Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.
Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.
Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.
Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.
Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.
Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."
Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.
Sang sopir, yang berdiri dengan sigap di samping mobil, segera membukakan pintu untuknya.
Pria bermata biru itu berhenti sesaat di depan pintu, satu tangannya terangkat setengah, jari-jarinya menyentuh bagian atas pintu dengan elegan. Gerakannya bukan sekadar refleks, melainkan sebuah kebiasaan seseorang yang terbiasa dengan kemewahan dan kontrol penuh atas sekelilingnya.
Tanpa mengalihkan pandangan dari sang asisten, ia berbicara dengan nada datar namun tegas. "Pastikan taksi itu kembali ke pemiliknya."
"Berikan kompensasi yang cukup untuk sang supir," tambahnya ringan, senyum samar tersungging di bibirnya.
Sang asisten mengangguk patuh, tanpa menunjukkan ekspresi berlebihan.
Setelahnya, sang pria bermata biru masuk ke dalam Rolls-Royce dengan anggun, dan dalam hitungan detik, mobil mewah itu meluncur perlahan, meninggalkan tempat tersebut.
Beberapa saat kemudian, pintu depan apartemen terbuka.
Catelyn muncul, menyeret koper besarnya, tatapannya lurus ke depan dengan kedua sklera mata yang tampak memerah.
Tampak kalah.
Namun di dalam hatinya, ia berjanji. Ini bukan akhir. Ini adalah awal untuk membuktikan bahwa ia bisa berdiri tanpa siapa pun, termasuk pria seperti Nielson dan keluarganya.
* * *
Catelyn menatap layar di mesin ATM.
[Checking Account: $ 1,105.56]
[Savings Account: $2,878.90]
Bibirnya terlipat ke dalam lalu ia berbalik meninggalkan mesin itu setelah mengambil kembali kartu miliknya.
“Aku tidak bisa terus tinggal di motel. Aku harus mencari apartemen baru,” gumamnya gusar. “Tapi sisa uangku tidak cukup untuk menyewa dan hidup sampai bulan depan.”
Kedua iris hazelnya berkilat. Ia tidak menghentikan langkahnya, dengan satu tujuan yang jelas.
Sekian puluh menit kemudian, Catelyn tiba di satu gedung kantor yang menjulang tinggi di hadapannya.
Matanya tajam, penuh tekad. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang lewat—hari ini, ia harus bertemu dengan Nielson.
Nielson berhutang terlalu banyak padanya. Setidaknya, ia akan meminta pengembalian deposit keamanan apartemen yang ia bayarkan sebelumnya, dibayar oleh Nielson.
“Dengan tambahan seribu lima ratus dolar itu, aku memiliki dana untuk mencari tempat tinggal lain dan bertahan sebulan sebelum menemukan pekerjaan lagi,” gumam Catelyn.
Dari malam sebelumnya, ia telah menghabiskan waktunya di sebuah motel murah dengan kasur yang berderit setiap kali ia bergerak. Bau pengap di dalam kamar membuat tidurnya tidak nyenyak, tetapi ia tidak punya pilihan.
Kini, dengan hanya secangkir kopi instan yang masih terasa di lidahnya, ia berdiri di depan pintu kaca berlapis warna emas kantor itu.
Begitu Catelyn hendak melangkah masuk, dua petugas keamanan segera bergerak. Salah satu dari mereka, pria berbadan besar dengan seragam hitam, mengangkat tangannya di depan pintu.
"Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk."
Catelyn mengernyit. "Aku punya urusan dengan Nielson."
Petugas lain, seorang pria dengan rambut rapi dan wajah tanpa ekspresi, melirik rekannya sebelum menatapnya dingin. “Anda Catelyn Adams?”
Catelyn mengangguk cepat. “Ya, itu aku. Kalian mengenalku. Jadi biarkan aku masuk. Aku―”
"Kami mendapat perintah langsung. Anda dilarang memasuki kantor ini," potong petugas keamanan itu cepat.
Jantung Catelyn berdegup keras.
Dilarang masuk?
Catelyn mengepalkan tangannya. "Kalian tidak bisa mengusirku begitu saja! Aku punya hak untuk bertemu dengannya!"
Petugas pertama tetap berdiri kokoh di tempatnya. "Kami hanya menjalankan perintah, Nona Adams. Mohon pergi sebelum kami terpaksa mengambil tindakan."
Darahnya mendidih. Ia ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan. Tapi tatapan dingin para petugas itu memberitahunya bahwa perintah ini sudah final.
Nielson tidak hanya menolaknya—ia mengusirnya sepenuhnya dari hidupnya.
Kedua tangan Catelyn mengepal erat.
Ia menghela napas panjang saat menyadari tidak bisa melalui para petugas keamanan.
Percuma berdebat lebih lama—mereka hanya menjalankan tugas, dan jelas seseorang di dalam sana tidak ingin ia masuk. Dengan perasaan campur aduk, ia berbalik, hendak meninggalkan gedung kantor Aurora Development Group.
Namun, baru beberapa langkah menjauh, telinganya menangkap suara tawa dan gumaman dari sekumpulan pegawai wanita yang berdiri tak jauh darinya. Mereka mengenakan pakaian kantor rapi, membawa berkas dan kopi, tapi jelas sedang menikmati momen santai untuk bergosip.
Catelyn tidak berniat ikut campur, tetapi begitu nama yang mereka sebut meluncur dari bibir salah satu wanita itu, langkahnya tertahan.
“Beruntung sekali pria itu! Baru setahun kerja di ADG, karirnya langsung melesat tajam,” ujar salah satu pegawai dengan nada sedikit sinis.
“Kau maksud Nielson Stokes?” timpal wanita lain dengan suara penasaran.
“Ya, dia. Si tampan beruntung itu.”
Mereka tertawa kecil, lalu seorang pegawai dengan rambut bob dan kacamata bergumam sambil melirik ke sekitar. “Kenaikan itu bukan benar-benar prestasi, kalian tahu? Stokes punya hubungan spesial dengan putri Direktur.”
Seorang wanita dengan blazer biru langsung membelalakkan mata. “Maksudmu dengan anak Tuan Beckett?”
“Jangan bercanda!” ujar yang lain, setengah tidak percaya.
“Aku serius.” Wanita berkacamata itu mendekat, suaranya lebih pelan. “Bahkan aku tak sengaja mendengar kalau Stokes diundang ke jamuan penting yang diadakan Tuan Campbell nanti malam di hotel Le Jardin.”
“Diundang ke jamuan Tuan Campbell? Bukankah itu jamuan untuk menyambut seorang pengusaha penting?”
“Benar,” Wanita berkacamata itu mengangguk. “Stokes diundang bukan karena dirinya, melainkan karena putri Tuan Beckett. Dengar-dengar putri Tuan Beckett merengek pada ayahnya dan ingin memperkenalkan Stokes pada orang-orang penting disana.”
“Oh astaga! Kurasa putri Tuan Beckett benar-benar jatuh hati pada Stokes dan ingin membuka jalan kesuksesan lebar-lebar bagi kekasihnya!”
“Kurasa begitu!”
Mereka tertawa kecil sebelum salah satu dari mereka bercanda, “Apa pak direktur punya anak laki-laki? Aku juga mau naik jabatan dengan cara instan.”
Tawa mereka semakin keras, tapi Catelyn sudah tidak memperhatikan lagi.
Pikirannya dipenuhi oleh satu hal—Nielson Stokes, pria brengsek itu, benar-benar menggunakan cara kotor untuk mendongkrak kehidupannya sendiri.
Ia mengulang nama hotel itu dalam hatinya. Le Jardin.
Tentu saja.
Bagaimanapun juga, ia harus bertemu dengan pria sialan itu malam ini.
