Catelyn terkejut. "Apa?!"
Nielson sungguh-sungguh tega padanya!
Petugas keamanan lalu menatap Catelyn dengan curiga. "Benarkah begitu, Nona?"
Catelyn tahu, ia dalam masalah besar jika benar-benar ketahuan dirinya menyelinap masuk ke acara ini.
Tanpa berpikir panjang, ia spontan berbalik dan melarikan diri.
"Nona, berhenti!" seru petugas keamanan.
Namun Catelyn sudah lebih dulu menerobos kerumunan, berlari keluar dari ballroom dengan napas memburu.
Ia tidak bisa tertangkap.
Tidak malam ini.
Catelyn terus berlari serampangan, tidak tahu ke mana arah tujuannya.
Jantungnya berdentum kencang, napasnya tersengal-sengal. Sekilas, ia menoleh ke belakang—lebih dari satu petugas keamanan kini mengejarnya.
Tidak. Ia tidak boleh tertangkap. Jika itu terjadi, hidupnya akan semakin hancur.
Ia tahu, ia akan berakhir di penjara jika sampai mereka berhasil menangkap dirinya. Hidupnya sudah buruk saat ini, ia tidak bisa menambahkan hal lain dalam daftar.
Di sepanjang koridor, Catelyn menerobos lorong hotel yang panjang, air mata menggenang di pelupuk matanya.
Dalam kepanikan itu, ingatan tentang masa lalu di Basalt melintas di benaknya.
Di kota kecil itu, hidupnya sederhana, tapi penuh kehangatan. Ia memiliki kakak-kakak yang menyayanginya, melindunginya sejak kecil setelah orang tua mereka meninggal saat ia berusia sembilan tahun.
Kehidupan saat itu begitu membuat dirinya bahagia dengan hubungan yang hangat di dalam keluarga.
Selalu seperti itu, sampai ia menerima pernyataan cinta Nielson Stokes saat mereka di masa menengah atas.
Catelyn ingat, bagaimana kemudian dirinya kerap berdebat bahkan bertengkar dengan kakak-kakaknya karena mereka tidak menyukai Nielson.
Catelyn yang lugu.
Catelyn yang teramat naif.
Catelyn yang bodoh, yang ternyata hanya dimanfaatkan oleh Nielson Stokes dan keluarganya.
"Kakak… maafkan aku," gumamnya lirih di tengah napasnya yang memburu. "Lain kali, aku akan benar-benar mendengarkan nasihat kalian. Maafkan aku…"
Ia terus berlari, mencari tempat bersembunyi.
Catelyn terus berlari, mencari celah, hingga matanya menangkap satu pintu kamar hotel di sisi kiri yang sedikit terbuka.
Tanpa berpikir panjang, ia mempercepat lari dan menerjang masuk.
Brak!
Ia mendorong sosok yang membuka pintu itu ke dalam kamar, lalu buru-buru menutup pintu di belakangnya dengan napas terengah-engah.
Namun, ia sama sekali tidak menyadari satu hal—tubuhnya kini menempel erat pada pria yang barusan ia terjang.
Ia baru menyadari sesuatu yang aneh ketika ia mendengar suara rendah yang begitu dekat, "Nona―"
Namun Catelyn tidak memberi pria itu kesempatan berbicara lebih jauh.
Dengan panik, ia langsung mengulurkan satu tangannya, menutup mulut pria itu kuat-kuat tanpa menoleh ke arahnya.
"Sst! Diam!" bisiknya setengah membentak.
Di luar, suara langkah-langkah kaki terdengar semakin dekat.
"Ke mana perempuan itu?!"
"Cari terus! Jangan sampai lolos!"
Catelyn menahan napas, tubuhnya semakin merapat pada pria di depannya, menekan sosok itu ke dinding di belakangnya.
Kepalanya miring, menghadap ke pintu, dengan telinga menempel di dada sosok itu.
Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri—atau mungkin detak jantung pria itu?
Masa bodoh dengan itu.
Ia hanya tidak boleh tertangkap oleh para petugas keamanan yang mengejarnya ini!
Saat akhirnya suara-suara di luar terdengar semakin menjauh, Catelyn menghela napas panjang. Tubuhnya yang tegang mulai sedikit rileks.
Lalu ia tersadar—tangannya masih menutup mulut seseorang, dengan tubuh yang menekan dan kepala yang bersandar di dada seseorang.
Refleks Catelyn menjauhkan kepala—dan langsung membeku di tempat.
Salivanya tertahan, menyangkut di kerongkongan saat manik hazel miliknya berhenti di dada bidang seseorang di hadapannya.
Dada itu begitu dekat, masih menempel pada tubuhnya sendiri. Kemejanya terbuka di bagian atas, memperlihatkan kulitnya yang kencang dan hangat dengan otot-otot yang terukir sempurna.
