Catelyn turun dari taksi dengan tergesa-gesa, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang menggelayuti sejak meninggalkan kantor Nielson tadi.
Hari ini bukan hari yang baik, ia mendapatkan patah hati yang amat buruk, namun ia tak pernah menduga hal buruk lain tengah menunggunya.
Dengan langkah cepat, ia memasuki gedung apartemen, berharap ruangan kecilnya bisa memberikan sedikit ketenangan dari dunia luar yang semakin menyempitkan napasnya.
Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat isi apartemennya berantakan.
Pakaian-pakaian yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berserakan di lantai. Beberapa pigura foto kecil bergeletakan di sudut ruang, pecahannya berserakan di karpet.
“Apa yang terjadi di sini?” gumamnya dengan napas tercekat.
Suaranya terputus ketika ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah menghempas sekotak barang keluar dari kamar tidur.
“Nyonya Stokes?” Catelyn melangkah maju dengan kebingungan. Nyonya Stokes adalah ibu Nielson, lelaki yang baru saja menjadi mantannya.
Wajah bingung Catelyn tercetak nyata, bagaimana ibu mantannya itu bisa berada di kota Denver ini?
Wanita yang dipanggil Catelyn itu menoleh, dengan mata menyipit penuh kebencian. “Kau! Apa yang kau lakukan di sini?”
Kening Catelyn berkerut. “Ini apartemenku. Apa yang Anda lakukan? Kenapa barang-barangku berserakan?”
Nyonya Stokes tertawa sinis. “Apartemenmu? Jangan bermimpi, Catelyn. Nielson sudah memutuskanmu, dan aku takkan membiarkanmu terus menempel padanya seperti lintah!”
Catelyn berdiri terpaku, terkejut oleh kata-kata wanita itu. “Dari mana Anda mendengar itu, Nyonya Stokes? Nielson dan aku baik-baik saja. Hanya ada kesalahpahaman antara kami dan―”
“Apa kau pikir aku bodoh?! Aku tahu Nielson sudah memutuskanmu! Lagipula untuk apa dia bertahan denganmu, sementara ada gadis yang jauh lebih baik untuknya?”
Catelyn membeku. Hatinya terasa perih kembali.
‘Secepat itu Nielson memberitahukan ibunya tentang mereka. Bahkan membuat ibunya datang dari kota Basalt ke ibukota Colorado ini hanya untuk mengusirnya? Apakah Nielson benar-benar serius mengakhiri hubungan ini?’
“Tunggu apalagi! Pergilah dan bawa barang-barangmu keluar!”
Bagai disiram air, Catelyn kembali tersadar.
Dengan suara menahan amarah, ia berkata, “Sekalipun kami putus, tapi ini tidak ada hubungannya dengan apartemen ini. Aku yang membayar sewanya.”
“Kau? Membayar sewa?” Nyonya Stokes menutup mulutnya seakan menahan tawa. “Sudahlah, Catelyn. Kau hanya bermimpi. Nielson-lah yang membayar semua ini. Bagaimana mungkin kau mampu membayar apartemen di downtown Denver ini? Kau sebelumnya bahkan hanya bekerja serabutan.”
Wajah Catelyn memerah karena emosi. “Anda yang bermimpi. Akulah yang membayar uang muka dan sewanya selama ini. Tanyakan pada Nielson kalau Anda tidak percaya!”
“Oh, aku sudah bicara dengan Nielson, Sayang. Dan dia yang memintaku datang ke sini untuk memastikan kau keluar dari hidupnya. Dia akan segera bertunangan dengan gadis dari keluarga kaya. Jadi kemasi barang-barangmu dan pergi!”
Darah Catelyn mendidih. Tidak percaya, ia merogoh ponselnya dan menelepon Nielson. Butuh beberapa saat sebelum panggilan itu dijawab.
‘Ada apa?’ Suara pria di seberang terdengar dingin.
“Nielson, apa-apaan ini? Kenapa ibumu ada di apartemenku dan membuang barang-barangku?”
Hening sesaat sebelum suara Nielson terdengar lagi. ‘Catelyn, aku pikir aku sudah cukup jelas saat terakhir kita bicara. Aku tidak mau ada lagi urusan apa pun denganmu. Lagipula, apartemen itu adalah milikku. Kau seharusnya sudah pergi sejak kemarin.’
“Apa maksudmu?” Suara Catelyn bergetar. “Aku yang membayar sewa apartemen ini! Uang mukanya juga dari tabunganku!”
‘Itu memang benar, tapi perjanjian sewanya atas namaku. Kau sendiri tahu, jika pengajuan atas namamu, mereka akan menolaknya. Karena kau hanya pengangguran. Jadi, ya, secara hukum ini adalah apartemenku.’
Kata-kata itu seperti tamparan di wajahnya. Catelyn terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia menggenggam ponsel erat-erat, mencoba menahan air mata yang mengancam tumpah.
“Kau tahu dengan jelas, mengapa aku berhenti bekerja. Kau yang memintaku. Kau juga bilang, saat kau bekerja di ADG, kau akan membahagiakanku dan menanggung semuanya!”
Terdengar dengkus jengkel dari lawan bicara Catelyn. ‘Sekalipun kau tidak berhenti bekerja, apa kau pikir pengajuan sewa dari gadis pelayan toko atau kurir sepertimu akan dikabulkan mereka? Jangan mimpi!’
“Nielson―”
‘Aku ingin kau pergi dari sana. Jangan buat semuanya lebih sulit, Catelyn.’
“Itu tabunganku! Nielson... aku tidak percaya kau akan setega ini. Setelah semua yang kulakukan untukmu―”
‘Sadarlah Catelyn. Mulai saat ini kau perlu menyadari diri sendiri. Ini sudah keputusan yang terbaik untuk kita berdua. Sekarang pergilah dan jangan membuat keributan.’
Klik. Sambungan telepon terputus.
Catelyn berdiri termangu, ponsel di tangannya terasa berat. Ia merasa seperti orang bodoh, seperti boneka yang dipermainkan.
Sementara itu, Nyonya Stokes mendekat dengan senyum kemenangan di wajahnya.
“Kau dengar sendiri, kan? Aku sudah bilang. Sekarang, cepatlah kemasi barang-barangmu. Jangan membuatku harus memanggil keamanan.”
Catelyn memandang wanita itu dengan tatapan penuh luka dan kemarahan.
Ingin rasanya ia melawan, membalas perlakuan keji itu. Namun ia tahu, ia tak punya kekuatan apa pun. Saat ini.
Dengan berat hati, ia mulai mengemas barang-barang miliknya yang tersisa.
Setiap barang yang dimasukkan ke dalam koper terasa seperti memotong sedikit demi sedikit harga dirinya. Ia segera menyusut airmata yang sempat menetes, ia tidak mau memberikan kepuasan kepada Nyonya Stokes.
Ketika akhirnya koper tertutup, Catelyn menarik napas panjang.
Ia menatap apartemen itu untuk terakhir kalinya. Tempat yang selama ini ia anggap rumah, kini menjadi tempat yang paling asing dan penuh luka.
“Aku sudah selesai,” katanya dengan suara pelan namun tegas.
“Bagus,” jawab Nyonya Stokes. “Kau hanya perlu menemukan tempat yang lebih sesuai dengan statusmu.”
Catelyn tidak menanggapi.
Ia berjalan keluar dengan kepala tegak, membawa semua barang miliknya di kedua tangannya.
Sementara itu di luar.
Sebuah Rolls-Royce Phantom—mobil yang hanya dimiliki segelintir miliarder Amerika—berhenti tepat di belakang taksi yang tampaknya sejak tadi berdiam di tepi jalan tepat di seberang apartemen.
Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.Sang sopi
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Catelyn terkejut. "Apa?!"Nielson sungguh-sungguh tega padanya!Petugas keamanan lalu menatap Catelyn dengan curiga. "Benarkah begitu, Nona?"Catelyn tahu, ia dalam masalah besar jika benar-benar ketahuan dirinya menyelinap masuk ke acara ini.Tanpa berpikir panjang, ia spontan berbalik dan melarikan diri."Nona, berhenti!" seru petugas keamanan.Namun Catelyn sudah lebih dulu menerobos kerumunan, berlari keluar dari ballroom dengan napas memburu.Ia tidak bisa tertangkap.Tidak malam ini.Catelyn terus berlari serampangan, tidak tahu ke mana arah tujuannya.Jantungnya berdentum kencang, napasnya tersengal-sengal. Sekilas, ia menoleh ke belakang—lebih dari satu petugas keamanan kini mengejarnya.Tidak. Ia tidak boleh tertangkap. Jika itu terjadi, hidupnya akan semakin hancur.Ia tahu, ia akan berakhir di penjara jika sampai mereka berhasil menangkap dirinya. Hidupnya sudah buruk saat ini, ia tidak bisa menambahkan hal lain dalam daftar.Di sepanjang koridor, Catelyn menerobos lorong
Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."“Meminta…apa?”Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.Diam-diam Nielson menghela napas lega."Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.Catelyn masih tertegun.Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa d
Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."“Meminta…apa?”Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.Diam-diam Nielson menghela napas lega."Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang
Catelyn terkejut. "Apa?!"Nielson sungguh-sungguh tega padanya!Petugas keamanan lalu menatap Catelyn dengan curiga. "Benarkah begitu, Nona?"Catelyn tahu, ia dalam masalah besar jika benar-benar ketahuan dirinya menyelinap masuk ke acara ini.Tanpa berpikir panjang, ia spontan berbalik dan melarikan diri."Nona, berhenti!" seru petugas keamanan.Namun Catelyn sudah lebih dulu menerobos kerumunan, berlari keluar dari ballroom dengan napas memburu.Ia tidak bisa tertangkap.Tidak malam ini.Catelyn terus berlari serampangan, tidak tahu ke mana arah tujuannya.Jantungnya berdentum kencang, napasnya tersengal-sengal. Sekilas, ia menoleh ke belakang—lebih dari satu petugas keamanan kini mengejarnya.Tidak. Ia tidak boleh tertangkap. Jika itu terjadi, hidupnya akan semakin hancur.Ia tahu, ia akan berakhir di penjara jika sampai mereka berhasil menangkap dirinya. Hidupnya sudah buruk saat ini, ia tidak bisa menambahkan hal lain dalam daftar.Di sepanjang koridor, Catelyn menerobos lorong
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.Sang sopi
Catelyn turun dari taksi dengan tergesa-gesa, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang menggelayuti sejak meninggalkan kantor Nielson tadi.Hari ini bukan hari yang baik, ia mendapatkan patah hati yang amat buruk, namun ia tak pernah menduga hal buruk lain tengah menunggunya.Dengan langkah cepat, ia memasuki gedung apartemen, berharap ruangan kecilnya bisa memberikan sedikit ketenangan dari dunia luar yang semakin menyempitkan napasnya.Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat isi apartemennya berantakan.Pakaian-pakaian yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berserakan di lantai. Beberapa pigura foto kecil bergeletakan di sudut ruang, pecahannya berserakan di karpet.“Apa yang terjadi di sini?” gumamnya dengan napas tercekat.Suaranya terputus ketika ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah menghempas sekotak barang keluar dari kamar tidur.“Nyonya Stokes?” Catelyn melangkah maju dengan kebingungan. Nyonya Stokes ada
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.Catelyn masih tertegun.Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa d