Keesokan paginya, Dina dan Reza melangsungkan acara makan pagi seperti biasa. Awalnya, mereka tak bertukar kata dan lebih fokus pada hidangan ringan yang dimasak oleh Dina. Namun, beberapa menit berlalu, wanita dengan kepribadian mandiri dan kuat itu membuka topik obrolan.
"Semalam, kamu pulang jam berapa, Mas?" tanya Dina sembari menyendokkan sayur lodeh ke piring dan mengaduknya dengan sisa nasi yang ada."Jam dua belas kayanya." Reza mengira-ngira sambil melahap tempe dengan garpu yang digenggamnya dengan tangan kiri.Mendengar hal itu, Dina mulai mengingat waktu semalam, dimana dirinya menanti sang suami sekian lama namun tak kunjung hadir. Kala itu, ia sedang berada di kamar mandi untuk menuntaskan buang air kecil. Beberapa menit setelahnya, ia memeriksa ponsel yang menunjukkan waktu pukul setengah dua belas.Namun, di waktu sesudahnya, saat ia mulai memejamkan mata dan belum benar-benar terlelap, ia tak mendapati suara pintu dibuka, menandakan bahwa suaminya memasuki kamar. Dari sana lah, Dina merasa bahwa suaminya mulai tak jujur.Setelah hening untuk beberapa saat, Dina kembali bersuara, "Tapi, kok aku engga dengar kamu masuk ke kamar ya, Mas? atau aku cuman mimpi."Mendengar reaksi dari istrinya itu, mimik wajah Reza yang semula tenang berubah menjadi sedikit panik. Dari kedua manik hitamnya, tersirat rasa gelisah dari perbuatan yang semalam dilakukannya bersama sang sekretaris. Selain itu, ada rasa bersalah yang masih setia menggelayuti hatinya sejak beberapa bulan lalu."O-oh, mu-mungkin kamu lagi mimpi, Din. Aku langsung naik ke kamar kok begitu sampai di rumah." Reza sedikit tergagap saat menanggapi ujaran istrinya itu.Dina yang tak ingin memancing pertengkaran hanya bisa menyunggingkan senyum tipis. Rupanya, ada rasa kecewa yang menyelimuti batinnya karena sang suami yang menurutnya terbilang jujur dan apa adanya mulai mengatakan sesuatu di luar fakta.Setelah selesai dengan sarapan dan secangkir kopi, Reza pun berpamitan pada Dina yang mengantarnya hingga di pintu depan. Ia juga tak lupa membawa kotak makan siang yang sudah disiapkan oleh wanita yang serstatuskan sebagai istri sahnya itu."Aku jalan dulu ya. Kalau ada apa-apa, kamu jangan sungkan buat telpon aku." Reza berujar seraya menepuk bahu Dina lembut."Kamu hati-hati di jalan ya, Mas." Dina menanggapi dan menyunggingkan senyum lembut sesudahnya. Meski ada rasa kecewa bercampur curiga yang hadir dalam pikirannya, Dina berusaha untuk tetap tenang sembari mencari solusi yang tepat tanpa menuduh secara terang-terangan.Dalam hitungan detik, mobil pajero putih milik Reza berlalu dari hadapan sang nyonya rumah. Di saat itu juga, Dina mulai berfokus pada pesanan custom cake yang diterimanya melalui aplikasi chatting, seperti biasanya.-**-Di sisi lain, Reza tengah sibuk dengan pertemuan dengan beberapa investor yang dilangsungkan di salah satu restoran bernuansa oriental yang ada di Surabaya Barat. Di tengah ramah tamah berlangsung, Naffa selaku sekretaris terus mengumbar senyuman saat mengunci pandang pada Reza yang tengah menjelaskan profil perusahaan dan beberapa contoh produk yang sudah sangat familiar di masyarakat."Lihat saja, Pak Reza. Aku akan membuatmu meninggalkan istri sahmu meski caranya pelan. Setelah itu, semua perhatian dan cintamu hanya akan tertuju padaku saja." Naffa mengukuhkan tekad dalam hatinya untuk merebut Reza dari Dina.Sementara, Reza yang secara tidak sengaja menangkap senyuman di bibir Naffa berasumsi dalam pikirannya, "Senyuman itu semakin menawan hati ini. Kalau seperti ini caranya, aku harus lebih pandai menyembunyikan perselingkuhan ini dari Dina. Ya, aku harus menemukan caranya segera!"Setelah menjelaskan seluruh materi presentasi, meeting tersebut ditutup dengan acara makan siang yang diselingi dengan obrolan santai. Reza yang senantiasa tersenyum dan menikmati hidangan pembuka memulai obrolan dengan beberapa investor yang duduk di hadapannya, "Jadi, menurut kalian bagaimana eksistensi dari produk makanan yang didistribusikan oleh perusahaan saya?"Lalu, seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang bernama Viktor menanggapi, "Menarik. Saya tertarik untuk menanamkan saham di perusahaan Bapak, tapi dengan satu catatan.""Apa itu?" Reza memicingkan kedua matanya seraya menatap Viktor dengan senyum tipis."Ijinkan tim multimedia dari perusahaan saya memperbaiki packaging chicken nugget dari perusahaan Bapak. Hal ini saya anjurkan agar penjualan produk-produk yang beredar meningkat lebih signifikan." Vikto menyarankan sembari membenarkan posisi kacamata tanpa framenya yang mulai turun."Baiklah. Itu bisa diatur," tandas Reza dengan senyum melebar. Ia terkesan dengan tawaran dari investor muda yang notabene adalah pemilik perusahaan multimedia ternama di Jakarta.Kemudian, Reza kembali menerima tanggapan dari investor-investor lain. Dengan senyuman dan suasana hati yang baik, ia menanggapi dengan bijak dan terbuka. Setelah acara tersebut selesai, Reza dan Naffa kembali ke kantor dengan sekelumit pekerjaan yang tertunda.Namun, sebelum direktur muda itu melanjutkan pekerjaannya, ia memeriksa notifikasi chat pada ponselnya terlebih dahulu. Dari sekian pemberitahuan yang ada, ia mendapati tiga pesan yang dikirimkan oleh sang istri.Dina:Mas, udah makan siang 'kan?Nanti lembur lagi engga?Aku rindu..Dalam sekejap, pertanyaan tentang makan siang itu membuat Reza teringat akan lauk yang sudah dikemas pada kotak makan siang yang dibawanya. "Duh, lupa!" Ia menepuk keningnya perlahan dan mulai meraih kotak makan siang yang diletakannya pada laci kedua dari meja kerjanya.Perlahan, ia membuka kotak makan siang yang berisikan nasi putih dengan lauk ayam goreng yang terlihat sedikit berminyak, lengkap dengan sayur lalapan dan sambal terasi."Padahal, aku sendiri yang bawa kotak bekal ini tadi pagi, tapi bisa-bisanya aku lupa dan malah makan di restoran sama Naffa dan para investor! Duh, aku beneran engga enak sama Dina nih kalau pulang makanannya masih utuh." Reza merutuki apa yang sudah terjadi meski hanya sepele.Di saat yang sama, manager pemasaran yang bernama Handi mengetuk pintu dan berkata, "Pak, ini saya.""Ya, masuk saja, Han." Reza menanggapi sembari menutup kotak bekalnya dengan segera.Dalam hitungan detik, pintu ruangan tersebut berderit dan menampilkan sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan pakaian formal, kemeja putih mutiara yang dipadukan dengan celana cokelat muda."Ini, Pak, laporan penjualan bulan lalu." Handi berujar sembari meletakkan laporan yang dijepret rapi di atas meja atasannya itu.Hal tersebut ditanggapi oleh Reza dengan senyuman kecil. Kemudian, Handi yang merasa tak memiliki urusan lain memutuskan untuk berlalu dari hadapan bosnya itu. Akan tetapi, sebelum pria berkulit sawo matang itu benar-benar keluar dari ruangan, Reza menahannya dengan berkata, "Han, tunggu!"Handi pun menghentikan langkahnya dan berbalik arah. "Iya, Pak? Ada hal lain yang bisa saya bantu?""Ini, makan siang buat kamu." Reza dengan segera bangkit dari posisi duduk dan menyerahkan kotak bekalnya pada salah satu pegawainya itu.Handi yang baru pertama kali menerima makan siang dari atasannya melebarkan kedua mata sambil menerima kotak bekal berwarna biru tua itu. "I-ini buat saya, Pak? Yakin?""Iya, gratis kok." Reza meyakinkan."Wah, terima kasih banyak, Pak. Lain kali, jangan repot-repot belikan makan siang buat saya." Handi menyatakan rasa terima kasih dan sungkannya secara bersamaan."Oh, ini bukan beli, tapi makan siang ini buatan istri saya, Han." Reza menyatakan dengan mimik wajah gusar.TO BE CONTINUED..Reza PovAku yang kebingungan bercampur panik mau tidak mau menyerahkan kotak bekal yang masih utuh kepada Handi. Aku tahu bahwa apa yang dilakukan diriku ini terbilang tidak menghargai usaha istri, tapi akan lebih tidak menyenangkan jika aku membawa kotak bekal yang masih utuh saat sudah tiba di rumah. Lebih parahnya, istriku mengetahui jelas jika aku tak menyantap masakannya hingga tandas. "Lho, kok engga Bapak sendiri yang makan? Memang masakan Bu Dina engga enak?" Handi menanggapi ujaranku dengan tatapan penasaran tertuju ke arahku. "Saya sudah makan tadi di restoran. Bukan engga enak, tapi saya lupa kalau ada bekal yang dia bawakan." Aku memperjelas alasan mengapa diriku meminta Handi untuk melahap makan siang yang seh6arusnya diperuntukkan untukku itu. Mendengar alasan yang terlontar, Handi pun mengangguk, seolah memahami maksud yang ada di pikiranku. Lalu, ia berujar, "Oh gitu. Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi terlebih dahulu."Dalam beberapa detik, pegawaiku yang berku
Sementara itu, di lain tempat, Dina sedang sibuk mengerjakan pesanan Custom Cake dari beberapa pelanggan setianya. Dengan mengenakan celemek berwarna cokelat muda, wanita bertubuh ramping dengan surai berwarna cokelat tua itu mengoleskan mentega putih pada adonan kue yang baru saja mendingin. Di saat mentega putih yang dioleskannya sudah hampir menutupi setengah dari adonan kue, ponselnya berdering. Secara perlahan, Dina menjeda kegiatannya, membersihkan kedua tangannya dengan serbet, dan mulai menjawab panggilan telepon yang masuk. "Iya, Mas Reza?" Dina menanggapi begitu mendengar suara bass milik suaminya yang sangat familiar. "Kamu nanti sore atau malam, ada acara engga?" Reza langsung bertanya guna memastikan jika jadwal istrinya kosong dan rencananya bisa berjalan dengan lancar, seperti yang diharapkannya. "Kayanya engga deh. Ada apa sih, Mas? Tumbenan kamu telepon menjelang sore begini." Dina masih merasa penasaran dengan maksud dari suaminya yang mendadak menelepon.
Dina Pov Aku memang terbiasa melakukan percakapan basa-basi dengan laki-laki yang resmi menyandang teman hidupku ini. Akan tetapi, selama dua tahun pernikahan bersama dengan Mas Reza, baru kali ini ku dapati informasi yang tak sesuai dengan fakta yang aku ketahui secara jelas. Memang tak seharusnya aku mempermasalahkan tentang dirinya yang tak begitu ingat dengan lauk pada kotak bekal yang aku sediakan untuknya. Namun, apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Reza membuat pikiranku yang semula tenang berubah menjadi penuh asumsi. Secara jelas, di pagi hari, sebelum melaksanakan santap pagi bersama, aku tak menyiapkan minyak dan wajan untuk menggoreng. Ayam, yang sehari sebelumnya sudah aku marinasi dengan campuran bumbu halus dan aneka rempah-rempah, justru dipanggang di atas pemanggangan. Selain itu, aku juga sempat membuatkan sambal kecap untuk melengkapi menu kesukaan suamiku itu. Namun, sepertinya, Mas Reza mulai tak memperhatikan detail apa yang aku lakukan untuknya. Hal y
Naffa Pov Di kala diriku baru saja bersenda gurau dan menyapa beberapa teman lamaku saat berada di bangku SMA, aku berpamitan pada mereka semua untuk menuntaskan buang air kecil di toilet yang lokasinya berdekatan dengan pintu menuju ruang outdoor dari restoran steak Tenderlova. Namun, saat diriku akan menuju toilet, perhatianku tersita pada sosok laki-laki yang kemarin malam mencumbu diriku dengan panas. Laki-laki dengan kemeja formal dan wajahnya yang terlihat bimbang itu memusatkan perhatian pada buku menu yang dipegangnya. Di kala itu, aku juga melihat keberadaan istrinya yang pernah aku lihat saat sedang mengantarkan makan siang beberapa waktu lalu. Sepintas, aku menelisik wajah wanita yang dinikahi oleh bosku itu memang menarik meski tak mengenakan riasan berlebih, seperti yang aku lakukan sehari-hari. Akan tetapi, hal itu tak membuat diriku merasa minder atau tak nyaman. Aku justru melangkah, menghampirinya, dan menyapa, "Pak Reza di sini juga ternyata. Wah, kebetula
Dina Pov "Mohon ditunggu pesanannya, Mas, Mbak," ucap waitress yang melayaniku dan Mas Reza dengan senyum ramah. Sebelum ia berlalu, ia menempelkan struk berisikan daftar menu yang sudah dipesan pada pojok kanan meja. Setelah pelayan muda itu berlalu, Mas Reza menyisir pandang ke sekitar. Mimik wajahnya yang tadinya terlihat tegang kini berubah lebih rileks. Tentu, hal itu sangat berbanding terbalik, terutama saat beberapa menit lalu sekretarisnya muncul dan menyapa diriku dan dirinya. Dari sana lah, beberapa asumsi kembali bermunculan di kepalaku tentang Mas Reza dan sekretarisnya di kantor. Pertama, jika memang mereka hanya bertindak sebagai partner kerja, semestinya tak ada masablah jika bertemu di luar kantor dan menyapa, selayaknya teman. Namun, reaksi yang ditunjukkan oleh suamiku itu lebih ke arah jika dirinya canggung dan panik. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mas Reza dariku? Kedua, apa mungkin Mas Reza merasa kurang nyaman dengan kehadiran sekretaris yan
Setibanya di rumah, Dina dan Reza segera menapaki tangga menuju kamar untuk berganti pakaian dan melepas penat. Perasaan dari antara pasangan suami-istri itu bertolak belakang meski sudah melangsungkan acara makan malam singkat. Reza yang sudah berganti pakaian dengan piyama berwarna biru muda terus menatap pada punggung sang istri yang kini sibuk mengenakan krim wajah sambil bercermin. Di dalam hati dan pikirannya, ada rasa bersalah sekaligus takut jika suatu saat istrinya itu mengetahui hubungan gelapnya bersama Naffa. Sedangkan, Dina yang terlihat lebih santai tak begitu memikirkan tentang rasa curiganya terhadap reaksi Naffa dan suaminya saat berada di restoran sekitar dua jam lalu. Ia justru menatap lurus pada pantulan dirinya di cermin dan berujar dalam hati, "Aku harus lebih bijak dalam menyikapi masalah apa pun yang terjadi, baik itu dalam hal bisnis, maupun keluarga." "Din." Reza memanggil istrinya di saat keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dina pun me
Reza Pov "Aku berangkat dulu ya, Din," ucapku sambil mendaratkan kecupan lembut pada kening istriku. "Hati-hati di jalan ya, Mas." Dina berpesan sambil melambaikan tangan kanannya padaku dengan senyum manis terurai pada bibir merahnya. "Oh iya. Nanti, kamu mau dibawain apa?" Aku yang belum beranjak pergi dari hadapannya menawarkan sesuatu hal yang mungkin saja diperlukan. Meski ini hanya inisiatifku yang impulsif, hal ini juga merupakan saran yang aku dapat dari Defan untuk berlaku manis dan romantis pada istri sahku. "Apa ya?" Dina menatap dengan kening berkerut dan mulai berpikir. "Mie jawa atau mungkin camilan manis?" Aku memberikan pilihan untuk mempermudah dirinya dalam memutuskan akan membeli makanan atau sekadar makanan kecil. "Kalau martabak telur aja gimana?" Dina mulai memutuskan pilihannya dengan binar yang terpancar dari kedua mata bulatnya yang indah. "Wah, boleh banget. Itu kesukaan, Mas." Aku menjentikkan ibu jari dan jari telunjukku secara bersamaan
Ketika waktu menunjukkan pukul 17.05, seluruh karyawan dari perusahaan milik Reza mulai berhamburan, melangkah keluar dari gedung kantor yang memiliki lima belas lantai itu. Hal serupa juga dilakukan oleh Reza dan Naffa setelah beberapa menit merapikan ruang kerja masing-masing. "TING!" Saat pintu elevator mulai terbuka, dua insan tanpa status sah itu bergandengan mesra layaknya sepasang mahasiswa yang baru saja berbaikan setelah bertengkar akibat sesuatu hal yang sepele. "Rez, sebelum kita ke apartemenku, kita belanja bahan-bahan makanan dulu ya. Aku pengen masak buat kamu," pinta Naffa dengan senyum cerah yang menghiasi bibir indahnya. "Oke, sayangku. Padahal, kamu engga perlu repot-repot masak buat aku," tandas Reza sambil mengecup punggung tangan Naffa mesra. Ia juga berusaha mengimbangi langkahnya dengan wanita bertubuh mungil yang berdiri di sisi kanannya. "Yah, aku merasa udah lama aja, engga masak buat kamu. Aku 'kan harus membiasakan diri buat berlaku layaknya ist
Jika situasi yang dihadapi oleh Reza dan Naffa bagaikan kapal pecah akibat diterjang badai, lain halnya dengan situasi yang dialami oleh mantan istri Reza, Dina. Wanita mandiri dengan bisnis yang sedang berkembang itu tengah merenda hubungan asmara dengan Khandra. Hari demi hari, dilalui oleh dua sejoli dengan status diri yang berbeda itu. Sesekali, di antara keduanya, terjadi perbedaan pendapat. Namun, hal tersebut tak membuat hubungan mereka renggang atau retak. Justru, kerikil-kerikil kecil itu membuat hubungan keduanya semakin rekat dan hangat. Merasa bahwa hubungan yang terjalin memiliki potensi yang bagus di masa depan, Khandra dengan tekadnya yang teguh, memutuskan untuk melamar Dina. Kegiatan itu dilakukannya saat mereka sedang menikmati makan malam di salah satu restoran terkenal yang bertempat di hotel bintang lima, di area Surabaya Barat. "Ini champagne terbaik dari restoran kami, Tuan," ucap waiter dengan seragam merah marun yang berpadu dengan celemek berwarna pu
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi