Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.
Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.
Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.
Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.
Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.
Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.
Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.
Catelyn menggigit bibir, menahan kemarahan yang bergejolak di dadanya. Ini bukan waktunya untuk tenggelam dalam penyesalan. Ia harus bertindak.
Gadis itu pun segera ke tempat tujuan.
Le Jardin adalah hotel bintang lima di Denver yang menjadi tempat acara jamuan makan malam eksklusif yang sengaja diadakan secara khusus oleh ketua asosiasi pengusaha kota Denver untuk menyambut seorang tamu kehormatan.
Tamu-tamu dengan pakaian mewah datang dengan elegan, langkah-langkah mereka ringan dan penuh percaya diri.
Lobi berkilauan dengan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan, menciptakan suasana glamor yang begitu kontras dengan kehidupan Catelyn saat ini.
Namun, ketika Catelyn berusaha masuk, dua petugas keamanan menghentikannya.
"Maaf, Nona. Tidak ada undangan, tidak bisa masuk."
Catelyn berusaha menahan kekesalan. Ia bisa saja memohon, tetapi itu jelas tidak akan berhasil. Keamanan terlihat cukup ketat di sana.
Ia harus menemukan cara lain.
Matanya menyapu sekitar, mencari celah, hingga ia melihat seorang staf katering berjalan dengan tergesa-gesa ke arah pintu samping, membawa nampan kosong.
Sebuah ide terlintas di kepalanya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat ke belakang gedung, tempat dapur berada. Di sana, ia menemukan seorang staf yang baru saja merokok dan akan masuk kembali ke area dapur.
Dengan cekatan, ia menyambar celemek dan nampan kosong dari rak dekat pintu, lalu mengikutinya masuk ke dalam. Tidak ada yang memperhatikannya—semua sibuk bekerja.
Catelyn melangkah dengan percaya diri, melewati dapur hingga menemukan pintu keluar yang langsung terhubung ke ballroom.
Ia menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan penuh kemewahan.
Suara dentingan gelas, alunan musik jazz lembut, dan obrolan tamu-tamu berpakaian mahal memenuhi ruangan.
Para wanita dalam gaun elegan berkilauan tertawa pelan, sementara pria-pria dalam setelan jas mahal berbicara dengan ekspresi serius. Cahaya dari lampu gantung emas menambah suasana eksklusif di dalam ballroom.
Catelyn menahan napas sejenak, mengagumi kemegahan ini—kemegahan yang hampir mustahil ia capai. Namun, pikirannya kembali pada tujuannya. Ia harus menemukan Nielson.
Saat matanya mencari di antara lautan manusia, di luar ballroom, seseorang tiba.
Pria itu tinggi, dengan bahu tegap yang menunjukkan kewibawaan alami.
Setelan jas hitam yang ia kenakan dibuat khusus untuknya, terpasang sempurna di tubuh atletisnya. Wajahnya tampan dengan garis rahang tajam, hidung lurus, dan bibir yang tampak ramah dan menggoda.
Namun, yang paling mencolok adalah matanya—sepasang mata biru bersinar, namun dalam dan penuh rahasia. Setiap gerakannya mencerminkan elegansi dan ketenangan yang sulit ditandingi.
Di belakangnya, dua pria berbadan kekar mengenakan setelan serba hitam mengikuti dalam diam, mata mereka awas mengamati sekeliling.
Seorang pria lain, lebih ramping dan berkacamata, berjalan di sampingnya, sesekali berbisik, tampak seperti asisten pribadinya.
Saat pria bermata biru itu melangkah masuk, beberapa orang langsung menundukkan kepala dengan hormat.
Beberapa pengusaha dan pejabat kota Denver menyapanya dengan nada penuh penghormatan, menyebutnya dengan nama yang hanya sedikit orang yang cukup beruntung bisa mengenalnya secara pribadi.
Sementara itu di sudut ruangan, Catelyn akhirnya melihat Nielson.
Nielson berdiri dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan mahal yang dulu bahkan tidak bisa ia beli sendiri. Di sampingnya, seorang wanita berambut pirang dengan gaun putih keemasan tersenyum manis padanya—Molly Beckett.
Catelyn mengepalkan tangan.
Dengan langkah perlahan namun tajam, ia mendekat ke arah mantan kekasihnya tersebut.
Di tengah ballroom yang dipenuhi para tamu berbusana mewah, Nielson berdiri dengan penuh percaya diri.
Senyum lelaki itu lebar saat berbicara dengan dua pria paruh baya yang mengenakan dasi sutra dan jas berkancing emas.
"Aku masih tidak percaya dia benar-benar menolak menjadi pewaris Wayne Group," ujar pria pertama, menggeleng kagum sambil memegang gelas anggurnya. "Jika aku di posisinya, aku pasti langsung mengambil kesempatan itu."
Pria kedua tertawa kecil. "Tapi justru karena itulah dia lebih dihormati sekarang. Tanpa bantuan keluarga, dia bisa membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Lihatlah perusahaannya sekarang—G&P Ltd. Mereka menguasai sektor konstruksi dan real estate dengan sangat cepat."
Nielson mengangguk setuju, memasang ekspresi seolah-olah ia sangat memahami dunia bisnis kelas atas.
Pria kedua menambahkan, "Aku mendengar dia baru saja mengakuisisi beberapa properti besar di Pantai Timur. Konon, valuasi perusahaan yang dia pimpin sudah menyentuh angka miliaran dolar."
"Tentu saja!" Pria pertama menimpali. "Kau tahu, proyek terbesar sepanjang sejarah Amerika di era ini―Imera Sky Tower, adalah salah satu proyek miliknya yang fenomenal! Itu menunjukkan betapa luar biasanya dia!"
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Catelyn terkejut. "Apa?!"Nielson sungguh-sungguh tega padanya!Petugas keamanan lalu menatap Catelyn dengan curiga. "Benarkah begitu, Nona?"Catelyn tahu, ia dalam masalah besar jika benar-benar ketahuan dirinya menyelinap masuk ke acara ini.Tanpa berpikir panjang, ia spontan berbalik dan melarikan diri."Nona, berhenti!" seru petugas keamanan.Namun Catelyn sudah lebih dulu menerobos kerumunan, berlari keluar dari ballroom dengan napas memburu.Ia tidak bisa tertangkap.Tidak malam ini.Catelyn terus berlari serampangan, tidak tahu ke mana arah tujuannya.Jantungnya berdentum kencang, napasnya tersengal-sengal. Sekilas, ia menoleh ke belakang—lebih dari satu petugas keamanan kini mengejarnya.Tidak. Ia tidak boleh tertangkap. Jika itu terjadi, hidupnya akan semakin hancur.Ia tahu, ia akan berakhir di penjara jika sampai mereka berhasil menangkap dirinya. Hidupnya sudah buruk saat ini, ia tidak bisa menambahkan hal lain dalam daftar.Di sepanjang koridor, Catelyn menerobos lorong
Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."“Meminta…apa?”Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.Diam-diam Nielson menghela napas lega."Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang berkualitas tinggi, khas acara bergengsi di Denver. "We re
Di Luar Hotel Le Jardin.Sebuah pintu baja berwarna abu-abu dengan pegangan vertikal terbuka sedikit, menghubungkan tangga darurat dengan area parkir belakang hotel. Cahaya redup dari lampu-lampu luar hotel menerangi lorong sempit di belakang gedung, sementara angin malam berhembus pelan, membawa aroma khas aspal yang sedikit lembap.Dari pintu itu, Catelyn muncul dengan napas masih terengah, tangan kecilnya masih menarik erat pria bermata biru di belakangnya. Sepatu hak tingginya sedikit bergeser di atas permukaan jalan yang halus, sementara ia cepat-cepat memastikan sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda petugas keamanan yang mengejarnya.Begitu yakin telah aman, Catelyn berbalik dan dengan refleks melepaskan genggamannya dari tangan pria itu."Terima kasih," ucapnya cepat, kedua tangannya bertumpu di lutut saat ia mencoba mengatur napas.Pria itu berdiri tegak di hadapannya, mengenakan kemeja putih yang kini sedikit kusut akibat pelarian tadi. Tat
“Bukan siapa-siapa,” jawab Nielson buru-buru. Molly mengangkat alisnya dengan curiga. "Benarkah?" Matanya menyipit, memperhatikan ekspresi Nielson dengan seksama. Tangannya yang sebelumnya bertengger di lengan pria itu kini melipat di depan dada, menunjukkan bahwa ia ingin jawaban yang memuaskan. “Ini dari wanita yang tadi. Dia membahas lagi soal barang milikku yang tadi hilang.” “Memang barang apa yang hilang?” Molly masih terlihat mengerutkan kening. Sejenak, Nielson tampak ragu. Matanya berkedip cepat, tanda ia berpikir mencari alasan yang masuk akal. Namun, ia segera menguasai diri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan ekspresi pura-pura murung dan penuh tekanan. "Sebenarnya… dia seorang penguntit," ucapnya lirih, suaranya dibuat sedikit berat seolah mengandung luka batin. "Aku tidak mengenalnya, tapi dia terus mengejarku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa ada di acara tadi. Dan yang lebih parah…" Nielson berhenti sejenak, memastikan Molly terpaku pada c
Catelyn samar-samar menghirup aroma yang begitu memikat, begitu seksi dan memabukkan, menelusup ke dalam hidungnya seperti angin malam yang lembut namun tak terhindarkan.Ada sesuatu yang adiktif dalam aroma itu, mengikat kesadarannya yang terombang-ambing antara mimpi dan kenyataan.Seiring dengan aroma tersebut, muncul potongan-potongan gambar yang kabur namun jelas terasa dalam benaknya.Itu adalah satu dada bidang yang keras seakan terpahat dari batu, dengan otot-otot yang terdefinisi sempurna. Rahang tegas, wajah yang tak sepenuhnya bisa ia lihat, namun cukup untuk membuat jantungnya bertalu, berdegup kencang.Dengan sedikit bergetar, tangan Catelyn terulur untuk menyentuh dada bidang nan kuat itu.Namun hanya sekian senti lagi, kedua mata Catelyn bergeser ke atas untuk kemudian bertemu dengan sepasang manik biru yang tajam.Sebuah suara dalam kemudian mengalun, seakan berulang-ulang. “Sudah puas melihat-lihatnya?”Bu
Begitu keduanya masuk ke dalam Rolls-Royce Phantom, kendaraan mewah itu meluncur mulus ke jalan utama, menuju pusat kota.Ethan bersandar pada kursinya, menatap keluar jendela dengan mata birunya yang tajam."Saya sudah menjadwalkan pertemuan dengan perwakilan Moonriver Inc besok pagi," kata Cole. "Kita juga punya janji dengan pihak kota siang harinya. Setelah itu, apakah Anda ingin bertemu dengan tim proyek di Glendale?"Ethan menghela napas ringan. "Ya. Tapi malam ini aku ingin tenang dulu."Cole menutup tabletnya, lalu menoleh sedikit. "Langsung ke Four Seasons, Tuan?"Ethan tidak langsung menjawab.Matanya masih menatap keluar jendela, memperhatikan gemerlap lampu kota yang mulai menyala seiring matahari tenggelam di ufuk barat."Berapa lama lagi sampai hotel?" tanya pria tampan itu akhirnya.Sopir melirik sekilas ke kaca spion sebelum menjawab. "Sekitar 35 menit, Tuan."Ethan terdiam sejenak sebelum berkata dengan nada lebih pelan. "Aku butuh minuman."Cole menoleh dengan sedikit