* * *
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Catelyn terkejut. "Apa?!"Nielson sungguh-sungguh tega padanya!Petugas keamanan lalu menatap Catelyn dengan curiga. "Benarkah begitu, Nona?"Catelyn tahu, ia dalam masalah besar jika benar-benar ketahuan dirinya menyelinap masuk ke acara ini.Tanpa berpikir panjang, ia spontan berbalik dan melarikan diri."Nona, berhenti!" seru petugas keamanan.Namun Catelyn sudah lebih dulu menerobos kerumunan, berlari keluar dari ballroom dengan napas memburu.Ia tidak bisa tertangkap.Tidak malam ini.Catelyn terus berlari serampangan, tidak tahu ke mana arah tujuannya.Jantungnya berdentum kencang, napasnya tersengal-sengal. Sekilas, ia menoleh ke belakang—lebih dari satu petugas keamanan kini mengejarnya.Tidak. Ia tidak boleh tertangkap. Jika itu terjadi, hidupnya akan semakin hancur.Ia tahu, ia akan berakhir di penjara jika sampai mereka berhasil menangkap dirinya. Hidupnya sudah buruk saat ini, ia tidak bisa menambahkan hal lain dalam daftar.Di sepanjang koridor, Catelyn menerobos lorong
Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."“Meminta…apa?”Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.Diam-diam Nielson menghela napas lega."Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang berkualitas tinggi, khas acara bergengsi di Denver. "We re
Di Luar Hotel Le Jardin.Sebuah pintu baja berwarna abu-abu dengan pegangan vertikal terbuka sedikit, menghubungkan tangga darurat dengan area parkir belakang hotel. Cahaya redup dari lampu-lampu luar hotel menerangi lorong sempit di belakang gedung, sementara angin malam berhembus pelan, membawa aroma khas aspal yang sedikit lembap.Dari pintu itu, Catelyn muncul dengan napas masih terengah, tangan kecilnya masih menarik erat pria bermata biru di belakangnya. Sepatu hak tingginya sedikit bergeser di atas permukaan jalan yang halus, sementara ia cepat-cepat memastikan sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda petugas keamanan yang mengejarnya.Begitu yakin telah aman, Catelyn berbalik dan dengan refleks melepaskan genggamannya dari tangan pria itu."Terima kasih," ucapnya cepat, kedua tangannya bertumpu di lutut saat ia mencoba mengatur napas.Pria itu berdiri tegak di hadapannya, mengenakan kemeja putih yang kini sedikit kusut akibat pelarian tadi. Tat
“Bukan siapa-siapa,” jawab Nielson buru-buru. Molly mengangkat alisnya dengan curiga. "Benarkah?" Matanya menyipit, memperhatikan ekspresi Nielson dengan seksama. Tangannya yang sebelumnya bertengger di lengan pria itu kini melipat di depan dada, menunjukkan bahwa ia ingin jawaban yang memuaskan. “Ini dari wanita yang tadi. Dia membahas lagi soal barang milikku yang tadi hilang.” “Memang barang apa yang hilang?” Molly masih terlihat mengerutkan kening. Sejenak, Nielson tampak ragu. Matanya berkedip cepat, tanda ia berpikir mencari alasan yang masuk akal. Namun, ia segera menguasai diri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan ekspresi pura-pura murung dan penuh tekanan. "Sebenarnya… dia seorang penguntit," ucapnya lirih, suaranya dibuat sedikit berat seolah mengandung luka batin. "Aku tidak mengenalnya, tapi dia terus mengejarku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa ada di acara tadi. Dan yang lebih parah…" Nielson berhenti sejenak, memastikan Molly terpaku pada c
Catelyn samar-samar menghirup aroma yang begitu memikat, begitu seksi dan memabukkan, menelusup ke dalam hidungnya seperti angin malam yang lembut namun tak terhindarkan.Ada sesuatu yang adiktif dalam aroma itu, mengikat kesadarannya yang terombang-ambing antara mimpi dan kenyataan.Seiring dengan aroma tersebut, muncul potongan-potongan gambar yang kabur namun jelas terasa dalam benaknya.Itu adalah satu dada bidang yang keras seakan terpahat dari batu, dengan otot-otot yang terdefinisi sempurna. Rahang tegas, wajah yang tak sepenuhnya bisa ia lihat, namun cukup untuk membuat jantungnya bertalu, berdegup kencang.Dengan sedikit bergetar, tangan Catelyn terulur untuk menyentuh dada bidang nan kuat itu.Namun hanya sekian senti lagi, kedua mata Catelyn bergeser ke atas untuk kemudian bertemu dengan sepasang manik biru yang tajam.Sebuah suara dalam kemudian mengalun, seakan berulang-ulang. “Sudah puas melihat-lihatnya?”Bu
Begitu keduanya masuk ke dalam Rolls-Royce Phantom, kendaraan mewah itu meluncur mulus ke jalan utama, menuju pusat kota.Ethan bersandar pada kursinya, menatap keluar jendela dengan mata birunya yang tajam."Saya sudah menjadwalkan pertemuan dengan perwakilan Moonriver Inc besok pagi," kata Cole. "Kita juga punya janji dengan pihak kota siang harinya. Setelah itu, apakah Anda ingin bertemu dengan tim proyek di Glendale?"Ethan menghela napas ringan. "Ya. Tapi malam ini aku ingin tenang dulu."Cole menutup tabletnya, lalu menoleh sedikit. "Langsung ke Four Seasons, Tuan?"Ethan tidak langsung menjawab.Matanya masih menatap keluar jendela, memperhatikan gemerlap lampu kota yang mulai menyala seiring matahari tenggelam di ufuk barat."Berapa lama lagi sampai hotel?" tanya pria tampan itu akhirnya.Sopir melirik sekilas ke kaca spion sebelum menjawab. "Sekitar 35 menit, Tuan."Ethan terdiam sejenak sebelum berkata dengan nada lebih pelan. "Aku butuh minuman."Cole menoleh dengan sedikit
Cole menjawab dengan suara pelan. “Mr. Ellworth, Sir.”Mata Ethan langsung terangkat. Suara di ruangan meredup seketika, seolah energi di dalamnya berubah.Ethan bangkit dari kursinya. “Saya akan kembali dalam lima menit. Lanjutkan review laporan keuangan tanpa saya.”Para eksekutif mengangguk cepat, sebagian tampak bersyukur mendapat jeda dari tekanan kehadiran pria bermata biru itu.Cole membuka pintu ruang rapat untuk Ethan, dan keduanya melangkah keluar menuju ruang kerja pribadi yang terhubung langsung.Begitu pintu tertutup rapat, ketegangan berubah jadi keheningan.Para eksekutif saling melirik, masih terguncang oleh dua hal: panggilan “sweetheart” sebelumnya… dan sekarang, nama yang baru saja disebut. Mr. Ellworth.Itu bukan nama sembarangan. Di dunia real estate dan investasi, nama itu seperti bayangan tajam yang sulit diabaikan.Dan jika dua raksasa itu sedang berbicara…Sesuatu besar akan terjadi.* * *Cahaya putih dari lampu panel di langit-langit ruang rapat perlahan mere
Beberapa hari berlalu dan itu begitu tenang.Catelyn yang sempat mengkhawatirkan tindakan Nielson, tampaknya bisa tenang saat ini.Lelaki itu bahkan tidak masuk kantor sejak malam itu.Ketika Catelyn merasa khawatir Nielson masuk rumah sakit, lalu terdengar berita dari staf senior lain, bahwa Nielson mengambil cuti beberapa hari untuk perjalanan keluar kota.Kembali, Catelyn tidak memiliki hal tersisa untuk dikhawatirkan.Siang itu cukup sibuk, bahkan akan ada meeting cukup penting setengah jam lagi. Catelyn tak ikut meeting tersebut, namun ia ikut menyiapkan beberapa hal untuk itu.Catelyn juga terlupa sesaat pada Ethan yang juga tengah berada di luar kota beberapa hari ini.“Catelyn?”Suara Howard tiba-tiba dari balik pintu membuat Catelyn yang sedang menyusun data survei tersentak.Ia segera menoleh dan berdiri.Supervisor-nya, Howard, berdiri di depan pintu ruang meeting internal dengan raut wajah cemas.“Daniel… mendadak tumbang. Dia muntah-muntah dan pusing hebat. Sepertinya foo
Langit dini hari masih kelabu ketika Axel memarkirkan mobil hitam polos di belakang gedung kosong tak jauh dari kantor ADG.Lampu interior menyala samar.Di kursi belakang, tubuh Nielson masih terkulai, belum sepenuhnya sadar dari pingsannya.Kepalanya miring, jas mahalnya kusut, dan dasinya sudah longgar separuh.Axel membuka ponselnya. Di layar terpampang pesan singkat yang baru saja diterima dari Ethan.[Jangan lukai dia. Tapi pastikan dia tidak bertingkah untuk urusan malam ini]Axel menekan tombol lock dan menghela napas, menatap Nielson dengan senyum dingin."Beruntung sekali kau, Pecundang. Nona Adams berhati lembut," gumamnya.Betapa Axel tahu, bos-nya―Ethan Wayne, tidak akan membiarkan begitu saja siapapun yang mengganggu keluarganya dan orang-orang penting baginya.Perintah yang baru saja ia terima bukanlah murni perintah Ethan. Itu pasti atas dasar keinginan seseorang yang penting bagi bos-nya, Catelyn Adams.Dengan cekatan, Axel mengambil beberapa barang dari laci dan mema
Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diiringi oleh suara pelan dari mesin dan lampu jalan yang melintas seperti kilatan-kilatan lampu kamera.Di belakang kemudi, Ethan melirik ke arah Catelyn beberapa kali.Sorot matanya tak pernah setenang tadi, saat ia melindunginya dari Nielson.Sekarang, ada kekhawatiran tipis di sana—halus, nyaris tak terlihat, tapi cukup nyata bagi yang peka.“Kalau kau belum makan malam, bagaimana kalau kita cari tempat yang tenang?” Suara Ethan pelan, hampir seperti gumaman di antara jeda.Namun Catelyn hanya menggeleng, menatap ke luar jendela. “Tidak usah. Setelah apa yang terjadi tadi… aku kehilangan selera makan. Antarkan saja aku pulang.”Ethan tak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat, menekan pedal gas dengan hati-hati, membiarkan keheningan kembali menyelimuti.Beberapa menit berlalu.Ethan mencuri pandang ke arah gadis di sebelahnya.Catelyn tampak tenang, tapi garis-garis halus di wajahnya menunjukkan sebaliknya.Wajah itu muram. Terluka.Diam-
Senja belum sepenuhnya lenyap saat Catelyn keluar dari gedung Aurora Development Group.Rambutnya masih tergerai rapi setelah seharian bekerja, dan tubuhnya menyisakan sedikit lelah.Namun kelelahan itu sirna seketika saat ia menemukan sosok yang berdiri di depan jalur jalannya—Nielson.Wajah pria itu suram.Matanya merah, mungkin karena marah atau karena tekanan yang terus menggerogotinya.Jas kerjanya kusut, dasinya longgar, dan bahunya mengemban beban yang jelas tak tertahan. Ada ketegangan di gerakannya, dan amarah yang nyaris meledak dari napasnya.Catelyn berdiri tenang.Tak sedikit pun mundur, tak goyah.Matanya menatap langsung pada pria yang hingga kemarin malam, selalu menyudutkannya.Nielson mengangkat tangan, memperlihatkan satu bundel kecil berkas, lalu satu thumb drive.Wajahnya memohon, namun juga memaksa. Tak ada dialog. Hanya gestur, tekanan, dan desakan yang tak henti.Dia menunjuk s
Nielson membanting remote ke sofa.Napasnya memburu, matanya merah karena tak bisa tidur dan amarah yang memuncak.Di layar televisi yang menyala tanpa suara, berita pagi menampilkan kolom trending—dan lagi-lagi, fotonya.Fotonya yang memalukan."Apa-apaan ini?! Si brengsek mana yang berani nge-hack akun-ku?!"Ia berteriak ke udara kosong apartemennya, frustrasi.Rasa malunya seakan tak ada ujung.Akun X miliknya penuh dengan postingan vulgar—tanpa ia ketahui, seseorang telah membajak dan mengunggah foto-foto tak senonoh, membuatnya jadi bahan tertawaan seantero kota.Masalahnya, akun itu kini freeze. Tidak bisa login. Tidak bisa menghapus. Bahkan ia tidak bisa klarifikasi.Postingan-postingan itu tetap bisa dilihat publik, seolah sengaja dipaku agar tak bisa lenyap.Tiba-tiba suara ketukan pintu disusul suara perempuan menggema dari balik pintu."Nielson? Sayang, aku butuh uang tambahan. Salon kemarin itu mahal sekali karena aku pakai treatment keratin. Lalu aku juga sudah DP tas baru
Malam itu, mereka berada dalam ruang VIP dan duduk di meja dekat jendela kaca besar yang menghadap ke taman kecil berhiaskan lampu gantung kristal.Makanan tersaji anggun, dan anggur merah dalam gelas tinggi melengkapi suasana.Catelyn tertawa sesekali, dan Ethan, seperti biasa, lebih banyak mendengar sambil mengamati setiap gestur wanita di depannya.Ia senang melihat Catelyn bisa tertawa selepas itu, walau mata hazelnya tetap menyimpan sisa kesuraman―tentang ancaman foto-foto itu, yang belum benar-benar luruh.Setelah makan malam, Ethan mengantar Catelyn pulang, namun mobil tidak berhenti di apartemennya.Mereka berbelok ke arah barat, menyusuri jalan menuju pegunungan kecil di pinggiran kota.Catelyn sempat melirik jam di ponselnya. “Kita ke mana?” tanyanya bingung.“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” jawab Ethan singkat, masih memegang kendali setir dengan satu tangan, sementara angin malam menerpa lewat jendela yang sedikit terbuka.Mobil akhirnya berhenti di Lookout Mountain, tempa
Pintu lift terbuka di lantai lima belas.Karpet lembut meredam suara langkah Nielson saat ia melangkah menuju ruangan direktur ADG.Setibanya di depan pintu berlapis kaca buram dengan ukiran nama Tim Beckett – Executive Director, Nielson berhenti sejenak.Dengan cermat, ia merapikan dasinya, mengibaskan jas agar jatuh sempurna di bahunya, lalu menarik napas dalam-dalam dan membiarkan senyum percaya dirinya mengembang.Sekretaris direktur berdiri dari balik mejanya dan membukakan pintu. "Tuan Beckett sudah menunggu."“Terima kasih,” ucap Nielson dengan anggukan kecil, lalu melangkah masuk.Ruangan itu luas, bergaya minimalis modern, dengan jendela tinggi yang menghadap pusat kota Denver.Di balik meja besar dari kayu walnut, Tim Beckett duduk dengan wajah menegang.Namun sebelum Nielson sempat melangkah lebih dekat, tangan Tim bergerak cepat.Sebuah nameplate logam bertuliskan Executive Director – Tim Beckett melayang deras ke arahnya dan—Bugh!Langsung menghantam sisi wajah Nielson."
Koridor lantai empat kantor ADG hari itu tampak seperti biasa.Para staf lalu-lalang dengan berkas dan tablet di tangan, namun suasana agak berbeda.Suara-suara bisik-bisik dan desisan tertahan terdengar di antara meja-meja. Sesekali, terdengar tawa ditahan, dibungkam oleh rasa penasaran dan kaget yang masih menggantung.Pintu kaca berbingkai hitam di ujung koridor terbuka.Nielson Stokes melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah penuh percaya diri.Dasi disesuaikan, jas disampirkan elegan di lengan, dan senyum angkuh khasnya terpajang di wajah.Ia hendak berjalan ke departemen Urban Development Research—tempat di mana Catelyn bekerja.Dalam pikirannya, ia akan mengambil alih konsep yang sejak semalam ia minta pada Catelyn untuk ditambahkan uraian beberapa poin. Ia butuh itu sekarang—untuk menyempurnakan pitch ke direktur sore ini.Namun langkahnya perlahan melambat.Ia mulai menyadari sesuatu yang tidak biasa.Beberapa karyawan yang biasa menyapanya kini menunduk cepat atau pura