Hello Dear ReeFellows! Apa kabar kalian? Semoga selalu bahagia ya... ^,^
The Gilded Lounge tampak lebih ramai dari biasanya malam ini. Cahaya lampu temaram berpadu dengan alunan musik yang mengalir ceria di antara percakapan riuh pelanggan.Aroma alkohol bercampur dengan wangi parfum mahal memenuhi udara, menciptakan suasana yang khas dari bar yang cukup terkenal ini.Catelyn bergerak cepat di antara meja-meja, membawa nampan berisi minuman dengan langkah luwes.Beberapa pelanggan genit mencoba menarik perhatiannya seperti biasa, tapi ia sudah terbiasa. Selama mereka tidak kelewatan, Catelyn tetap bisa menghadapi mereka dengan senyum tipis profesional.Di belakang meja bar, Levin, bartender yang sudah cukup lama bekerja di sana, menyodorkan beberapa minuman padanya.“Sibuk sekali, bukan?” ujarnya mengerling pada Catelyn.“Yeah.”“Aku sudah menyimpan satu botol Chardonnay―Rombauer, seperti pesananmu tadi.”Catelyn melirik sekilas pada Levin, “Thanks. Mungkin agak larut aku mengambilnya.”“Ada seseorang yang istimewa?” Levin mengerling lagi.“Bukan,” sela Ca
Ethan. Pria itu berdiri di sampingnya, ekspresinya datar, tapi cengkraman di pergelangan tangan Nielson begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ruangan seakan membeku seketika. Ethan menatap Nielson seperti sedang menilai sesuatu yang tidak berharga. "Kalau kau masih punya sedikit otak, duduklah sebelum aku benar-benar mengajarkanmu sopan santun." Suasana di sekitar meja di lantai atas yang semula riuh mendadak hening. Mata Nielson membulat, napasnya tercekat saat ia mendongak dan melihat siapa yang menghentikannya. Tatapan pria itu dingin dan tajam, sorot matanya seperti pisau yang bisa menguliti seseorang hanya dengan pandangan. Rahangnya tegas, ekspresinya tidak menunjukkan amarah berlebihan, tapi ada sesuatu dalam caranya berdiri yang membuat Nielson merinding tanpa sadar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nielson merasa benar-benar kecil. Aura Ethan begitu kuat, seolah hanya dengan berdiri di sana, ia bisa membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum bertindak bo
Catelyn tersenyum kecil, menunduk sopan pada pria di depannya. “Terima kasih, Tuan Everett. Saya benar-benar menghargai kesempatan ini.” “Sebutan ‘Tuan’ membuatku terdengar tua, cukup panggil aku Brian,” jawab pria itu santai, senyumnya ramah. Brian Everett, pemilik Everett’s Delight, sebuah toko cake kecil namun cukup terkenal di pusat kota. Usianya baru sekitar awal 30-an, dengan rambut cokelat gelap sedikit berantakan dan sepasang mata yang juga cokelat yang selalu tampak hangat. Itu di hari berikutnya. Catelyn masih tak percaya betapa beruntungnya dirinya hari ini. Ia tak sengaja menemukan lowongan pekerjaan ini saat sedang berjalan kaki melintasi jalan utama pusat kota. Ia melihat seorang pegawai toko cake bergegas keluar sambil berbicara di telepon, suaranya terdengar panik, “Brian, maaf! Aku baru dapat kabar, adikku kecelakaan. Aku harus pulang ke kampung halaman sekarang juga.” Brian—yang saat itu tengah mengantarkan pesanan ke seorang pelanggan—langsung berbalik dengan ek
Ruangan itu tampak berantakan.Laci-laci terbuka, beberapa dokumen berserakan di lantai.Beberapa lembar kertas yang diremas, menggelinding hingga ke sudut ruangan, bercampur dengan buku-buku yang dikeluarkan secara asal.Nielson membongkar setiap sudut kamar bekas Catelyn tempati, membuka lemari dengan kasar, menarik laci meja hingga hampir terlepas dari relnya.Namun ia tak menemukan yang ia cari.Dengan napas sedikit memburu, ia duduk di tepi ranjang dan mengacak rambutnya dengan frustrasi. Matanya menatap kosong ke lantai, mencoba mengingat dimana Catelyn bisa saja menyimpan konsep yang pernah ia dengar itu.Saat itu, teleponnya berdering.Nielson hendak menggerutu, siap memaki siapa pun yang mengganggunya di saat seperti ini. Namun saat melihat nama yang tertera di layar, ekspresinya berubah.Molly.Sekejap, kekesalan di wajahnya lenyap. Dengan cepat, ia menarik napas, mengubah nada suaranya menjadi lebih ramah sebelum mengangkat panggilan itu.“Hey, babe,” sapanya dengan nada le
Sinar matahari sore mulai meredup di atas lokasi proyek Glendale, tetapi suara mesin bor dan alat berat masih menggema di udara.Di antara debu dan suara pekerja yang berlalu lalang, seorang pria berdiri tegap mengawasi area konstruksi.Ethan berpakaian rapi meski tetap sesuai untuk lapangan—kemeja putih dengan lengan yang sedikit digulung, rompi keselamatan berwarna navy, serta celana panjang hitam yang dipadukan dengan sepatu boots proyek.Posturnya tegap, ekspresi wajahnya serius, memperlihatkan kewibawaannya sebagai CEO yang terbiasa dengan lingkungan kerja keras.Di hadapannya, seorang pria dengan helm proyek dan map di tangan—pimpinan proyek di lokasi itu—sedang berbicara dengannya.“Bagaimana progres di sektor timur?” Ethan bertanya, tatapannya lurus.Pimpinan proyek membuka map, menunjuk beberapa angka pada laporan. “Kami sudah menyelesaikan 75% dari tahap fondasi. Jika tidak ada kendala, tahap pemasangan struktur baja bisa dimulai pekan depan.”Ethan mengangguk ringan. “Pasti
Aroma roti yang baru dipanggang memenuhi udara di Everett’s Bakery, toko kecil yang selalu ramai dengan pelanggan setia.Catelyn berdiri di belakang meja kasir, sibuk melayani pembeli bersama Brian Everett, pemilik toko sekaligus bosnya.“Terima kasih, Nyonya Brooks. Semoga rotinya cocok dengan selera Anda!” ujar Catelyn sambil tersenyum, menyerahkan sekantong croissant kepada pelanggan setia mereka.Wanita tua itu mengangguk dengan ramah. “Seperti biasa, Catelyn. Kau selalu merekomendasikan yang terbaik.”Catelyn tertawa kecil. “Saya hanya ingin memastikan pelanggan mendapatkan yang terbaik.”Di tengah kesibukannya, ponsel Catelyn tiba-tiba berdering di saku apron-nya. Ia melirik layar sekilas dan langsung mengabaikannya. Namun, dering itu terus berlanjut, membuatnya semakin jengah.Brian, yang tengah mengemas beberapa kue untuk pelanggan lain, meliriknya sekilas. “Catelyn, kalau itu penting, angkat saja. Aku bisa menangani kasir sebentar.”Catelyn menghela napas. “Sepertinya tidak p
Pertemuan telah usai.Di dalam ruang meeting yang elegan dengan panel kayu mahoni dan bendera kota Denver berdiri tegak di sudut ruangan, Ethan berdiri tegap, menjabat tangan Walikota Denver dengan sikap percaya diri yang alami."Terima kasih atas waktunya, Tuan Wayne," ujar Walikota dengan ramah.Ethan membalas jabatan tangan itu dengan anggukan kecil. "Kehormatan bagi saya bisa bekerja sama dengan pemerintah kota dalam proyek ini."Walikota tersenyum, matanya sedikit menyipit seolah menilai pria muda di hadapannya.Meski ia adalah pemegang otoritas tertinggi di kota Denver, ada sedikit ketundukan dalam caranya berbicara.Ethan bukan hanya seorang pebisnis muda yang berbakat, tapi juga berasal dari keluarga Wayne—nama yang begitu berpengaruh dalam dunia bisnis dan politik Amerika."Sayang sekali Anda tak berlama-lama di sini," ucap Walikota. "Denver butuh lebih banyak investor yang memiliki visi seperti Anda. Anda benar-benar kembali ke Madison hari ini?"Ethan tersenyum tipis. "Ya, p
Ethan dan Catelyn duduk berhadapan.Ethan tampak tenang, posturnya santai, dengan kemeja biru tua yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan kekar yang terbiasa bekerja keras—atau lebih tepatnya, terbiasa berada di gym kelas atas.Rahangnya tegas, dan sorot matanya, biru sedalam samudra, menatap Catelyn dengan tenang, namun penuh ketertarikan yang sulit ditebak.Di hadapannya, Catelyn tampak lebih gelisah.Ia memainkan ujung lengan kemeja flanel kotak-kotaknya, merasa sedikit canggung. Rambutnya yang kecokelatan tergerai lembut, sedikit berantakan setelah pagi bekerja dan pertemuan dengan Nielson.Mata hazelnya sesekali melirik Ethan, lalu buru-buru mengalihkan pandangan seolah takut tertangkap basah."Pesan minuman dulu?" tawar Catelyn, suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia harapkan.Ethan tersenyum, sudut bibirnya terangkat dengan cara yang hampir membuat lututnya lemas. "Terserah padamu. Aku ikut saja."Seorang pramusaji datang dengan buku catatannya. Catelyn berdeham kec
Ethan berdeham kecil, tapi ia tetap mengangkat gelasnya. “Baiklah. Untuk kebebasan.”Gelas mereka beradu pelan sebelum masing-masing menyesap minuman mereka.Setelah beberapa saat hening, Ethan bertanya dengan nada lebih tenang, “Kenapa kau tidak melanjutkan kuliah?”Senyum Catelyn sedikit memudar. Ia menatap es batunya yang mulai mencair di dalam gelas. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, “Sesuatu terjadi.”Ethan tidak mendesak. Ia hanya mengangguk kecil sebelum bertanya lagi, “Tapi kau punya cita-cita, bukan?”Catelyn tersenyum tipis, kali ini dengan binar samar di matanya. “Aku ingin menjadi site development planner.”Ethan mengangkat alis. “Kenapa?”“Aku selalu suka melihat bagaimana sebuah kota berkembang,” kata Catelyn pelan, tetapi ada nada antusias di suaranya. “Aku ingin berkontribusi dalam proyek-proyek besar, memastikan setiap pembangunan memiliki dampak positif, bukan hanya sekadar menambah jumlah gedung tinggi. Aku ingin membangun lingkungan yang benar-benar nyaman u
Nielson terkejut.Ia berdiri diam di tempat, seolah tak memahami kalimat yang baru saja diucapkan Tim."Apa...apa maksud Anda?"Tim berkata dengan nada santai sambil memeriksa beberapa berkas di mejanya."Tak ada gunanya lagi. Proyek Verdant Grove ditiadakan."Nielson menganga."Apa?"Nielson menatap Tim Beckett dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Ditiadakan?" Suaranya terdengar parau.Tim mengangguk, ia menarik napas dalam sekilas. "Ya. Ada keputusan dari pemegang saham utama. Mereka tidak menyetujui proyek itu. Jadi, Verdant Grove tidak akan dilakukan.”Nielson berdiri terpaku di tempat, pikirannya kosong. Tidak… Ini tidak mungkin!Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan kepanikan yang mulai menjalar. Semua mimpi itu... Semua rencananya… Uang yang ia keluarkan untuk membayar Catelyn…Sia-sia begitu saja?“Tapi… Tapi—” Nielson mencoba bicara, suaranya bergetar.Tim menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya dengan ekspresi tenang
Catelyn berdiri terpaku di belakang meja kasir, matanya membesar saat mengenali sosok pria di hadapannya.Nielson.Napasnya tertahan sejenak sebelum ia bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?"Namun, tidak seperti biasanya, wajah Nielson tampak gelap, penuh kemarahan yang jelas tak berusaha ia sembunyikan.Tanpa basa-basi, pria itu langsung menuntut, "Mana summary pengembangan konsepnya?"Catelyn mengernyit bingung. "Summary apa?"Ekspresi Nielson mengeras, suaranya naik satu oktaf. "Jangan bermain bodoh denganku, Catelyn! Apa kau sengaja menantangku? Apa kau benar-benar sudah tak peduli dengan nama baikmu lagi?!"Catelyn hanya menatapnya tajam, tetapi sebelum ia sempat menjawab, Nielson melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, "Beraninya kau mengabaikan semua pesanku! Teleponku! Apa kau pikir bisa lari dari tanggung jawab begitu saja?"Melihat ada pelanggan yang akan masuk toko melirik ke arah mereka―lalu membatalkan masuk, Catelyn menghela napas dan menatapnya dengan tegas."Turun
Cole tidak terkejut dengan keputusan tersebut—ia sudah menduganya.Bahwa Ethan Wayne akan mengakuisisi Aurora Development Group, saat tiba-tiba semalam meminta dirinya menggali informasi tentang perusahaan tersebut.Perusahaan itu memang terlihat baik, namun saat sang bos menjatuhkan mata pada ADG, Cole sudah mengira bahwa ada masalah dengan perusahaan tersebut.Bos-nya memang memiliki intuisi yang tajam! Cole begitu bangga dalam hati bisa bekerja dengan seorang pria muda berbakat seperti Ethan Wayne. Dengan demikian, sang bos akan memegang kendali atas proyek-proyek besar Aurora, termasuk keputusan strategis dan keuangan dan membuat G&P Ltd semakin besar.Meskipun, awalnya Cole tidak mengerti hal mendasar yang menjadikan Ethan memilih mengambil-alih Aurora, sementara ia yakin, jika pihak lain tahu permasalahan internal Aurora ini, tidak ada yang akan berani mengambil risiko.Tapi ia selalu yakin atas kemampuan seorang Ethan Wayne.Seperti saat ini, ketenangan dan kepercayaan diri Et
Catelyn terbangun dengan napas sedikit terkesiap, matanya membuka masih sedikit linglung saat menyapu pandangan ke sekeliling ruangan.Ini... kamarnya?Ia mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan kesadarannya. "Bagaimana aku bisa di sini?" gumamnya pelan.Ia menarik napas dalam. Sedikit demi sedikit, ingatannya kembali.Ia ingat menumpang bersama Ethan semalam… diantar olehnya.Tapi bagaimana Ethan tahu kalau ia tinggal di unit 212? Dan lebih penting lagi—bagaimana Ethan bisa masuk ke dalam apartemen-nya?Pikiran itu memenuhi benak gadis itu, tapi seketika buyar ketika iris hazelnya menangkap jam di atas nakas.Pukul 08.00!"Oh, shit!" Catelyn tersentak panik.Jika tidak segera bergegas, ia akan terlambat ke toko.Dengan cepat, ia melompat dari tempat tidur, membersihkan diri sekadarnya, dan mengenakan pakaian sederhana sebelum menyambar tas miliknya, lalu berlari keluar dari kamar apartemen.Sa
Pria itu menatap Ethan dengan curiga. “Oh? Apakah dia mabuk?” tanyanya dengan nada waspada.Ethan, yang masih menggendong Catelyn, tersenyum kecil. “Tidak. Dia hanya tertidur kelelahan.”Pria tua itu memandangi Ethan lebih lama, seolah menilai apakah pria tampan bermata biru ini berniat baik atau sebaliknya.“Kamu siapanya?” tanyanya akhirnya.Ethan pun menjawab tenang, “Saya temannya. Kebetulan tadi kehujanan, jadi saya mengantarnya pulang.”Pria tua itu menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya mengangguk, mungkin terkesan dengan ketulusan dalam mata biru Ethan."Dia tinggal di lantai dua, unit 212."Ethan mengangguk sopan. "Terima kasih."Namun, saat ia bersiap naik tangga, pria tua itu bertanya lagi.“Kau punya kuncinya?”Ethan mengerutkan kening. Tentu saja tidak. Ia menggeleng.Pria tua itu, yang ternyata adalah pengurus apartemen terse
Catelyn menatap dengan heran dan sedikit waspada ke arah Rolls-Royce Phantom hitam yang berhenti tepat di depannya itu.Hujan masih turun deras, menciptakan suara ritmis di atas atap halte.Sebelum sempat berpikir lebih jauh, jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan sosok di baliknya.“Catelyn, masuk.” Suara yang mulai familiar itu terdengar jelas di tengah suara hujan yang mengguyur jalanan.Catelyn membelalakkan mata. Ethan?Pria itu duduk di balik kemudi, wajahnya tenang namun ada sedikit urgensi dalam suaranya. "Cepat masuk, sebelum kau semakin basah kuyup," katanya lagi.Catelyn sempat bingung beberapa detik, tatapannya berpindah dari Ethan ke mobil mewah itu, lalu kembali ke Ethan.Apa benar itu Ethan? Tapi mengapa Ethan membawa mobil seperti ini?Namun, udara malam semakin dingin, dan baju serta rambutnya sudah cukup basah.Akhirnya, ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, tubuhnya sedikit mengg
Nielson mondar-mandir di kamarnya, langkahnya cepat dan penuh ketegangan.Dadanya naik turun, rahangnya mengatup rapat. Sesekali, ia meraih ponselnya dari meja, menatap layar dengan frustrasi.Tidak ada balasan.Tidak ada tanda-tanda pesan dibaca.Panggilan yang ia lakukan sekian kali pun tak kunjung dijawab.“Brengsek!” gumamnya sambil mengetik pesan lagi dengan gerakan kasar.[Catelyn, angkat teleponku. Ini penting!]Ia menunggu beberapa detik. Tak ada respons. Jempolnya kembali bergerak.[Jangan pura-pura sibuk. Aku tahu kau pasti melihat pesanku!]Masih tak ada reaksi.Nielson menggeretakkan giginya, lalu dengan kasar melemparkan ponselnya ke kasur. “Sialan!” bentaknya.Ia mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengendalikan emosinya.Pikirannya terus berputar—presentasi di ADG tinggal lusa, dan ia sama sekali tidak tahu isi pengembangan dari proposal itu!S
Nielson duduk di meja makan apartemennya, menikmati hidangan yang tersaji.Ibunya, Mrs. Stokes, dengan penuh kasih menuangkan sup hangat ke dalam mangkuknya.“Kau harus makan lebih banyak, Nielson. Lihat ini, aku buatkan makanan favoritmu,” ucapnya penuh semangat.Nielson menyendok supnya dengan santai, sementara ibunya mulai membahas hal yang lebih penting baginya.“Kapan kau akan melamar Molly Beckett? Dia itu gadis yang tepat untukmu, kau tahu?” Mrs. Stokes meletakkan sendoknya dan menatap putranya dengan harapan besar.Nielson mengangkat bahu. “Tenang saja, Bu. Semua ada waktunya.”“Tapi jangan terlalu lama! Kalau kau menikahinya, kita bisa segera masuk kalangan atas. Aku bahkan mulai memiliki beberapa teman dari kelas sosial yang lebih tinggi di apartemen ini. Mereka sangat menyenangkan, dan kita harus menjaga citra.”Nielson menyeringai dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Sebentar lagi, Bu. Tak lama lagi aku akan menjadi pimpinan proyek. Setelah itu, jabatan manajer sudah pa