Di suatu pagi, dengan langit biru muda dan sinar matahari yang tidak terlalu terik, seorang wanita berusia 27 tahun tengah sibuk menyiapkan kotak bekal makan siang.
Dengan mengenakan celemek merah muda berhiaskan bunga-bunga putih, wanita dengan rambut hitam bergelombang tergerai itu berkutat dengan pisau dan beragam lauk yang dipotongnya berbentuk hati dan aneka bentuk lainnya. Setelah selesai, ia menata lauk-lauk tersebut di atas nasi daun jeruk yang sebelumnya sudah diletakkan ke dalam kotak bekal persegi empat berukuran tanggung."Bu Dina, apa bekalnya sudah siap?" tanya seorang wanita dengan daster berwarna hijau muda dan rambut yang digulung di atas. Wanita yang memiliki kulit sawo matang itu menanti jawaban dari majikannya yang biasa disapa sebagai 'Bu Dina' itu.Lalu, sang majikan menanggapi, "Sudah, Mbak. ini tinggal dimasukin ke paper bag.""Oke, Bu. Saya bookingkan ojek onlinenya ya?" tawar wanita berkulit sawo matang itu dengan senyum kecil sembari meraih ponsel dari kantung daster yang dikenakannya."Ah, engga perlu, Mbak Ratri. Habis ini, saya antar sendiri ke kantor Bapak," tolak Dina halus dengan senyum lembut yang tersemat pada wajah tirusnya yang rupawan.Mendengar jawaban tersebut, wanita yang sudah bekerja sebagai pembantu di rumah itu cukup penasaran dengan perilaku sang nyonya rumah yang bersedia untuk mengantarkan makan siang di hari itu. Pasalnya, Dina terbilang cukup jarang jika harus mengantar makan siang ke kantor suaminya secara langsung. Wanita yang dulunya berprofesi sebagai customer service di salah satu bank swasta tersebut kini memilih untuk membuka bisnis rumahan yaitu Cake Custom yang cukup menyita waktu sehari-harinya di rumah."Bu Dina tumbenan mau antar makan siang ke kantor Bapak. Apa Ibu lagi pengen makan bareng berdua sama Bapak ya? biasanya beliau selalu fokus dengan pesanan custom cake yang engga begitu banyak. Hari ini juga ada beberapa pesanan yang harus dibuat, tapi kayanya Ibu santai banget." Wanita dengan daster hijau muda itu bertanya-tanya seraya berujar dalam hati tentang perilaku dari majikan perempuan yang sangat disegani dan dihargainya itu.-**-Dina PovAkhirnya, setelah merintis usaha sekitar satu tahun, aku bisa jauh lebih santai dalam menyeimbangkan waktu kerja dan rumah tangga. Memang, hari ini ada beberapa pesanan custom cake yang bisa saja ku tuntaskan. Namun, pesanan-pesanan itu akan diambil di minggu depan. Hal tersebut tentunya membuatku sanggup untuk mengantar makan siang untuk suami di kantor.Usai menata hidangan di dalam kotak bekal dan memasukkan kotak tersebut, aku langsung bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian dan berdandan. Rencananya, aku akan memberikan kejutan pada Reza yang dalam dua bulan ini memang kurang ku perhatikan kebutuhannya. Selain itu, aku juga terlalu sibuk untuk meluangkan waktu berduaan. Sehingga, kali ini, ku anggap aku menebus setiap waktu dan perhatian yang pernah ku lewatkan untuknya.Dengan mengenakan kardigan berwarna cream yang dipadukan dengan tanktop berwarna merah marun dan bawahan jeans gelap, aku melangkah keluar dari rumah sembari membawa kantong kain berisikan dua kotak bekal. Lalu, aku memasuki mobil putih dan mulai menyalakan mesin mobil perlahan.Beberapa menit kemudian, aku melaju meninggalkan area perumahan yang berlokasi di jalan Boulevard, Surabaya Barat. Dengan hati yang tenang berselimutkan rasa antusias, aku mengemudi dan fokus pada keramaian jalan raya di siang hari yang terpantau lancar.Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil yang ku tumpangi, mendarat di parkir basement. Dengan santai, aku keluar dari mobil dengan membawa kantung kain berisikan kotak bekal. Melalui pintu belakang, aku menaiki tangga dan memasuki elevator yang biasa membawaku menuju lantai sepuluh, tempat ruangan suamiku yang menjabat sebagai wakil direktur berada."TING.." Elevator yang ku tumpangi bersama beberapa pegawai lainnya terbuka. Saat semua penghuni berhambur keluar, aku pun turut serta.Beberapa dari pegawai yang mengenal diriku sebagai istri dari wakil direktur di kantor menyapa. Bahkan, mereka melayangkan senyum manis sembari berbasa-basi di saat diriku melewati meja kerja mereka yang berderet dan berdekatan satu sama lain.Beberapa menit kemudian, aku tiba di depan pintu ruang kerja Reza. Sembari mengulum senyum, aku bersiap untuk mengetuk pintu. Akan tetapi, niatku urung dikarenakan suara erangan dan desahan yang secara tiba-tiba terdengar dari dalam ruangan."Ahh, l-liarrhh.." Suara desahan dari laki-laki yang sangat ku cintai terdengar jelas. Aku yang masih terpaku di depan pintu menggelengkan kepala, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang ku dengar bukan lah suara dari Mas Reza."Suara itu sangat mirip dengan suara Mas Reza, tapi untuk apa dia mendesah begitu? apa yang dilakukan Mas Reza di dalam sana? Ah, mungkin aku salah dengar. Aku harus bertanya sendiri pada Mas Reza sebelum menarik kesimpulan," ucapku dalam hati sembari menenangkan pikiran yang mulai memunculkan asumsi negatif tanpa bukti yang jelas.Lalu, aku mulai mengetukkan buku jari tanganku pada pintu berwarna coklat tua di hadapanku perlahan, "TTOOKK..TOOKK..TOOKK..""Masuk, pintunya engga dikunci." Suara tenor milik Mas Reza berujar dari dalam."CKLEEKK.." Aku memutar knop pintu yang bergaya interior modern dengan kunci kuningan emas dan cover hitam berdesain minimalis.Saat pintu terbuka, aku melihat sosok suami yang sangat ku hormati kini sedang duduk di balik meja kerja dengan senyum mengembang sembari melempar tatapan hangat pada diriku. "Eh, tumben kamu ke kantor, Din," ucapnya seraya mengembangkan senyum dan bangkit berdiri dari kursi kerja kesayangannya.Aku memasuki ruangan dan menutup pintu perlahan sambil menanggapi, "Aku mau ajakin kamu makan siang bareng, Mas. Kebetulan, tadi, aku masakin menu kesukaan kamu."Mas Reza pun dengan segera meraih tangan kiriku dan menuntunku untuk duduk di sofa yang berada di depan meja kerja. "Wah, kamu bisa baca pikiranku ya, Din. Udah lama banget aku pengen makan masakan kamu," tandasnya sembari mengusap punggung tanganku dan menciumnya lembut.Mendapat perlakuan dan respon seperti itu membuat hati ini menghangat dan merasa sangat bersyukur. Aku yang notabene cukup sibuk dan jarang meluangkan waktu untuk suami sebaik Mas Reza masih diberi kesempatan untuk mengecap nikmatnya kesetiaan serta tanggung jawab dari seorang suami dan harmonisnya rumah tangga yang sedang berjalan.Dalam kata lain, aku merasa sangat beruntung karena telah menerima Mas Reza sebagai partner hidup yang selalu mendukung serta mengarahkanku menjadi pribadi yang baik. Meski kami belum dikaruniai buah hati, kami tetap menjaga kehangatan dan komunikasi dalam rumah tangga di tengah kesibukan-kesibukan yang menerjang. Setiap harinya, aku terus berharap jika bahtera rumah tangga yang ku arungi bersama Mas Reza semakin manis meski waktu bermesraan di antara kami terbatas."Din? Dina??" Suara tenor milik Mas Reza memanggil namaku perlahan.Aku yang tenggelam dalam pikiran sendiri tersadar dan mulai menatap wajah tirus suamiku dan menanggapi, "Eh, iya Mas? Ada apa?""Kita jadi makan 'kan? kamu lagi mikirin apa sih? Kok bengong gitu.""A-anu, aku kepikiran soal kamu, Mas." Aku menanggapi dengan tergagap sembari melepas kaitan tangan Mas Reza dan mulai mengeluarkan dua kotak bekal beserta dua pasang peralatan makan yang ku siapkan dari rumah."Ada apa, hm?" Mas Reza kembali bertanya sembari melayangkan usapan lembut pada kepalaku, usapan yang selalu sukses membuat jantungku berdebar-debar layaknya mengikuti kegiatan lari marathon."Aku merasa bersalah aja sama Mas belakangan. Aku jarang ada waktu buat Mas dan lebih belain ngurus usaha." Aku berterus terang pada Mas Reza dengan tangan yang kini membuka penutup kotak bekal dan menyerahkan kotak tersebut padanya.Mas Reza menerima kotak bekal dari tanganku dan menanggapi, "Udah, Din. Kamu engga usah terlalu mikirin yang udah lalu. Mas ngertiin kondisimu kok.""Iya, aku paham, Mas. Aku cuman takut kalau Mas merasa kesepian dan cari hiburan di luar sana waktu aku sibuk." Aku kembali mengutarakan isi hati yang sempat bersemayam seminggu lalu. Isi hatiku itu bahkan sempat membuatku berimajinasi jika Mas Reza berselingkuh di saat aku tak bisa menemaninya di hari libur.Usai diriku berujar secara gamblang, Mas Reza menatapku lekat. Kedua manik mata coklat yang menjadi daya tarik pria berusia tiga puluh tahunan itu kembali membius hati yang selalu mengobarkan rasa padanya.TO BE CONTINUED.Reza PovPagi ini, seperti biasa, ku jalani tugasku sebagai wakil direktur dari salah satu perusahaan yang bergerak di bidang retail makanan modern yang terkenal di Indonesia.Awalnya, aku sangat fokus dengan analisa laporan penjualan yang dikirimkan oleh staff marketing pada email kantor yang tampil di browser. Namun, di tengah kegiatan itu, konsentrasiku teralihkan pada sosok Naffa, sekretarisku yang berusia di kisaran dua puluhan dan memiliki paras manis bak bintang film dewasa.Naffa yang mengantarkan surat proposal proyek tampak menawan dengan kemeja putih formal dengan kerah tinggi yang dihiasi dengan dasi panjang berwarna senada pada bagian depan. Kemeja yang menampakkan lekuk tubuhnya tersebut juga dipadukan dengan bawahan kantor berwarna coklat muda yang stylish, membuat kharisma dari wanita anggun itu semakin terpancar jelas.Sembari menyerahkan proposal proyek padaku, wanita dengan rambut bergelombang berwarna kecoklatan itu menyunggingkan senyum dan berujar, "Silakan diper
Setelah kegiatan makan siang di antara Reza dan Dina selesai, sang istri memutuskan untuk pulang dan berlalu keluar dari ruang kerja dari suami yang sangat dihormatinya itu. Dengan rasa lega yang tampak dari senyuman merekah di bibirnya, Dina berujar dalam hati, "Aku yakin kalau Mas Reza bukan tipikal laki-laki yang mudah bosan dan akan mencari hiburan di luar sana. Dia tidak sama seperti laki-laki hidung belang yang tak bermoral."Saat dirinya telah keluar dari gedung perusahaan, Dina melangkah menuju parkiran tempat mobilnya diparkir. Tanpa berlama-lama, ia segera memasuki kendaraan roda empat dan memutuskan untuk kembali ke rumah yang disinggahinya bersama Reza.Perjalanan yang memakan waktu setengah jam itu membuat Dina tiba di tujuan pada pukul 13.45. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi rumah, wanita dengan pikiran dan pribadi yang positif itu membereskan peralatan masak dan mencuci piring. Dengan sedikit rasa lelah dan penat yang mulai menghampiri, ia juga mulai mengurus pe
Keesokan paginya, Dina dan Reza melangsungkan acara makan pagi seperti biasa. Awalnya, mereka tak bertukar kata dan lebih fokus pada hidangan ringan yang dimasak oleh Dina. Namun, beberapa menit berlalu, wanita dengan kepribadian mandiri dan kuat itu membuka topik obrolan. "Semalam, kamu pulang jam berapa, Mas?" tanya Dina sembari menyendokkan sayur lodeh ke piring dan mengaduknya dengan sisa nasi yang ada. "Jam dua belas kayanya." Reza mengira-ngira sambil melahap tempe dengan garpu yang digenggamnya dengan tangan kiri. Mendengar hal itu, Dina mulai mengingat waktu semalam, dimana dirinya menanti sang suami sekian lama namun tak kunjung hadir. Kala itu, ia sedang berada di kamar mandi untuk menuntaskan buang air kecil. Beberapa menit setelahnya, ia memeriksa ponsel yang menunjukkan waktu pukul setengah dua belas. Namun, di waktu sesudahnya, saat ia mulai memejamkan mata dan belum benar-benar terlelap, ia tak mendapati suara pintu dibuka, menandakan bahwa suaminya memasuki kamar.
Reza PovAku yang kebingungan bercampur panik mau tidak mau menyerahkan kotak bekal yang masih utuh kepada Handi. Aku tahu bahwa apa yang dilakukan diriku ini terbilang tidak menghargai usaha istri, tapi akan lebih tidak menyenangkan jika aku membawa kotak bekal yang masih utuh saat sudah tiba di rumah. Lebih parahnya, istriku mengetahui jelas jika aku tak menyantap masakannya hingga tandas. "Lho, kok engga Bapak sendiri yang makan? Memang masakan Bu Dina engga enak?" Handi menanggapi ujaranku dengan tatapan penasaran tertuju ke arahku. "Saya sudah makan tadi di restoran. Bukan engga enak, tapi saya lupa kalau ada bekal yang dia bawakan." Aku memperjelas alasan mengapa diriku meminta Handi untuk melahap makan siang yang seh6arusnya diperuntukkan untukku itu. Mendengar alasan yang terlontar, Handi pun mengangguk, seolah memahami maksud yang ada di pikiranku. Lalu, ia berujar, "Oh gitu. Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi terlebih dahulu."Dalam beberapa detik, pegawaiku yang berku
Sementara itu, di lain tempat, Dina sedang sibuk mengerjakan pesanan Custom Cake dari beberapa pelanggan setianya. Dengan mengenakan celemek berwarna cokelat muda, wanita bertubuh ramping dengan surai berwarna cokelat tua itu mengoleskan mentega putih pada adonan kue yang baru saja mendingin. Di saat mentega putih yang dioleskannya sudah hampir menutupi setengah dari adonan kue, ponselnya berdering. Secara perlahan, Dina menjeda kegiatannya, membersihkan kedua tangannya dengan serbet, dan mulai menjawab panggilan telepon yang masuk. "Iya, Mas Reza?" Dina menanggapi begitu mendengar suara bass milik suaminya yang sangat familiar. "Kamu nanti sore atau malam, ada acara engga?" Reza langsung bertanya guna memastikan jika jadwal istrinya kosong dan rencananya bisa berjalan dengan lancar, seperti yang diharapkannya. "Kayanya engga deh. Ada apa sih, Mas? Tumbenan kamu telepon menjelang sore begini." Dina masih merasa penasaran dengan maksud dari suaminya yang mendadak menelepon.
Dina Pov Aku memang terbiasa melakukan percakapan basa-basi dengan laki-laki yang resmi menyandang teman hidupku ini. Akan tetapi, selama dua tahun pernikahan bersama dengan Mas Reza, baru kali ini ku dapati informasi yang tak sesuai dengan fakta yang aku ketahui secara jelas. Memang tak seharusnya aku mempermasalahkan tentang dirinya yang tak begitu ingat dengan lauk pada kotak bekal yang aku sediakan untuknya. Namun, apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Reza membuat pikiranku yang semula tenang berubah menjadi penuh asumsi. Secara jelas, di pagi hari, sebelum melaksanakan santap pagi bersama, aku tak menyiapkan minyak dan wajan untuk menggoreng. Ayam, yang sehari sebelumnya sudah aku marinasi dengan campuran bumbu halus dan aneka rempah-rempah, justru dipanggang di atas pemanggangan. Selain itu, aku juga sempat membuatkan sambal kecap untuk melengkapi menu kesukaan suamiku itu. Namun, sepertinya, Mas Reza mulai tak memperhatikan detail apa yang aku lakukan untuknya. Hal y
Naffa Pov Di kala diriku baru saja bersenda gurau dan menyapa beberapa teman lamaku saat berada di bangku SMA, aku berpamitan pada mereka semua untuk menuntaskan buang air kecil di toilet yang lokasinya berdekatan dengan pintu menuju ruang outdoor dari restoran steak Tenderlova. Namun, saat diriku akan menuju toilet, perhatianku tersita pada sosok laki-laki yang kemarin malam mencumbu diriku dengan panas. Laki-laki dengan kemeja formal dan wajahnya yang terlihat bimbang itu memusatkan perhatian pada buku menu yang dipegangnya. Di kala itu, aku juga melihat keberadaan istrinya yang pernah aku lihat saat sedang mengantarkan makan siang beberapa waktu lalu. Sepintas, aku menelisik wajah wanita yang dinikahi oleh bosku itu memang menarik meski tak mengenakan riasan berlebih, seperti yang aku lakukan sehari-hari. Akan tetapi, hal itu tak membuat diriku merasa minder atau tak nyaman. Aku justru melangkah, menghampirinya, dan menyapa, "Pak Reza di sini juga ternyata. Wah, kebetula
Dina Pov "Mohon ditunggu pesanannya, Mas, Mbak," ucap waitress yang melayaniku dan Mas Reza dengan senyum ramah. Sebelum ia berlalu, ia menempelkan struk berisikan daftar menu yang sudah dipesan pada pojok kanan meja. Setelah pelayan muda itu berlalu, Mas Reza menyisir pandang ke sekitar. Mimik wajahnya yang tadinya terlihat tegang kini berubah lebih rileks. Tentu, hal itu sangat berbanding terbalik, terutama saat beberapa menit lalu sekretarisnya muncul dan menyapa diriku dan dirinya. Dari sana lah, beberapa asumsi kembali bermunculan di kepalaku tentang Mas Reza dan sekretarisnya di kantor. Pertama, jika memang mereka hanya bertindak sebagai partner kerja, semestinya tak ada masablah jika bertemu di luar kantor dan menyapa, selayaknya teman. Namun, reaksi yang ditunjukkan oleh suamiku itu lebih ke arah jika dirinya canggung dan panik. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mas Reza dariku? Kedua, apa mungkin Mas Reza merasa kurang nyaman dengan kehadiran sekretaris yan
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha