirih.Aku terpaku melihat wanita paruh baya yang amat sangat kukenal berdiri di hadapanku. Begitupun Bu Sari yang tampak terkejut mendapati aku dalam keadaan seperti ini. Tanpa persetujuan, pria yang dipanggil Doni segera membawaku masuk, diikuti Bu Sari di belakangnya.“Bi, tolong obati lukanya, sekalian pinjemin baju,” pinta Doni setelah mendudukkanku di kursi panjang. Aku belum paham situasi ini, apa hubungan Bu Sari dengan pria itu, dan mengapa dia memanggil Bu Sari Bibi?“Iya, Nak. Kamu makan dulu, gih, Bibi udah masakin.”Doni hanya mengangguk, kemudian pergi dengan Bu Sari yang mengekor di belakangnya. Tak sampai lima menit, Bu Sari sudah kembali sembari membawa teh hangat dan kotak P3K.“Biar saya bantu bersihkan lukanya, Mbak,” ucapnya.“Terima kasih, Bu.”Denga
Mas Heru menangis, ia mengecup pucuk kepalaku sambil terus menyalahkan diri. “Maafin Mas, sayang, semua ini terjadi karena kebodohan Mas. Mas Bodoh, Mas tolol!” isaknya.Ya, aku berusaha menghubungi Mas Heru karena ingin memintanya melihat keadaan Lintang, karena biar bagaimanapun lelaki itu adalah ayah bilogis anakku. Siapa yang sangka jika sekarang lelaki tersebut ada di sini, mendekapku begitu erat seraya menyesali semua perbuatannya di masa lalu.“Mas, udah. Semua yang terjadi bukan salah siapa-siapa, udah takdirnya harus begini,” balasku sambil mengusap punggungnya lembut.“Enggak, Lana, ini salah Mas!” tegasnya. “Hukum Mas, Lana, hukum!”Mas Heru berderai air mata. Tampaknya, dia benar-benar menyesali apa yang sudah terjadi di antara kami. Padahal, tak ada sedikitpun niat di kepalaku untuk menyalahkannya, karena aku menganggap yang terjadi merupakan bagian dari takdir Tuhan yang telah digariskan padaku
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
—PoV Kelana “Apa maksud kamu?”Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”“Saya harus ke rumah sakit.”“Dengan dia?”“Ya.”“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV Kelana Aku bergerak gelisah, tidurku terasa berbeda malam ini. Aku berpikir, mungkin karena tak ada Lintang. Ya, pasalnya ini kali pertama kami berjauhan. Tepat pukul dua dini hari, mataku terbuka sempurna. Entah karena alasan apa, keringat dingin membasahi tubuhku, ditambah tenggorokan yang terasa kering, padahal aku tak merasa demam. Hal pertama yang kulakukan adalah meraba tempat di sebelahku, ternyata tak ada siapa pun di sana. Sembari mengelap keringat yang terus mengucur, aku bergerak mencari Daffa. Ruangan pertama yang kusambangi adalah kamar mandi, kemudian ruang kerja, dan terakhir dapur. Namun, tak kutemukan sosok itu. Ke mana dia pergi dini hari begini? Apa menemui Nisha lagi? Lihat saja, kalau sampai itu terjadi, jangankan memberi maaf, melihat wajahnya saja aku tak sudi. Langkah kakiku bergerak menuju paviliun belakang, melihat apakah suamiku berada di sana atau tidak. Malam menjelang pagi yang dingin dan sepi, tak m
—PoV Author“Selesaikan!” titah Rachel pada sosok laki-laki yang sejak tadi mengamatinya sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Marsel mengangkat sudut bibirnya, tampak puas dengan kinerja Rachel yang tak pernah mengecewakan.“Tentu sayang, istirahatlah, bersihkan dirimu, tunggu aku di kamar,” sahut Marsel.Tanpa memedulikan percikan darah yang mengenai baju dan wajah Rachel, Marsel memeluk mesra wanita itu, disusul kecupan singkat di bibirnya. Keduanya saling berbalas senyum lebar, merasa bangga dengan apa yang sudah mereka lewati hingga sampai di titik ini.“Aku harus menemui tua bangka itu dulu,” ucap Rachel.“Baiklah,” jawab Marsel. “Kau bahagia, hmm?” sambungnya.“Tentu, aku sangat bahagia, apalagi jika menyaksikan Kelana meraung-raung karena putri tercintanya tewas ditanganku,” balas Rachel seakan tak peduli dan tak
–PoV Author Sret, bugh!Lintang didorong sampai jatuh terjerembab. Ia meringis saat tubuh mungilnya bersentuhan langsung dengan dinginnya keramik malam ini. Lintang bingung, seingatnya tadi ia masih berada di depan mansion, mengapa sekarang di ruangan pengap dan gelap ini? Di mana Oma, Risya, dan Daren?Lintang menatap sekeliling, mencari keberadaan mereka. Namun, sejauh mata memandang ia tak menemukan siapapun di sana, selain dirinya dan manusia yang tadi mendorong tubuhnya dengan kasar.“Si-siapa ka-kamu?” tanya Lintang. Suaranya terbata-bata, ia merasakan aura mencekam dan tatapan tajam dari sosok di depannya.“Hai, Lintang, sudah lama tak bertemu, masih ingat Tante?”Deg!Lintang tahu pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya saja, ia bingung mengapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini? Padahal, Rachel bisa datang ke rumahnya dan menemui ia, Pap
--PoV Heru“Lana, ayo dong jawab,” ucapku seraya berjalan kesana-kemari. Sudah lebih dari tiga kali aku menghubungi Kelana, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Padahal, ada hal penting yang ingin kuberitahu pada mantan istriku itu. “Ahs! Sial! Aku harus ke rumahnya sekarang!”Aku bergegas menuju rumah Kelana dan Daffa yang berjarak cukup jauh, memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk sampai di sana.Tepat pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah itu. Namun, ada yang aneh menurutku, penjagaan di sana sangat ketat, entah apa yang membuat Daffa sampai mengerahkan lebih dari lima pengawal untuk menjaga rumah mereka.“Saya mau bertemu Daffa dan istrinya!” ucapku pada salah satu penjaga berbadan tegap dengan kepala plontos dan tatapan tajamnya.“Mereka sedang istirahat, Tuan, silakan kembali lagi besok,” balas penjaga itu.“Tidak bisa, ada hal penting yang h
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,