Aroma roti yang baru dipanggang memenuhi udara di Everett’s Bakery, toko kecil yang selalu ramai dengan pelanggan setia.Catelyn berdiri di belakang meja kasir, sibuk melayani pembeli bersama Brian Everett, pemilik toko sekaligus bosnya.“Terima kasih, Nyonya Brooks. Semoga rotinya cocok dengan selera Anda!” ujar Catelyn sambil tersenyum, menyerahkan sekantong croissant kepada pelanggan setia mereka.Wanita tua itu mengangguk dengan ramah. “Seperti biasa, Catelyn. Kau selalu merekomendasikan yang terbaik.”Catelyn tertawa kecil. “Saya hanya ingin memastikan pelanggan mendapatkan yang terbaik.”Di tengah kesibukannya, ponsel Catelyn tiba-tiba berdering di saku apron-nya. Ia melirik layar sekilas dan langsung mengabaikannya. Namun, dering itu terus berlanjut, membuatnya semakin jengah.Brian, yang tengah mengemas beberapa kue untuk pelanggan lain, meliriknya sekilas. “Catelyn, kalau itu penting, angkat saja. Aku bisa menangani kasir sebentar.”Catelyn menghela napas. “Sepertinya tidak p
Pertemuan telah usai.Di dalam ruang meeting yang elegan dengan panel kayu mahoni dan bendera kota Denver berdiri tegak di sudut ruangan, Ethan berdiri tegap, menjabat tangan Walikota Denver dengan sikap percaya diri yang alami."Terima kasih atas waktunya, Tuan Wayne," ujar Walikota dengan ramah.Ethan membalas jabatan tangan itu dengan anggukan kecil. "Kehormatan bagi saya bisa bekerja sama dengan pemerintah kota dalam proyek ini."Walikota tersenyum, matanya sedikit menyipit seolah menilai pria muda di hadapannya.Meski ia adalah pemegang otoritas tertinggi di kota Denver, ada sedikit ketundukan dalam caranya berbicara.Ethan bukan hanya seorang pebisnis muda yang berbakat, tapi juga berasal dari keluarga Wayne—nama yang begitu berpengaruh dalam dunia bisnis dan politik Amerika."Sayang sekali Anda tak berlama-lama di sini," ucap Walikota. "Denver butuh lebih banyak investor yang memiliki visi seperti Anda. Anda benar-benar kembali ke Madison hari ini?"Ethan tersenyum tipis. "Ya, p
Ethan dan Catelyn duduk berhadapan.Ethan tampak tenang, posturnya santai, dengan kemeja biru tua yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan kekar yang terbiasa bekerja keras—atau lebih tepatnya, terbiasa berada di gym kelas atas.Rahangnya tegas, dan sorot matanya, biru sedalam samudra, menatap Catelyn dengan tenang, namun penuh ketertarikan yang sulit ditebak.Di hadapannya, Catelyn tampak lebih gelisah.Ia memainkan ujung lengan kemeja flanel kotak-kotaknya, merasa sedikit canggung. Rambutnya yang kecokelatan tergerai lembut, sedikit berantakan setelah pagi bekerja dan pertemuan dengan Nielson.Mata hazelnya sesekali melirik Ethan, lalu buru-buru mengalihkan pandangan seolah takut tertangkap basah."Pesan minuman dulu?" tawar Catelyn, suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia harapkan.Ethan tersenyum, sudut bibirnya terangkat dengan cara yang hampir membuat lututnya lemas. "Terserah padamu. Aku ikut saja."Seorang pramusaji datang dengan buku catatannya. Catelyn berdeham kec
Apartemen Nielson Stokes berada di lantai atas sebuah gedung modern di pusat kota.Malam sudah larut, tapi lampu di ruang kerja kecilnya masih menyala. Di atas meja, laptopnya terbuka dengan layar menampilkan dokumen kosong. Di sampingnya, ada beberapa lembar kertas yang telah kusut karena terlalu sering diremas dan dilemparkan ke meja.Nielson menggeram, mengusap wajahnya dengan kasar. "Brengsek," desisnya.Sudah seminggu sejak ia mengambil draft ini dari Catelyn, dan ia masih belum bisa mengubahnya menjadi proposal sempurna yang diminta oleh Direktur Tim Beckett.Konsepnya terlalu singkat dan sederhana—terlalu dasar.Nielson tahu kalau ia harus mengembangkan ide-ide dalam draft ini, tapi setiap kali ia mencoba, ia justru semakin terjebak dalam kebingungan.Beberapa istilah dalam dokumen itu bahkan tidak ia pahami sepenuhnya.Catelyn selalu lebih unggul dalam hal ini. Ia yang selalu mendetail, penuh pertimbangan, dan tahu cara
Nielson terkekeh. "Sibuk? Catelyn, kau butuh uang. Aku tahu itu." Ia bersandar di kursinya, menatapnya dengan tajam. "Dua ribu dolar bukan jumlah yang kecil. Kau bisa membayar sewa apartemenmu di area sini selama dua bulan, hanya dengan membuat proposal selama dua atau tiga hari. Apakah pekerjaanmu saat ini menghasilkan sebanyak itu dalam beberapa hari?"Catelyn terdiam.Ia tidak bisa membantahnya. Gaji dari pekerjaannya di toko kue nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanannya.Dua ribu dolar bisa membantunya bernapas lebih lega…"Kau tidak kehilangan apa pun," lanjut Nielson, menekan dengan suara lembut namun menusuk. "Lagipula, kau hanya butuh tiga hari saja. Kenapa masih harus lebih berat pada pekerjaan yang tidak bisa menghasilkan uang banyak?"Catelyn mengepalkan tangannya semakin erat."Dengar," Nielson bersandar ke depan lagi, menurunkan suaranya. "Aku tahu kau keras kepala. Tapi kali ini, anggap saja sebagai transaksi bisnis sederhana. Aku butuh proposal ini, dan kau
Langit Denver mendung saat Nielson melangkah memasuki gedung perkantoran Aurora Development Group.Lobi yang cukup luas dan megah mencerminkan betapa bergengsinya perusahaan ini.Namun, bukan interior mewah yang memenuhi pikirannya saat ini—melainkan pertemuannya dengan Tim Beckett, pria yang akan menentukan masa depannya dalam proyek Verdant Grove.Nielson berjalan melewati lorong dengan penuh percaya diri, meskipun jauh di lubuk hatinya, ada ketegangan yang tak bisa ia abaikan.Proposal yang ia ajukan kemarin diterima dengan sangat baik, bahkan lebih baik dari ekspektasinya. Namun, justru itu yang menjadi masalahnya.Ketika ia memasuki ruang konferensi, Tim Beckett sudah menunggu di ujung meja panjang.Pria itu berusia sekitar akhir lima puluhan, dengan rambut yang mulai memutih di pelipis, namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan."Nielson," sapa Tim dengan suara dalam dan berwibawa. "Duduklah."Nielson mengambil tempat duduk di hadapan pria itu. Ia merasa jauh lebih gugup da
Kamar itu luas dan mewah, mencerminkan status pemiliknya.Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal yang elegan memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan.Tempat tidur king-size dengan headboard berbahan kulit mahal berada di tengah ruangan, lengkap dengan seprai linen premium berwarna abu-abu tua. Di sisi tempat tidur, terdapat meja kecil dengan lampu baca modern.Di satu sudut ruangan, ada area kerja dengan meja kayu mahoni yang kokoh, dipadukan dengan kursi kulit hitam yang tampak nyaman.Dinding di belakang meja dihiasi rak buku built-in berisi koleksi buku dan beberapa pajangan eksklusif.Jendela besar yang hampir menutupi satu sisi dinding memberikan pemandangan kota Madison di malam hari, dengan tirai yang sedikit terbuka.Ethan menutup berkas yang sedari tadi ia pelajari, merapikannya dengan satu gerakan sebelum meletakkannya di atas meja. Ia berdiri dari kursinya, meregangkan tubuh sebentar, lalu berbalik hendak menuju ka
Beberapa hari terakhir, Catelyn merasa hidupnya tidak tenang.Nielson terus menghubunginya tanpa henti.Jika ia mengabaikan panggilan dan pesan pria itu, Nielson akan menghubunginya lagi dan lagi—seakan tidak mengenal kata menyerah. Bahkan setelah Catelyn memblokir nomornya kemarin, pria itu kembali mengganggunya menggunakan nomor lain.Hari ini, saat ia sedang bekerja di Everett’s Delight, toko kue milik Brian Everett, gangguan itu masih berlanjut.Ponselnya kembali bergetar di meja kasir. Nama tidak dikenal muncul di layar, tapi Catelyn sudah hafal. Ini pasti Nielson lagi. Dengan gerakan cepat dan penuh kesal, ia menekan tombol decline.“Ugh…” Catelyn mengusap wajahnya dengan frustasi.Brian, pria muda pemilik toko, yang sedang duduk santai di meja dekat dapur, memperhatikannya.“Ada apa, Cat?” tanyanya sambil menyesap kopi.Catelyn mendesah panjang. “Orang menyebalkan.”Brian mengangkat alis. “Pacar lama yang susah move on?” godanya.Catelyn menatapnya sekilas dengan ekspresi tak pe
Catelyn mengerjapkan mata. “Mr. Thomson? Aku?”Staf itu mengangguk. “Iya. Kamu. Aku hanya menyampaikan pesan dari saja. Kepala departemen menyebut namamu langsung. Katanya segera.”Catelyn sempat membeku. “Ada apa?”“Entahlah. Aku sendiri tak tahu,” kata staf itu sambil mengangkat bahu. “Tapi aku barusan naik dari lantai dua. Beliau minta kamu datang sekarang.”Detak jantung Catelyn tiba-tiba berdentum tak karuan.Jari-jarinya refleks merapikan rambut dan menyusun berkas seadanya. Pikirannya melompat-lompat antara panik, heran, dan takut.Apa ia membuat kesalahan?Atau ada proyek yang ia salah input?Atau ia bakal dikeluarkan?Ia berdiri, lututnya sedikit goyah, namun ia menguatkan diri.Karyawan di sekitarnya mulai menoleh, sebagian melirik penasaran.Langkah Catelyn menuju lift terasa lebih berat dari biasanya, tapi juga seperti digiring oleh sesuatu yang ia tak bisa tolak.Di dalam lift, ia memeja
Pukul lima pagi.Langit di Denver masih gelap, hanya sedikit cahaya remang menelusup lewat celah tirai apartemen mungil itu.Hening.Tak ada suara selain detak jam dinding dan desah napas dua manusia yang terdampar di tengah kehangatan yang tak terencana.Ethan Wayne membuka matanya perlahan.Kesadarannya perlahan menyusun kembali potongan-potongan memori semalam.Wajahnya masih bersandar pada sesuatu yang lembut—dan saat ia mendongak sedikit, jantungnya nyaris berhenti.Catelyn.Gadis itu duduk bersandar di sisi sofa, tertidur dengan posisi kepala sedikit menunduk, sementara tubuhnya menopang kepala Ethan di atas pangkuannya.Rambut panjang bergelombangnya jatuh menutupi sebagian wajah, napasnya lembut, tenang, damai—dan begitu tulus.Ethan buru-buru bangkit dengan hati-hati, agar tak membangunkannya.Tapi matanya langsung menatap gadis itu dengan pandangan yang penuh penyesalan dan kelembutan.Ia m
Malam menjatuhkan dirinya dengan tenang di atas kota, menyelimuti bangunan-bangunan tinggi dengan bayang-bayang kelelahan.Di salah satu apartemen yang bertengger di lantai tujuh, lampu temaram menerangi ruang makan sederhana.Aroma sup krim hangat masih menggantung di udara, namun wanita muda yang duduk di meja bundar itu justru menatap makan malamnya dengan tatapan kosong.Catelyn Adams, dengan rambut panjang bergelombang yang menjuntai ke pundaknya, memainkan sendok di piring, tak menyentuh makanan itu sama sekali.Matanya yang berwarna hazel tampak sayu, seakan beban hari ini tak sekadar soal berita Nielson di ADG, tapi juga sesuatu yang menggigit pelan-pelan dari dalam dadanya—perasaan yang tak ia izinkan tumbuh, tapi sudah telanjur berakar.“Hhh...” Ia menghela napas, kemudian bangkit.Digerakkan oleh rutinitas lebih dari keinginan, ia meraih gelasnya yang hampir kosong dan membawanya ke wastafel.Air mengalir,
Langit Denver siang itu tampak cerah, tapi angin musim semi yang menyelinap lewat celah jendela besar kantin kantor Aurora Development Group membawa udara dingin yang menggelitik kulit.Gedung kaca pencakar langit itu memantulkan cahaya matahari dengan kilau dingin, kontras dengan kehangatan kantin yang dipenuhi suara riuh para pegawai.Di sudut ruangan, Catelyn duduk.Gadis bermata hazel itu masih memegang gelas plastik berisi lemon tea yang sudah setengah dingin.Di depannya, piring makan siang yang tadi ia nikmati telah kosong, hanya tersisa serpihan kecil roti lapis dan beberapa lembar tisu yang terlipat rapi.Namun pandangannya tidak tertuju pada apa pun di sekelilingnya.Ia hanya menatap lurus ke meja, sesekali menggulirkan ibu jarinya pada ponsel yang ia biarkan menyala di atas meja.Pesan terakhir dari Ethan dua hari lalu masih terbuka.Singkat. Sopan. Seperti pesan dari seseorang yang berusaha tetap hadir, namun pikira
“$9,500?” Nielson melotot. “Apa kau serius? Mobil ini aku beli $18,000 tiga tahun lalu!”“Aku percaya,” balas Dash tenang. “Tapi mobil turun nilai. Apalagi dengan cacat fisik dan fitur rusak, plus sudah lewat 80 ribu mil. Kalau ada catatan servis lengkap, mungkin bisa naik seribu dolar, tapi…”Nielson menghela napas panjang, wajahnya pucat. “Terserah. Aku butuh uangnya sekarang.”Dash mengangguk, “Kita bisa langsung transfer ke rekeningmu.”Nielson hanya mengangguk, menatap mobilnya sekali lagi.Ia mengusap bagian atas kap, seolah mengucapkan perpisahan. “Kau lambang keberhasilan-ku... Tapi sekarang, bahkan kau pun harus aku lepas.”Langkahnya berat saat meninggalkan area itu. Nielson tidak langsung pulang ke apartemen.Sebaliknya, ia berjalan kaki menyusuri jalanan kecil menuju halte.Angin sore berembus, membuat rambutnya yang tak lagi tertata rapi, kian berantakan.Hampir seminggu ini, ia sengaja mengambil cuti dari pekerjaannya, pura-pura sedang menangani urusan keluarga.Nyatanya
Catelyn masih sibuk merogoh tas saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.“Oh! Maaf, saya—” ucapnya refleks, namun kata itu terhenti begitu saja di tenggorokannya saat ia mendongak.Wajah yang begitu ia kenal dan hampir seminggu ini sempat ‘menghilang’, terpampang di hadapannya: Nielson.Bukan saja Catelyn terkejut karena menabrak lelaki itu, namun juga penampilan lelaki itu yang tampak berbeda.Jauh dari sosok yang dulu selalu tampil rapi, percaya diri, dan angkuh.Wajahnya sedikit lebih tirus, seolah kehilangan bobot tubuhnya dalam waktu singkat.Rambutnya acak-acakan, tak lagi tersisir rapi seperti biasanya, dan kemeja putih yang dikenakannya tampak kusut, tak disetrika, dengan kancing atas yang dibiarkan terbuka.Tak ada dasi mahal, tak ada jam tangan mewah yang biasanya mencolok di pergelangan tangannya. Bahkan ekspresi khas Nielson—senyum licin penuh percaya diri—hilang dari wajahnya,
“Daniel dipindahkan ke departemen Project Evaluation & Site Strategy mulai minggu ini,” kata Howard pada seorang staf senior wanita, menghentikan langkah Catelyn yang baru saja kembali dari ruang arsip.Gadis itu membalikkan badan, kedua alisnya berkerut. Ia melangkah mendekati Howard.“Dipindahkan?” ulangnya dengan suara pelan, terdengar kaget. “Apakah karena hari itu? Karena dia keracunan dan tidak bisa datang presentasi?”Nada khawatir itu muncul begitu saja, tak bisa disembunyikan.Baru saja ia menengok Daniel di rumah sakit Sabtu lalu, tiba-tiba ia mendengar hal ini dari Howard, beberapa hari setelahnya.Ia ingat betul hari Jumat lalu, bagaimana Howard tampak cemas dan ketika Daniel tiba-tiba sakit. Dan saat itu, tanpa persiapan matang, ia—seorang anak magang—didorong maju ke ruang presentasi sebagai pengganti.Howard menggeleng cepat, lalu menyilangkan tangan di depan dada, suaranya tenang, “Bukan, bukan karena itu. Justru sebaliknya, Daniel mendapat promosi. Dia dipercaya untuk
Robert Thomson tampak pucat.Kemejanya sedikit kusut, dan dasi di lehernya terasa jauh lebih mencekik dari biasanya. Ia berkali-kali menyeka keringat yang mengalir dari pelipis dengan sapu tangan, sementara langkah kakinya terus mengikuti sosok pria di depannya yang berjalan cepat namun penuh kontrol.Cole Reid, asisten pribadi sang CEO, memimpin langkah dengan tubuh tegap, setelan hitamnya jatuh sempurna, dan wajahnya datar tanpa ekspresi.Keduanya tengah menuju lift khusus yang hanya bisa diakses dengan kartu prioritas—menuju lantai Presidential Suite di Hotel Four Seasons.Robert masih berusaha mengatur napasnya saat akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Suaranya pelan, hampir tertelan denting musik ambient dari lorong hotel."Ada sesuatu yang saya lakukan… salah?" gumamnya gugup. "Kenapa saya dipanggil secara pribadi oleh CEO?"Cole menatap ke depan, tidak berhenti sejenak pun."Anda akan tahu sendiri, Pak Thomso
Sabtu siang di Denver datang dengan langit yang bening dan udara hangat yang menenangkan.Dari kejauhan, gedung rumah sakit terlihat menjulang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang mulai menua warnanya menyambut awal musim gugur. Suasana di dalam rumah sakit terasa kontras—sunyi, steril, namun tidak kehilangan kehangatan.Catelyn berjalan melewati koridor lantai tiga dengan langkah ringan.Ia mengenakan sweater lembut warna sage, celana panjang krem, dan sepatu flat. Di tangannya, sebuket bunga krisan putih serta tas kertas berisi sup ayam bening hangat dan sebotol minuman elektrolit—menu ringan yang dipilihnya hati-hati untuk seseorang yang baru saja mengalami keracunan makanan.Pintu kamar 307 terbuka sebagian. Catelyn mengetuk pelan sebelum mendorongnya.Daniel Hunter, pria berambut gelap dengan wajah cukup tampan yang biasanya tenang dan tajam, kini tampak lebih pucat. Tapi senyumnya merekah hangat begitu melihat siapa yang datang