#Tiga
Detik setelah mendengar jawaban Brian, Axel bergerak cepat, insting profesionalnya langsung mengambil alih."Mr Everett," katanya, suaranya lebih rendah namun mendesak, "Apakah ada jalur lain keluar dari toko ini?"Brian tampak sedikit terkejut atas ketergesaan Axel, namun tetap menjawab, "Ada. Di belakang toko ini, ada pintu keluar yang mengarah ke gang kecil. Dari sana, siapa pun bisa keluar ke jalan lain tanpa terlihat dari sisi depan."Axel mengangguk satu kali, tanpa membuang waktu.Ia melangkah melewati meja kasir menuju pintu kecil di belakang dapur.Aroma mentega dan adonan panggang menguar tajam, namun Axel mengabaikannya, fokus pada satu hal: jejak Catelyn.Ia mendorong pintu dapur, menembus lorong sempit, hingga menemukan pintu besi berwarna pudar.Dengan satu gerakan cepat, ia mendorongnya.Udara dingin musim gugur menerpa wajahnya saat ia berdiri di mulut gang kecil yang membentang di belakang deretan pertokoan.Benar.Siapa pun yang keluar dari pintu ini dapat menghindar
Udara di sekitar Willow Creek terasa semakin dingin, dihiasi aroma tanah basah dan daun-daun gugur yang bertebaran di sepanjang jalan masuk menuju mansion megah itu.Mobil mewah Ethan melaju mulus melewati gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis, sebelum akhirnya berhenti di pelataran depan.Ethan turun tanpa menunggu sopir membukakan pintu.Jas biru navy-nya sedikit kusut oleh perjalanan tergesa tadi, namun ia tidak peduli. Wajahnya serius, rahangnya mengeras, matanya sedikit redup di bawah bayang-bayang awan kelabu.Rodney menyusul dari mobil pengawal di belakang, berjalan cepat menyamai langkah Ethan.Begitu memasuki foyer megah yang dipenuhi pilar marmer putih dan lampu gantung kristal, Ethan mengangguk singkat pada kepala pelayan yang membungkuk memberi salam, lalu melangkah lurus menuju ruang kerjanya.Rodney menunggu sejenak, hingga Ethan melempar jas ke sandaran kursi tinggi berlapis kulit di belakang meja kerjanya. Baru setelah itu ia berbicara, dengan nada formal dan berat
Cahaya lampu gantung kristal memancarkan semburat keemasan lembut di atas meja makan panjang berlapis kain linen putih.Aroma kalkun panggang, kastanye manis, dan roti hangat memenuhi udara, menyelimuti seluruh ruangan dengan kehangatan khas musim liburan.Di sekeliling meja, keluarga Wayne duduk beraturan.James Wayne, sang kepala keluarga, tampak berwibawa dalam setelan jas santai berwarna gelap, sementara istrinya, Liliana, dengan gaun satin biru tua, sesekali menyeka sudut bibirnya dengan saputangan halus, berbasa-basi dengan ramah.Gerard Wayne, adik James, tertawa ringan sambil mengangkat gelas anggur, menceritakan pengalamannya memancing terakhir kali, lalu membahas anekdot masa muda mereka.Elara, putri semata wayang James, duduk anggun di samping suaminya, Arion Ellworth, yang dengan sikap tenang namun penuh pengamatan, menyesap anggur dari gelas kristal di tangannya.Hanya satu orang yang tampak terasing di tengah kehangatan itu&md
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.Catelyn masih tertegun.Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa da
Catelyn turun dari taksi dengan tergesa-gesa, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang menggelayuti sejak meninggalkan kantor Nielson tadi.Hari ini bukan hari yang baik, ia mendapatkan patah hati yang amat buruk, namun ia tak pernah menduga hal buruk lain tengah menunggunya.Dengan langkah cepat, ia memasuki gedung apartemen, berharap ruangan kecilnya bisa memberikan sedikit ketenangan dari dunia luar yang semakin menyempitkan napasnya.Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat isi apartemennya berantakan.Pakaian-pakaian yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berserakan di lantai. Beberapa pigura foto kecil bergeletakan di sudut ruang, pecahannya berserakan di karpet.“Apa yang terjadi di sini?” gumamnya dengan napas tercekat.Suaranya terputus ketika ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah menghempas sekotak barang keluar dari kamar tidur.“Nyonya Stokes?” Catelyn melangkah maju dengan kebingungan. Nyonya Stokes ada
Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.Sang sopir
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Cahaya lampu gantung kristal memancarkan semburat keemasan lembut di atas meja makan panjang berlapis kain linen putih.Aroma kalkun panggang, kastanye manis, dan roti hangat memenuhi udara, menyelimuti seluruh ruangan dengan kehangatan khas musim liburan.Di sekeliling meja, keluarga Wayne duduk beraturan.James Wayne, sang kepala keluarga, tampak berwibawa dalam setelan jas santai berwarna gelap, sementara istrinya, Liliana, dengan gaun satin biru tua, sesekali menyeka sudut bibirnya dengan saputangan halus, berbasa-basi dengan ramah.Gerard Wayne, adik James, tertawa ringan sambil mengangkat gelas anggur, menceritakan pengalamannya memancing terakhir kali, lalu membahas anekdot masa muda mereka.Elara, putri semata wayang James, duduk anggun di samping suaminya, Arion Ellworth, yang dengan sikap tenang namun penuh pengamatan, menyesap anggur dari gelas kristal di tangannya.Hanya satu orang yang tampak terasing di tengah kehangatan itu&md
Udara di sekitar Willow Creek terasa semakin dingin, dihiasi aroma tanah basah dan daun-daun gugur yang bertebaran di sepanjang jalan masuk menuju mansion megah itu.Mobil mewah Ethan melaju mulus melewati gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis, sebelum akhirnya berhenti di pelataran depan.Ethan turun tanpa menunggu sopir membukakan pintu.Jas biru navy-nya sedikit kusut oleh perjalanan tergesa tadi, namun ia tidak peduli. Wajahnya serius, rahangnya mengeras, matanya sedikit redup di bawah bayang-bayang awan kelabu.Rodney menyusul dari mobil pengawal di belakang, berjalan cepat menyamai langkah Ethan.Begitu memasuki foyer megah yang dipenuhi pilar marmer putih dan lampu gantung kristal, Ethan mengangguk singkat pada kepala pelayan yang membungkuk memberi salam, lalu melangkah lurus menuju ruang kerjanya.Rodney menunggu sejenak, hingga Ethan melempar jas ke sandaran kursi tinggi berlapis kulit di belakang meja kerjanya. Baru setelah itu ia berbicara, dengan nada formal dan berat
Detik setelah mendengar jawaban Brian, Axel bergerak cepat, insting profesionalnya langsung mengambil alih."Mr Everett," katanya, suaranya lebih rendah namun mendesak, "Apakah ada jalur lain keluar dari toko ini?"Brian tampak sedikit terkejut atas ketergesaan Axel, namun tetap menjawab, "Ada. Di belakang toko ini, ada pintu keluar yang mengarah ke gang kecil. Dari sana, siapa pun bisa keluar ke jalan lain tanpa terlihat dari sisi depan."Axel mengangguk satu kali, tanpa membuang waktu.Ia melangkah melewati meja kasir menuju pintu kecil di belakang dapur.Aroma mentega dan adonan panggang menguar tajam, namun Axel mengabaikannya, fokus pada satu hal: jejak Catelyn.Ia mendorong pintu dapur, menembus lorong sempit, hingga menemukan pintu besi berwarna pudar.Dengan satu gerakan cepat, ia mendorongnya.Udara dingin musim gugur menerpa wajahnya saat ia berdiri di mulut gang kecil yang membentang di belakang deretan pertokoan.Benar.Siapa pun yang keluar dari pintu ini dapat menghindar
“Segera, Tuan.”Rodney mengambil earpiece dari dalam sakunya, menempelkan perangkat itu ke telinganya.Dengan suara singkat dan efisien, ia mengaktifkan saluran komunikasi yang langsung terhubung dengan Axel.“Unit Dua, laporan posisi target.”Suara Axel terdengar dari earpiece, jernih dan tanpa jeda. ‘Target mulai jogging sejak pukul 06.30, rute biasa di taman City Park. Saat ini, ia sedang berada di dalam minimarket Lawson di blok C-12. Membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Saya memperkirakan, setelah ini ia akan menuju Everett’s Bakery di Downtown untuk bekerja, seperti biasa.’Rodney mengangguk tipis sambil menatap Ethan, lalu bertanya lagi, “Status alat komunikasi target?”‘Ponsel tidak terdeteksi. Kemungkinan besar ia tinggalkan di apartemen.’“Copy that.”Rodney menutup komunikasi lalu menoleh pada Ethan.“Nona Adams baik-baik saja, Sir. Masih menjalani rutinitas seperti biasa. Jogging, belanja kebutuhan, dan kemungkinan akan segera bersiap ke Everett’s Bakery, seperti biasa
Ia adalah Arion Ellworth.Sepupu ipar Ethan Wayne, yang juga mantan CEO dari AE Group ―entitas bisnis raksasa yang sejajar dengan Wayne Group― yang juga meninggalkan warisannya, dan hanya fokus pada Triton Land miliknya sendiri.Pria beraura dominan itu berjalan masuk tanpa berkata sepatah kata pun, namun sorot matanya berbicara lebih dari cukup.Ia berdiri tepat di hadapan Ethan dan memandangi Aveline―balita cantik yang masih nyaman di gendongan pria lain. Rahangnya mengeras.“Berikan,” ucapnya singkat.Ethan mengangkat tangan satu-satu. “Whoa, lihat siapa ini… Dadda datang, Ivy!”Seketika, Arion mengambil bayi tiga tahun itu dari pelukan Ethan, sangat hati-hati namun dengan kecepatan yang jelas menunjukkan kekesalan.Bayi perempuan yang dipanggil Ave itu tampak ingin protes, namun langsung tenang saat berada di pelukan ayah kandungnya.Tak lama kemudian, seorang wanita cantik bermata zamrud, masuk dari balkon kecil kamar itu, menutup pintu kaca dan terkekeh pelan melihat ekspresi Ar
Langkah kaki Catelyn menggema di koridor panjang berlapis marmer putih dan cahaya lembut dari lampu gantung kristal.Axel yang awal tadi ada beberapa meter di belakang Catelyn, menghentikan langkah saat melihat gadis itu berbalik dan kini berjalan menuju arahnya.Gadis itu berjalan cepat, hampir berlari, dengan sepasang mata hazelnya yang berkaca-kaca, berkilat dalam redupnya cahaya sore yang menelusup dari jendela panjang di sisi kanan koridor.Gaun rajut berwarna coklat muda yang membalut tubuhnya melambai tertiup gerakan tergesa, dan tas tangan mungilnya bergoyang keras seiring lengannya yang memegang kantong kertas, bergerak gugup.Ia menengadah sejenak, mencoba menahan emosi yang mendesak di balik kelopak mata.Suara itu masih terngiang—suara balita perempuan yang memanggil Ethan dengan “Daddy”. Senyuman Ethan yang berbeda ketika menatap perempuan itu. Dan interaksi mereka.Sesaat kemudian ketika tiba di depan pintu lift di ujung lorong, langkah Catelyn terhenti.Tangannya gemeta
St. Louis.Cahaya lampu gantung berpendar redup, menyoroti meja kayu tua yang permukaannya penuh dengan peta, dokumen rahasia, dan foto-foto satelit hitam-putih.Di tengah ruangan yang diselimuti bau logam dan asap cerutu yang menggantung di udara, seorang pria duduk membelakangi pintu.Sosoknya tinggi, berselimut mantel hitam panjang, dan hanya siluet kepalanya yang tampak dalam pantulan cahaya muram.Langkah kaki terdengar menggema di sepanjang lorong batu sebelum akhirnya berhenti di ambang pintu besi.Pintu itu berdecit pelan saat dibuka, dan seorang pria berseragam hitam masuk, menundukkan kepala hormat."Bos," ucapnya, suara rendah namun terkontrol. "Kami menemukan pergerakan terbaru dari Ethan Wayne."Sosok misterius itu tidak menoleh. Hanya jari-jarinya yang bergerak pelan, mengetuk-ngetuk lengan kursi seolah memberi isyarat agar si pelapor melanjutkan."Belakangan ini dia sering berada di Denver, Colorado. Awalnya kami
Axel tetap dengan wajah datarnya menjawab, “Saya pengawal. Tugas saya memastikan semua berjalan aman.”“Apa kau bercanda? Menguping bukan bagian dari SOP,” sergah Jared.“Keamanan mental majikan juga bagian dari tugas saya,” balas Axel dengan sangat tenang, walaupun matanya sedikit menyipit, berusaha mendengar lebih jelas.Kembali ke dalam ruangan.Catelyn akhirnya menarik diri perlahan dari pelukan Ethan. Wajahnya masih merah, tapi sorot matanya mulai menunjukkan kembalinya akal sehat.“Aku belum memaafkanmu,” katanya tegas.Ethan mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku tidak meminta kau memaafkan sekarang. Tapi… aku ingin memperbaiki semuanya.”Catelyn menghela napas. Ia berdiri, menoleh menuju pintu—dan mendapati beberapa siluet dengan posisi mencurigakan.Alisnya langsung mengernyit. Ia melangkah cepat, membuka pintu dengan tiba-tiba.CRAK!Tiga
Tangis Catelyn belum juga reda.Tubuhnya menunduk, memeluk Ethan erat seakan takut pria itu menghilang begitu saja.Wajahnya tenggelam di lekuk leher Ethan yang masih terasa hangat—kehangatan yang entah membuatnya lega atau semakin takut kehilangan.Entah berapa lama ia membeku di posisi itu―dengan bibir terisak yang terus bergetar menyentuh leher Ethan, sampai...“Oh shit! Dia bangkit di tempat yang salah!” ujar Owen spontan tanpa sadar.Catelyn mengerutkan kening, bingung. Lalu perlahan mengangkat wajahnya—dan tepat saat itulah matanya terhenti pada tonjolan mencurigakan di area vital Ethan.Gadis itu membeku.Bibirnya sedikit terbuka.Napas tercekat.Mata hazelnya melebar.Itu... apa... serius?Tonjolan itu begitu nyata, begitu agung, menjulang meski terbungkus selimut putih rumah sakit. Bahkan dalam keterkejutan, wajah polos Catelyn seketika merona.Sebagai gadis yang tak terbiasa dengan ‘pemandangan’ seperti itu, pikirannya langsung kosong.Panas mengalir sampai ke telinganya.D