Sosoknya tinggi, tubuhnya sempurna dengan bahu bidang yang kokoh.Wajahnya luar biasa tampan, dengan rahang tegas dan ekspresi dingin yang mengintimidasi.Dan yang paling mencuri perhatian—sepasang mata biru menawan yang kini menatap pria mabuk itu dengan kilatan tajam.Ruangan kembali sunyi.Catelyn menelan ludah, jantungnya berdegup kencang."Kau baik-baik saja?" Suara dalam pria itu mengudara, tenang namun penuh wibawa.Catelyn belum sempat menjawab ketika lelaki mabuk yang hampir menamparnya tadi menyentak kasar, marah karena dihalangi."Kau siapa?! Jangan ikut campur urusan orang lain!"Pria bermata biru itu tetap tenang, tidak bereaksi terhadap kemarahan pria mabuk itu."Kau tidak akan melakukan apa pun," ucapnya ringan, seakan memberi peringatan tanpa perlu meninggikan suara.Pria mabuk itu mendengkus marah dan tertawa mengejek. "Siapa kau, hah?! Apa kau tahu siapa kami?"Pria bermata biru itu dengan santai mengeluarkan dan mengangkat ponselnya. "Kebetulan, aku merekam semuanya
Cole menjawab dengan suara pelan. “Mr. Ellworth, Sir.”Mata Ethan langsung terangkat. Suara di ruangan meredup seketika, seolah energi di dalamnya berubah.Ethan bangkit dari kursinya. “Saya akan kembali dalam lima menit. Lanjutkan review laporan keuangan tanpa saya.”Para eksekutif mengangguk cepat, sebagian tampak bersyukur mendapat jeda dari tekanan kehadiran pria bermata biru itu.Cole membuka pintu ruang rapat untuk Ethan, dan keduanya melangkah keluar menuju ruang kerja pribadi yang terhubung langsung.Begitu pintu tertutup rapat, ketegangan berubah jadi keheningan.Para eksekutif saling melirik, masih terguncang oleh dua hal: panggilan “sweetheart” sebelumnya… dan sekarang, nama yang baru saja disebut. Mr. Ellworth.Itu bukan nama sembarangan. Di dunia real estate dan investasi, nama itu seperti bayangan tajam yang sulit diabaikan.Dan jika dua raksasa itu sedang berbicara…Sesuatu besar akan terjadi.* * *Cahaya putih dari lampu panel di langit-langit ruang rapat perlahan mere
Beberapa hari berlalu dan itu begitu tenang.Catelyn yang sempat mengkhawatirkan tindakan Nielson, tampaknya bisa tenang saat ini.Lelaki itu bahkan tidak masuk kantor sejak malam itu.Ketika Catelyn merasa khawatir Nielson masuk rumah sakit, lalu terdengar berita dari staf senior lain, bahwa Nielson mengambil cuti beberapa hari untuk perjalanan keluar kota.Kembali, Catelyn tidak memiliki hal tersisa untuk dikhawatirkan.Siang itu cukup sibuk, bahkan akan ada meeting cukup penting setengah jam lagi. Catelyn tak ikut meeting tersebut, namun ia ikut menyiapkan beberapa hal untuk itu.Catelyn juga terlupa sesaat pada Ethan yang juga tengah berada di luar kota beberapa hari ini.“Catelyn?”Suara Howard tiba-tiba dari balik pintu membuat Catelyn yang sedang menyusun data survei tersentak.Ia segera menoleh dan berdiri.Supervisor-nya, Howard, berdiri di depan pintu ruang meeting internal dengan raut wajah cemas.“Daniel… mendadak tumbang. Dia muntah-muntah dan pusing hebat. Sepertinya foo
Langit dini hari masih kelabu ketika Axel memarkirkan mobil hitam polos di belakang gedung kosong tak jauh dari kantor ADG.Lampu interior menyala samar.Di kursi belakang, tubuh Nielson masih terkulai, belum sepenuhnya sadar dari pingsannya.Kepalanya miring, jas mahalnya kusut, dan dasinya sudah longgar separuh.Axel membuka ponselnya. Di layar terpampang pesan singkat yang baru saja diterima dari Ethan.[Jangan lukai dia. Tapi pastikan dia tidak bertingkah untuk urusan malam ini]Axel menekan tombol lock dan menghela napas, menatap Nielson dengan senyum dingin."Beruntung sekali kau, Pecundang. Nona Adams berhati lembut," gumamnya.Betapa Axel tahu, bos-nya―Ethan Wayne, tidak akan membiarkan begitu saja siapapun yang mengganggu keluarganya dan orang-orang penting baginya.Perintah yang baru saja ia terima bukanlah murni perintah Ethan. Itu pasti atas dasar keinginan seseorang yang penting bagi bos-nya, Catelyn Adams.Dengan cekatan, Axel mengambil beberapa barang dari laci dan mema
Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diiringi oleh suara pelan dari mesin dan lampu jalan yang melintas seperti kilatan-kilatan lampu kamera.Di belakang kemudi, Ethan melirik ke arah Catelyn beberapa kali.Sorot matanya tak pernah setenang tadi, saat ia melindunginya dari Nielson.Sekarang, ada kekhawatiran tipis di sana—halus, nyaris tak terlihat, tapi cukup nyata bagi yang peka.“Kalau kau belum makan malam, bagaimana kalau kita cari tempat yang tenang?” Suara Ethan pelan, hampir seperti gumaman di antara jeda.Namun Catelyn hanya menggeleng, menatap ke luar jendela. “Tidak usah. Setelah apa yang terjadi tadi… aku kehilangan selera makan. Antarkan saja aku pulang.”Ethan tak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat, menekan pedal gas dengan hati-hati, membiarkan keheningan kembali menyelimuti.Beberapa menit berlalu.Ethan mencuri pandang ke arah gadis di sebelahnya.Catelyn tampak tenang, tapi garis-garis halus di wajahnya menunjukkan sebaliknya.Wajah itu muram. Terluka.Diam-
Senja belum sepenuhnya lenyap saat Catelyn keluar dari gedung Aurora Development Group.Rambutnya masih tergerai rapi setelah seharian bekerja, dan tubuhnya menyisakan sedikit lelah.Namun kelelahan itu sirna seketika saat ia menemukan sosok yang berdiri di depan jalur jalannya—Nielson.Wajah pria itu suram.Matanya merah, mungkin karena marah atau karena tekanan yang terus menggerogotinya.Jas kerjanya kusut, dasinya longgar, dan bahunya mengemban beban yang jelas tak tertahan. Ada ketegangan di gerakannya, dan amarah yang nyaris meledak dari napasnya.Catelyn berdiri tenang.Tak sedikit pun mundur, tak goyah.Matanya menatap langsung pada pria yang hingga kemarin malam, selalu menyudutkannya.Nielson mengangkat tangan, memperlihatkan satu bundel kecil berkas, lalu satu thumb drive.Wajahnya memohon, namun juga memaksa. Tak ada dialog. Hanya gestur, tekanan, dan desakan yang tak henti.Dia menunjuk s
Nielson membanting remote ke sofa.Napasnya memburu, matanya merah karena tak bisa tidur dan amarah yang memuncak.Di layar televisi yang menyala tanpa suara, berita pagi menampilkan kolom trending—dan lagi-lagi, fotonya.Fotonya yang memalukan."Apa-apaan ini?! Si brengsek mana yang berani nge-hack akun-ku?!"Ia berteriak ke udara kosong apartemennya, frustrasi.Rasa malunya seakan tak ada ujung.Akun X miliknya penuh dengan postingan vulgar—tanpa ia ketahui, seseorang telah membajak dan mengunggah foto-foto tak senonoh, membuatnya jadi bahan tertawaan seantero kota.Masalahnya, akun itu kini freeze. Tidak bisa login. Tidak bisa menghapus. Bahkan ia tidak bisa klarifikasi.Postingan-postingan itu tetap bisa dilihat publik, seolah sengaja dipaku agar tak bisa lenyap.Tiba-tiba suara ketukan pintu disusul suara perempuan menggema dari balik pintu."Nielson? Sayang, aku butuh uang tambahan. Salon kemarin itu mahal sekali karena aku pakai treatment keratin. Lalu aku juga sudah DP tas baru
Malam itu, mereka berada dalam ruang VIP dan duduk di meja dekat jendela kaca besar yang menghadap ke taman kecil berhiaskan lampu gantung kristal.Makanan tersaji anggun, dan anggur merah dalam gelas tinggi melengkapi suasana.Catelyn tertawa sesekali, dan Ethan, seperti biasa, lebih banyak mendengar sambil mengamati setiap gestur wanita di depannya.Ia senang melihat Catelyn bisa tertawa selepas itu, walau mata hazelnya tetap menyimpan sisa kesuraman―tentang ancaman foto-foto itu, yang belum benar-benar luruh.Setelah makan malam, Ethan mengantar Catelyn pulang, namun mobil tidak berhenti di apartemennya.Mereka berbelok ke arah barat, menyusuri jalan menuju pegunungan kecil di pinggiran kota.Catelyn sempat melirik jam di ponselnya. “Kita ke mana?” tanyanya bingung.“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” jawab Ethan singkat, masih memegang kendali setir dengan satu tangan, sementara angin malam menerpa lewat jendela yang sedikit terbuka.Mobil akhirnya berhenti di Lookout Mountain, tempa
Pintu lift terbuka di lantai lima belas.Karpet lembut meredam suara langkah Nielson saat ia melangkah menuju ruangan direktur ADG.Setibanya di depan pintu berlapis kaca buram dengan ukiran nama Tim Beckett – Executive Director, Nielson berhenti sejenak.Dengan cermat, ia merapikan dasinya, mengibaskan jas agar jatuh sempurna di bahunya, lalu menarik napas dalam-dalam dan membiarkan senyum percaya dirinya mengembang.Sekretaris direktur berdiri dari balik mejanya dan membukakan pintu. "Tuan Beckett sudah menunggu."“Terima kasih,” ucap Nielson dengan anggukan kecil, lalu melangkah masuk.Ruangan itu luas, bergaya minimalis modern, dengan jendela tinggi yang menghadap pusat kota Denver.Di balik meja besar dari kayu walnut, Tim Beckett duduk dengan wajah menegang.Namun sebelum Nielson sempat melangkah lebih dekat, tangan Tim bergerak cepat.Sebuah nameplate logam bertuliskan Executive Director – Tim Beckett melayang deras ke arahnya dan—Bugh!Langsung menghantam sisi wajah Nielson."
Koridor lantai empat kantor ADG hari itu tampak seperti biasa.Para staf lalu-lalang dengan berkas dan tablet di tangan, namun suasana agak berbeda.Suara-suara bisik-bisik dan desisan tertahan terdengar di antara meja-meja. Sesekali, terdengar tawa ditahan, dibungkam oleh rasa penasaran dan kaget yang masih menggantung.Pintu kaca berbingkai hitam di ujung koridor terbuka.Nielson Stokes melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah penuh percaya diri.Dasi disesuaikan, jas disampirkan elegan di lengan, dan senyum angkuh khasnya terpajang di wajah.Ia hendak berjalan ke departemen Urban Development Research—tempat di mana Catelyn bekerja.Dalam pikirannya, ia akan mengambil alih konsep yang sejak semalam ia minta pada Catelyn untuk ditambahkan uraian beberapa poin. Ia butuh itu sekarang—untuk menyempurnakan pitch ke direktur sore ini.Namun langkahnya perlahan melambat.Ia mulai menyadari sesuatu yang tidak biasa.Beberapa karyawan yang biasa menyapanya kini menunduk cepat atau pura