Keesokan paginya, Dina dan Reza melangsungkan acara makan pagi seperti biasa. Awalnya, mereka tak bertukar kata dan lebih fokus pada hidangan ringan yang dimasak oleh Dina. Namun, beberapa menit berlalu, wanita dengan kepribadian mandiri dan kuat itu membuka topik obrolan.
"Semalam, kamu pulang jam berapa, Mas?" tanya Dina sembari menyendokkan sayur lodeh ke piring dan mengaduknya dengan sisa nasi yang ada."Jam dua belas kayanya." Reza mengira-ngira sambil melahap tempe dengan garpu yang digenggamnya dengan tangan kiri.Mendengar hal itu, Dina mulai mengingat waktu semalam, dimana dirinya menanti sang suami sekian lama namun tak kunjung hadir. Kala itu, ia sedang berada di kamar mandi untuk menuntaskan buang air kecil. Beberapa menit setelahnya, ia memeriksa ponsel yang menunjukkan waktu pukul setengah dua belas.Namun, di waktu sesudahnya, saat ia mulai memejamkan mata dan belum benar-benar terlelap, ia tak mendapati suara pintu dibuka, menandakan bahwa suaminya memasuki kamar. Dari sana lah, Dina merasa bahwa suaminya mulai tak jujur.Setelah hening untuk beberapa saat, Dina kembali bersuara, "Tapi, kok aku engga dengar kamu masuk ke kamar ya, Mas? atau aku cuman mimpi."Mendengar reaksi dari istrinya itu, mimik wajah Reza yang semula tenang berubah menjadi sedikit panik. Dari kedua manik hitamnya, tersirat rasa gelisah dari perbuatan yang semalam dilakukannya bersama sang sekretaris. Selain itu, ada rasa bersalah yang masih setia menggelayuti hatinya sejak beberapa bulan lalu."O-oh, mu-mungkin kamu lagi mimpi, Din. Aku langsung naik ke kamar kok begitu sampai di rumah." Reza sedikit tergagap saat menanggapi ujaran istrinya itu.Dina yang tak ingin memancing pertengkaran hanya bisa menyunggingkan senyum tipis. Rupanya, ada rasa kecewa yang menyelimuti batinnya karena sang suami yang menurutnya terbilang jujur dan apa adanya mulai mengatakan sesuatu di luar fakta.Setelah selesai dengan sarapan dan secangkir kopi, Reza pun berpamitan pada Dina yang mengantarnya hingga di pintu depan. Ia juga tak lupa membawa kotak makan siang yang sudah disiapkan oleh wanita yang serstatuskan sebagai istri sahnya itu."Aku jalan dulu ya. Kalau ada apa-apa, kamu jangan sungkan buat telpon aku." Reza berujar seraya menepuk bahu Dina lembut."Kamu hati-hati di jalan ya, Mas." Dina menanggapi dan menyunggingkan senyum lembut sesudahnya. Meski ada rasa kecewa bercampur curiga yang hadir dalam pikirannya, Dina berusaha untuk tetap tenang sembari mencari solusi yang tepat tanpa menuduh secara terang-terangan.Dalam hitungan detik, mobil pajero putih milik Reza berlalu dari hadapan sang nyonya rumah. Di saat itu juga, Dina mulai berfokus pada pesanan custom cake yang diterimanya melalui aplikasi chatting, seperti biasanya.-**-Di sisi lain, Reza tengah sibuk dengan pertemuan dengan beberapa investor yang dilangsungkan di salah satu restoran bernuansa oriental yang ada di Surabaya Barat. Di tengah ramah tamah berlangsung, Naffa selaku sekretaris terus mengumbar senyuman saat mengunci pandang pada Reza yang tengah menjelaskan profil perusahaan dan beberapa contoh produk yang sudah sangat familiar di masyarakat."Lihat saja, Pak Reza. Aku akan membuatmu meninggalkan istri sahmu meski caranya pelan. Setelah itu, semua perhatian dan cintamu hanya akan tertuju padaku saja." Naffa mengukuhkan tekad dalam hatinya untuk merebut Reza dari Dina.Sementara, Reza yang secara tidak sengaja menangkap senyuman di bibir Naffa berasumsi dalam pikirannya, "Senyuman itu semakin menawan hati ini. Kalau seperti ini caranya, aku harus lebih pandai menyembunyikan perselingkuhan ini dari Dina. Ya, aku harus menemukan caranya segera!"Setelah menjelaskan seluruh materi presentasi, meeting tersebut ditutup dengan acara makan siang yang diselingi dengan obrolan santai. Reza yang senantiasa tersenyum dan menikmati hidangan pembuka memulai obrolan dengan beberapa investor yang duduk di hadapannya, "Jadi, menurut kalian bagaimana eksistensi dari produk makanan yang didistribusikan oleh perusahaan saya?"Lalu, seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang bernama Viktor menanggapi, "Menarik. Saya tertarik untuk menanamkan saham di perusahaan Bapak, tapi dengan satu catatan.""Apa itu?" Reza memicingkan kedua matanya seraya menatap Viktor dengan senyum tipis."Ijinkan tim multimedia dari perusahaan saya memperbaiki packaging chicken nugget dari perusahaan Bapak. Hal ini saya anjurkan agar penjualan produk-produk yang beredar meningkat lebih signifikan." Vikto menyarankan sembari membenarkan posisi kacamata tanpa framenya yang mulai turun."Baiklah. Itu bisa diatur," tandas Reza dengan senyum melebar. Ia terkesan dengan tawaran dari investor muda yang notabene adalah pemilik perusahaan multimedia ternama di Jakarta.Kemudian, Reza kembali menerima tanggapan dari investor-investor lain. Dengan senyuman dan suasana hati yang baik, ia menanggapi dengan bijak dan terbuka. Setelah acara tersebut selesai, Reza dan Naffa kembali ke kantor dengan sekelumit pekerjaan yang tertunda.Namun, sebelum direktur muda itu melanjutkan pekerjaannya, ia memeriksa notifikasi chat pada ponselnya terlebih dahulu. Dari sekian pemberitahuan yang ada, ia mendapati tiga pesan yang dikirimkan oleh sang istri.Dina:Mas, udah makan siang 'kan?Nanti lembur lagi engga?Aku rindu..Dalam sekejap, pertanyaan tentang makan siang itu membuat Reza teringat akan lauk yang sudah dikemas pada kotak makan siang yang dibawanya. "Duh, lupa!" Ia menepuk keningnya perlahan dan mulai meraih kotak makan siang yang diletakannya pada laci kedua dari meja kerjanya.Perlahan, ia membuka kotak makan siang yang berisikan nasi putih dengan lauk ayam goreng yang terlihat sedikit berminyak, lengkap dengan sayur lalapan dan sambal terasi."Padahal, aku sendiri yang bawa kotak bekal ini tadi pagi, tapi bisa-bisanya aku lupa dan malah makan di restoran sama Naffa dan para investor! Duh, aku beneran engga enak sama Dina nih kalau pulang makanannya masih utuh." Reza merutuki apa yang sudah terjadi meski hanya sepele.Di saat yang sama, manager pemasaran yang bernama Handi mengetuk pintu dan berkata, "Pak, ini saya.""Ya, masuk saja, Han." Reza menanggapi sembari menutup kotak bekalnya dengan segera.Dalam hitungan detik, pintu ruangan tersebut berderit dan menampilkan sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan pakaian formal, kemeja putih mutiara yang dipadukan dengan celana cokelat muda."Ini, Pak, laporan penjualan bulan lalu." Handi berujar sembari meletakkan laporan yang dijepret rapi di atas meja atasannya itu.Hal tersebut ditanggapi oleh Reza dengan senyuman kecil. Kemudian, Handi yang merasa tak memiliki urusan lain memutuskan untuk berlalu dari hadapan bosnya itu. Akan tetapi, sebelum pria berkulit sawo matang itu benar-benar keluar dari ruangan, Reza menahannya dengan berkata, "Han, tunggu!"Handi pun menghentikan langkahnya dan berbalik arah. "Iya, Pak? Ada hal lain yang bisa saya bantu?""Ini, makan siang buat kamu." Reza dengan segera bangkit dari posisi duduk dan menyerahkan kotak bekalnya pada salah satu pegawainya itu.Handi yang baru pertama kali menerima makan siang dari atasannya melebarkan kedua mata sambil menerima kotak bekal berwarna biru tua itu. "I-ini buat saya, Pak? Yakin?""Iya, gratis kok." Reza meyakinkan."Wah, terima kasih banyak, Pak. Lain kali, jangan repot-repot belikan makan siang buat saya." Handi menyatakan rasa terima kasih dan sungkannya secara bersamaan."Oh, ini bukan beli, tapi makan siang ini buatan istri saya, Han." Reza menyatakan dengan mimik wajah gusar.TO BE CONTINUED..Reza PovAku yang kebingungan bercampur panik mau tidak mau menyerahkan kotak bekal yang masih utuh kepada Handi. Aku tahu bahwa apa yang dilakukan diriku ini terbilang tidak menghargai usaha istri, tapi akan lebih tidak menyenangkan jika aku membawa kotak bekal yang masih utuh saat sudah tiba di rumah. Lebih parahnya, istriku mengetahui jelas jika aku tak menyantap masakannya hingga tandas. "Lho, kok engga Bapak sendiri yang makan? Memang masakan Bu Dina engga enak?" Handi menanggapi ujaranku dengan tatapan penasaran tertuju ke arahku. "Saya sudah makan tadi di restoran. Bukan engga enak, tapi saya lupa kalau ada bekal yang dia bawakan." Aku memperjelas alasan mengapa diriku meminta Handi untuk melahap makan siang yang seh6arusnya diperuntukkan untukku itu. Mendengar alasan yang terlontar, Handi pun mengangguk, seolah memahami maksud yang ada di pikiranku. Lalu, ia berujar, "Oh gitu. Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi terlebih dahulu."Dalam beberapa detik, pegawaiku yang berku
Sementara itu, di lain tempat, Dina sedang sibuk mengerjakan pesanan Custom Cake dari beberapa pelanggan setianya. Dengan mengenakan celemek berwarna cokelat muda, wanita bertubuh ramping dengan surai berwarna cokelat tua itu mengoleskan mentega putih pada adonan kue yang baru saja mendingin. Di saat mentega putih yang dioleskannya sudah hampir menutupi setengah dari adonan kue, ponselnya berdering. Secara perlahan, Dina menjeda kegiatannya, membersihkan kedua tangannya dengan serbet, dan mulai menjawab panggilan telepon yang masuk. "Iya, Mas Reza?" Dina menanggapi begitu mendengar suara bass milik suaminya yang sangat familiar. "Kamu nanti sore atau malam, ada acara engga?" Reza langsung bertanya guna memastikan jika jadwal istrinya kosong dan rencananya bisa berjalan dengan lancar, seperti yang diharapkannya. "Kayanya engga deh. Ada apa sih, Mas? Tumbenan kamu telepon menjelang sore begini." Dina masih merasa penasaran dengan maksud dari suaminya yang mendadak menelepon.
Dina Pov Aku memang terbiasa melakukan percakapan basa-basi dengan laki-laki yang resmi menyandang teman hidupku ini. Akan tetapi, selama dua tahun pernikahan bersama dengan Mas Reza, baru kali ini ku dapati informasi yang tak sesuai dengan fakta yang aku ketahui secara jelas. Memang tak seharusnya aku mempermasalahkan tentang dirinya yang tak begitu ingat dengan lauk pada kotak bekal yang aku sediakan untuknya. Namun, apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Reza membuat pikiranku yang semula tenang berubah menjadi penuh asumsi. Secara jelas, di pagi hari, sebelum melaksanakan santap pagi bersama, aku tak menyiapkan minyak dan wajan untuk menggoreng. Ayam, yang sehari sebelumnya sudah aku marinasi dengan campuran bumbu halus dan aneka rempah-rempah, justru dipanggang di atas pemanggangan. Selain itu, aku juga sempat membuatkan sambal kecap untuk melengkapi menu kesukaan suamiku itu. Namun, sepertinya, Mas Reza mulai tak memperhatikan detail apa yang aku lakukan untuknya. Hal y
Naffa Pov Di kala diriku baru saja bersenda gurau dan menyapa beberapa teman lamaku saat berada di bangku SMA, aku berpamitan pada mereka semua untuk menuntaskan buang air kecil di toilet yang lokasinya berdekatan dengan pintu menuju ruang outdoor dari restoran steak Tenderlova. Namun, saat diriku akan menuju toilet, perhatianku tersita pada sosok laki-laki yang kemarin malam mencumbu diriku dengan panas. Laki-laki dengan kemeja formal dan wajahnya yang terlihat bimbang itu memusatkan perhatian pada buku menu yang dipegangnya. Di kala itu, aku juga melihat keberadaan istrinya yang pernah aku lihat saat sedang mengantarkan makan siang beberapa waktu lalu. Sepintas, aku menelisik wajah wanita yang dinikahi oleh bosku itu memang menarik meski tak mengenakan riasan berlebih, seperti yang aku lakukan sehari-hari. Akan tetapi, hal itu tak membuat diriku merasa minder atau tak nyaman. Aku justru melangkah, menghampirinya, dan menyapa, "Pak Reza di sini juga ternyata. Wah, kebetula
Dina Pov "Mohon ditunggu pesanannya, Mas, Mbak," ucap waitress yang melayaniku dan Mas Reza dengan senyum ramah. Sebelum ia berlalu, ia menempelkan struk berisikan daftar menu yang sudah dipesan pada pojok kanan meja. Setelah pelayan muda itu berlalu, Mas Reza menyisir pandang ke sekitar. Mimik wajahnya yang tadinya terlihat tegang kini berubah lebih rileks. Tentu, hal itu sangat berbanding terbalik, terutama saat beberapa menit lalu sekretarisnya muncul dan menyapa diriku dan dirinya. Dari sana lah, beberapa asumsi kembali bermunculan di kepalaku tentang Mas Reza dan sekretarisnya di kantor. Pertama, jika memang mereka hanya bertindak sebagai partner kerja, semestinya tak ada masablah jika bertemu di luar kantor dan menyapa, selayaknya teman. Namun, reaksi yang ditunjukkan oleh suamiku itu lebih ke arah jika dirinya canggung dan panik. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mas Reza dariku? Kedua, apa mungkin Mas Reza merasa kurang nyaman dengan kehadiran sekretaris yan
Setibanya di rumah, Dina dan Reza segera menapaki tangga menuju kamar untuk berganti pakaian dan melepas penat. Perasaan dari antara pasangan suami-istri itu bertolak belakang meski sudah melangsungkan acara makan malam singkat. Reza yang sudah berganti pakaian dengan piyama berwarna biru muda terus menatap pada punggung sang istri yang kini sibuk mengenakan krim wajah sambil bercermin. Di dalam hati dan pikirannya, ada rasa bersalah sekaligus takut jika suatu saat istrinya itu mengetahui hubungan gelapnya bersama Naffa. Sedangkan, Dina yang terlihat lebih santai tak begitu memikirkan tentang rasa curiganya terhadap reaksi Naffa dan suaminya saat berada di restoran sekitar dua jam lalu. Ia justru menatap lurus pada pantulan dirinya di cermin dan berujar dalam hati, "Aku harus lebih bijak dalam menyikapi masalah apa pun yang terjadi, baik itu dalam hal bisnis, maupun keluarga." "Din." Reza memanggil istrinya di saat keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dina pun me
Reza Pov "Aku berangkat dulu ya, Din," ucapku sambil mendaratkan kecupan lembut pada kening istriku. "Hati-hati di jalan ya, Mas." Dina berpesan sambil melambaikan tangan kanannya padaku dengan senyum manis terurai pada bibir merahnya. "Oh iya. Nanti, kamu mau dibawain apa?" Aku yang belum beranjak pergi dari hadapannya menawarkan sesuatu hal yang mungkin saja diperlukan. Meski ini hanya inisiatifku yang impulsif, hal ini juga merupakan saran yang aku dapat dari Defan untuk berlaku manis dan romantis pada istri sahku. "Apa ya?" Dina menatap dengan kening berkerut dan mulai berpikir. "Mie jawa atau mungkin camilan manis?" Aku memberikan pilihan untuk mempermudah dirinya dalam memutuskan akan membeli makanan atau sekadar makanan kecil. "Kalau martabak telur aja gimana?" Dina mulai memutuskan pilihannya dengan binar yang terpancar dari kedua mata bulatnya yang indah. "Wah, boleh banget. Itu kesukaan, Mas." Aku menjentikkan ibu jari dan jari telunjukku secara bersamaan
Ketika waktu menunjukkan pukul 17.05, seluruh karyawan dari perusahaan milik Reza mulai berhamburan, melangkah keluar dari gedung kantor yang memiliki lima belas lantai itu. Hal serupa juga dilakukan oleh Reza dan Naffa setelah beberapa menit merapikan ruang kerja masing-masing. "TING!" Saat pintu elevator mulai terbuka, dua insan tanpa status sah itu bergandengan mesra layaknya sepasang mahasiswa yang baru saja berbaikan setelah bertengkar akibat sesuatu hal yang sepele. "Rez, sebelum kita ke apartemenku, kita belanja bahan-bahan makanan dulu ya. Aku pengen masak buat kamu," pinta Naffa dengan senyum cerah yang menghiasi bibir indahnya. "Oke, sayangku. Padahal, kamu engga perlu repot-repot masak buat aku," tandas Reza sambil mengecup punggung tangan Naffa mesra. Ia juga berusaha mengimbangi langkahnya dengan wanita bertubuh mungil yang berdiri di sisi kanannya. "Yah, aku merasa udah lama aja, engga masak buat kamu. Aku 'kan harus membiasakan diri buat berlaku layaknya ist
Dua tahun kemudian, tepatnya di bulan Februari 2026, Reza bersama dengan Naffa dan juga Armand sedang berakhir pekan di salah satu restoran di Malang yang cukup terkenal. Sembari duduk di meja VIP, Armand dengan tubuh mungilnya duduk seraya tersenyum senang saat melihat makanan penutup yang dipesan oleh sang mama datang. "Senang ya? es krimnya banyak," ucap Reza sambil mencolek hidung mungil milik putranya itu. Armand yang ditanya seperti itu oleh sang papa hanya bergumam dan menorehkan senyum riang. Di saat yang sama, Naffa berujar, "Dikasih dikit aja, Rez. Dia tadi 'kan udah minum susu. Takutnya kekenyangan." "Iya, engga apa-apa, Naf. Yang penting, Armand coba," ucap Reza dengan senyum lembut sembari mengusap punggung tangan Naffa perlahan. Lalu, sesuai dengan yang sudah dikatakannya, Naffa mengambil sendok kecil khusus bayi dan mulai menyendok sedikit es krim dengan rasa vanilla, serta menyuapkannya pada Armand. "Gimana? enak?" Reza mengusap lembut kepala Armand semba
Beberapa bulan kemudian, Reza masih disibukkan dengan pekerjaan dan kegiatan merawat Naffa yang masih koma serta Armand yang masih kecil. Meski Sus Hani mendampingi putranya di kala ia masih berada di kantor atau di luar rumah, Reza sebagai seorang papa tak dapat tinggal diam dan langsung bersantai saat ia baru saja pulang dari kantor. Saat ia telah selesai membersihkan diri, ia harus bergantian dengan Sus Hani untuk menemani Armand minum susu dan bermain. Bahkan, di kala makanan khusus bayi telah selesai dikelola oleh baby sitter berpengalaman itu, ia harus menyuapi Armand dengan hati-hati dan tak terburu-buru. Di tengah kegiatan menyuapi putranya itu, ponselnya bergetar. Sejenak, ia menjeda aktifitas tersebut dan menjawab
Akibat merasa iri pada nasib sang mantan istri, Reza pun memutuskan untuk menginap di apartemen milik Marni. Meski ia tahu bahwa putranya masih berada di rumah kedua orang tuanya, ia tak begitu mempermasalahkannya. Memang ia mengkhawatirkan kondisi Naffa dan putranya, namun untuk malam itu, ia tak dapat membiarkan egonya sebagai laki-laki terluka begitu saja. Dengan nafsu yang membara dalam dirinya, ia melampiaskan rasa kesalnya itu dengan bercumbu dan bercinta dengan Marni, untuk kesekian kalinya. Setelah pergumulan terlarang itu usai, Reza yang seharusnya memadu kasih di sisi Marni malah mengenakan pakaiannya kembali dengan air muka datar. Marni yang masih mengenakan selimut pun bertanya dengan air muka keheranan, "Mas, bukannya mas mau tidur di sini?" "Sebentar aja, Mar. Aku engga bisa lama-lama. Naffa lagi koma di rumah sakit. Maaf ya," jelas Reza yang baru saja mengenakan celana kain dan sabuk secara berurutan. Di saat yang sama, Marni merasa tak dihargai oleh bos seka
Di situasi lain, yang lebih membahagiakan, Dina dan Khandra sedang berada di Bandara Internasional Juanda. Dengan tiga travel bag yang mereka bawa, mereka sedang mengantri untuk check-in tiket pesawat, jurusan Surabaya-Thailand. "Selanjutnya," ucap pramugari yang mengurus bagian check-in di counter dengan senyum ramah tersemat. Khandra dan Dina pun menghampiri counter dan mulai menunjukkan bukti pemesanan tiket pesawat pada pramugari yang bertugas. Lalu, beberapa menit kemudian pramugari tersebut meminta Khandra dan Dina untuk menaikkan koper yang ingin diletakkan pada bagasi yang tersedia. "Ini boarding passnya. Bisa ditunggu di pintu keberangkatan yang tertera ya," ucap
