Catelyn mengerjapkan mata. “Mr. Thomson? Aku?”
Staf itu mengangguk. “Iya. Kamu. Aku hanya menyampaikan pesan dari saja. Kepala departemen menyebut namamu langsung. Katanya segera.”
Catelyn sempat membeku. “Ada apa?”
“Entahlah. Aku sendiri tak tahu,” kata staf itu sambil mengangkat bahu. “Tapi aku barusan naik dari lantai dua. Beliau minta kamu datang sekarang.”
Detak jantung Catelyn tiba-tiba berdentum tak karuan.
Jari-jarinya refleks merapikan rambut dan menyusun berkas seadanya. Pikirannya melompat-lompat antara panik, heran, dan takut.
Apa ia membuat kesalahan?
Atau ada proyek yang ia salah input?
Atau ia bakal dikeluarkan?
Ia berdiri, lututnya sedikit goyah, namun ia menguatkan diri.
Karyawan di sekitarnya mulai menoleh, sebagian melirik penasaran.
Langkah Catelyn menuju lift terasa lebih berat dari biasanya, tapi juga seperti digiring oleh sesuatu yang ia tak bisa tolak.
Di dalam lift, ia memeja
Langkah kaki Catelyn terdengar menggema lembut di sepanjang koridor.Cahaya matahari siang menjelang sore menyusup dari jendela-jendela tinggi, memantul di lantai marmer yang bersih dan dingin. Tubuhnya masih terasa ringan, seolah ia melayang di udara.Baru saja ia keluar dari ruang meeting lantai dua—dan kejutan masih belum sepenuhnya meresap ke dalam pikirannya.Ia ditunjuk. Ia. Catelyn Adams.Untuk mewakili departemen dalam presentasi minggu depan di hadapan klien besar dari Luxterra Properties Chicago.Jantungnya masih berdetak cepat, antara gugup dan euforia. Pipinya merona tak tertahan, matanya bersinar terang.Minggu depan bukan sekadar rapat biasa. Itu langkah penting—langkah penentu—yang bisa mengubah statusnya dari anak magang menjadi bagian resmi dari ADG.Robert Thomson sendiri yang mengatakan itu padanya tadi. Jika presentasinya berhasil, Catelyn tidak perlu menunggu setengah tahun untuk diangkat.Ia hampir tak percaya. Tangannya bahkan masih sedikit gemetar saat menyentu
Ruangan itu masih menyisakan aroma kulit dari sofa baru dan kayu mengilat dari meja kerja yang belum lama ditempati.Dindingnya bersih, dengan pigura-pigura sertifikat dan sketsa perencanaan kota yang seolah menjadi simbol kredibilitas.Padahal, sebagian besar tidak lebih dari dekorasi kosong.Nielson Stokes bersandar di kursi kulit hitam yang belum ada seminggu menjejakkan ke lantai kantor itu.Tangannya bermain-main dengan pulpen metalik yang berkilau terkena sinar sore dari jendela.Senyum tipis memulas wajahnya—senyum kemenangan.Jabatan kepala Departemen Urban Planning kini resmi menjadi miliknya, hasil dari negosiasi cerdik dengan direktur utama, Tim Beckett.Tentu saja bukan karena prestasi.Tapi karena sesuatu yang lebih bernilai: ide konsep Catelyn Adams, yang menjadi alat tukar utama. Jabatan kepala departemen, dan sekian persen hasil penjualan konsep itu.Nielson menarik napas panjang, puas.Namun kesenangan itu segera memudar ketika bayangan dari rapat dua puluh menit lalu
"ARGHHH!!"Nielson menjerit kesakitan, terhuyung jatuh ke lantai, memegangi anggota tubuh yang kini nyeri luar biasa terkena hantaman meja yang meluncur tepat mengenai kakinya.Matanya membelalak marah dan menoleh dengan geram. "SIAPA YANG BERANI—"Kata-katanya terhenti ketika pandangannya bertemu dengan sosok pria yang berdiri di ambang pintu, menarik kaki. Sosok itu begitu memukau, auranya memenuhi ruangan dengan wibawa yang tak terbantahkan. Tinggi, gagah, dengan jas yang tersusun sempurna di tubuhnya yang atletis. Matanya biru tajam, seolah bisa menembus pikiran siapa pun yang bertemu tatap dengannya.Tampangnya yang dingin dan berkelas, berpadu dengan tatapan meremehkan yang kini tertuju pada Nielson. Meski ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, tekanan keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat ruangan terasa mencekam.Nielson menegang. Ia bisa menduga, bahwa pria bermata biru itulah yang menendang m
Pintu ruangan CEO tertutup dengan pelan, namun dentingan kecil dari gagangnya terasa begitu nyaring di telinga Catelyn. Cole Reid, asisten pribadi Ethan, telah keluar dengan penuh hormat, meninggalkan Catelyn sendirian di dalam ruangan megah itu. Tangannya masih sedikit gemetar. Napasnya terasa berat. Seakan oksigen di ruangan luas ini tak cukup untuk memenuhi paru-parunya. Ia berdiri diam sejenak, namun kegelisahan merayap dalam dirinya dengan cepat. Langkahnya mulai mondar-mandir, hak sepatunya mengetuk lantai marmer dengan ritme yang semakin tidak beraturan. Ruangan CEO ADG yang begitu elegan dan megah, dengan dinding kaca besar yang menampilkan panorama kota, tak mampu menenangkan hatinya. Justru, semakin ia memperhatikan sekitar, semakin dadanya sesak. Hingga matanya jatuh pada papan nama di atas meja kerja besar di hadapannya. Ethan Wayne. Nama itu terpampang jelas dalam ukiran emas, seakan menertawakan kebodohannya selama ini. Pria yang selama ini ia anggap hanya
Senja menggantung redup di langit kota, menyinari jendela apartemen lantai sekian dengan semburat keemasan yang tak sanggup menembus kelam di hati Catelyn Adams.Ia duduk mematung di depan layar laptopnya.Cahaya biru menyapu wajahnya yang pucat, matanya merah dan sembab. Jemarinya gemetar saat menggulir halaman demi halaman.Di hadapannya—deretan berita, artikel, dokumentasi bisnis, dan profil majalah internasional… semuanya menampilkan satu nama yang sama.Ethan Wayne.Foto-fotonya bertebaran di berbagai media—dengan setelan jas mahal, berdiri di samping tokoh-tokoh besar dunia.Dalam salah satu artikel, ia disebut The Reluctant Heir—pewaris Wayne Group yang memilih mendirikan kerajaannya sendiri: G&P Ltd.Catelyn membaca kalimat itu berulang-ulang, seperti mencoba membantah realita yang sudah menjatuhkannya ke jurang keterkejutan.Ethan Wayne, pria yang ia pikir hanyalah supir taksi ketika pertam
Langit kota masih kelabu ketika Catelyn Adams melangkah masuk ke lobi gedung megah ADG Corp, gedung yang sejak masa kuliah hanya menjadi angan-angan.Sepatu hak rendahnya beradu lembut dengan marmer lantai, menciptakan irama sunyi yang menyatu dengan detak jantungnya.Di tangannya, tergenggam erat sebuah map coklat berisi selembar surat.Surat yang ia ketik semalaman, dengan air mata yang tak pernah benar-benar mengering.Surat pengunduran diri.Lift berhenti di lantai tiga belas.Angka yang sering dianggap sial, namun baginya, lantai ini adalah saksi bagaimana mimpinya sempat terasa nyata. Kini justru akan menjadi tempat ia mengakhirinya.Langkahnya terhenti di depan pintu kaca bertuliskan: Robert Thomson – Head of Urban Development Research.Catelyn menarik napas panjang, mengetuk pelan, lalu mendorong pintu.Ruangan itu elegan dan sunyi.Robert Thomson, lelaki paruh baya dengan jas abu-abu dan rambut keperakan yang disisir rapi, mengangkat wajah dari balik mejanya.Wajahnya menunju
Senja menyelinap masuk melalui jendela kaca besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit.Cahaya keemasan menyinari furnitur minimalis bergaya modern dalam ruang CEO yang luas dan nyaris hening.Latar belakang Denver terbentang megah di balik jendela, namun keindahannya tidak mampu mengusik ketenangan kelam yang menyelimuti ruangan.Ethan Wayne duduk di balik meja kerjanya yang rapi.Kemeja putihnya tampak sedikit kusut, dasinya longgar di leher, dan kedua tangannya terlipat di depan dagu yang menunduk dalam.Matanya menatap kosong ke layar laptop yang menyala redup, tetapi pikirannya terperangkap di tempat lain—terpatri pada seseorang yang baru saja benar-benar menjauh dari jangkauannya.Cole Reid berdiri beberapa langkah dari meja, ekspresi serius namun penuh empati. Ia baru saja menyelesaikan laporannya, dan kini menunggu reaksi dari bos-nya.“Nona Adams sudah kembali ke apartemen lamanya di Virginia Village, Sir,” ujar Cole pelan, dengan nada yang ditakar hati-hati. “Temp
Di sebuah bar eksklusif dengan nuansa elegan dan remang, Ethan Wayne duduk di salah satu sofa mewah di sudut ruangan.Manik birunya menatap kosong ke arah segelas bourbon yang belum disentuh di meja. Rahangnya yang tegas terlihat semakin menonjol, terutama ketika dia mengepalkan giginya, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Malam ini, aura dingin dan lesu terpancar dari pria yang biasanya penuh percaya diri, kehangatan dan keramahan itu.Duduk di dekatnya, dua pria tampan yang juga teman baiknya berusaha menghibur Ethan."Kau seperti hantu malam ini. Apa benar seserius itu masalahnya dengan Catelyn?" tanya salah satu pria bernama Jared Archer, dengan wajah tampan berambut coklat gelap yang selalu terlihat seperti model sampul majalah. Matanya yang cokelat berkilauan menunjukkan perhatian."Serius," jawab Ethan pendek, suaranya dalam dan datar.Di sebelah Jared, pria lain bernama Owen Lowe ikut bicara. “Siapa tadi nama gadis itu?”“Catelyn. Catelyn Adams.” Bukan Ethan yang menjawab,
Cahaya lampu gantung kristal memancarkan semburat keemasan lembut di atas meja makan panjang berlapis kain linen putih.Aroma kalkun panggang, kastanye manis, dan roti hangat memenuhi udara, menyelimuti seluruh ruangan dengan kehangatan khas musim liburan.Di sekeliling meja, keluarga Wayne duduk beraturan.James Wayne, sang kepala keluarga, tampak berwibawa dalam setelan jas santai berwarna gelap, sementara istrinya, Liliana, dengan gaun satin biru tua, sesekali menyeka sudut bibirnya dengan saputangan halus, berbasa-basi dengan ramah.Gerard Wayne, adik James, tertawa ringan sambil mengangkat gelas anggur, menceritakan pengalamannya memancing terakhir kali, lalu membahas anekdot masa muda mereka.Elara, putri semata wayang James, duduk anggun di samping suaminya, Arion Ellworth, yang dengan sikap tenang namun penuh pengamatan, menyesap anggur dari gelas kristal di tangannya.Hanya satu orang yang tampak terasing di tengah kehangatan itu&md
Udara di sekitar Willow Creek terasa semakin dingin, dihiasi aroma tanah basah dan daun-daun gugur yang bertebaran di sepanjang jalan masuk menuju mansion megah itu.Mobil mewah Ethan melaju mulus melewati gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis, sebelum akhirnya berhenti di pelataran depan.Ethan turun tanpa menunggu sopir membukakan pintu.Jas biru navy-nya sedikit kusut oleh perjalanan tergesa tadi, namun ia tidak peduli. Wajahnya serius, rahangnya mengeras, matanya sedikit redup di bawah bayang-bayang awan kelabu.Rodney menyusul dari mobil pengawal di belakang, berjalan cepat menyamai langkah Ethan.Begitu memasuki foyer megah yang dipenuhi pilar marmer putih dan lampu gantung kristal, Ethan mengangguk singkat pada kepala pelayan yang membungkuk memberi salam, lalu melangkah lurus menuju ruang kerjanya.Rodney menunggu sejenak, hingga Ethan melempar jas ke sandaran kursi tinggi berlapis kulit di belakang meja kerjanya. Baru setelah itu ia berbicara, dengan nada formal dan berat
Detik setelah mendengar jawaban Brian, Axel bergerak cepat, insting profesionalnya langsung mengambil alih."Mr Everett," katanya, suaranya lebih rendah namun mendesak, "Apakah ada jalur lain keluar dari toko ini?"Brian tampak sedikit terkejut atas ketergesaan Axel, namun tetap menjawab, "Ada. Di belakang toko ini, ada pintu keluar yang mengarah ke gang kecil. Dari sana, siapa pun bisa keluar ke jalan lain tanpa terlihat dari sisi depan."Axel mengangguk satu kali, tanpa membuang waktu.Ia melangkah melewati meja kasir menuju pintu kecil di belakang dapur.Aroma mentega dan adonan panggang menguar tajam, namun Axel mengabaikannya, fokus pada satu hal: jejak Catelyn.Ia mendorong pintu dapur, menembus lorong sempit, hingga menemukan pintu besi berwarna pudar.Dengan satu gerakan cepat, ia mendorongnya.Udara dingin musim gugur menerpa wajahnya saat ia berdiri di mulut gang kecil yang membentang di belakang deretan pertokoan.Benar.Siapa pun yang keluar dari pintu ini dapat menghindar
“Segera, Tuan.”Rodney mengambil earpiece dari dalam sakunya, menempelkan perangkat itu ke telinganya.Dengan suara singkat dan efisien, ia mengaktifkan saluran komunikasi yang langsung terhubung dengan Axel.“Unit Dua, laporan posisi target.”Suara Axel terdengar dari earpiece, jernih dan tanpa jeda. ‘Target mulai jogging sejak pukul 06.30, rute biasa di taman City Park. Saat ini, ia sedang berada di dalam minimarket Lawson di blok C-12. Membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Saya memperkirakan, setelah ini ia akan menuju Everett’s Bakery di Downtown untuk bekerja, seperti biasa.’Rodney mengangguk tipis sambil menatap Ethan, lalu bertanya lagi, “Status alat komunikasi target?”‘Ponsel tidak terdeteksi. Kemungkinan besar ia tinggalkan di apartemen.’“Copy that.”Rodney menutup komunikasi lalu menoleh pada Ethan.“Nona Adams baik-baik saja, Sir. Masih menjalani rutinitas seperti biasa. Jogging, belanja kebutuhan, dan kemungkinan akan segera bersiap ke Everett’s Bakery, seperti biasa
Ia adalah Arion Ellworth.Sepupu ipar Ethan Wayne, yang juga mantan CEO dari AE Group ―entitas bisnis raksasa yang sejajar dengan Wayne Group― yang juga meninggalkan warisannya, dan hanya fokus pada Triton Land miliknya sendiri.Pria beraura dominan itu berjalan masuk tanpa berkata sepatah kata pun, namun sorot matanya berbicara lebih dari cukup.Ia berdiri tepat di hadapan Ethan dan memandangi Aveline―balita cantik yang masih nyaman di gendongan pria lain. Rahangnya mengeras.“Berikan,” ucapnya singkat.Ethan mengangkat tangan satu-satu. “Whoa, lihat siapa ini… Dadda datang, Ivy!”Seketika, Arion mengambil bayi tiga tahun itu dari pelukan Ethan, sangat hati-hati namun dengan kecepatan yang jelas menunjukkan kekesalan.Bayi perempuan yang dipanggil Ave itu tampak ingin protes, namun langsung tenang saat berada di pelukan ayah kandungnya.Tak lama kemudian, seorang wanita cantik bermata zamrud, masuk dari balkon kecil kamar itu, menutup pintu kaca dan terkekeh pelan melihat ekspresi Ar
Langkah kaki Catelyn menggema di koridor panjang berlapis marmer putih dan cahaya lembut dari lampu gantung kristal.Axel yang awal tadi ada beberapa meter di belakang Catelyn, menghentikan langkah saat melihat gadis itu berbalik dan kini berjalan menuju arahnya.Gadis itu berjalan cepat, hampir berlari, dengan sepasang mata hazelnya yang berkaca-kaca, berkilat dalam redupnya cahaya sore yang menelusup dari jendela panjang di sisi kanan koridor.Gaun rajut berwarna coklat muda yang membalut tubuhnya melambai tertiup gerakan tergesa, dan tas tangan mungilnya bergoyang keras seiring lengannya yang memegang kantong kertas, bergerak gugup.Ia menengadah sejenak, mencoba menahan emosi yang mendesak di balik kelopak mata.Suara itu masih terngiang—suara balita perempuan yang memanggil Ethan dengan “Daddy”. Senyuman Ethan yang berbeda ketika menatap perempuan itu. Dan interaksi mereka.Sesaat kemudian ketika tiba di depan pintu lift di ujung lorong, langkah Catelyn terhenti.Tangannya gemeta
St. Louis.Cahaya lampu gantung berpendar redup, menyoroti meja kayu tua yang permukaannya penuh dengan peta, dokumen rahasia, dan foto-foto satelit hitam-putih.Di tengah ruangan yang diselimuti bau logam dan asap cerutu yang menggantung di udara, seorang pria duduk membelakangi pintu.Sosoknya tinggi, berselimut mantel hitam panjang, dan hanya siluet kepalanya yang tampak dalam pantulan cahaya muram.Langkah kaki terdengar menggema di sepanjang lorong batu sebelum akhirnya berhenti di ambang pintu besi.Pintu itu berdecit pelan saat dibuka, dan seorang pria berseragam hitam masuk, menundukkan kepala hormat."Bos," ucapnya, suara rendah namun terkontrol. "Kami menemukan pergerakan terbaru dari Ethan Wayne."Sosok misterius itu tidak menoleh. Hanya jari-jarinya yang bergerak pelan, mengetuk-ngetuk lengan kursi seolah memberi isyarat agar si pelapor melanjutkan."Belakangan ini dia sering berada di Denver, Colorado. Awalnya kami
Axel tetap dengan wajah datarnya menjawab, “Saya pengawal. Tugas saya memastikan semua berjalan aman.”“Apa kau bercanda? Menguping bukan bagian dari SOP,” sergah Jared.“Keamanan mental majikan juga bagian dari tugas saya,” balas Axel dengan sangat tenang, walaupun matanya sedikit menyipit, berusaha mendengar lebih jelas.Kembali ke dalam ruangan.Catelyn akhirnya menarik diri perlahan dari pelukan Ethan. Wajahnya masih merah, tapi sorot matanya mulai menunjukkan kembalinya akal sehat.“Aku belum memaafkanmu,” katanya tegas.Ethan mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku tidak meminta kau memaafkan sekarang. Tapi… aku ingin memperbaiki semuanya.”Catelyn menghela napas. Ia berdiri, menoleh menuju pintu—dan mendapati beberapa siluet dengan posisi mencurigakan.Alisnya langsung mengernyit. Ia melangkah cepat, membuka pintu dengan tiba-tiba.CRAK!Tiga
Tangis Catelyn belum juga reda.Tubuhnya menunduk, memeluk Ethan erat seakan takut pria itu menghilang begitu saja.Wajahnya tenggelam di lekuk leher Ethan yang masih terasa hangat—kehangatan yang entah membuatnya lega atau semakin takut kehilangan.Entah berapa lama ia membeku di posisi itu―dengan bibir terisak yang terus bergetar menyentuh leher Ethan, sampai...“Oh shit! Dia bangkit di tempat yang salah!” ujar Owen spontan tanpa sadar.Catelyn mengerutkan kening, bingung. Lalu perlahan mengangkat wajahnya—dan tepat saat itulah matanya terhenti pada tonjolan mencurigakan di area vital Ethan.Gadis itu membeku.Bibirnya sedikit terbuka.Napas tercekat.Mata hazelnya melebar.Itu... apa... serius?Tonjolan itu begitu nyata, begitu agung, menjulang meski terbungkus selimut putih rumah sakit. Bahkan dalam keterkejutan, wajah polos Catelyn seketika merona.Sebagai gadis yang tak terbiasa dengan ‘pemandangan’ seperti itu, pikirannya langsung kosong.Panas mengalir sampai ke telinganya.D