Lekukan dadanya terlihat begitu jelas, dengan garis otot yang tegas namun tidak berlebihan—sebuah perpaduan sempurna antara kekuatan dan keanggunan.
Catelyn menelan ludah, matanya terarah tanpa sadar pada otot perut pria itu yang samar terlihat dari balik kemeja yang sedikit terbuka.
Dada pria itu naik-turun dengan ritme yang teratur, begitu kontras dengan napasnya sendiri yang tersengal karena panik.
Ia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu menembus kain pakaiannya, seolah menciptakan medan magnet yang tak kasat mata.
Matanya perlahan bergerak ke atas, menelusuri leher jenjang pria itu yang dihiasi garis rahang kuat, hingga akhirnya bertemu dengan sepasang iris biru paling mempesona yang pernah ia lihat.
Mata itu tajam, tapi tidak dingin—justru ada sesuatu yang terasa begitu intens, seolah menghipnotisnya dalam sekejap.
Lagi-lagi Catelyn merasa napasnya tersangkut.
Benaknya saat ini dipenuhi satu hal―pria di hadapannya begitu tampan dan memikat, dengan tubuh yang sempurna, hingga ia merasa seolah-olah seluruh udara di paru-parunya menguap begitu saja.
Pria itu menatapnya dengan senyum tipis yang samar dan berkata, "Sudah puas melihat-lihatnya?”
Suaranya rendah dan penuh daya tarik saat ia berbisik lagi dengan nada yang begitu sensual.
“Kau membuatku tak bisa bernapas, Nona…"
Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."“Meminta…apa?”Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.Diam-diam Nielson menghela napas lega."Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.Catelyn masih tertegun.Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa d
Catelyn turun dari taksi dengan tergesa-gesa, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang menggelayuti sejak meninggalkan kantor Nielson tadi.Hari ini bukan hari yang baik, ia mendapatkan patah hati yang amat buruk, namun ia tak pernah menduga hal buruk lain tengah menunggunya.Dengan langkah cepat, ia memasuki gedung apartemen, berharap ruangan kecilnya bisa memberikan sedikit ketenangan dari dunia luar yang semakin menyempitkan napasnya.Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat isi apartemennya berantakan.Pakaian-pakaian yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berserakan di lantai. Beberapa pigura foto kecil bergeletakan di sudut ruang, pecahannya berserakan di karpet.“Apa yang terjadi di sini?” gumamnya dengan napas tercekat.Suaranya terputus ketika ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah menghempas sekotak barang keluar dari kamar tidur.“Nyonya Stokes?” Catelyn melangkah maju dengan kebingungan. Nyonya Stokes ada
Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.Sang sopi
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."“Meminta…apa?”Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.Diam-diam Nielson menghela napas lega."Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang
Catelyn terkejut. "Apa?!"Nielson sungguh-sungguh tega padanya!Petugas keamanan lalu menatap Catelyn dengan curiga. "Benarkah begitu, Nona?"Catelyn tahu, ia dalam masalah besar jika benar-benar ketahuan dirinya menyelinap masuk ke acara ini.Tanpa berpikir panjang, ia spontan berbalik dan melarikan diri."Nona, berhenti!" seru petugas keamanan.Namun Catelyn sudah lebih dulu menerobos kerumunan, berlari keluar dari ballroom dengan napas memburu.Ia tidak bisa tertangkap.Tidak malam ini.Catelyn terus berlari serampangan, tidak tahu ke mana arah tujuannya.Jantungnya berdentum kencang, napasnya tersengal-sengal. Sekilas, ia menoleh ke belakang—lebih dari satu petugas keamanan kini mengejarnya.Tidak. Ia tidak boleh tertangkap. Jika itu terjadi, hidupnya akan semakin hancur.Ia tahu, ia akan berakhir di penjara jika sampai mereka berhasil menangkap dirinya. Hidupnya sudah buruk saat ini, ia tidak bisa menambahkan hal lain dalam daftar.Di sepanjang koridor, Catelyn menerobos lorong
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.Sang sopi
Catelyn turun dari taksi dengan tergesa-gesa, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang menggelayuti sejak meninggalkan kantor Nielson tadi.Hari ini bukan hari yang baik, ia mendapatkan patah hati yang amat buruk, namun ia tak pernah menduga hal buruk lain tengah menunggunya.Dengan langkah cepat, ia memasuki gedung apartemen, berharap ruangan kecilnya bisa memberikan sedikit ketenangan dari dunia luar yang semakin menyempitkan napasnya.Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat isi apartemennya berantakan.Pakaian-pakaian yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berserakan di lantai. Beberapa pigura foto kecil bergeletakan di sudut ruang, pecahannya berserakan di karpet.“Apa yang terjadi di sini?” gumamnya dengan napas tercekat.Suaranya terputus ketika ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah menghempas sekotak barang keluar dari kamar tidur.“Nyonya Stokes?” Catelyn melangkah maju dengan kebingungan. Nyonya Stokes ada
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.Catelyn masih tertegun.Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa d