Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.
Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.
Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.
Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.
Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.
Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."
Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.
Sang sopir, yang berdiri dengan sigap di samping mobil, segera membukakan pintu untuknya.
Pria bermata biru itu berhenti sesaat di depan pintu, satu tangannya terangkat setengah, jari-jarinya menyentuh bagian atas pintu dengan elegan. Gerakannya bukan sekadar refleks, melainkan sebuah kebiasaan seseorang yang terbiasa dengan kemewahan dan kontrol penuh atas sekelilingnya.
Tanpa mengalihkan pandangan dari sang asisten, ia berbicara dengan nada datar namun tegas. "Pastikan taksi itu kembali ke pemiliknya."
"Berikan kompensasi yang cukup untuk sang supir," tambahnya ringan, senyum samar tersungging di bibirnya.
Sang asisten mengangguk patuh, tanpa menunjukkan ekspresi berlebihan.
Setelahnya, sang pria bermata biru masuk ke dalam Rolls-Royce dengan anggun, dan dalam hitungan detik, mobil mewah itu meluncur perlahan, meninggalkan tempat tersebut.
Beberapa saat kemudian, pintu depan apartemen terbuka.
Catelyn muncul, menyeret koper besarnya, tatapannya lurus ke depan dengan kedua sklera mata yang tampak memerah.
Tampak kalah.
Namun di dalam hatinya, ia berjanji. Ini bukan akhir. Ini adalah awal untuk membuktikan bahwa ia bisa berdiri tanpa siapa pun, termasuk pria seperti Nielson dan keluarganya.
* * *
Catelyn menatap layar di mesin ATM.
[Checking Account: $ 1,105.56]
[Savings Account: $2,878.90]
Bibirnya terlipat ke dalam lalu ia berbalik meninggalkan mesin itu setelah mengambil kembali kartu miliknya.
“Aku tidak bisa terus tinggal di motel. Aku harus mencari apartemen baru,” gumamnya gusar. “Tapi sisa uangku tidak cukup untuk menyewa dan hidup sampai bulan depan.”
Kedua iris hazelnya berkilat. Ia tidak menghentikan langkahnya, dengan satu tujuan yang jelas.
Sekian puluh menit kemudian, Catelyn tiba di satu gedung kantor yang menjulang tinggi di hadapannya.
Matanya tajam, penuh tekad. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang lewat—hari ini, ia harus bertemu dengan Nielson.
Nielson berhutang terlalu banyak padanya. Setidaknya, ia akan meminta pengembalian deposit keamanan apartemen yang ia bayarkan sebelumnya, dibayar oleh Nielson.
“Dengan tambahan seribu lima ratus dolar itu, aku memiliki dana untuk mencari tempat tinggal lain dan bertahan sebulan sebelum menemukan pekerjaan lagi,” gumam Catelyn.
Dari malam sebelumnya, ia telah menghabiskan waktunya di sebuah motel murah dengan kasur yang berderit setiap kali ia bergerak. Bau pengap di dalam kamar membuat tidurnya tidak nyenyak, tetapi ia tidak punya pilihan.
Kini, dengan hanya secangkir kopi instan yang masih terasa di lidahnya, ia berdiri di depan pintu kaca berlapis warna emas kantor itu.
Begitu Catelyn hendak melangkah masuk, dua petugas keamanan segera bergerak. Salah satu dari mereka, pria berbadan besar dengan seragam hitam, mengangkat tangannya di depan pintu.
"Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk."
Catelyn mengernyit. "Aku punya urusan dengan Nielson."
Petugas lain, seorang pria dengan rambut rapi dan wajah tanpa ekspresi, melirik rekannya sebelum menatapnya dingin. “Anda Catelyn Adams?”
Catelyn mengangguk cepat. “Ya, itu aku. Kalian mengenalku. Jadi biarkan aku masuk. Aku―”
"Kami mendapat perintah langsung. Anda dilarang memasuki kantor ini," potong petugas keamanan itu cepat.
Jantung Catelyn berdegup keras.
Dilarang masuk?
Catelyn mengepalkan tangannya. "Kalian tidak bisa mengusirku begitu saja! Aku punya hak untuk bertemu dengannya!"
Petugas pertama tetap berdiri kokoh di tempatnya. "Kami hanya menjalankan perintah, Nona Adams. Mohon pergi sebelum kami terpaksa mengambil tindakan."
Darahnya mendidih. Ia ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan. Tapi tatapan dingin para petugas itu memberitahunya bahwa perintah ini sudah final.
Nielson tidak hanya menolaknya—ia mengusirnya sepenuhnya dari hidupnya.
Kedua tangan Catelyn mengepal erat.
Ia menghela napas panjang saat menyadari tidak bisa melalui para petugas keamanan.
Percuma berdebat lebih lama—mereka hanya menjalankan tugas, dan jelas seseorang di dalam sana tidak ingin ia masuk. Dengan perasaan campur aduk, ia berbalik, hendak meninggalkan gedung kantor Aurora Development Group.
Namun, baru beberapa langkah menjauh, telinganya menangkap suara tawa dan gumaman dari sekumpulan pegawai wanita yang berdiri tak jauh darinya. Mereka mengenakan pakaian kantor rapi, membawa berkas dan kopi, tapi jelas sedang menikmati momen santai untuk bergosip.
Catelyn tidak berniat ikut campur, tetapi begitu nama yang mereka sebut meluncur dari bibir salah satu wanita itu, langkahnya tertahan.
“Beruntung sekali pria itu! Baru setahun kerja di ADG, karirnya langsung melesat tajam,” ujar salah satu pegawai dengan nada sedikit sinis.
“Kau maksud Nielson Stokes?” timpal wanita lain dengan suara penasaran.
“Ya, dia. Si tampan beruntung itu.”
Mereka tertawa kecil, lalu seorang pegawai dengan rambut bob dan kacamata bergumam sambil melirik ke sekitar. “Kenaikan itu bukan benar-benar prestasi, kalian tahu? Stokes punya hubungan spesial dengan putri Direktur.”
Seorang wanita dengan blazer biru langsung membelalakkan mata. “Maksudmu dengan anak Tuan Beckett?”
“Jangan bercanda!” ujar yang lain, setengah tidak percaya.
“Aku serius.” Wanita berkacamata itu mendekat, suaranya lebih pelan. “Bahkan aku tak sengaja mendengar kalau Stokes diundang ke jamuan penting yang diadakan Tuan Campbell nanti malam di hotel Le Jardin.”
“Diundang ke jamuan Tuan Campbell? Bukankah itu jamuan untuk menyambut seorang pengusaha penting?”
“Benar,” Wanita berkacamata itu mengangguk. “Stokes diundang bukan karena dirinya, melainkan karena putri Tuan Beckett. Dengar-dengar putri Tuan Beckett merengek pada ayahnya dan ingin memperkenalkan Stokes pada orang-orang penting disana.”
“Oh astaga! Kurasa putri Tuan Beckett benar-benar jatuh hati pada Stokes dan ingin membuka jalan kesuksesan lebar-lebar bagi kekasihnya!”
“Kurasa begitu!”
Mereka tertawa kecil sebelum salah satu dari mereka bercanda, “Apa pak direktur punya anak laki-laki? Aku juga mau naik jabatan dengan cara instan.”
Tawa mereka semakin keras, tapi Catelyn sudah tidak memperhatikan lagi.
Pikirannya dipenuhi oleh satu hal—Nielson Stokes, pria brengsek itu, benar-benar menggunakan cara kotor untuk mendongkrak kehidupannya sendiri.
Ia mengulang nama hotel itu dalam hatinya. Le Jardin.
Tentu saja.
Bagaimanapun juga, ia harus bertemu dengan pria sialan itu malam ini.
* * *
Catelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.Catelyn menggigit bibir,
Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.Terdengar jelas.Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tat
Catelyn terkejut. "Apa?!"Nielson sungguh-sungguh tega padanya!Petugas keamanan lalu menatap Catelyn dengan curiga. "Benarkah begitu, Nona?"Catelyn tahu, ia dalam masalah besar jika benar-benar ketahuan dirinya menyelinap masuk ke acara ini.Tanpa berpikir panjang, ia spontan berbalik dan melarikan diri."Nona, berhenti!" seru petugas keamanan.Namun Catelyn sudah lebih dulu menerobos kerumunan, berlari keluar dari ballroom dengan napas memburu.Ia tidak bisa tertangkap.Tidak malam ini.Catelyn terus berlari serampangan, tidak tahu ke mana arah tujuannya.Jantungnya berdentum kencang, napasnya tersengal-sengal. Sekilas, ia menoleh ke belakang—lebih dari satu petugas keamanan kini mengejarnya.Tidak. Ia tidak boleh tertangkap. Jika itu terjadi, hidupnya akan semakin hancur.Ia tahu, ia akan berakhir di penjara jika sampai mereka berhasil menangkap dirinya. Hidupnya sudah buruk saat ini, ia tidak bisa menambahkan hal lain dalam daftar.Di sepanjang koridor, Catelyn menerobos lorong
Molly Beckett menatap tajam ke arah Nielson yang baru kembali ke sisinya setelah sempat menjauh.Wajahnya dipenuhi kekesalan saat ia bertanya dengan nada sedikit menyindir, "Mengapa kau begitu lama?"Nielson tersenyum kecil, seolah berusaha meredakan emosi calon tunangannya.Ia meraih pinggang Molly, menariknya lebih dekat, lalu mengecup pelipisnya dengan lembut. "Maaf, Sayang. Sedikit berdebat tadi, karena dia minta uang lebih besar dari yang seharusnya."“Meminta…apa?”Saat Molly hendak berbicara lagi, suara mikrofon yang sedikit berdesis terdengar dari panggung utama ballroom.Perhatian semua orang langsung teralih ketika seorang pria dengan jas rapi, yang merupakan Master of Ceremonies (MC), berdiri di tengah panggung dengan sikap profesional.Diam-diam Nielson menghela napas lega."Ladies and gentlemen, may I have your attention, please?" (mohon perhatian Anda) suara MC terdengar lantang dan jelas melalui sistem suara yang berkualitas tinggi, khas acara bergengsi di Denver. "We re
Di Luar Hotel Le Jardin.Sebuah pintu baja berwarna abu-abu dengan pegangan vertikal terbuka sedikit, menghubungkan tangga darurat dengan area parkir belakang hotel. Cahaya redup dari lampu-lampu luar hotel menerangi lorong sempit di belakang gedung, sementara angin malam berhembus pelan, membawa aroma khas aspal yang sedikit lembap.Dari pintu itu, Catelyn muncul dengan napas masih terengah, tangan kecilnya masih menarik erat pria bermata biru di belakangnya. Sepatu hak tingginya sedikit bergeser di atas permukaan jalan yang halus, sementara ia cepat-cepat memastikan sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda petugas keamanan yang mengejarnya.Begitu yakin telah aman, Catelyn berbalik dan dengan refleks melepaskan genggamannya dari tangan pria itu."Terima kasih," ucapnya cepat, kedua tangannya bertumpu di lutut saat ia mencoba mengatur napas.Pria itu berdiri tegak di hadapannya, mengenakan kemeja putih yang kini sedikit kusut akibat pelarian tadi. Tat
“Bukan siapa-siapa,” jawab Nielson buru-buru. Molly mengangkat alisnya dengan curiga. "Benarkah?" Matanya menyipit, memperhatikan ekspresi Nielson dengan seksama. Tangannya yang sebelumnya bertengger di lengan pria itu kini melipat di depan dada, menunjukkan bahwa ia ingin jawaban yang memuaskan. “Ini dari wanita yang tadi. Dia membahas lagi soal barang milikku yang tadi hilang.” “Memang barang apa yang hilang?” Molly masih terlihat mengerutkan kening. Sejenak, Nielson tampak ragu. Matanya berkedip cepat, tanda ia berpikir mencari alasan yang masuk akal. Namun, ia segera menguasai diri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan ekspresi pura-pura murung dan penuh tekanan. "Sebenarnya… dia seorang penguntit," ucapnya lirih, suaranya dibuat sedikit berat seolah mengandung luka batin. "Aku tidak mengenalnya, tapi dia terus mengejarku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa ada di acara tadi. Dan yang lebih parah…" Nielson berhenti sejenak, memastikan Molly terpaku pada c
Catelyn samar-samar menghirup aroma yang begitu memikat, begitu seksi dan memabukkan, menelusup ke dalam hidungnya seperti angin malam yang lembut namun tak terhindarkan.Ada sesuatu yang adiktif dalam aroma itu, mengikat kesadarannya yang terombang-ambing antara mimpi dan kenyataan.Seiring dengan aroma tersebut, muncul potongan-potongan gambar yang kabur namun jelas terasa dalam benaknya.Itu adalah satu dada bidang yang keras seakan terpahat dari batu, dengan otot-otot yang terdefinisi sempurna. Rahang tegas, wajah yang tak sepenuhnya bisa ia lihat, namun cukup untuk membuat jantungnya bertalu, berdegup kencang.Dengan sedikit bergetar, tangan Catelyn terulur untuk menyentuh dada bidang nan kuat itu.Namun hanya sekian senti lagi, kedua mata Catelyn bergeser ke atas untuk kemudian bertemu dengan sepasang manik biru yang tajam.Sebuah suara dalam kemudian mengalun, seakan berulang-ulang. “Sudah puas melihat-lihatnya?”Bu
Begitu keduanya masuk ke dalam Rolls-Royce Phantom, kendaraan mewah itu meluncur mulus ke jalan utama, menuju pusat kota.Ethan bersandar pada kursinya, menatap keluar jendela dengan mata birunya yang tajam."Saya sudah menjadwalkan pertemuan dengan perwakilan Moonriver Inc besok pagi," kata Cole. "Kita juga punya janji dengan pihak kota siang harinya. Setelah itu, apakah Anda ingin bertemu dengan tim proyek di Glendale?"Ethan menghela napas ringan. "Ya. Tapi malam ini aku ingin tenang dulu."Cole menutup tabletnya, lalu menoleh sedikit. "Langsung ke Four Seasons, Tuan?"Ethan tidak langsung menjawab.Matanya masih menatap keluar jendela, memperhatikan gemerlap lampu kota yang mulai menyala seiring matahari tenggelam di ufuk barat."Berapa lama lagi sampai hotel?" tanya pria tampan itu akhirnya.Sopir melirik sekilas ke kaca spion sebelum menjawab. "Sekitar 35 menit, Tuan."Ethan terdiam sejenak sebelum berkata dengan nada lebih pelan. "Aku butuh minuman."Cole menoleh dengan sedikit
Ethan berdeham kecil, tapi ia tetap mengangkat gelasnya. “Baiklah. Untuk kebebasan.”Gelas mereka beradu pelan sebelum masing-masing menyesap minuman mereka.Setelah beberapa saat hening, Ethan bertanya dengan nada lebih tenang, “Kenapa kau tidak melanjutkan kuliah?”Senyum Catelyn sedikit memudar. Ia menatap es batunya yang mulai mencair di dalam gelas. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab, “Sesuatu terjadi.”Ethan tidak mendesak. Ia hanya mengangguk kecil sebelum bertanya lagi, “Tapi kau punya cita-cita, bukan?”Catelyn tersenyum tipis, kali ini dengan binar samar di matanya. “Aku ingin menjadi site development planner.”Ethan mengangkat alis. “Kenapa?”“Aku selalu suka melihat bagaimana sebuah kota berkembang,” kata Catelyn pelan, tetapi ada nada antusias di suaranya. “Aku ingin berkontribusi dalam proyek-proyek besar, memastikan setiap pembangunan memiliki dampak positif, bukan hanya sekadar menambah jumlah gedung tinggi. Aku ingin membangun lingkungan yang benar-benar nyaman u
Nielson terkejut.Ia berdiri diam di tempat, seolah tak memahami kalimat yang baru saja diucapkan Tim."Apa...apa maksud Anda?"Tim berkata dengan nada santai sambil memeriksa beberapa berkas di mejanya."Tak ada gunanya lagi. Proyek Verdant Grove ditiadakan."Nielson menganga."Apa?"Nielson menatap Tim Beckett dengan mata melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Ditiadakan?" Suaranya terdengar parau.Tim mengangguk, ia menarik napas dalam sekilas. "Ya. Ada keputusan dari pemegang saham utama. Mereka tidak menyetujui proyek itu. Jadi, Verdant Grove tidak akan dilakukan.”Nielson berdiri terpaku di tempat, pikirannya kosong. Tidak… Ini tidak mungkin!Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan kepanikan yang mulai menjalar. Semua mimpi itu... Semua rencananya… Uang yang ia keluarkan untuk membayar Catelyn…Sia-sia begitu saja?“Tapi… Tapi—” Nielson mencoba bicara, suaranya bergetar.Tim menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya dengan ekspresi tenang
Catelyn berdiri terpaku di belakang meja kasir, matanya membesar saat mengenali sosok pria di hadapannya.Nielson.Napasnya tertahan sejenak sebelum ia bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?"Namun, tidak seperti biasanya, wajah Nielson tampak gelap, penuh kemarahan yang jelas tak berusaha ia sembunyikan.Tanpa basa-basi, pria itu langsung menuntut, "Mana summary pengembangan konsepnya?"Catelyn mengernyit bingung. "Summary apa?"Ekspresi Nielson mengeras, suaranya naik satu oktaf. "Jangan bermain bodoh denganku, Catelyn! Apa kau sengaja menantangku? Apa kau benar-benar sudah tak peduli dengan nama baikmu lagi?!"Catelyn hanya menatapnya tajam, tetapi sebelum ia sempat menjawab, Nielson melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, "Beraninya kau mengabaikan semua pesanku! Teleponku! Apa kau pikir bisa lari dari tanggung jawab begitu saja?"Melihat ada pelanggan yang akan masuk toko melirik ke arah mereka―lalu membatalkan masuk, Catelyn menghela napas dan menatapnya dengan tegas."Turun
Cole tidak terkejut dengan keputusan tersebut—ia sudah menduganya.Bahwa Ethan Wayne akan mengakuisisi Aurora Development Group, saat tiba-tiba semalam meminta dirinya menggali informasi tentang perusahaan tersebut.Perusahaan itu memang terlihat baik, namun saat sang bos menjatuhkan mata pada ADG, Cole sudah mengira bahwa ada masalah dengan perusahaan tersebut.Bos-nya memang memiliki intuisi yang tajam! Cole begitu bangga dalam hati bisa bekerja dengan seorang pria muda berbakat seperti Ethan Wayne. Dengan demikian, sang bos akan memegang kendali atas proyek-proyek besar Aurora, termasuk keputusan strategis dan keuangan dan membuat G&P Ltd semakin besar.Meskipun, awalnya Cole tidak mengerti hal mendasar yang menjadikan Ethan memilih mengambil-alih Aurora, sementara ia yakin, jika pihak lain tahu permasalahan internal Aurora ini, tidak ada yang akan berani mengambil risiko.Tapi ia selalu yakin atas kemampuan seorang Ethan Wayne.Seperti saat ini, ketenangan dan kepercayaan diri Et
Catelyn terbangun dengan napas sedikit terkesiap, matanya membuka masih sedikit linglung saat menyapu pandangan ke sekeliling ruangan.Ini... kamarnya?Ia mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan kesadarannya. "Bagaimana aku bisa di sini?" gumamnya pelan.Ia menarik napas dalam. Sedikit demi sedikit, ingatannya kembali.Ia ingat menumpang bersama Ethan semalam… diantar olehnya.Tapi bagaimana Ethan tahu kalau ia tinggal di unit 212? Dan lebih penting lagi—bagaimana Ethan bisa masuk ke dalam apartemen-nya?Pikiran itu memenuhi benak gadis itu, tapi seketika buyar ketika iris hazelnya menangkap jam di atas nakas.Pukul 08.00!"Oh, shit!" Catelyn tersentak panik.Jika tidak segera bergegas, ia akan terlambat ke toko.Dengan cepat, ia melompat dari tempat tidur, membersihkan diri sekadarnya, dan mengenakan pakaian sederhana sebelum menyambar tas miliknya, lalu berlari keluar dari kamar apartemen.Sa
Pria itu menatap Ethan dengan curiga. “Oh? Apakah dia mabuk?” tanyanya dengan nada waspada.Ethan, yang masih menggendong Catelyn, tersenyum kecil. “Tidak. Dia hanya tertidur kelelahan.”Pria tua itu memandangi Ethan lebih lama, seolah menilai apakah pria tampan bermata biru ini berniat baik atau sebaliknya.“Kamu siapanya?” tanyanya akhirnya.Ethan pun menjawab tenang, “Saya temannya. Kebetulan tadi kehujanan, jadi saya mengantarnya pulang.”Pria tua itu menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya mengangguk, mungkin terkesan dengan ketulusan dalam mata biru Ethan."Dia tinggal di lantai dua, unit 212."Ethan mengangguk sopan. "Terima kasih."Namun, saat ia bersiap naik tangga, pria tua itu bertanya lagi.“Kau punya kuncinya?”Ethan mengerutkan kening. Tentu saja tidak. Ia menggeleng.Pria tua itu, yang ternyata adalah pengurus apartemen terse
Catelyn menatap dengan heran dan sedikit waspada ke arah Rolls-Royce Phantom hitam yang berhenti tepat di depannya itu.Hujan masih turun deras, menciptakan suara ritmis di atas atap halte.Sebelum sempat berpikir lebih jauh, jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan sosok di baliknya.“Catelyn, masuk.” Suara yang mulai familiar itu terdengar jelas di tengah suara hujan yang mengguyur jalanan.Catelyn membelalakkan mata. Ethan?Pria itu duduk di balik kemudi, wajahnya tenang namun ada sedikit urgensi dalam suaranya. "Cepat masuk, sebelum kau semakin basah kuyup," katanya lagi.Catelyn sempat bingung beberapa detik, tatapannya berpindah dari Ethan ke mobil mewah itu, lalu kembali ke Ethan.Apa benar itu Ethan? Tapi mengapa Ethan membawa mobil seperti ini?Namun, udara malam semakin dingin, dan baju serta rambutnya sudah cukup basah.Akhirnya, ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, tubuhnya sedikit mengg
Nielson mondar-mandir di kamarnya, langkahnya cepat dan penuh ketegangan.Dadanya naik turun, rahangnya mengatup rapat. Sesekali, ia meraih ponselnya dari meja, menatap layar dengan frustrasi.Tidak ada balasan.Tidak ada tanda-tanda pesan dibaca.Panggilan yang ia lakukan sekian kali pun tak kunjung dijawab.“Brengsek!” gumamnya sambil mengetik pesan lagi dengan gerakan kasar.[Catelyn, angkat teleponku. Ini penting!]Ia menunggu beberapa detik. Tak ada respons. Jempolnya kembali bergerak.[Jangan pura-pura sibuk. Aku tahu kau pasti melihat pesanku!]Masih tak ada reaksi.Nielson menggeretakkan giginya, lalu dengan kasar melemparkan ponselnya ke kasur. “Sialan!” bentaknya.Ia mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengendalikan emosinya.Pikirannya terus berputar—presentasi di ADG tinggal lusa, dan ia sama sekali tidak tahu isi pengembangan dari proposal itu!S
Nielson duduk di meja makan apartemennya, menikmati hidangan yang tersaji.Ibunya, Mrs. Stokes, dengan penuh kasih menuangkan sup hangat ke dalam mangkuknya.“Kau harus makan lebih banyak, Nielson. Lihat ini, aku buatkan makanan favoritmu,” ucapnya penuh semangat.Nielson menyendok supnya dengan santai, sementara ibunya mulai membahas hal yang lebih penting baginya.“Kapan kau akan melamar Molly Beckett? Dia itu gadis yang tepat untukmu, kau tahu?” Mrs. Stokes meletakkan sendoknya dan menatap putranya dengan harapan besar.Nielson mengangkat bahu. “Tenang saja, Bu. Semua ada waktunya.”“Tapi jangan terlalu lama! Kalau kau menikahinya, kita bisa segera masuk kalangan atas. Aku bahkan mulai memiliki beberapa teman dari kelas sosial yang lebih tinggi di apartemen ini. Mereka sangat menyenangkan, dan kita harus menjaga citra.”Nielson menyeringai dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Sebentar lagi, Bu. Tak lama lagi aku akan menjadi pimpinan proyek. Setelah itu, jabatan manajer sudah pa