BAB 7 : Bellboy

Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.

Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"

Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.

Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."

“Meminta…apa?”

Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.

Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.

Diam-diam Nielson menghela napas lega.

"Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang berkualitas tinggi, khas acara bergengsi di Denver. "We regret to inform you that the event will experience a slight delay due to some unforeseen technical difficulties." (Kami ingin menginformasikan bahwa acara akan mengalami sedikit penundaan karena beberapa kendala teknis yang tak terduga)

Beberapa tamu mulai saling berbisik, sementara yang lain hanya mengangkat alis, menunggu informasi lebih lanjut.

Molly melirik ke arah Nielson dengan bingung. "Teknis? Maksudnya, apa yang terjadi?" bisiknya.

MC di atas panggung melanjutkan dengan senyum sopan yang tetap profesional, "We appreciate your patience as we work to resolve the issue. Please enjoy the refreshments while we ensure everything is set for a flawless evening." (Kami sangat menghargai kesabaran Anda sementara kami menyelesaikan masalah ini. Silakan nikmati hidangan yang telah disediakan, dan kami akan segera memastikan segalanya berjalan sempurna untuk malam yang tak terlupakan)

Namun, gumaman terdengar semakin ramai di sekitar Molly dan Nielson.

"Sepertinya terjadi sesuatu pada tamu kehormatannya," ujar seorang wanita bergaun biru yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Terjadi sesuatu dengan tamu kehormatan kita?" Seorang pria dengan tuxedo hitam menoleh dengan ekspresi penuh tanya.

"Ya. Aku melihat para staf sedikit sibuk beberapa menit yang lalu," sahut seorang wanita lain yang tampak penasaran. “Mereka berkata sesuatu seperti suite khusus dan sesuatu tentang mengganti jas atau apa.”

"Apa yang terjadi?" bisik Molly dengan nada semakin penasaran.

Nielson ikut mengamati keadaan di sekelilingnya.

Meskipun ia tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, ia bisa menebak bahwa ada sesuatu yang cukup serius hingga acara sebesar ini tertunda.

"Entahlah," gumam pria berambut kelabu di dekat mereka. "Yang jelas, acara tentu saja tidak bisa dimulai jika tamu kehormatannya tidak ada, kan?"

Molly menggigit bibirnya. Pikirannya mulai bertanya-tanya. Siapa tamu kehormatan itu? Dan mengapa dia belum muncul?

Sementara itu di sebuah suite eksklusif di lantai yang sama dengan ballroom.

Catelyn tersentak sadar dan langsung melompat mundur dari pria itu, nyaris tersandung kakinya sendiri karena gugup.

Wajahnya terasa panas, dan detak jantungnya masih belum normal setelah menyadari bahwa dirinya baru saja menempel erat pada pria tampan ini.

"A-aku... maaf!" katanya tergagap, menelan ludah sambil menghindari tatapan pria itu.

Pikirannya masih berantakan.

Ia harus segera pergi sebelum pria ini menyadari bahwa ia sedang dalam pelarian. Berusaha menutupi kepanikannya, Catelyn buru-buru mencari alasan.

"Aku... aku sedikit mabuk," katanya dengan canggung, meski ia tahu itu tidak benar. "Tadi aku tersesat dan salah masuk kamar."

Pria itu menaikkan sebelah alisnya, jelas tidak sepenuhnya percaya.

Tatapan birunya yang tajam seakan bisa melihat langsung ke dalam pikiran wanita muda itu, membuat Catelyn semakin panik.

Untuk mengalihkan situasi, Catelyn melirik ke arah pakaian sang pria. Kemeja putih yang terbuka di bagian atas dan celana hitam.

Kepalanya yang sedang kacau langsung mengambil kesimpulan aneh. "Kau..." Catelyn menunjuk pria itu dengan ragu. "Kau bellboy yang sedang merapikan kamar di sini, kan?"

Pria itu tampak terkejut, lalu matanya berbinar sejenak—seolah menahan tawa.

Namun sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Catelyn dengan tergesa mengeluarkan dua lembar sepuluh dolar dan meletakkannya ke tangan pria itu.

“Ini untukmu,” ujarnya sambil melangkah ke pintu, ingin segera pergi dari tempat ini sebelum rasa malunya makin bertambah.

"Aku harus pulang. Tolong, jangan katakan apapun tentang insiden kecil ini ya." Tangannya meraih handle pintu dan, dengan cepat, ia menoleh sebentar ke pria itu. "Selamat bekerja."

Tapi begitu ia membuka pintu dan kepala melongok ke kiri— jantungnya kembali serasa terhenti.

Tiga petugas keamanan tampak dari kejauhan.

Mereka rupanya kembali karena koridor yang mereka tuju ternyata buntu. Jika mereka berjalan sedikit lebih jauh, Catelyn akan langsung terlihat.

Sial!

Sebelum Catelyn bisa berpikir lebih jauh, pria itu ikut menjulurkan kepalanya ke luar pintu, tubuh tingginya berdiri di belakang Catelyn dengan alis sedikit berkerut.

"Ada apa?" tanyanya santai.

Tanpa berpikir panjang, Catelyn langsung menarik pergelangan tangan pria itu. "Ikut aku!"

Pria itu tersentak, tapi membiarkan dirinya ditarik begitu saja saat Catelyn berlari keluar.

"Nona—"

"Beritahu aku jalan keluar tercepat dari sini!" potong Catelyn, masih terus berlari tanpa melepas cengkeramannya. "Nanti aku beri tips tambahan!"

Pria itu menatap punggung sang wanita dengan ekspresi rumit.

Wanita muda ini sungguh tidak biasa.

Ia bisa saja menolak dan membiarkan Catelyn lari sendirian, tapi entah kenapa, situasi ini justru membuatnya tertarik.

Sebuah senyum kecil terbit di bibirnya. "Baiklah."

Meski ia sebenarnya tidak tahu pasti ke mana harus pergi, matanya dengan cepat menangkap tanda pintu darurat di depan.

Dengan suara tenang yang bertolak belakang dengan keadaan mereka, ia berkata, "Kita keluar lewat tangga darurat."