Halimah pov Seakan disambar petir di malam hari, aku yang mendengar informasi dari dokter pun menitikkan air mata. Aku selaku ibu kandung dari Naffa merasa terpukul dan tak terima. Penyebab utama yang paling jelas terlihat saat ini adalah menantuku sendiri, Reza. Begitu dokter yang mengoperasi putriku berlalu, aku dengan emosi yang memuncak di kepala mendorong Reza pelan dan menegur, "Puas kamu sekarang, hah?! Reza pun terdiam dan tak berani beradu pandang denganku. Lalu, aku kembali bersuara dengan air mata berlinang, "Gara-gara kamu, anak saya engga sadarkan diri! Puas?! Memang kamu, laki-laki yang engga tahu diuntung!!" Bersama dengan ucapanku yanf mengiris hati itu, aku pun hendak melayangkan tamparan berikut pada wajahnya karena merasa geram. Namun, sebelum telapak tanganku mendarat tepat di wajah Reza, suamiku menahan dan berujar, "Bu, udah. Jangan bertengkar di sini. Malu karena didengar orang-orang." Aku yang kembali mendengar peringatan itu menepis pegangan tangan
Sementara itu, di rumah Reza, Naffa yang tengah sibuk memotong-motong sayuran mendadak merasakan sakit pada bagian pinggang. "Awh," erangnya sembari memejamkan kedua mata dan memegangi pinggang bagian belakang. Di beberapa menit awal, rasa sakit itu masih bisa ditahan oleh Naffa. Namun, di sekian menit berikutnya, rasa sakit itu menajam dan tak lagi bisa ditahannya. Hal tersebut membuatnya sedikit panik dan menjeda kegiatannya seraya duduk di kursi. "Sshh, sepertinya, a-aku harus.." Naffa yang hendak menghubungi Reza mengalihkan pandangan pada sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini.
Marni pov Sekitar pukul 18.40, aku dan Mas Reza tiba di unit apartement yang aku tempati. Saat pintu telah selesai dibuka, aku dan Mas Reza masuk ke dalam dan memutuskan untuk duduk di sofa, bersampingan. "Mar." Mas Reza memanggil seraya menatapku dari samping. "Hmm?" Aku berdeham tanpa menatap wajah Mas Reza secara langsung. "Kalau Mas punya perasaan sama kamu, kamu gimana?" Mas Reza mendadak melemparkan pertanyaan yang membuatku melebarkan kedua mata.
Sementara itu, Reza yang baru saja selesai menerima surat dan contoh bahan produksi, tak sengaja berpapasan dengan Marni yang sedang mengobrol dengan beberapa office boy lain di dekat tempat peralatan kebersihan. Melihat Marni bersenda-gurau dan tertawa lepas dengan teman-teman satu pekerjaannya, Reza mengerutkan kening dengan sorot mata heran. Menurutnya, ia tak pernah membayangkan jika mantan ARTnya itu adalah tipikal gadis yang senang bergaul, mengingat Marni lebih sering ada di rumah dan tak begitu membaur dengan ART lain yang tinggal bersama tetangga sebelah. "Jadi, ini sifat aslinya si Marni? Kelihatannya pendiam, aslinya social butterfly, dan entah kenapa aku merasa dia agak genit ke cowok lain. Lebih engga masuk akal lagi, aku yang sudah beristri, merasa terganggu kalo lihat dia
Dua hari, setelah resmi menyandang status suami-istri, Dina dan Khandra menjalani aktifitas masing-masing, sesuai dengan peran yang digeluti. Namun, sebelumnya, mereka menikmati sarapan pagi yang dimasak oleh Dina dan salah satu ART di rumah baru Khandra, Bi Jah. "Nanti siang, kamu ada acara, Din?" tanya Khandra sembari menambahkan lauk di atas piringnya. "Engga kayanya. Belakangan toko agak sepi, Khan." Dina menanggapi sambil memotong daging di piringnya perlahan. "Aku jemput ya kalo gitu." Khandra menyatakan niatnya meski belum menyebutkan tujuan secara jelas.