Naffa Pov Di kala diriku baru saja bersenda gurau dan menyapa beberapa teman lamaku saat berada di bangku SMA, aku berpamitan pada mereka semua untuk menuntaskan buang air kecil di toilet yang lokasinya berdekatan dengan pintu menuju ruang outdoor dari restoran steak Tenderlova. Namun, saat diriku akan menuju toilet, perhatianku tersita pada sosok laki-laki yang kemarin malam mencumbu diriku dengan panas. Laki-laki dengan kemeja formal dan wajahnya yang terlihat bimbang itu memusatkan perhatian pada buku menu yang dipegangnya. Di kala itu, aku juga melihat keberadaan istrinya yang pernah aku lihat saat sedang mengantarkan makan siang beberapa waktu lalu. Sepintas, aku menelisik wajah wanita yang dinikahi oleh bosku itu memang menarik meski tak mengenakan riasan berlebih, seperti yang aku lakukan sehari-hari. Akan tetapi, hal itu tak membuat diriku merasa minder atau tak nyaman. Aku justru melangkah, menghampirinya, dan menyapa, "Pak Reza di sini juga ternyata. Wah, kebetula
Dina Pov "Mohon ditunggu pesanannya, Mas, Mbak," ucap waitress yang melayaniku dan Mas Reza dengan senyum ramah. Sebelum ia berlalu, ia menempelkan struk berisikan daftar menu yang sudah dipesan pada pojok kanan meja. Setelah pelayan muda itu berlalu, Mas Reza menyisir pandang ke sekitar. Mimik wajahnya yang tadinya terlihat tegang kini berubah lebih rileks. Tentu, hal itu sangat berbanding terbalik, terutama saat beberapa menit lalu sekretarisnya muncul dan menyapa diriku dan dirinya. Dari sana lah, beberapa asumsi kembali bermunculan di kepalaku tentang Mas Reza dan sekretarisnya di kantor. Pertama, jika memang mereka hanya bertindak sebagai partner kerja, semestinya tak ada masablah jika bertemu di luar kantor dan menyapa, selayaknya teman. Namun, reaksi yang ditunjukkan oleh suamiku itu lebih ke arah jika dirinya canggung dan panik. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mas Reza dariku? Kedua, apa mungkin Mas Reza merasa kurang nyaman dengan kehadiran sekretaris yan
Setibanya di rumah, Dina dan Reza segera menapaki tangga menuju kamar untuk berganti pakaian dan melepas penat. Perasaan dari antara pasangan suami-istri itu bertolak belakang meski sudah melangsungkan acara makan malam singkat. Reza yang sudah berganti pakaian dengan piyama berwarna biru muda terus menatap pada punggung sang istri yang kini sibuk mengenakan krim wajah sambil bercermin. Di dalam hati dan pikirannya, ada rasa bersalah sekaligus takut jika suatu saat istrinya itu mengetahui hubungan gelapnya bersama Naffa. Sedangkan, Dina yang terlihat lebih santai tak begitu memikirkan tentang rasa curiganya terhadap reaksi Naffa dan suaminya saat berada di restoran sekitar dua jam lalu. Ia justru menatap lurus pada pantulan dirinya di cermin dan berujar dalam hati, "Aku harus lebih bijak dalam menyikapi masalah apa pun yang terjadi, baik itu dalam hal bisnis, maupun keluarga." "Din." Reza memanggil istrinya di saat keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dina pun me
Reza Pov "Aku berangkat dulu ya, Din," ucapku sambil mendaratkan kecupan lembut pada kening istriku. "Hati-hati di jalan ya, Mas." Dina berpesan sambil melambaikan tangan kanannya padaku dengan senyum manis terurai pada bibir merahnya. "Oh iya. Nanti, kamu mau dibawain apa?" Aku yang belum beranjak pergi dari hadapannya menawarkan sesuatu hal yang mungkin saja diperlukan. Meski ini hanya inisiatifku yang impulsif, hal ini juga merupakan saran yang aku dapat dari Defan untuk berlaku manis dan romantis pada istri sahku. "Apa ya?" Dina menatap dengan kening berkerut dan mulai berpikir. "Mie jawa atau mungkin camilan manis?" Aku memberikan pilihan untuk mempermudah dirinya dalam memutuskan akan membeli makanan atau sekadar makanan kecil. "Kalau martabak telur aja gimana?" Dina mulai memutuskan pilihannya dengan binar yang terpancar dari kedua mata bulatnya yang indah. "Wah, boleh banget. Itu kesukaan, Mas." Aku menjentikkan ibu jari dan jari telunjukku secara bersamaan
Ketika waktu menunjukkan pukul 17.05, seluruh karyawan dari perusahaan milik Reza mulai berhamburan, melangkah keluar dari gedung kantor yang memiliki lima belas lantai itu. Hal serupa juga dilakukan oleh Reza dan Naffa setelah beberapa menit merapikan ruang kerja masing-masing. "TING!" Saat pintu elevator mulai terbuka, dua insan tanpa status sah itu bergandengan mesra layaknya sepasang mahasiswa yang baru saja berbaikan setelah bertengkar akibat sesuatu hal yang sepele. "Rez, sebelum kita ke apartemenku, kita belanja bahan-bahan makanan dulu ya. Aku pengen masak buat kamu," pinta Naffa dengan senyum cerah yang menghiasi bibir indahnya. "Oke, sayangku. Padahal, kamu engga perlu repot-repot masak buat aku," tandas Reza sambil mengecup punggung tangan Naffa mesra. Ia juga berusaha mengimbangi langkahnya dengan wanita bertubuh mungil yang berdiri di sisi kanannya. "Yah, aku merasa udah lama aja, engga masak buat kamu. Aku 'kan harus membiasakan diri buat berlaku layaknya ist
Dina Pov Dua hingga potret yang dikirimkan oleh Anggika membuat kedua mataku tak dapat berkedip. Sambil membuka salah satu foto yang menampilkan sosok Mas Reza dengan Naffa di supermarket yang cukup familiar, aku memperbesar potret itu dan benar saja bahwa laki-laki ini adalah suamiku. Setelah itu, aku membaca isi pesan Anggika dan membakasnya, "Sabtu aku free. Kita janjian berdua aja?" Anggika langsung membalas, "Iya. Kita engga perlu ajak Dera. Dia engga bisa jaga rahasia, Din. Memang kamu mau, masalah ini diketahui sama teman-teman kita yang lain?" "Ya, engga, tapi kamu dapat foto itu dari mana?" Aku kembali membalas pesan Anggika dengan kening berkerut, merasa penasaran tentang asal muasal potret mesra di antara Mas Reza dan Naffa. "Besok Sabtu, aku ceritain," balas Anggika singkat. Sepertinya, ia tak ingin bercerita melalui chat agar tak terjadi kesalahpahaman. Aku yang tak mendapat penjelasan langsung menghela napas pelan. Pasalnya, aku mulai merasa tak tenang saa
Sekian jam berlalu, hari Jumat yang dinantikan Dina pun tiba. Hal itu diawalinya dengan memasak dua menu makanan sederhana di dapur. Di kala dirinya baru saja menyajikan menu tersebut di piring saji, mobil putih milik suaminya tiba. "DIN?" Suara Reza terdengar dari balik pintu tengah, membuat Dina melepas celemeknya, melangkah menuju pintu, dan menyambut kedatangan sang suami. "Pagi, Mas Reza." Dina menyapa dengan senyum manis sambil menatap Reza dengan pakaian yang sama seperti di hari sebelumnya. "Selamat pagi, istriku," balas Reza sambil memeluk dan mencium kening istrinya mesra. Lalu, ia melanjutkan ucapannya, "Gimana kemarin harimu?" "Ya, seperti biasa, Mas. Sibuk di gerai sama terima pesanan cake ulang tahun, kaya biasanya." Dina menjawab dan membantu Reza untuk membawa tas kerja yang terbuat dari kulit berwarna hitam. "Maaf ya. Aku tiba-tiba pergi ke luar kota karena urusan bisnis. Investornya ngancem terus kalau aku engga datang, Din." Reza mulai mengarang cerita
Dina Pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Mas Reza tiba di salah satu supermarket terkenal yang berlokasi di Kota Malang. Setelah mobil pajero milik suamiku terparkir dengan sempurna, aku langsung turun dengan membawa beberapa kantung belanja kain agar berapa pun belanjaan yang dibeli tak harus membayar kantung plastik yang harganya sama dengan harga untuk satu mobil yang terparkir di area parkiran. Di saat aku dan Mas Reza menginjakkan kaki masuk ke dalam supermarket, aku tak sengaja berpapasan dengan kawan lamaku saat masih berada di bangku kuliah yang bernama Lina. "Hei, Din!" sapa wanita dengan rambut bergelombang dan lesung pipi yang menghiasi wajahnya yang terlihat awet muda meski usianya sama denganku. "Lina, kamu apa kabar?" Aku menyapa dengan senyum merekah dan binar mata, memancarkan rasa senang karena sudah lama tak berjumpa dengan teman yang menurutku tergolong bijaksana dalam hal menjalin hubungan asmara meski masih betah melajang hingga kini. "Baik, D
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha